Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini, banyak perusahaan harus menghadapi persaingan yang ketat. Sebuah perusahaan harus memiliki keunggulan kompetitif dalam menerapkan strategi bersaing agar dapat bertahan, Sutarto, 1979. Bukan hal yang mudah untuk menjadikan suatu perusahaan sebagai perusahaan unggul dalam mencapai tujuan, mampu bertahan serta mampu menghasilkan produk jasa yang bernilai jual tinggi sesuai dengan jumlah penjualan. Perusahaan yang ingin bersaing membutuhkan Sumber Daya Manusia SDM yang unggul. Keunggulan Sumber Daya Manusia dapat terwujud dalam kualitas kerja. Kualitas kerja dapat dilihat dari keterlibatan dan kesediaan karyawan untuk tetap bertahan dalam organisasi Nitisemono, 1982. Keterlibatan ini mencakup keinginan yang kuat untuk berusaha demi kepentingan organisasi yang tercermin dari usaha karyawan untuk menerima dan melaksanakan setiap tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya Stanley, 2006. Karyawan juga akan terdorong untuk melakukan pekerjaan diluar tugas dan peran yang dimilikinya apabila bantuannya dibutuhkan oleh organisasi, serta bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja Steers, 1980. Selain mengerjakan pekerjaan diluar tugasnya, karyawan juga bersedia mempertahankan hubungannya dengan organisasi walaupun harus mengorbankan kepentingan pribadinya demi mencapai kesuksesan dan keberhasilan organisasi Chen, 2008. Kesediaan dan keterlibatan, partisipasi serta loyalitas inilah yang merupakan implikasi dari komitmen karyawan terhadap organisasinya. Seperti fenomena yang terjadi empat tahun yang lalu tepatnya hari Rabu, 19 November 2008, karyawan PT Industri Sandang Nusantara ISN melakukan mogok kerja dan unjuk rasa. Mereka menuntut penggantian direksi yang dinilai buruk kinerjanya, sehingga berdampak pada pengurangan hak-hak karyawan. Unjuk rasa dilakukan serentak di tiga titik, yakni di Jakarta, Pasuruan Jawa Timur, dan Makassar Sulawesi Selatan. PT ISN adalah perusahaan badan usaha milik negara yang berpusat di Bekasi dan memiliki sembilan unit kerja. Unjuk rasa di Pasuruan dilakukan oleh sekitar 1,000 karyawan. Mereka adalah karyawan dari tiga unit kerja, yakni Pasuruan, Malang, dan Denpasar. Unjuk rasa dilakukan dengan menggelar orasi di depan gerbang pabrik di Jalan Raya Pasuruan, Kilometer 15http:nasional.kompas.comread200811913443873karyawan.pt.isn.m ogok.kerja. Unjuk rasa tersebut dapat terjadi apabila karyawan merasa perusahaan tersebut tidak seperti yang diharapkannya, sehingga membuat karyawan enggan untuk mengerahkan tenaga dan waktunya secara maksimal, merasa enggan untuk ikut serta dalam pencapaian tujuan perusahaan dan dapat menyebabkan karyawan merasa bukan bagian dari perusahaan di tempat mereka bekerja. Ketika karyawan merasa enggan untuk ikut serta, merasa bukan bagian dari perusahaan bahkan enggan untuk mengerahkan tenaganya dengan maksimal hal ini dapat merupakan bentuk dari komitmen organisasi karyawan yang rendah Steers, 1980. Komitmen merupakan salah satu sikap kerja karena merupakan refleksi dari perasaan seseorang suka atau tidak suka terhadap organisasi di tempat individu tersebut bekerja. Di dalam organisasi komitmen juga sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi, yang mencakup loyalitas, identifikasi dan keterlibatan Meyer et all, 1993. Menurut Robbins 2001 komitmen organisasi merupakan kedekatan yang bersifat orientasi hubungan antara anggota dengan organisasinya yang mengakibatkan individu bersedia memberikan sesuatu. Komitmen organisasi adalah sesuatu yang diberikan individu, misalnya waktu dan tenaga serta rasa sepenuhnya yang diberikan sebagai hubungan timbal balik bagi tercapainya tujuan organisasi. Menurut Steers 1980, terdapat beberapa hal yang merupakan komponen atau aspek penting dari sebuah komitmen, yaitu identifikasi, partisipasi dan loyalitas. Rasa identifikasi biasanya terwujud dalam bentuk kepercayaan karyawan terhadap organisasi dan dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi. Aspek selanjutnya, yaitu partisipasi, merupakan suatu partisipasi karyawan dalam berbagai aktivitas keorganisasian, misalnya terlibatnya karyawan dalam mengambil keputusan. Aspek terakhir adalah loyalitas yang merupakan kesediaan karyawan untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, misalnya dengan tetap menjaga komitmen dan rasa memiliki organisasi Steers, 1980. Komitmen organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor personal, faktor non-organisasi dan faktor operasional organisasi. Faktor personal merupakan seberapa potensial ikatan terhadap organisasi yang dibawa ketika seseorang bekerja Steers 1980. Faktor personal ini meliputi usia, pengalaman kerja, pendidikan dan jenis kelamin yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi. Faktor non-organisasi adalah yakni calon karyawan masih memiliki alternatif pekerjaan di bidang lain ketika tidak diterima di bidang yang diinginkan, pada suatu perusahaan sehingga karyawan masih dapat mengembangkan kompetensinya di perusahaan tersebut walaupun tidak harus sama seperti yang karyawan harapkan. Faktor operasional organisasi, yaitu sesuatu yang meliputi lingkup kerja misal salah satu contohnya adalah pemimpin. Peran pemimpin ini berguna untuk memberi pengayaan serta mengarahkan karyawan, agar bekerja sesuai dengan kematangan yang dimiliki oleh masing-masing karyawan Hersey, Blanchard, 1986. Pada suatu kehidupan keorganisasian, peran kepemimpinan dianggap penting karena seorang pemimpn bukan hanya sekedar memimpin, melainkan kemampuan seseorang dalam mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Kepemimpinan juga merupakan kegiatan yang bersifat interpersonal. Pemimpin berusaha mengajak pengikut atau bawahan menjalankan apa yang diharapkan demi suatu tujuan bersama dalam perusahaan Robbins, 2001. Gaya kepemimpinan yang dapat diterapkan di suatu perusahaan tentunya gaya kepemimpinan yang dapat mengayomi, memahami serta mengerti situasi dan kondisi yang terjadi pada karyawan maupun perusahaan. Gaya kepemimpinan semacam ini biasanya disebut sebagai gaya kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard, 1986. Kekhasan dari kepemimpinan situasional ialah pemimpin diharapkan benar-benar mampu memberikan tugas dan melakukan pendekatan sesuai dengan tingkat kematangan yang dimiliki karyawan, sehingga ada umpan balik yang diperoleh bagi pemimpin dan organisasi. Umpan balik tersebut bisa berupa hasil kerja yang optimal karena pemimpin mampu berkomunikasi dengan baik terhadap bawahan. Kepemimpinan situasional adalah kepemimpinan yang didasarkan atas hubungan saling mempengaruhi antara tingkat bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin perilaku tugas, tingkat dukungan sosio emosional yang disajikan pemimpin perilaku hubungan, tingkat kesiapan yang diperlihatkan bawahan dalam melaksanakan tugas, fungsi atau tujuan tertentu kematangan bawahan Hersey dan Blanchard, 1986. Perilaku tugas adalah kadar sejauhmana pemimpin memberi arahan kepada bawahannya dengan memberitahu bawahannya apa yang harus dilakukan, dimana, kapan dan bagaimana melakukannya. Perilaku hubungan adalah kadar sejauhmana pemimpin melakukan hubungan dua arah dengan bawahannya, misalnya menyediakan dukungan. Kematangan adalah level atau kadar sejauh mana bawahan dapat mengerjakan tugasnya sesuai dengan kompetensi yang benar-benar dimiliki dan dikuasai serta berdasarkan kesesuaian antara perilaku tugas dan perilaku hubungan Hersey dan Blanchard, 1986. Kesesuaian antara perilaku pemimpin kesesuaian perilaku tugas dan perilaku hubungan dengan tingkat kematangan karyawan bisa membawa dampak bagi keefektifan pemimpin menurut kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard, 1986. Kepemimpinan situasional yang efektif adalah ketika pemimpin memiliki perilaku yang sesuai dengan tingkat kematangan karyawan, sehingga karyawan dapat bekerja dengan optimal sesuai dengan kematangannya. Kepemimpinan situasional yang tidak efektif adalah ketika perilaku pemimpin tidak sesuai dengan tingkat kematangan karyawan, karyawan mungkin akan bekerja dengan cara yang kurang terstruktur dan tidak jelas, disebabkan tidak mengetahui kemampuan dan merasa tidak mendapat bimbingan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Ketidaksesuaian ini secara perlahan dapat menjadikan kondisi kerja menjadi tidak efektif yang menyebabkan karyawanpun tidak bisa bertahan dalam melanggengkan dirinya untuk tetap bekerja di tempat kerjanya Hersey dan Blanchard, 1986.

B. Permasalahan