Latar Belakang Tidak Meningkatnya Berat Badan Balita Setelah Mendapat PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014

(1)

TAMBAHAN PEMULIHAN (PMT-P) DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS PAMULANG TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH NURUL HAYATI NIM : 109101000022

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M


(2)

(3)

ii Nurul Hayati, NIM: 109101000022

Latar Belakang Tidak Meningkatnya Berat Badan Balita Setelah Mendapat Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014

xvi + 194 halaman, 8 tabel, 2 bagan, 8 lampiran ABSTRAK

Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi. Gizi kurang adalah salah satu masalah gizi terbanyak di Indonesia yang terjadi pada balita. Pemerintah telah mengupayakan penanggulangan masalah gizi dengan mengembangkan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dan salah satu kegiatannya adalah Pemberian Makanan Tambahan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang tidak meningkatnya berat badan balita setelah mendapat PMT-P di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014, dilakukan pada bulan Agustus-November tahun 2014, menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara mendalam dengan informan utama (ibu dari balita penerima PMT-P yang berat badannya tidak meningkat minimal satu tahun) dan informan pendukung (keluarga balita penerima PMT-P, kader Posyandu, dan staff Puskesmas yang terlibat langsung dalam program PMT-P).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang tidak meningkatnya berat badan balita penerima PMT-P karena informan tidak membentuk pola makan balita dan hanya mengikuti pola makan balita yang suka jajan yang mengakibatkan ketersediaan pangan keluarga dan asupan makan balita menjadi buruk, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Selain itu, disebabkan pula oleh frekuensi makan balita yang buruk, PMT-P tidak digunakan dengan tepat, adanya penyakit infeksi yang diderita, upaya sanitasi yang kurang, dan pengetahuan informan yang buruk mengenai pemberian makan dan penyakit infeksi.

Disarankan kepada petugas Puskesmas agar memberikan pengetahuan dan informasi tentang kesehatan dan gizi seperti jumlah, jenis, porsi, frekuensi, dan cara penyajian makanan yang seharusnya diberikan untuk balita. Karena sebagian besar informan hanya menamatkan SD maka sebaiknya petugas Puskesmas memberikan pengetahuan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh informan, sehingga informasi yang disampaikan dapat diterima dengan baik dan dipraktikkan di rumah. Daftar bacaan : 61 (1995-2014)


(4)

iii Nurul Hayati, NIM: 109101000022

The Background is Not Increased Weight Gain After Getting Toddler Feeding Recovery (PMT-P) in Puskesmas Pamulang at 2014

xvi + 194 Pages, 8 tables, 2 charts, 8 attachments ABSTRACT

Children under five years old (infants) are vulnerable to health and nutrition problems. Malnutrition is one of the biggest nutritional problem in Indonesia, which often occur in children under five. The government has sought to develop a nutritional problem prevention efforts Family Nutrition Improvement (UPGK) and one of the activities is Feeding.

This study aims to determine the background is not increased body weight infants after a PMT-P in Puskesmas Pamulang 2014, took place in August-November 2014, using a qualitative approach with case study research strategy. Data was collected by means of observation and in-depth interviews with key informants that mothers of children under five recipients PMT-P whose weight is not increased by at least one year and a supporter of the family informant toddler PMT-P receiver, health cadres, and health center staff who are directly involved in PMT-P program.

Based on this research, it is known that the background is not increased body weight infants after a PMT-P is due to key informants did not form a toddler diet and just follow the diet toddler who likes to snack, resulting in the availability of family food and toddler food intake for the worse in terms of both quality and quantity. In addition, also caused by poor eating frequency toddlers, PMT-P is not used properly, the presence of an infectious disease that affects, attempts poor sanitation, and poor knowledge of the informant feeding and infectious diseases.

So it is advisable to health center staff to be able to provide knowledge and information about health and nutrition such as the number, type, portion, frequency, and method of food preparation that should be given to toddlers. Because most of the informants simply completing the primary health worker should provide the knowledge to use language that is easily understood by the informant, so that the information submitted well received and practiced at home.

Reading list: 61 (1995-2014)


(5)

(6)

(7)

vi PERSONAL DATA

Nama : Nurul Hayati

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal Lahir : Bireuen, 21 Juli 1990 Status Menikah : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jln. Kertamukti No.103c Rt 01 Rw 08 Kelurahan Pisangan, Ciputat Kota Tangerang Selatan

Nomor Handphone : 0852 6023 8238

Email : rhully_ayumi@yahoo.com

PENDIDIKAN FORMAL

1994-1996 : TK Pocut Baren Padang Tiji 1996 – 2002 : SD Negeri No.1 Padang Tiji 2002 – 2005 : SMP YPPU Unggul Sigli

2005 – 2009 : SMA Galih Agung Sumatera Utara 2009 – 2014 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(8)

vii Bismillahirrahmanirrahim...

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun laporan skripsi ini hingga selesai. Penulis sadar bahwa akan banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi dengan judul “Latar Belakang Tidak Meningkatnya Berat Badan Balita Setelah Mendapat PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014.” Shalawat beserta salam selalu tercurahkan untuk sahabat dan kekasih terindah Allah SWT yaitu baginda Rasulullah Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat, dan para pengikut setianya hingga akhir zaman. Semoga kelak kita semua mendapatkan syafa’atnya. Amiinn...

Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai dengan baik tanpa bantuan doa, dukungan, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat yang tak terbatas, kesehatan, dan kemudahan dalam menjalankan aktivitas setiap harinya.

2. Orang tua (Ayah dan Umi) tercinta serta abang, kakak, dan adik penulis yang tersayang yang senantiasa memberikan kasih sayang, semangat, dukungan baik


(9)

viii

3. Bapak Prof. Dr (HC) dr. MK. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Ibu Febrianti, SP, M.Si dan Ibu Raihana Nadra Alkaff, M.MA selaku pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan waktu dan kesabaran serta keikhlasan dalam membimbing penulis selama proses penyusunan laporan skripsi ini.

6. Pimpinan beserta staff Puskesmas Pamulang dan Kader Posyandu setempat, khususnya yang bertugas dalam program Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) yang telah meluangkan waktunya dan membantu serta memberikan informasi guna melengkapi penyusunan laporan skripsi ini.

7. Para Ibu balita penerima PMT-P beserta keluarga yang telah bersedia menjadi informan dan meluangkan waktu serta membiarkan penulis melihat kegiatan sehari-hari informan. Semoga Ibu dan keluarga selalu diberikan kesehatan dan kesuksesan. Amin.


(10)

ix dan masukan.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Thanks a lot... Penulis mendo’akan agar kiranya kebaikan yang telah kalian berikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amiiinn..

Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga penyusunan laporan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, November 2014


(11)

x

Pernyataan Keaslian Karya………i

Abstrak………..ii

Abstract...……….iii

Lembar Persetujuan………..…………iv

Daftar Riwayat Hidup Penulis………...vi

Kata Pengantar………...….vii

Daftar Isi………....x

Daftar Tabel………xiv Daftar Bagan………....xv Daftar Lampiran……….xvi

BAB I PENDAHULUAN………...………..1

1.1 Latar Belakang……….1

1.2 Rumusan Masalah………7

1.3 Pertanyaan Penelitian………...8

1.4 Tujuan Penelitin………...…………8

1.4.1 Tujuan Umum………8

1.4.2 Tujuan Khusus………...8

1.5 Manfaat Penelitian………...9

1.5.1 Bagi Peneliti………...………9

1.5.2 Bagi Puskesmas………..9


(12)

xi

2.1 Status Gizi………11

2.1.1 Penilaian Status Gizi………...13

2.1.2 Indeks Status Gizi………...………14

2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi……….17

2.2 Gizi Kurang Pada Balita……….………..19

2.2.1 Penyebab Gizi Kurang………...………..…20

2.3 Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P)……….45

2.4 Kerangka Teori……….…47

BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH……….48

3.1 Kerangka Pikir………....….48

3.2 Definisi Istilah……….….50

BAB IV METODE PENELITIAN……….….52

4.1 Jenis Penelitian……….…52

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………...52

4.3 Informan Penelitian……….53

4.4 Instrumen Penelitian………53

4.5 Teknik Pengumpulan Data………..54

4.6 Validasi Data………....55

4.7 Pengolahan dan Analisis Data……….55

BAB V HASIL………57

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian………..57


(13)

xii

5.3.2 Informan Pendukung………...………..60 5.4 Hasil Penelitian………63

5.4.1 Gambaran Asupan Makanan……….63 5.4.2 Gambaran Faktor Yang Mempengaruhi Asupan Makanan……..89 5.4.2.1 Ketersediaan Makanan………..90 5.4.2.2 Pemberian Makan………...106 5.4.2.3 Pengetahuan Tentang Pemberian Makan Balita……….122 5.4.3 Gambaran Penyakit Infeksi……….128 5.4.4 Gambaran Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit Infeksi……..138 5.4.4.1 Sanitasi dan Hygiene………...138 5.4.4.2 Pelayanan Kesehatan………...………...150 5.4.4.3 Pengetahuan Tentang Penyakit Infeksi dan

Pemeliharaan Kesehatan……….163

BAB VI PEMBAHASAN……….170

6.1 Gambaran Asupan Makanan……….170 6.2 Gambaran Faktor Yang Mempengaruhi Asupan Makanan…………..174 6.2.1 Ketersediaan Makanan………174 6.2.2 Pemberian Makan………177 6.2.3 Pengetahuan Tentang Pemberian Makan………180 6.3 Gambaran Penyakit Infeksi………...182 6.4 Gambaran Yang Mempengaruhi Penyakit Infeksi………184 6.4.1 Sanitasi dan Hygiene………...184


