Hubungan antara efektivitas kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja relawan berdasarkan teori ERG pada organisasi non-profit di Yogyakarta.
HUBUNGAN ANTARA EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN
SITUASIONAL DENGAN MOTIVASI KERJA RELAWAN
BERDASARKAN TEORI ERG PADA ORGANISASI
NON-PROFIT DI YOGYAKARTA
Esti Maryunani
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan efektivitas kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja relawan. Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara efektivitas kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja relawan pada organisasi non-profit. Subjek dalam penelitian ini adalah 73 relawan organisasi non-profit yang telah bergabung minimal 6 bulan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala yang telah diuji reliabilitasnya pada 37 subjek. Skala motivasi kerjaterdiri dari kebutuhan eksistensi (r = 0,681), kebutuhan berelasi (r = 0,821), dan kebutuhan berkembang (r = 0,742). Skala efektivitas kepemimpinan situasional terdiri dari perilaku tugas (r = 0,817), perilaku hubungan (r = 0,827), dan kematangan bawahan (r = 0,806). Peneliti tidak dapat melakukan uji korelasi sebab terdapat proporsi yang tidak seimbang terhadap kedua variabel. Peneliti melakukan uji analisis tambahan menggunakan uji korelasi Chi-Square dengan sig < 0,05. Hasil yang diperoleh terdapat hubungan antara masa kerja dengan motivasi kerja relawan pada organisasi non profit (sig = ,047). Disisi lain, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi kerja relawan pada organisasi non-profit (sig = 0,076).
Kata Kunci :Motivasi kerja ERG, kebutuhan eksistensi, kebutuhan berelasi, kebutuhan berkembang,efektivitas kepemimpinan situasional, dimensi perilaku tugas, dimensi perilaku hubungan, dimensi kematangan bawahan, relawan, organisasi non-profit, masa kerja, jenis kelamin
(2)
THE RELATION BETWEEN SITUATIONAL LEADERSHIP
EFFECTIVENESS AND VOLUNTEERS WORK
MOTIVATION BASED ON ERG THEORY IN NON-PROFIT
ORGANIZATIONS IN YOGYAKARTA
Esti Maryunani
ABSTRACT
This research aimed to examine the relationship between situational leadership style effectiveness and volunteer’s work motivation based on ERG theory. The hypothesis in this research was that there was a relationship between situational leadership effectiveness and volunteer’s work motivation in non-profit organizations. The participants of this study were 73 volunteers of non-profit organizations who had worked for 6 months. The data was collected using a scale tested among 37 subjects to confirm its reliability. The work motivation scale consisted of existence need (r) = 0,681, relatedness need (r) = 0,821, andgrowth need (r) = 0,742. Scale measuring situational leadershipconsisted of task behavior (r) = 0,817, relation behavior (r) = 0,827, and volunteers maturity (r) = 0,806. The data analysis can’t fulfilled because the variable’s has unbalanced compotition. In his research used Chi-Square correlation technique with the significant value < 0,05 for a increase data analysis.The correlation result showed that work period had correlation withwork motivation in non-profit organizations as shown by (p = 0,047), but gender hasn’t correlation withwork motivation in non-profit organizations as shown by ( p = 0,076),
Keywords : ERG work motivation theory, existence need, relatedness need, growth need,
situational leadership effectiveness, task behavior, relation behavior, volunteers maturity, volunteer, non-profit organizations, work period, gender
(3)
HUBUNGAN ANTARA EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN
SITUASIONAL DENGAN MOTIVASI KERJA RELAWAN
BERDASARKAN TEORI ERG PADA ORGANISASI
NON-PROFIT DI YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Esti Maryunani
109114063
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
(4)
SKRIPSI
HTIBUNGAN ANTARA EFEKTIVITAS Kf,,PEMIMPINAH SITUASIONAL DENGAN MOTIYASI KERIA RELAWAN BERDASARKAilI TEORI ERG
PADA ORGAMSASI NON-PROF'IT
I}I
YOGYAKARTAOleh: Esti ldaryunani
@*
Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi. ranggal
,
26 nUg
2fi5 *{ftR$w
- r*c/
rr*,-tft{t
'
fr
*i;rr,i.orh\
tr.
