Universitas Sumatera Utara
Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip selekisi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.
3. Kode simbolik, merupoakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas
bersifat sturktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasrkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa
oposisi biner atau pembedaan- baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual
yang memlalui proses. Pemisahaan dunia secara kultural dan primitf menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis
dapat dikodekan. 4.
Kode kultural atau gnomik merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikofikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme
tradisional diefenisi oleh acuan budaya apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi
yang di atasnya penulis bertumpu. 5.
Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa
konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dalam dikelompokkan dengan kontasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan
kontosi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika semjumlah kontoasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu
tokoh dengan atribut tertentu. Di samping penanda teks leksia dan lima kode pembacaan yang telah
dijabarkan di atas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland Barthes adalah:
1. Penanda dan Petanda
Menurut sausure, bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian yaitu penanda signifier dan petanda signified. Tanda
adalah kesatuan dari suatu bentuk penada signifier dengan sebuah ide atau
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
petanda signified. Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi , penanda adalah aspek material dari bahasa:
apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran dan konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari
bahasa Bartens, 2001: 180. Menurut Saussuree, penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Sausure menggambarkan tanda yang
terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:
Sign
Composed of Signfication
Signifier plus Signified
external Reality of meaning
Sumber: Sobour, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Gambar 2.3 Elemen-Elemen Makna Saussure
Pada dasaranya apa yang di sebut signifier dan signified tersebut adalah produk kultural. Setiap tanda keabsahaan, menurut Saussure, pada dasarnya
menyatukan sebuah konsep concept dan suat citra suara sound image, bukan menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah nama.
Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda signifier sedangkan konsepnya adalah petanda signfied. Dua unsur ini tidak
bisa dipisahkan sama sekali. Pemisahan hanya akan menghancurkan ‘kata’ tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2. Denotasi dan Konotasi
Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau
acuan. Prises signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti sesuai dengan apa
yang terucap Sobur, 2004: 70. Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada
sebuah kata yang secara bebas memegan peranan penting di dalam ujaran. Denotasi berisfat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khsusus yang terdapat
dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sedangkan menurut Kridalaksana denotasi adalah makna kata atau kelompok
kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu. Makna denotatif suatau kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam
kamus, makna konotatif ialah maknay denotatif ditambah dengan segala gambara, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata itu. Kata konotasi itu
sendiri berasal dari bahasa latin connotare, “menjadi tanda” dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah atau berbeda dengan kata dan
bentuk-bentuk lain dari komunikasi. Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama dalam
sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Lyons dalam Pateda, 2001: 98. Makna denotasi bersifat khusus yang terdapat
dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda Berger,2000b: 55. Harimurti Kridalaksana 2001: 40 mendefenisikan
denotasi denotation sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan
atasn konvensi tertentu; sifatnya objektif.” Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna
emotif, atau makna evaluatif Keraf, 1994: 29. Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional.
Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagiannya pada pihak pendengar,
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
dipihak lain, kata yang di pilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama Sobur, 2004: 266
Makna konotatif sebuah kata yang di pengaruhi dan ditentikanm oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkuang budaya Sumarjdo Saini,
1994: 126. Yang di maksud dengan lingkungan tekstual adalah semua kata di dalam paragraf dan karangan menentukan makna konotatif itu. Pengaruh
lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita meletakkan kata tertentu di dalam lingkungan budaya yang berbeda Sobur, 2004: 266.
Di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan
tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih disioasikan dengan ketertutupan makna dan demgan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai
reaksi yang paling esktream melawan keharfian denotasi yang bersifat denotasi yang opreasif, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang
ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna
“harfia” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah Budiman dalam Sobur, 2004: 71.
3. Paragdimattik dan Sintagmatik