(14)

xiii

Kesehatan………188

6.5 Keterbatasan Penelitian……….189 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………...191 7.1 Simpulan………191 7.2 Saran………..193


(15)

xiv

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Balita……….15 Tebel 2.2 Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Untuk Bayi dan Balita……….24 Tabel 2.3 Pengukuran Makanan Balita………28 Tabel 2.4 Anjuran Pemberian Makanan Sehari Anak Usia 3-5 Tahun Menurut

Kecukupan Energi………...31

Tabel 3.1 Definisi Istilah……….50 Tabel 5.1 Karakteristik Ibu Dari Balita Yang Tidak Mengalami Peningkatan

Berat Badan Setelah Mendapat PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014………...…….59 Tabel 5.2 Karakteristik Informan Pendukung Dari Keluarga Balita

Yang Berat Badannya Tidak Meningkat Setelah Mendapat PMT-P

di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014………61 tabel 5.3 Karakteristik Informan Pendukung Dari Staff Puskesmas dan Kader

Posyandu Yang Terlibat Langsung Dalam Program PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014………62


(16)

xv

Bagan 2.1 Penyebab Gizi Kurang……….47 Bagan 3.1 Kerangka Pikir……….49


(17)

xvi

Lampiran 1 : Pedoman Wawancara Mendalam Bagi Informan Utama (Ibu Balita) Penerima PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Lampiran 2 : Pedoman Wawancara Mendalam Bagi Informan Pendukung (Keluarga

Balita) Penerima PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014

Lampiran 3 : Pedoman Wawancara Mendalam Bagi Informan Pendukung (Staff Puskesmas dan Kader Posyandu) Yang Terlibat Langsung Dalam Program PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Lampiran 4 : Pedoman Observasi

Lampiran 5 : Foto Hasil Observasi

Lampiran 6 : Matriks Hasil Wawancara Mendalam Dengan Informan Utama (Ibu Balita Penerima PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014

Lampiran 7 : Matriks Hasil Wawancara Mendalam Dengan Informan Pendukung (Keluarga Balita) Penerima PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014

Lampiran 8 : Matriks Hasil Wawancara Mendalam Dengan Informan Pendukung (Staff Puskesmas dan Kader Posyandu) Yang Terlibat Langsung Dalam Program PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi. Gizi kurang adalah salah satu masalah gizi terbanyak di Indonesia yang sering terjadi pada anak balita akibat kekurangan Energi Protein (KEP). Kekurangan Energi Protein (KEP) adalah salah satu penyakit gangguan gizi yang penting bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Karena, pada penyakit KEP ditemukan berbagai macam keadaan patologis yang disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam. Akibat kekurangan tersebut akan timbul keadaan KEP derajat sangat ringan sampai berat (Pudjiadi, 2005). Anak balita paling mudah terkena masalah gizi karena pada usia ini balita sedang aktif dan tumbuh, sehingga memerlukan asupan zat gizi yang lebih besar.

Meskipun sering luput dari perhatian, masalah penyakit dan kematian balita masih saja dilatarbelakangi oleh masalah gizi. Menurut UN-SC on Nutrition, (2008) hasil observasi WHO tahun 2003 menunjukkan 60% dari 10,9 juta kematian balita di dunia setiap tahunnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung disebabkan oleh gizi kurang atau gizi buruk. Tahun 2012 tercatat sekitar 67% balita gizi kurang tinggal di


(19)

Asia dan 29% di Afrika. Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90% kontribusi masalah gizi dunia (BAPPENAS, 2011).

Hasil Riskesdas memperlihatkan prevalensi gizi kurang secara umum menurut indikator BB/U di Indonesia adalah sebesar 13,0% pada tahun 2007 dan 2010 meningkat menjadi 13,9%. Untuk provinsi Banten, prevalensi gizi kurang tahun 2007 sebesar 12,2% meningkat menjadi 13,7% pada tahun 2010. Keadaan tersebut berpengaruh pada masih tingginya angka kematian bayi karena menurut WHO lebih dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi buruk, oleh karena itu masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat (Kemenkes, 2011). Data status gizi balita menurut indeks BB/U dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang 8,51% tahun 2011 turun menjadi 7,34% di tahun 2012. Meskipun terjadi penurunan, dan prevalensi gizi kurang di Kota Tangerang Selatan berada di bawah rata-rata nasional, namun masalah ini merupakan masalah kesehatan masyarakat dan jika tidak ditanggulangi maka angka prevalensi gizi kurang di Kota Tangerang Selatan dapat meningkat dengan cepat.

Menurut Depkes (2005), di samping dampak langsung terhadap kesakitan dan kematian, gizi kurang juga berdampak pada pertumbuhan, perkembangan intelektual dan produktivitas. Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan. Diperkirakan bahwa Indonesia kehilangan 220 juta IQ poin akibat kekurangan gizi. Dalam “Pedoman Perencanaan Program


(20)

Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan” tahun 2013 juga disebutkan dampak buruk dalam jangka pendek yang ditimbulkan akibat kurang gizi adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan, dalam jangka panjang dapat menimbulkan penurunan kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, bahkan dapat menyebabkan kematian. Sehingga akan menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, produktifitas, dan daya saing bangsa. Oleh karena itu, permasalahan gizi kurang harus dapat dicegah dan ditanggulangi agar tercipta generasi penerus yang berkualitas.

Menurut Meriani (2010), kurangnya pengetahuan orang tua, khususnya ibu tentang gizi dan kesehatan merupakan salah satu penyebab terjadinya kurang gizi pada balita. Pengetahuan dasar yang seharusnya dimiliki dan diketahui oleh seorang ibu diantaranya mengenai kebutuhan gizi, cara pemberian makan, dan jadwal pemberian makan balita, sehingga akan menjamin balita agar tumbuh dan berkembang dengan optimal. Kurang gizi pada balita dapat juga disebabkan perilaku ibu dalam pemilihan bahan makanan yang tidak benar. Pemilihan bahan makanan, tersedianya jumlah makanan yang cukup dan keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu tentang makanan dan gizinya. Selain itu, masalah gizi juga timbul karena perilaku gizi seseorang yang salah yaitu ketidakseimbangan antara konsumsi gizi dan kecukupan gizi. Bila konsumsi selalu kurang dari kecukupan gizi maka seseorang akan menderita gizi kurang, sebaliknya jika konsumsi melebihi kecukupan gizi, maka seseorang


(21)

akan menderita gizi lebih (Depkes RI, 1999). Pengetahuan gizi ibu sebagai pengasuh dan penyedia makanan sangat berpengaruh terhadap praktek dalam pemberian dan penyajian makanan sehari-hari yang kemudian berdampak pada keadaan gizi keluarga.

Masalah gizi berhubungan erat dengan pola konsumsi balita, karena pada masa ini balita sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Oleh sebab itu balita perlu mendapat perhatian dan perawatan dalam pemberian makanan serta menerapkan pola kebiasaan makan yang baik (Amos, 2000). Hasil penelitian Ida (1997) yang dikutip Sa’adah (2008), menunjukkan bahwa balita yang perilaku makannya kurang baik yaitu dengan asupan makanan <80% lebih banyak menderita KEP sebesar 64%, dibandingkan balita yang perilaku makannya baik yaitu dengan asupan

makanan ≥80% sebesar 10%. Pada usia balita sering mengalami kesulitan

makan sehingga mengakibatkan asupan makanannya kurang. Oleh sebab itu, diperlukan ketelatenan, kegigihan, dan kreativitas ibu sebagai pengasuh dalam hal pemberian makan pada balita tertutama untuk meningkatkan nafsu makan balita.

Masalah gizi bukanlah masalah yang sederhana, tetapi multi kompleks karena penyebabnya terdiri dari beberapa faktor. Menurut Unicef (1998), tahapan penyebab kurang gizi pada anak balita adalah penyebab langsung, penyebab tidak langsung, dan akar masalah di masyarakat. Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin di derita anak. Kurang gizi timbul tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Kedua, penyebab tidak langsung


(22)

yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Faktor-faktor penyebab tidak langsung tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Ketiga adalah akar masalah yang ada di masyarakat yang bersifat nasional yaitu adanya krisis ekonomi, politik, dan keresahan sosial yang menyebabkan meningkatnya jumlah keluarga miskin dan pengangguran (Hasanudin, 2001).

Dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Bab VIII) disebutkan bahwa Upaya Perbaikan Gizi memiliki tujuan untuk meningkatkan mutu gizi perseorangan dan masyarakat. Upaya Perbaikan Gizi dilakukan melalui perbaikan pola konsumsi makanan, perbaikan perilaku sadar gizi, peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan kesehatan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, serta dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan sesuai dengan pentahapan dan prioritas pembangunan nasional (Kemenkes, 2012).

Pemerintah telah mengupayakan penanggulangan masalah gizi dengan mengembangkan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Kegiatan utama UPGK adalah penyuluhan gizi melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat. Strategi lain yang dapat dilakukan adalah melalui Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Tujuan dari program Kadarzi adalah meningkatkan pengetahuan dan perilaku keluarga untuk mengatasi masalah gizi. Indikator keluarga sadar gizi antara lain status gizi anggota keluarga khususnya ibu dan anak baik, tidak ada lagi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) pada keluarga, semua anggota keluarga mengonsumsi garam beryodium, semua


(23)

ibu memberikan hanya Air Susu Ibu (ASI) saja pada bayinya sampai usia 6 bulan dan semua balita yang ditimbang naik berat badannya sesuai usianya (Depkes, 2004).