***Jh
,t,
-**#sNH -L:*"*\
"#
t;(1. -::x )
{&'
d{\ t
$'aW"
u
/S
ffi#P
,\
w
{tu
trlffi
P
l/w*'
adM
"3
#,
(5)
SKRIP$
HUBUNGAII ANTARA EFE.KTTVITAS KEPSMIMPINAIiI SITUASIONAL
I}ENGAI\I' MOTIYAST KtrRJA RETAWATT BERI}ASARKATT TtrORf ERG
PADA ORGAI\IISAST NON-PROFIT Dt YOGYAKARTA
Dipersiaplmn dan ditulis oleh: Esti Maryunani
Penguji I Penguji 2
Penguji 3
YogyaM,t?[-
AUG ?0lS tas PsikologiSanataDharma
ilr : Dr. T. Priyo
fru,
b.{m
VF
Bi*.(6)
iv
HALAMAN MOTTO
Jangan mengeluh
Jadilah tangguh seperti yang kamu impikan ! (Eross Candra)
Mimpi tak berlengan,
Tapi akan selalu ada jika engkau menginginkan (Dee Lestari)
The future depends on what we do in the present
(Mahatma Gandhi)
Akhir dari perjuanganmu hanya kamu yang menentukan, MENYERAH atau MELANGKAH
(7)
v
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan untuk
Tuhan Yesus Kristus yang selalu menemaniku,
Bapak dan Ibu yang selalu tulus mendukung dan mendoakan, Keluarga dan Teman-teman yang selalu ada untukku,
Dan untukku sendiri yang selalu berusaha bangkit karena percaya selalu ada pelangi sehabis hujan
(8)
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 26 Agustus 20 1 5
Penulis,
dQ,
Esti Maryunani
(9)
vii
HUBUNGAN ANTARA EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN
SITUASIONAL DENGAN MOTIVASI KERJA RELAWAN
BERDASARKAN TEORI ERG PADA ORGANISASI
NON-PROFIT DI YOGYAKARTA
Esti Maryunani
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan efektivitas kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja relawan. Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara efektivitas kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja relawan pada organisasi non-profit. Subjek dalam penelitian ini adalah 73 relawan organisasi non-profit yang telah bergabung minimal 6 bulan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala yang telah diuji reliabilitasnya pada 37 subjek. Skala motivasi kerja terdiri dari kebutuhan eksistensi (r = 0,681), kebutuhan berelasi (r = 0,821), dan kebutuhan berkembang (r = 0,742). Skala efektivitas kepemimpinan situasional terdiri dari perilaku tugas (r = 0,817), perilaku hubungan (r = 0,827), dan kematangan bawahan (r = 0,806). Peneliti tidak dapat melakukan uji korelasi sebab terdapat proporsi yang tidak seimbang terhadap kedua variabel. Peneliti melakukan uji analisis tambahan menggunakan uji korelasi Chi-Square dengan sig < 0,05. Hasil yang diperoleh terdapat hubungan antara masa kerja dengan motivasi kerja relawan pada organisasi non profit (sig = ,047). Disisi lain, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan motivasi kerja relawan pada organisasi non-profit (sig = 0,076).
Kata Kunci : Motivasi kerja ERG, kebutuhan eksistensi, kebutuhan berelasi, kebutuhan berkembang, efektivitas kepemimpinan situasional, dimensi perilaku tugas, dimensi perilaku hubungan, dimensi kematangan bawahan, relawan, organisasi non-profit, masa kerja, jenis kelamin
(10)
viii
THE RELATION BETWEEN SITUATIONAL LEADERSHIP
EFFECTIVENESS AND VOLUNTEERS WORK
MOTIVATION BASED ON ERG THEORY IN NON-PROFIT
ORGANIZATIONS IN YOGYAKARTA
Esti Maryunani
ABSTRACT
This research aimed to examine the relationship between situational leadership style effectiveness and volunteer’s work motivation based on ERG theory. The hypothesis in this research was that there was a relationship between situational leadership effectiveness and
volunteer’s work motivation in non-profit organizations. The participants of this study were 73 volunteers of non-profit organizations who had worked for 6 months. The data was collected using a scale tested among 37 subjects to confirm its reliability. The work motivation scale consisted of existence need (r) = 0,681, relatedness need (r) = 0,821, and growth need (r) = 0,742. Scale measuring situational leadership consisted of task behavior (r) = 0,817, relation behavior (r) = 0,827, and volunteers maturity (r) = 0,806. The data analysis can’t fulfilled because the
variable’s has unbalanced compotition. In his research used Chi-Square correlation technique with the significant value < 0,05 for a increase data analysis. The correlation result showed that work period had correlation with work motivation in non-profit organizations as shown by (p = 0,047), but gender hasn’t correlation with work motivation in non-profit organizations as shown by ( p = 0,076),
Keywords : ERG work motivation theory, existence need, relatedness need, growth need,
situational leadership effectiveness, task behavior, relation behavior, volunteers maturity, volunteer, non-profit organizations, work period, gender
(11)
LEMBAR PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA
ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMISYang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Esti Maryunani
Nomor
Mahasiswa : 109114063
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
HUBUNGAN ANTARA EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DENGAN MOTIVASI KERJA RELAWAN BERDASARKAN TEORI ERG
PADA ORGANISASI NON-PROFIT DI YOGYAKARTA
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya berikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma
hak
untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lainuntuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta
,jin dari
saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagaipenuiis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 26 Agustus 2015
Yang menyatakan,
7Q^Q.