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) merupakan salah satu komponen penting Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dan program yang dirancang oleh pemerintah. PMT sebagai sarana pemulihan gizi dalam arti kuratif, rehabilitatif dan sebagai sarana untuk penyuluhan merupakan salah satu bentuk kegiatan pemberian gizi berupa makanan dari luar keluarga, dalam rangka program UPGK. PMT ini diberikan setiap hari, sampai keadaan gizi penerima makanan tambahan ini menunjukkan perbaikan dan hendaknya benar-benar sebagai penambah dengan tidak mengurangi jumlah makanan yang dimakan setiap hari dirumah. Pada saat ini program PMT tampaknya masih perlu dilanjutkan mengingat masih banyak balita dan anak-anak yang mengalami kurang gizi bahkan gizi buruk. Apabila Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) ini dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu, memenuhi syarat gizi, dan tidak disertai penyakit kronis diharapkan dapat memperbaiki status gizi balita (Depkes, 1999).

Berdasarkan hasil pemantauan status gizi (BB/U) Kota Tangerang Selatan tahun 2013 tercatat ada 21 (1,8%) balita menderita gizi buruk dan 107 (9,15%) dari 1.169 balita yang ditimbang di wilayah Puskesmas Pamulang menderita gizi kurang. Untuk mengatasi masalah gizi buruk agar tidak semakin meningkat, maka jumlah balita yang menderita gizi kurang harus segera diatasi. Pemberian PMT-P bertujuan untuk memperbaiki


(24)

keadaan gizi pada anak golongan rawan gizi yang menderita gizi kurang. Namun, berdasarkan hasil evaluasi program PMT-P selama tiga bulan memperlihatkan bahwa 26 balita (74,28%) dari 35 balita tidak mengalami perubahan status gizi atau masih tetap menderita gizi kurang meski sudah mendapatkan PMT-P.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada awal Maret 2014 melalui wawancara mendalam dengan 7 ibu balita dari 26 ibu yang berat badan balitanya tidak meningkat, ternyata ditemukan 5 balita yang sudah lebih dari satu tahun mendapat PMT-P namun berat badannya tidak meningkat atau masih dengan status gizi kurang. Hasil wawancara dengan Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) Puskesmas Pamulang, menyatakan bahwa balita yang tidak mengalami peningkatan berat badan dikarenakan pola pemberian makan yang kurang baik oleh ibu balita atau karena penyakit infeksi yang diderita balita. Mempertimbangkan dari hal-hal di atas peneliti tertarik ingin meneliti dan menggali lebih dalam informasi mengenai latar belakang tidak meningkatnya berat badan balita setelah mendapat PMT-P di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan adanya program pemberian PMT-P di Puskesmas Pamulang diharapkan dapat memperbaiki keadaan gizi pada anak yang menderita gizi kurang. Namun, diketahui bahwa 26 balita (74,28%) dari 35 balita penerima PMT-P tidak mengalami peningkatan berat badan. Hasil studi pendahuluan


(25)

melalui wawancara mendalam dengan tujuh ibu yang balitanya tidak mengalami peningkatan berat badan menunjukkan bahwa sebagian besar balita masih menderita gizi kurang meskipun sudah mengikuti program PMT-P selama lebih dari satu tahun.

Hal ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti dan menggali lebih dalam informasi mengenai latar belakang tidak meningkatnya berat badan balita setelah mendapat PMT-P di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Apakah latar belakang tidak meningkatnya berat badan balita setelah mendapat PMT-P minimal satu tahun di wilayah kerja Puskesmas pamulang tahun 2014?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui latar belakang tidak meningkatnya berat badan balita setelah mendapat PMT-P minimal satu tahun di wilayah kerja Puskesmas pamulang tahun 2014

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran asupan makanan dan faktor yang mempengaruhi asupan makanan (meliputi ketersediaan pangan, pemberian makan, pengetahuan tentang pemberian makan) balita


(26)

yang tidak mengalami peningkatan berat badan setelah mendapat PMT-P di wilayah kerja Puskesmas pamulang tahun 2014

2. Mengetahui gambaran penyakit infeksi dan faktor yang mempengaruhi penyakit infeksi (meliputi sanitasi dan hygiene, pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang penyakit infeksi dan pemeliharaan kesehatan) pada balita yang tidak mengalami peningkatan berat badan setelah mendapat PMT-P di wilayah kerja Puskesmas pamulang tahun 2014

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti

1. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai latar belakang tidak meningkatnya berat badan balita setelah mendapat PMT-P 2. Menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian

serta sebagai pengembangan kompetensi diri dan disiplin ilmu yang diperoleh selama perkuliahan

1.5.2 Manfaat Bagi Puskesmas

1. Menjadi salah satu sumber yang menginformasikan permasalahan yang ada di masyarakat pada masa sekarang ini

2. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam upaya penanggulangan masalah gizi terutama pada anak balita

1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti Lain

Sebagai bahan referensi dan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya


(27)

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang berjudul “latar belakang tidak meningkatnya berat badan balita setelah mendapat PMT-P di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014” ini dilakukan di Puskesmas Pamulang pada bulan Agustus-November tahun 2014 dengan jenis penelitian kualitatif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (Indepth Interview) dan teknik observasi menggunakan pedoman observasi, serta pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan data profil Puskesmas Pamulang dan data-data terkait masalah gizi kurang yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Tangerang Selatan dan Puskesmas Pamulang.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Status Gizi

Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu, dan dapat diartikan pula sebagai keadaan tubuh berupa hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan juga perwujudan manfaatnya (Supariasa, 2002). Sedangkan menurut Riyadi (1995), status gizi dapat didefinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbtion), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Penggunaan zat gizi dapat dinilai melalui konsumsi makanan, penelitian laboratorium, uji fisik, dan penilaian medis.

Soetjiningsih (2001) mengatakan bahwa balita merupakan anak dengan usia di bawah 5 tahun, memiliki karakteristik pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun dimana pada usia 5 bulan berat badan naik 2 kali berat badan lahir, pada usia 1 tahun 3 kali berat badan lahir, dan usia 2 tahun menjadi 4 kali berat badan lahir. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra sekolah (3-5 tahun), yaitu kenaikan berat badan kurang lebih 2 kg per tahun, kemudian pertumbuhan konstant mulai berakhir (Hasdianah, dkk, 2014).


(29)

Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Sehingga, kebutuhan akan zat gizi yang tinggi harus terpenuhi baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Beberapa manfaat zat gizi bagi balita adalah untuk proses pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, memelihara kesehatan dan memulihkan kesehatan apabila sedang sakit, melaksanakan berbagai aktivitas, dan mendidik kebiasaan makan yang baik dengan menyukai makanan yang mengandung zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, namun kelompok ini merupakan kelompok tersering yang menderita kurang gizi (Lailiyana, dkk, 2010).

Pemantauan tumbuh kembang anak dapat mendeteksi secara dini adanya kelainan pertumbuhan maupun perkembangan pada anak. Pertumbuhan yang melambat merupakan tanda kurang gizi dengan ciri-ciri kondisi tubuh anak kurus kering jauh dari normal, diagnosis berdasarkan berat badan yang rendah berdasarkan tinggi badan, lingkar lengan atas kecil, pertumbuhan kerdil, pertumbuhan tinggi badan lamban dibandingkan anak seusianya, anak lebih kurus dan lebih pendek dari normal (Nurlinda, 2013).

Masalah gizi pada balita dapat dicegah dengan melakukan pemantauan pertumbuhan anak melalui kartu menuju sehat (KMS), dan mengatasi penyebab masalah gizi dengan berbagai pendekatan seperti penyuluhan, memberikan pendidikan gizi, atau dengan konseling (Lailiyana, dkk, 2010).


(30)

2.1.1 Penilaian Status Gizi

Menurut Supariasa (2002), penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dilakukan melalui empat penilaian berikut :

a) Antropometri, yaitu pengukuran berbagai macam dimensi dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan gizi untuk melihat ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Hal ini dapat terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh.

b) Klinis, yaitu metode yang didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dikaitkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Metode ini dilakukan untuk survei klinis secara cepat, sehingga tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi dapat terdeteksi dengan cepat.

c) Biokimia, yaitu pemeriksaan spesimen pada berbagai macam jaringan tubuh dan diuji secara laboratoris. Biasanya digunakan sebagai peringatan kemungkinan akan terjadi malnutrisi yang lebih parah lagi.

d) Biofisik, yaitu penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi dan perubahan struktur dari jaringan. Umumnya digunakan pada situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik yang dilakukan melalui tes adaptasi gelap.


(31)

Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan tiga cara berikut :

a) Survei konsumsi makanan, yaitu survei yang dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi melalui pengumpulan data konsumsi makanan pada masyarakat, keluarga, dan individu.

b) Statistik vital, yaitu pengukuran yang dilakukan dengan menganalisis data statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi karena hal itu merupakan indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.

c) Faktor ekologi, menurut Bengoa malnutrisi merupakan masalah ekologi hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya.

Hasil pengukuran tidak langsung tanpa disertai hasil pengukuran langsung hanya akan menggambarkan apakah seseorang memiliki risiko yang tinggi untuk kekurangan gizi atau tidak. Hanya dengan pengukuran langsung yang bisa memastikan seseorang benar-benar telah mengalami kekurangan gizi atau tidak (Syafiq, dkk, 2006).

2.1.2 Indeks Status Gizi

Supariasa (2002), parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi dari beberapa parameter disebut dengan indeks antropometri atau indeks status gizi. Keputusan Menteri


(32)

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 mengkategorikan status gizi anak balita seperti pada tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Balita Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

BB/U

Gizi Buruk < -3 SD

Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD Gizi Lebih > 2 SD

PB/U atau TB/U

Sangat Pendek < -3 SD

Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Tinggi > 2 SD

BB/PB atau BB/TB

Sangat Kurus < -3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Gemuk > 2 SD

IMT/U Sangat Kurus < -3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Gemuk > 2 SD

Sumber : Kemenkes, 2011

Menurut Supariasa (2002), berat badan merupakan salah satu indikator pengukuran antropometri yang memberi gambaran tentang massa tubuh yaitu otot dan lemak. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak, seperti saat terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Oleh karena itu, indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini.