1X
(12)
x
KATA PENGANTAR
Terima kasih yang tak terhingga peneliti haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus untuk segala penyertaan-Nya, perlindungan, dan bimbingan yang telah diberikan kepada peneliti sehingga proses penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah membantu, mendukung, dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang teramat dalam penulis haturkan kepada :
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi., selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih untuk waktu, masukan, dan kesabaran ibu dalam membimbing saya sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.
4. Seluruh dosen penguji skripsi untuk masukan yang membangun. 5. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS., selaku dosen pembimbing
akademik. Terima kasih untuk seluruh nasehat dan pengalaman hidup yang telah ibu bagikan. Sehat selalu bu.
6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi atas semua ilmu dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama proses perkuliahan.
(13)
xi
7. Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Muji, Mas Doni, dan Pak Gie atas bantuan, pelayanan, keramahan, dan canda tawa yang telah dibagikan selama proses perkuliahan.
8. Terima kasih kepada teman-teman relawan yang telah membantu penulis dalam memperoleh data penelitian, yaitu teman-teman relawan dari komunitas Coin A Chance (CAC) Yogyakarta, Yayasan Sosial Soegijapranata Perkampungan Pingit, PLU Satu Hati, Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO), LSM Rifka Annisa Women Crisis Center, LSM SOS Children’s Village, Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Kota Yogyakarta atas partisipasinya dalam penelitian ini.
9. Terima kasih yang tak terhingga untuk Bapak dan Ibu yang selalu mendoakan, mendukung, dan memberikan semangat kepada penulis dalam proses pengerjaan skripsi. Terima kasih tidak pernah menuntut dan selalu setia mendengar keluh kesah perjuangan ini. Love!
10.Terima kasih untuk kedua kakakku, Erlin Frandita dan Ratna Murtiningtyas. Thankyou Idjah dan Inah buat semua doa, dukungan, dan semangatnya.
11.Teman-teman yang selalu ada dalam suka dan duka, yang selalu mengisi hari-hariku dengan kekonyolan mereka. Terima kasih sudah menemaniku selama proses perkuliahan kita, Pinno, Pudji, Daning, Tista, Fiona, Lolla, Ghea, dan Vienna. Dan terima kasih yang tak terkira untuk Anin yang selalu merelakan diri menemani penulis dalam proses pengambilan data di segala kondisi dan situasi.
(14)
xii
12.Teman-teman Psikologi 2010 dan teman-teman kelas B, Sandi, Ninda, Helen, Maria Fiona, Yovi, Keket, dan lainnya. Terima kasih kebersamaannya selama ini. Sukses untuk kita semua.
13.Engger dan Ardhian Listyarian yang sudah bersedia menjadi suhu SPSS dan abstrak, terima kasih ya mau direpotkan.
14.Teman-teman Crew Radio Masdha 2010 dan seluruh teman-teman Divisi Marketing untuk bekerjasama dan pertemanan kita selama 2 tahun.
15.Teman, sahabat, dan juga kakak, Made Manik Wikansari, yang selalu di hati. Terima kasih Manyot sudah mau jadi segalanya baik di Marketing Masdha dan Psikologi. Peluk cium buat Manyot dari Jogja! 16.Cahya Budi Wibawa, terima kasih untuk setiap pertanyaan “Kapan
lulus?”, “Piye revisine?” yang membangun dan jadi tempat ngeluh.
17.Benedictus Geovani Suharrukmana yang pernah menjadi passion awal pengajuan judul skripsi. Terima kasih pernah menginspirasi.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih belum sempurna. Segala kekurangan, ketidaktelitian, dan kekeliruan karya ini menjadi tanggung jawab penulis. Dengan rendah hati, penulis menerima saran dan kritik.