(33)

Penggunaan indeks BB/U memiliki beberapa kelebihan, diantaranya :

a) Lebih mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum b) Sensitif terhadap perubahan status gizi jangka pendek c) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis d) Dapat mendeteksi kegemukan

e) Berat badan dapat berfluktuasi

Di samping itu, indeks BB/U juga memiliki kekurangan, yaitu:

a) Dapat berakibat terjadinya kekeliruan interpretasi status gizi jika terdapat edema

b) Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak balita c) Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh

pakaian dan gerakan anak saat penimbangan

d) Di daerah pedesaan yang masih terpencil, umur sering sulit ditaksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik

e) Secara operasional, sering mengalami hambatan karena masalah sosial dan budaya setempat, misalnya orang tua yang tidak mau menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan, dan sebagainya.


(34)

Status gizi dapat dinilai dengan persentase media dan standar deviasi (Z-Score). Perhitungan untuk mencari nilai Z-Score (Supariasa, 2002) adalah sebagai berikut :

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Hasdianah, dkk (2014), ada dua faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang, yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung adalah tidak sesuainya jumlah gizi yang diperoleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh. Sedangkan faktor tidak langsung, yaitu :

a) Pengetahuan, yaitu hasil tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, dengan bertambahnya usia maka tingkat pengetahuan seseorang juga akan bertambah karena pengalaman yang diperolehnya. Gangguan gizi tidak hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan kurang, bahkan dapat ditemukan juga pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan akan manfaat makanan bagi kesehatan tubuh serta kurangnya keterampilan dibidang memasak dapat menurunkan konsumsi makan anak.


(35)

b) Persepsi, bahan makanan yang tinggi nilai gizi tetapi tidak digunakan atau hanya digunakan secara terbatas yang dikarenakan persepsi yang tidak baik terhadap bahan makanan tersebut. Di beberapa daerah penggunaan bahan makanan tersebut dapat menurunkan harkat keluarga, seperti jenis sayuran genjer, daun turi, bahkan daun singkong yang kaya akan zat besi, vitamin A, dan protein.

c) Kebiasaan atau pantangan, larangan terhadap anak untuk makan makanan tertentu seperti telur, ikan, atau daging hanya berdasarkan kebiasaan yang tidak ada datanya dan hanya diwarisi secara turun temurun, padahal anak sangat memerlukan bahan makanan tersebut untuk pertumbuhan tubuhnya.

d) Kesukaan jenis makanan tertentu (faddisme), kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu akan mengakibatkan tubuh tidak memperoleh semua zat gizi yang diperlukan.

e) Jarak kelahiran yang terlalu rapat, banyak penelitian membuktikan bahwa anak yang menderita gangguan gizi dikarenakan ibunya hamil lagi atau adik baru telah lahir, sehingga ibu tidak dapat merawat dengan baik. Padahal anak di bawah usia 2 tahun masih sangat memerlukan perawatan ibunya, baik makanan kesehatan, mau pun kasih sayang.

f) Penyakit infeksi, infeksi dapat menurunkan nafsu makan sehingga anak tidak mau makan, selain itu penyakit infeksi juga


(36)

menghabiskan sejumlah kalori dan protein yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan anak.

g) Sosial ekonomi, keterbatasan pendapatan keluarga turut menentukan mutu makanan yang disajikan, baik kualitas mau pun jumlah makanan.

h) Produksi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan, gagal panen yang dikarenakan daerah yang kekeringan atau musim kemarau panjang menyebabkan persediaan pangan di tingkat rumah tangga menurun sehingga asupan gizi kurang.

2.2 Gizi Kurang Pada Balita

Khaidirmuhaj (2009) mengatakan bahwa gizi kurang merupakan gangguan kesehatan akibat ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk kehidupan seperti pertumbuhan, aktivitas berfikir, dan lain-lain (Hasdianah, 2014). Sedangkan balita gizi kurang menurut Kementerian Kesehatan (2012) adalah balita dengan status gizi kurang yang dilihat berdasarkan indikator BB/U dengan nilai z-score adalah <-2 SD sampai dengan -3 SD.

Anak dengan asupan gizi kurang akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat daripada anak dengan asupan gizi cukup. Seperti pada pertumbuhan yang meliputi rendahnya tinggi badan, berat badan, perkembangan otak, tingkat kecerdasan, serta psikisnya pun rendah dan rentan terhadap penyakit infeksi (Hasdianah, 2014).


(37)

Tumbuh kembang serta perkembangan otak anak sangat pesat pada usia balita. Bahkan, fase cepat tumbuh (growth spurt) otak ternyata hanya terjadi sampai usia 18 bulan (1,5 tahun). Meskipun kemudian otak masih terus berkembang sampai anak berusia 5 tahun, namun kecepatannya sudah mulai menurun (Khomsan, 2004).

2.2.1 Penyebab Gizi Kurang

Menurut Unicef (1998), gizi kurang pada anak balita disebabkan oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan sebagai penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah di masyarakat, dan akar masalah.

1) Penyebab langsung

a. Asupan makanan anak yang tidak memadai

Jika asupan makanan yang diberikan pada anak tidak cukup baik, maka dapat menurunkan daya tahan tubuh (imunitas) anak, sehingga anak mudah terserang penyakit infeksi dan dapat mengurangi nafsu makan, akhirnya anak dapat menderita gizi kurang. Semakin bertambahnya usia anak, maka semakin bertambah pula kebutuhannya.

Di dalam keluarga, konsumsi makanan dipengaruhi oleh jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, dan kebiasaan makan secara perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Almatsier, 2001).


(38)

Menurut Kemenkes (2012) Gizi seimbang merupakan makanan yang dikonsumsi dalam satu hari beragam dan mengandung zat tenaga, pembangun dan zat pengatur sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Keadaan ini tercermin dari derajat kesehatan dan tumbuh kembang balita yang optimal. Sedangkan konsep dasar gizi seimbang adalah pemberian makanan yang sebaik-baiknya yang harus memperhatikan kemampuan tubuh seseorang untuk mencerna makanan, umur, jenis kelamin, jenis aktivitas, dan kondisi tertentu seperti sakit, hamil, menyusui. Jadi, untuk mencapai masukan zat gizi yang seimbang tidak mungkin dipenuhi hanya oleh satu jenis bahan makanan, melainkan harus terdiri dari aneka ragam bahan makanan.

Prinsip nutrisi yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan pada balita (Barasi, 2009) adalah :

a) Harus mencapai angka referensi gizi untuk kelompok usia yang bersangkutan

b) Tidak dianjurkan diet rendah lemak

c) Perhatikan densitas nutrient, terutama yang beresiko defisiensi seperti kalsium, zat besi, zink, vitamin A, dan vitamin C

d) Hindari gula dari sumber selain susu, atau makanan berlemak dalam jumlah berlebihan


(39)

Sedangkan zat gizi yang dibutuhkan balita menurut Pandi (2008) adalah :

1) Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang terdiri dari dua jenis yaitu karbohidrat sederhana (gula pasir, gula merah, jagung manis, madu, susu sapi, ASI, rumput laut, asparagus, ubi jalar) sedangkan karbohidrat kompleks (tepung, beras, gandum, pisang, daging has, apel, jambu biji, serealia).

2) Protein untuk pertumbuhan, terdapat pada ikan, susu, telur, kacang-kacangan, tahu, dan tempe.

3) Lemak terdapat pada margarin, mentega, minyak goreng, lemak hewan atau lemak tumbuhan.

4) Vitamin adalah zat-zat organik yang kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya dapat dibentuk oleh tubuh.

a. Vitamin A untuk pertumbuhan tulang, mata, dan kulit juga mencegah kelainan bawaan, vitamin A terdapat dalam susu, keju, mentega, kuning telur, minyak ikan, sayuran dan buah-buahan segar seperti wortel, pepaya, mangga, daun singkong, daun ubi jalar.

b. Vitamin B untuk menjaga sistem susunan saraf agar berfungsi normal, mencegah penyakit beri-beri dan anemia, vitamin ini terdapat di dalam nasi, roti, susu, daging, dan tempe.


(40)

c. Vitamin C berguna dalam pembentukan integritas jaringan dan peningkatan penyerapan zat besi, untuk menjaga kesehatan gusi, banyak terdapat mangga, jeruk, pisang, nangka.

5) Mineral berguna untuk menumbuhkan dan memperkuat jaringan serta mengatur keseimbangan cairan tubuh.

a. Zat besi, berguna dalam pertumbuhan sel-sel darah merah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, zat ini terdapat dalam daging, ikan, hati ayam, bayam, kedelai.

b. Kalsium berguna untuk pertumbuhan tulang dan gigi zat ini terdapat dalam susu sapi, keju.

c. Yodium berguna untuk menyokong susunan saraf pusat berkaitan dengan daya pikir dan mencegah kecacatan fisik dan mental. Zat ini terdapat dalam rumput laut, serealia, dan sea food.

Penentuan kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Patokannya berdasarkan penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan orang tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, jenis kelamin, aktivitas fisik, dan kondisi fisiologisnya (WNPG, 2004).

Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi bayi dan balita dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut.


(41)

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Bayi dan Balita Usia BB

(kg) TB (cm) Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) KH (g) Vit A (mcg) Vit C (mg) Besi (mg) Kalsium (mg)

0 - 6 bln 6 61 550 12 34 58 375 40 - 200

7 - 11 bln 9 71 725 18 36 82 400 50 7 250

1 - 3 thn 13 91 1125 26 44 155 400 40 8 650 4 - 6 thn 19 112 1600 35 62 220 450 45 9 1000

Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2012

b. Penyakit infeksi

Faktor asupan makanan dan penyakit infeksi saling berkaitan satu sama lain. Anak yang asupan makanannya baik tetapi sering terserang penyakit, seperti diare atau demam, maka anak tersebut dapat menderita gizi kurang. Karena, infeksi dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, malabsorbsi, metabolisme terganggu, dan perubahan perilaku, sehingga berpengaruh terhadap pola makan anak. Penyakit infeksi disebabkan oleh kurangnya sanitasi dan kebersihan, pola asuh anak yang tidak memadai, dan pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai (Soekirman, 2000).

2) Penyebab tidak langsung

a. Ketahanan pangan di keluarga

Kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup, baik jumlah maupun gizinya. Menurut Adisasmito (2007), ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan, harga


(42)

pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.

Selain itu, kebutuhan pangan yang bermutu gizi seimbang menuntut adanya ketersediaan sumber zat tenaga (karbohidrat dan lemak), sumber zat pembangun (protein), dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral). Tidak ada satu jenis pangan pun yang dapat menyediakan gizi secara lengkap. Oleh karena itu, konsumsi pangan yang beraneka ragam sangat penting agar dapat saling melengkapi kekurangan zat gizi dalam pangan tersebut (Khomsan, 2004).

b. Pola pengasuhan anak

Kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial. Kurang baiknya pola pengasuhan anak karena pengetahuan ibu yang kurang, terutama dalam pemberian makanan pada anak mengakibatkan anak tidak mendapatkan makanan sesuai kebutuhan

Menurut Adisasmito (2007), pola pengasuhan anak adalah berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh dalam hal kedekatannya dengan anak seperti, memberikan makan, merawat, memberikan pendidikan, kebersihan, memberi kasih sayang, dan sebagainya. Hal tersebut berhubungan dengan kesehatan fisik dan mental ibu, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan


(43)

keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau masyarakat, pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari ibu atau pengasuh anak.

Menurut Sayogyo (1993) pola asuh anak adalah praktek pengasuhan yang diterapkan kepada anak balita yang berkaitan dengan pengasuhan makan balita dan pemeliharaan kesehatan (Veriyal, 2010). Sedangkan menurut Rahim (2014) pola pengasuhan anak dapat dikategorikan menjadi tiga aspek yaitu praktik mengasuh anak balita dilihat dari pemberian makan pada anak, praktik kebersihan anak, dan praktik pengobatan anak.

Pola asuh makan merupakan praktik pengasuhan pemberian makan yang diterapkan ibu terhadap anaknya (Mariani, 2002). Tujuan memberi makan pada anak adalah untuk memenuhi kebutuhan zat gizi demi kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan, aktivitas, pertumbuhan, dan perkembangan. Pengasuhan makan contohnya menyediakan dan memberikan makanan sesuai dengan mutu yang memadai. Asuhan makan sering tidak menjadi optimal dikarenakan rendahnya daya beli, harga pangan meningkat, serta krisis keuangan global (Nurlinda, 2013).


(44)

Soehardjo (1989) menyebutkan bahwa tujuan pemberian makan anak dalam lingkup keluarga mencakup tiga aspek (Nurlinda, 2013), yaitu :

a) Aspek fisiologis, yaitu memenuhi kebutuhan zat gizi untuk proses metabolisme, kelangsungan hidup, aktivitas, dan tumbuh kembang.

b) Aspek edukatif, yaitu mendidik anak supaya terampil dalam mengonsumsi makanan, membina kebiasaan dan perilaku makan, memilih dan menyukai makanan yang baik, sehat, dan dibenarkan oleh agama/keyakinan masing-masing.

c) Aspek psikologis, yaitu memberikan kepuasan kepada anak dan memberikan kenikmatan yang lain berkaitan dengan anak.

Anak usia 1-3 tahun memiliki pertumbuhan yang berbeda dengan masa bayi. Pada masa ini aktifitasnya lebih banyak dan golongan ini sangat rentan terhadap penyakit gizi dan infeksi. Syarat makanan yang harus diberikan adalah makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang (tidak pedas) serta dengan jadwal pemberian makanan sama yaitu 3 kali makanan utama (pagi, siang, malam) dan 2 kali makanan selingan (diberikan diantara 2 kali makanan utama). Jenis jumlah dan frekuensi makan pada bayi dan anak balita, hendaknya diatur sesuai dengan perkembangan usia dan kemampuan organ pencernaannya (Depkes RI, 2006), seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.3.


(45)

Tabel 2.3 Pengukuran Makanan Balita

Umur Jenis/bentuk makanan Porsi Per hari Frekuensi 0 - 6 bulan ASI Disesuaikan dengan kebutuhan,

ASI di berikan setiap anak menangis, siang atau malam hari makin sering makin baik

Min 6x

6 - 9 bulan ASI Disesuaikan dengan kebutuhan Min 6x MP-ASI

Makanan Lunak

Usia 6 bulan : 6 sdm (setiap kenaikan usia anak 1 bulan porsi di tambah 1 sdm)

2x

9-12 bulan ASI Disesuaikan dengan kebutuhan Min 6x Makanan Lembik 1 piring ukuran sedang

(7 sdm)

4-5x Makanan Selingan 1 piring ukuran sedang 1 kali 1-2 tahun ASI Disesuaikan dengan kebutuhan

Makanan keluarga ½ porsi orang dewasa (10 sdm)

3x Makanan selingan ½ porsi orang dewasa 2x > 24 bulan Makanan Keluarga Disesuaikan kebutuhan 3x

Makanan Selingan Disesuaikan kebutuhan 2x Sumber : Depkes RI, 2006

Pemilihan bahan pangan yang akan diberikan untuk bayi dan balita hendaknya disesuaikan dengan usia, karena sistem pencernaan yang relatif belum sempurna (Pandi, 2008).

a) Usia 4 – 6 bulan

Pada usia ini sudah dapat diberikan buah-buahan dan sayuran, seperti pisang ambon, pepaya, alpukat, labu kuning, bayam, wortel, dan lain-lain.

b) Usia 7 – 9 bulan

Pada usia ini dapat ditambahkan protein hewani, seperti kuning telur dan ikan.


(46)

c) Usia 9 – 12 bulan

Pada usia ini bahan makanan yang dapat diberikan seperti makanan berbahan dasar tepung, yaitu pasta, roti, dan sebagainya. Selain itu dapat pula diberikan protein hewani seperti ayam, daging, susu, dan produk olahannya. Dapat diberikan pula sayuran rebus dalam bentuk utuh untuk latihan mengunyah, seperti brokoli, wortel, buncis, dan sebagainya. d) Usia 1 – 2 tahun

Pada umumnya sudah dapat dimulai untuk makan makanan orang dewasa yang tidak terlalu keras dan merangsang (terlalu pedas atau terlalu asam).

e) Usia 2 – 3 tahun

Pada usia ini aktivitas anak sudah semakin meningkat. Oleh karena itu, selain pemberian makanan utama dapat diberikan pula makanan selingan (kudapan), seperti buah-buahan, sandwich, yogurt, keju, atau pun makanan yang diolah sendiri. f) Usia 3 – 5 tahun

Umumnya pada usia ini anak sudah dimasukkan ke taman bermain atau taman kanak-kanak. Sehingga perlu diperhatikan pemberian sarapan dan bekal makanannya. Bekal yang dapat dipilih seperti buah-buahan, pasta, jus buah, sayuran, dan lain-lain.

Saat menyiapkan dan memberikan makanan untuk balita, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan (Pandi, 2008), yaitu


(47)

pemilihan bahan pangan yang cocok (jenis, kualitas, dan kuantitas), perlakuan terhadap bahan pangan, peralatan yang digunakan, sanitasi dan hygiene, membuat makanan secukupnya, berikan makanan sebaik-baiknya, perkenalkan satu jenis makanan saja setiap kali makan, sehingga dapat diketahui jika bayi tidak dapat menerima suatu jenis makanan dan menimbulkan reaksi alergi, variasikan makanan, berikan makanan selingan 2 kali sehari di antara waktu makan, makan bersama anggota keluarga yang lain, hindari pemberian makan dekat dengan waktu makan, makanan berlemak menyebabkan rasa kenyang yang lama, dan tetap berikan ASI sampai anak berusia 2 tahun.

Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2012, rata-rata yang dianjurkan per orang/hari kebutuhan energi anak usia 1-3 tahun adalah sebesar 1125 kkal dan kebutuhan protein 26 gram. Sedangkan kebutuhan energi anak usia 4-6 tahun sebesar 1600 kkal dan kebutuhan protein 35 gram. Berikut adalah tabel porsi makan dan contoh pembagian makanan anak usia 3-5 tahun dalam sehari makan menurut kecukupan energi.


(48)

Tabel 2.4 Anjuran Pemberian Makanan Sehari Anak Usia 3-5 Tahun Menurut Kecukupan Energi

No. Bahan Makanan/

Penukar

1.200 kkal Jumlah

Porsi

Pagi Selingan Pagi

Siang Selingan Sore

Malam

1. Nasi 3 ¾ - 1 ¼ - 1

2. Sayur 1 ¼ - ¼ - ½

3. Buah 3 1 ½ ½ ½ ½

4. Tempe 1 ½ - ½ 1 - -

5. Daging 2 ½ - 1 - ½

6. Minyak 2 ¼ ¼ ¾ - ¾

7. Gula 1 ½ ¾ ¾ - - -

8. Susu ½ - - - ½ -

Total Sehari (kkal) 1.200 275 112,5 437,5 87,5 287,5 No. Bahan

Makanan/ Penukar

1.400 kkal Jumlah

Porsi

Pagi Selingan Pagi

Siang Selingan Sore

Malam

1. Nasi 3 1 - 1 - 1

2. Sayur 2 ¾ - ¾ - ½

3. Buah 2 ½ - ½ - 2 -

4. Tempe 2 - - 1 - 1

5. Daging 3 1 - 1 - 1

6. Minyak 2 ½ - ¾ - ¾

7. Gula 2 - 1 - 1 -

8. Susu 1 - - - 1 -

Total Sehari (kkal) 1.400 293,75 75 381,25 275 375

*Keterangan : Sumber : Kurniasih, 2010

1. Nasi 1 porsi = ¾ gelas = 100 gram = 175 kkal 2. Sayur 1 porsi = 1 gelas = 100 gram = 25 kkal 3. Buah 1 porsi = 1-2 buah = 50-190 gram = 50 kkal 4. Tempe 1 porsi = 2 potong sedang = 50 gram = 75 kkal 5. Daging 1 porsi = 1 potong sedang = 35 gram = 75 kkal 6. Minyak 1 porsi = 1 sendok teh = 5 gram = 50 kkal 7. Gula 1 porsi = 1 sendok makan = 13 gram = 50 kkal

8. Susu bubuk (tanpa lemak) 1 porsi = 4 sendok makan = 20 gram = 75 kkal

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi frekuensi pemberian makanan pada balita (Suhardjo, 2005), yaitu :

a) Faktor Ekonomi. Masyarakat dengan pendapatan rendah harus membagi pendapatannya untuk berbagai keperluan lain selain makan keluarga, seperti pendidikan, transportasi, dan sebagainya. Sehingga tidak jarang persentase pendapatan


(49)

untuk keperluan penyediaan makanan sangat kecil. Dengan demikian besar kecilnya pendapatan mempengaruhi pola konsumsi keluarga yang akhirnya berimbas pada keadaan gizi keluarga, khususnya anak balita yang rawan gizi.

b) Faktor Budaya. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi, misalnya budaya masyarakat tertentu yang menganggap suatu bahan makanan tabu untuk dikonsumsi karena alasan tertentu. Budaya di masyarakat masih ada yang memprioritaskan anggota keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan yaitu umumnya kepala keluarga, sedangkan anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya, dan yang paling umum mendapatkan prioritas terbawah adalah ibu rumah tangga. Apabila hal tersebut masih dianut dengan kuat oleh suatu budaya, sedangkan pengetahuan gizi belum dimiliki oleh keluarga yang bersangkutan, maka dapat menimbulkan distribusi konsumsi pangan yang tidak baik di antara anggota keluarga. Apabila keadaan tersebut berlangsung lama maka dapat mengakibatkan masalah gizi kurang dalam keluarga tersebut, terutama pada golongan rawan seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak balita.

c) Banyaknya Anggota Keluarga. Jumlah anggota keluarga yang banyak akan berpengaruh pada konsumsi makanan keluarga,


(50)

khususnya keluarga miskin. Pemenuhan kebutuhan makan keluarga akan lebih mudah jika anggota keluarganya sedikit. Apabila keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak akan berkurang. Ironisnya jumlah anggota keluarga yang banyak sebagian besar ditemui pada keluarga miskin, sehingga banyak anak-anak keluarga miskin menderita gizi kurang bahkan gizi buruk karena konsumsi makanannya kurang, baik dari segi jumlah maupun mutunya.

Selain itu, makanan yang diberikan pada anak juga harus memenuhi kuantitas dan kualitas yang sesuai, serasi dengan tahap perkembangan anak, cara pengaturan dan pemberian makanan yang benar supaya menimbulkan selera makan, serta kebersihan, kerapihan, dan keindahan seperti kombinasi warna dan suasana saat makan perlu diperhatikan. Sehingga anak merasa makan merupakan saat-saat menyenangkan baginya (Nurlinda, 2013).

Sedangkan menurut Khomsan (2004), wanita memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan nasib bangsa. Melatih ibu untuk menjadi pengasuh anak yang baik akan menghasilkan generasi baru yang berkualitas. Ibu yang kelihatan bahagia ketika mengasuh anaknya akan memberikan pengaruh positif terhadap tumbuh kembang anak yang optimal. Membentuk pola makan yang baik untuk anak menuntut kesabaran seorang ibu. Pada usia prasekolah, anak sering mengalami fase sulit makan dan jika dibiarkan akan mengganggu tumbuh kembang anak karena


(51)

jumlah dan jenis gizi yang masuk dalam tubuhnya kurang. Permasalahan makan bisa terjadi karena anak meniru pola makan orang tuanya, seperti tidak suka sayur, suka pilih-pilih makanan, bahkan yang mungkin sedang berdiet untuk menurunkan berat badan. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada perilaku makan anak.

Untuk mengatasi masalah tersebut, ibu bisa memberikan makanan pada anak dalam porsi kecil, jika sudah habis ibu bisa menawarkan anak untuk menambahkan kembali. Karena ada anak yang mual ketika melihat makanan dengan porsi besar tersaji di depannya. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan, beri kesempatan anak untuk memilih makanan sendiri yang disukainya disertai dengan pengawasan dari orang tua.

Sulistyoningsih (2011), kesulitan makan merupakan ciri khas anak balita atau anak prasekolah, karena pertumbuhan menjadi lebih lambat dibandingkan ketika masih bayi. Nafsu makan anak tergantung pada aktivitas fisik dan kondisi kesehatan. Ada beberapa hal yang menyebabkan anak menjadi sulit makan, yaitu :

a) Anak mengalami infeksi

b) Anak terlalu aktif sehingga kelelahan

c) Anak merasa kenyang, namun masih dipaksa untuk menghabiskan makanannya


(52)

e) Anak sedang terganggu secara emosional, mencari perhatian, dan terlalu mendapat perhatian berlebih

Adapun gejala sulit makan pada anak adalah memuntahkan atau menghambur-hamburkan makanan yang sudah masuk ke mulut, makan berlama-lama atau memainkan makanan, menumpahkan makanan, menepis suapan dari orangtua, hanya mau makan makanan cair atau lumat, kesulitan menghisap, mengunyah, menelan, atau langsung menelan tidak mengunyah (Nurlinda, 2013).

Sulistyoningsih (2011) dalam bukunya yang berjudul gizi untuk kesehatan ibu dan anak juga menjelaskan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi anak yang kesulitan makan. Upaya tersebut adalah :

a) Hindari menghidangkan makanan terlalu banyak b) Tidak memaksa anak mencoba makanan baru

c) Hidangkan makanan yang bervariasi, baik dari bentuk, rasa, maupun cara penyajiannya

d) Tidak memarahi atau memberi hukuman jika makanan tidak dihabiskan, dan beri pujian jika anak berhasil menghabiskan makanan

e) Berikan kesempatan anak belajar makan sendiri

f) Biasakan untuk makan bersama dengan anggota keluarga yang lain


(53)

Menurut Hasdianah, dkk (2014), karakteristik pola makan balita adalah sulit makan, nafsu makan berubah-ubah, cepat bosan dengan cara makan sambil duduk, sehingga perlu dengan cara bermain-main. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan nafsu makan maka ciptakan suasana makan yang menyenangkan, kembangkan kebiasaan makan yang baik dengan makanan yang beragam dan pola makan yang teratur, hindari makanan yang banyak mengandung minyak, pengawet, atau junk food lainnya. c. Pelayanan kesehatan, sanitasi dan hygiene

Pelayanan kesehatan merupakan akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktik bidan atau dokter, rumah sakit dan persediaan air bersih. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan dikarenakan jauh atau tidak mampu membayar, kurang pendidikan dan pengetahuan, merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak (Adisasmito, 2007).

Pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau serta kesehatan lingkungan yang buruk menyebabkan anak rentan terhadap penyakit infeksi. Ketika mempersiapkan makanan, kebersihan


(54)

makanan perlu mendapat perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat mengakibatkan diare atau cacingan pada anak. Begitu pula dengan pembuat makanan dan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan sebagainya sangat menentukan bersih tidaknya makanan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan makanan balita adalah :

a) Simpan makanan dalam keadaan bersih, hindari pencemaran dari debu dan binatang

b) Peralatan makan dan memasak harus bersih

c) Ibu atau anggota keluarga yang memberikan makanan pada balita harus mencuci tangan dengan sabun sebelum memberikan makan

d) Makanan selingan sebaiknya dibuat sendiri

Selain kebersihan makanan, yang perlu diperhatikan juga adalah kebersihan rumah dan lingkungan sekitar. Bahan bangunan, kondisi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko dan sumber penularan berbagai macam sumber penyakit. Penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko penyakit diare. Faktor-faktor risiko lingkungan pada bangunan rumah yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit maupun kecelakaan antara lain ventilasi, pencahayaan, kepadatan hunian, ruang tidur, kelembapan ruang, kualitas udara ruang,


(55)

binatang penular penyakit, air bersih, limbah rumah tangga, sampah, serta perilaku penghuni dalam rumah (Depkes, 2007)

Menurut Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat Depkes RI tahun 2007 terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi suatu bangunan rumah untuk dapat dikatakan sebagai rumah sehat, yaitu :

a) Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privasi yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.

b) Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup.

c) Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena pengaruh luar dan dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi bangunan rumah, bahaya kebakaran dan kecelakaan di dalam rumah.

Sedangkan perilaku pemeliharaan kesehatan merupakan perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek (Notoatmodjo, 2003), yaitu :


(56)

a) Perilaku pemeliharaan kesehatan, yaitu usaha seseorang dalam memelihara atau menjaga kesehatannya agar tidak terkena penyakit dan usaha untuk melakukan penyembuhan jika sakit. b) Perilaku pencarian pengobatan, yaitu upaya atau tindakan

seseorang ketika menderita penyakit mulai dari pengobatan sendiri sampai dengan pencarian pengobatan ke luar negeri. c) Perilaku kesehatan lingkungan, yaitu bagaimana seseorang

merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya.

Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Semakin tinggi pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan, semakin besar pula kemungkinan baiknya tingkat ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak, sanitasi dan hygiene serta semakin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, begitu pula sebaliknya.

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat (Notoatmodjo, 2003).


(57)

Pengetahuan tentang gizi sangat penting. Karena, banyak masyarakat tidak mengetahui bahwa makanan yang memenuhi kebutuhan gizi tidak selalu makanan yang mahal. Masyarakat harus mengetahui bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan gizi dengan mengkonsumsi pangan yang sesuai dengan tingkat pendapatan mereka (Heryati, 2005).

Menurut Indra (2013) tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan. Pengetahuan gizi yang tidak memadai, kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik dan tentang kontribusi gizi dari berbagai jenis makanan akan menimbulkan masalah kecerdasan dan produktivitas. Peningkatan pengetahuan gizi dapat dilakukan melalui program pendidikan gizi yang dilakukan oleh Pemerintah. Program pendidikan gizi dapat memberikan pengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku seseorang terhadap kebiasaan makannya. Ketidaktahuan akan hubungan makanan dan kesehatan, prasangka buruk terhadap bahan makanan tertentu, adanya kebiasaan atau pantangan yang merugikan, kesukaan berlebihan terhadap jenis makanan tertentu, keterbatasan penghasilan keluarga, dan jarak kelahiran yang rapat juga berpengaruh pada pengetahuan tentang gizi di masyarakat Indonesia.


(58)

Menurut Erfandi (2009) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu :

a) Pendidikan, adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung lebih mudah mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan, dimana diharapkan orang dengan pendidikan tinggi akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. b) Media massa atau informasi, seiring berkembangnya teknologi,

berbagai macam media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain dapat mempengaruhi pengetahuan dan berpengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan masyarakat. Media massa membawa pesan-pesan berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang.


(59)

Adanya informasi baru mengenai suatu hal memberikan landasan terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut. c) Sosial budaya dan ekonomi, sosial budaya atau kebiasaan dan

tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk, dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

d) Lingkungan, merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

e) Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan


(60)

kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya. f) Usia, berpengaruh terhadap daya tangkap dan pola pikir

seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin baik. Saat usia madya, individu akan berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.

Menurut Notoatmodjo (2005), untuk mengukur pengetahuan kesehatan dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara langsung (wawancara) atau secara tertulis atau angket. Indikator pengetahuan adalah tingginya pengetahuan responden tentang kesehatan atau besarnya persentase kelompok responden tentang variable atau komponen kesehatan.


(61)

3) Pokok masalah di masyarakat

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam hal peningkatan gizi, namun tanpa dukungan dan kepedulian dari masyarakat tidak akan mendapatkan hasil yang optimal dan efektif. Pemberdayaan keluarga melalui revitalisasi Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dan pemberdayaan masyarakat melalui revitalisasi posyandu merupakan strategi utama dalam Gerakan Nasional Heryati (2005).

Kader posyandu merupakan salah satu bentuk kepedulian masyarakat dan partisipasi untuk perbaikan gizi masyarakat. Kader adalah tumpuan pemberdayaan masyarakat dan keluarga yang perlu mendapatkan pembekalan pengetahuan gizi melalui penyuluhan atau pelatihan. Sehingga kader dapat memberikan pesan-pesan gizi secara sederhana, pelayanan gizi, pemanfaatan lahan pekarangan yang semuanya dapat dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.

4) Akar masalah

Faktor-faktor langsung dan tidak langsung seperti uraian di atas sangat berhubungan dengan pokok masalah yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat nasional yaitu krisis ekonomi, politik, dan sosial. Seperti yang terjadi pada tahun 1998/1999, jumlah anak gizi buruk meningkat sampai 1,7 juta anak sejalan dengan meningkatnya jumlah keluarga miskin akibat krisis ekonomi, politik, dan kesehatan lansia yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 (Adisasmito, 2007).


(62)

Menurut Adisasmito (2007), pokok kegiatan intervensi gizi dan kesehatan dapat dilakukan melalui :

a) Perawatan atau pengobatan gratis balita gizi buruk dari keluarga miskin di rumah sakit dan puskesmas

b) Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa MP-ASI bagi anak usia 6-23 bulan dan PMT pemulihan bagi anak usia 24-59 bulan kepada balita gizi kurang dari keluarga miskin

c) Pemberian suplemen gizi (kapsul vitamin A, tablet atau sirup Fe)

2.3 Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P)

Makanan Tambahan Pemulihan bagi balita adalah makanan bergizi yang diperuntukkan bagi balita usia 6-59 bulan sebagai makanan tambahan untuk pemulihan gizi (Kemenkes 2012).

Depkes RI (2006), Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu PMT untuk penyuluhan dan PMT untuk pemulihan. PMT Penyuluhan diberikan satu bulan sekali di posyandu dengan tujuan sebagai pemberian makanan tambahan sekaligus memberikan contoh pemberian makanan tambahan yang baik bagi ibu balita. sedangkan PMT Pemulihan adalah sebagai suatu bentuk kegiatan pemberian zat gizi makanan dari luar keluarga yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan gizi golongan rawan yang menderita kurang gizi maupun gizi buruk. PMT Pemulihan diberikan setiap hari serta benar-benar sebagai penambah dan tidak mengurangi jumlah makanan yang dimakan setiap hari di rumah. PMT Pemulihan diberikan selama 60 hari pada balita gizi kurang dan 90 hari pada


(63)

balita gizi buruk dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi balita tersebut. Prasyarat pemberian makanan tambahan pada anak usia pra sekolah adalah nilai gizi harus berkisar antara 350 - 450 kalori dan protein 10 - 15 gram.

Menurut Austin, JM (1981) PMT-P merupakan salah satu cara penanggulangan masalah gizi melalui program langsung yaitu dengan menyediakan jenis makanan yang penting akan tetapi kurang dalam diet normal pada golongan rawan yakni balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. PMT-P bertujuan untuk meningkatkan status gizi, mencegah memburuknya status gizi, membantu pengobatan penyakit infeksi, dan memfasilitasi program KIE untuk orang tua dan anak (Agustine, 2010).

Pelaksanaan PMT-P dapat dilakukan dengan cara :

a) Pemberian PMT satu kali seminggu, dua kali seminggu atau bahkan satu bulan sekali kepada sasaran untuk dibawa pulang ke rumah (Take Home Feeding)

b) Untuk sasaran yang jumlahnya tidak terlalu banyak, PMT dibuat dan didistribusikan di satu tempat (On Site Program Feeding)

c) Pelaksanaan PMT di Pusat Rehabilitasi Gizi (Nutrition Rehabilitation Center)


(64)

2.4 Kerangka Teori

Bagan 2.1 Penyebab Gizi Kurang

Dampak

Penyebab Langsung

Penyebab Tidak Langsung

Kurang Pendidikan, Pengetahuan, dan Keterampilan

Pokok Masalah di Masyarakat

Kurang Pendidikan, Pengetahuan, dan Keterampilan

Akar Masalah (Nasional)

Sumber : UNICEF (1998) dalam Depkes (2003)

KURANG GIZI

Asupan Makanan Penyakit Infeksi

Tidak Cukup Persediaan Pangan

Pola Asuh Tidak Memadai

Sanitasi dan Air Bersih/Pelayanan Kesehatan Dasar Tidak Memadai

Kurang Pemberdayaan Wanita dan Keluarga, Kurang Pemanfaatan SDM

Krisis Ekonomi, Politik, dan Sosial


(65)

BAB III

KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH

3.1 Kerangka Pikir

Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui secara mendalam faktor-faktor yang melatar belakangi tidak meningkatnya berat badan balita setelah mendapatkan PMT-P di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Untuk mencapai tujuan tersebut dan berdasarkan tinjauan teori, maka disusunlah kerangka berpikir dalam penelitian ini dengan mengadopsi teori UNICEF (1998) dalam Depkes (2003) tentang penyebab terjadinya gizi kurang dari berbagai faktor.

Untuk mengetahui latar belakang tidak meningkatnya berat badan balita setelah mendapat PMT-P, maka peneliti ingin melihat gambaran asupan makanan dan faktor yang mempengaruhi asupan makanan (meliputi ketersediaan pangan, pemberian makan, dan pengetahuan mengenai pemberian makan) serta gambaran penyakit infeksi dan faktor yang mempengaruhi penyakit infeksi (meliputi sanitasi dan hygiene, pelayanan kesehatan, serta pengetahuan mengenai penyakit infeksi dan pemeliharaan kesehatan). Sedangkan akar masalah di tingkat nasional (krisis ekonomi, politik, dan sosial) tidak diteliti karena permasalahannya sangat kompleks dan peneliti hanya ingin fokus untuk menggali lebih dalam permasalahan yang ada di tingkat individu dan masyarakat.

Berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya pada studi kepustakaan, maka peneliti menggambarkan kerangka pikir seperti yang dilukiskan pada bagan 3.1 berikut.


(66)

Bagan 3.1 Kerangka Pikir

Asupan Makanan Penyakit Infeksi STATUS GIZI KURANG

Ketersediaan Pangan Pola asuh, meliputi : Pelayanan Kesehatan -Pemberian makan

- Pemeliharaan kesehatan - Praktek sanitasi dan

hygiene


(1)

perut, nanti diberikan nasi Jenis PMT-P dari

Puskesmas

Susu dan biskuit Susu dan biskuit Susu dan biskuit Susu dan biskuit Susu dan biskuit Kesukaan balita

terhadap PMT-P dan yang

menikmati PMT-P selain balita

Suka. Ibu balita dan keponakannya

Suka. Mas dan kakak balita

Susu tidak suka, biskuit suka. Mas, mbak, dan kadang orangtua balita

Suka. Nenek balita Susu tidak suka, biskuit suka. Balita momongan,

encing, engkong Jumlah PMT-P

yang dimakan dalam sehari

Susu sering, biskuit dicelupin susu 1-2 keping

Susu ultramilk 1 liter dihabiskan dalam sehari

Susu 2 gelas, biskuit tidak tahu

Susu, biskuit dicelupin ke susu

Susu jika balita minta, biskuit 3-4 keping

Praktik Pemeliharaan Kesehatan Sakit dalam 3

bulan terakhir

Pernah Iya karena

pengaruh cuaca

Sering Jarang Sering, karena mau

pintar Jenis penyakit yang biasa diderita Demam, batuk, pilek Demam, batuk, pilek Batuk, muntah, diare Demam, batuk, pilek Diare, batuk, demam Upaya pencegahan penyakit

Tidak tahu Dikasih tau pada balita agar tidak minum minuman dingin

Memberi tahu istri supaya melarang balita jajan

Tidak ada Diberitahu supaya jangan jajan di luar rumah Upaya pengobatan penyakit Diberikan obat warung

Diurut atau dipijat, jangan dibiasakan minum obat

Diberikan obat warung

Tidak diberi obat, nanti sembuh sendiri


(2)

Sumber dan penggunaan air bersih

Dari sumur bor, untuk sehari-hari seperti masak, minum, nyuci

Dari sumur bor, untuk keperluan kecuali minum karena beli yang isi ulang

Dari sumur, untuk keperluan sehari-hari

Tidak tahu, untuk masak, mencuci, minum, mandi

Dari sumur bor, untuk keperluan sehari-hari seperti masak, mandi Usaha dalam

pergantian udara dan pencahayaan rumah

Tidak tahu Jendelanya dibuka agar cahaya masuk

Tidak tahu Tidak tahu Jika hujan terasa segar, jika panas terasa sumpek Cara membuang

sampah

Dikumpulin dulu kemudian dibuang oleh kakek balita di empang

Dibuang di tempat sampah

Dikumpulin dulu di plastik, diikat, dibuang ke pasar setiap pagi

Dimasukkan ke dalam plastik dan digantung di depan, jika sudah penuh baru dibuang

Dibuang di belakang

Tempat

membuang hajat

Di WC rumah Di WC rumah Di kamar mandi (WC)

Di WC rumah WC di kamar mandi

Usaha menjaga kebersihan rumah dan halaman rumah

Disapu depan dan belakang

Menyapu dan mengepel

Disapu, kurang memperhatikan

Disapu biar bersih Menyapu

Cara menjaga kebersihan balita

Dimandikan Memandikan dan menggunakan sandal ketika bermain

Mandi sebelum sekolah dan sore

Mandi sendiri jika merasa gerah

Mandi 2-3 kali sehari, ganti baju 2 kali sehari


(3)

tangan balita sebelum makan memperhatikan cuci tangan pakai sabun dan sebelum tidur

Upaya imunisasi pada balita

Hanya imunisasi campak, karena tidak boleh, takut balita menjadi kecil

Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu Lengkap, tidak begitu ingat

Upaya

penimbangan balita

Tidak tahu Tidak tahu Kadang nimbang Balita datang sendiri ke Posyandu untuk menimbang

Tidak tahu,

biasanya disiarkan dari Posyandu Informasi atau

pengetahuan yang diperoleh

Tidak tahu Dari Puskesmas. Tidak tahu

Tidak tahu Tidak tahu Dari Puskesmas. Tidak tahu Jarak Puskesmas

dan Posyandu


(4)

Lampiran 8

MATRIKS HASIL WAWANCARA MENDALAM DENGAN INFORMAN PENDUKUNG (STAFF PUSKESMAS DAN KADER POSYANDU) YANG TERLIBAT LANGSUNG DALAM PROGRAM PMT-P DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS PAMULANG TAHUN 2014

Domain Li En Ri

Keterlibatan petugas dalam program PMT-P

Pendistribusian PMT-P ke sasaran, melakukan konseling gizi dan kesehatan, melakukan pemeriksaan antropometri

Memberikan makanan tambahan

Memberikan pengetahuan kepada ibu balita

berdasarkan pengetahuan kader, seperti membuat menu makanan yang kreatif, sehingga jika balita tidak suka susu, ibu bisa mencampurnya dengan agar-agar atau puding Pengawasan yang

dilakukan terhadap ibu balita penerima PMT-P

Titip ke kader supaya diawasi dan dilihat, tetapi hanya beberapa orang dan beberapa hari saja karena kader memiliki kesibukan sendiri

Tidak ada pengawasan khusus. Hanya memberikan susu sesuai dengan umur balita

Tidak ada pengawasan khusus. Hanya

memberikan PMT-P ke sasaran jika Puskesmas menitipkan ke kader Kegiatan selama

pelaksanaan program PMT-P

Pemberian PMT-P, konseling, pemeriksaan antropometri, pemeriksaan klinis oleh dokter

Penimbangan, pemberian bubur kacang hijau atau bubur sumsum atau telur atau biskuit

Pemberian PMT-P (susu dan biskuit), mengukur tinggi badan, dan


(5)

Jenis PMT-P yang diberikan

Susu dan biskuit Susu dan biskuit, tergantung dari Puskesmas

Susu dan biskuit Kendala di lapangan

selama program PMT-P

Biasanya balita tidak suka susu Dana untuk membuat PMT penyuluhan tidak mencukupi, ibu balita yang datang ke Posyandu sedikit

Ibu balita yang susah diajak kompromi untuk diberikan pengetahuan atau penyuluhan Karakteristik ibu balita

penerima PMT-P

Pengetahuan kurang, tidak telaten, jika balita tidak mau makan dibiarkan saja dan tidak berusaha untuk membujuknya

Pengetahuan masih rendah Pengetahuan kurang, tidak memiliki inisiatif jika balita tidak mau makan, rasa ingin tahu kurang terhadap masalah kesehatan dan gizi,

kebiasaan jajan balita yang tinggi karena ibu tidak mau melihat balita rewel Frekuensi kunjungan

ibu balita ke Puskesmas atau Posyandu

Diundang ke Puskesmas sebulan sekali setiap hari rabu minggu kedua atau ketiga

Rutin, biasanya bolong 2 atau 3 kali, mungkin sudah ada jadwal di Puskesmas

Jika ke Puskesmas tergantung TPG. Jika ke Posyandu ada yang rutin ada yang tidak, alasannya tidak tahu padahal sudah disiarkan

Jenis penyakit yang biasa diderita balita penerima PMT-P

Demam, batuk, pilek Demam, batuk, pilek, diare jarang

Batuk, pilek, demam, diare jarang,


(6)

Upaya yang dilakukan jika balita tidak

mengalami peningkatan berat badan

Diberikan PMT-P terus, baik PMT penyuluhan maupun PMT

pemulihan

Dilaporkan ke Puskesmas jika berat badan 2x berturut-turut tidak naik dan akan ditangani oleh Puskesmas

Dilaporkan ke Puskesmas setiap selesai penimbangan

Upaya yang dilakukan jika PMT-P yang diberikan tidak disukai balita

Diberikan konseling agar PMT-P tersebut dicampur dengan bahan makanan lain seperti puding, kue, dan sebagainya, ibu balita harus telaten

Diberikan sedikit-sedikit terlebih dahulu

Disaranin untuk dibuatkan makanan yang kreatif


Dokumen yang terkait

Peningkatan Berat Badan Balita Gizi Buruk yang Mendapat Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan di Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2013

1 58 84

Karakteristik Dan Pola Asuh Keluarga Yang Memiliki Balita Dengan Berat Badan Bgm Di Wilayah Kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014

0 31 95

Analisis pola asuh gizi ibu terhadap balita kurang energi protein (KEP) yang mendapat PMT-P di Puskesmas Pagedangan kabupaten Tangerang tahun 2010

9 80 325

Pertambahan Berat Badan Ibu Hamil dan Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2013-2015

0 7 140

Latar Belakang Tidak Meningkatnya Berat Badan Balita Setelah Mendapat Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014

0 33 259

Karakteristik Dan Pola Asuh Keluarga Yang Memiliki Balita Dengan Berat Badan Bgm Di Wilayah Kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014

0 0 12

Karakteristik Dan Pola Asuh Keluarga Yang Memiliki Balita Dengan Berat Badan Bgm Di Wilayah Kerja Puskesmas Cengkeh Turi Kecamatan Binjai Utara, Binjai Tahun 2014

0 0 2

HUBUNGAN ANTARA PRAKTIK PEMBERIAN MAKANANTAMBAHAN (PMT) DENGAN KENAIKAN BERAT BADAN BALITA

0 0 6

Peningkatan Berat Badan Balita Gizi Buruk yang Mendapat Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan di Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2013

0 2 25

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Peningkatan Berat Badan Balita Gizi Buruk yang Mendapat Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan di Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2013

0 1 7