Yogyakarta, 26 Agustus 2015
(15)
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ...vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR BAGAN ... xviii
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xxii
(16)
xiv
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat Teoretis ... 7
2. Manfaat Praktis ... 8
a. Bagi Subjek ... 8
b. Bagi Organisasi dan Pemimpin Organisasi... 8
BAB II LANDASAN TEORI ... 9
A. Kepemimpinan Situasional ... 9
1. Definisi Kepemimpinan ... 9
2. Kepemimpinan Situasional ... 11
3. Gaya Kepemimpinan Situasional ... 13
4. Dimensi Kepemimpinan Situasional ... 16
5. Persepsi Terhadap Kepemimpinan Situasional ... 19
B. Motivasi Kerja ... 20
1. Definisi Motivasi ... 20
2. Definisi Motivasi Kerja ... 22
3. Teori Motivasi Kerja ... 23
4. Teori Motivasi Kerja “ERG” ... 25
5. Jenis-jenis Kebutuhan Motivasi Kerja ERG ... 26
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja ... 28
(17)
xv
1. Organisasi Non-Profit ... 30
2. Relawan ... 33
D. Dinamika Hubungan Antara Efektivitas Kepemimpinan Situasional dengan Motivasi Kerja Relawan Berdasarkan Teori ERG pada Organisasi Non-Profit di Yogyakarta ... 34
E. Skema Penelitian/ Kerangka Penelitian ... 39
F. Hipotesis ... 40
BAB III METODE PENELITIAN ... 41
A. Jenis Penelitian ... 41
B. Identifikasi Variabel ... 41
C. Definisi Operasional ... 42
1. Motivasi Kerja ... 42
2. Efektivitas Kepemimpinan Situasional ... 42
D. Subjek Penelitian ... 43
E. Metode Pengumpulan Data ... 44
1. Skala Motivasi Kerja ... 45
2. Skala Efektivitas Kepemimpinan Situasional ... 46
a. Skala Perilaku Tugas ... 47
b. Skala Perilaku Hubungan ... 48
c. Skala Kematangan Pekerjaan dan Psikologis ... 49
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 50
1. Validitas Skala ... 50
(18)
xvi
a. Skala Motivasi Kerja ERG ... 52
b. Skala Perilaku Tugas ... 54
c. Skala Perilaku Hubungan ... 56
d. Skala Kematangan Pekerjaan dan Psikologis ... 58
3. Reliabilitas ... 60
a. Skala Motivasi Kerja ... 60
b. Skala Perilaku Tugas ... 61
c. Skala Perilaku Hubungan ... 62
d. Skala Kematangan Pekerjaan dan Psikologis ... 62
G. Metode Analisis Data ... 62
1. Uji Asumsi Normalitas ... 62
2. Uji Hipotesis ... 63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 64
A. Pelaksanaan Penelitian ... 64
B. Deskripsi Subjek ... 64
1. Jenis Kelamin ... 64
2. Usia ... 65
3. Masa Kerja ... 65
4. Pengalaman Kerja ... 66
C. Deskripsi Data Penelitian ... 66
1. Statistik Data Penelitian ... 66
2. Frekuensi Data Kategori ... 70
(19)
xvii
b. Distribusi Frekuensi Efektivitas Kepemimpinan Situasional ... 71
c. Distribusi Frekuensi Kebutuhan Motivasi Kerja ERG ... 76
D. Hasil Penelitian ... 76
1. Uji Normalitas ... 76
2. Uji Hipotesis ... 78
3. Analisis Data Tambahan ... 79
4. Pembahasan ... 83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 89
A. Kesimpulan ... 89
B. Saran ... 90
1. Bagi Subjek ... 90
2. Bagi Organisasi ... 90
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 93
(20)
xviii
DAFTAR BAGAN
(21)
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print Skala Kebutuhan Eksistensi Sebelum Uji Coba ... 46
Tabel 2. Blue Print Skala Kebutuhan Berelasi Sebelum Uji Coba ... 46
Tabel 3. Blue Print Skala Kebutuhan Berkembang Sebelum Uji Coba ... 46
Tabel 4. Blue Print Skala Perilaku Tugas Sebelum Uji Coba ... 48
Tabel 5. Blue Print Skala Perilaku Hubungan Sebelum Uji Coba... 49
Tabel 6. Blue Print Skala Kematangan Pekerjaan dan Psikologis Sebelum Uji Coba ... 50
Tabel 7. Distribusi Item Skala Kebutuhan Eksistensi Setelah Seleksi Item ... 52
Tabel 8. Distribusi Item Skala Kebutuhan Berelasi Setelah Seleksi Item ... 52
Tabel 9. Distribusi Item Skala Kebutuhan Berkembang Setelah Seleksi Item ... 53
Tabel 10. Distribusi ItemSkala Perilaku Tugas Setelah Seleksi Item ... 54
Tabel 11. Distribusi ItemSkala Perilaku Tugas Setelah Pengguguran Item ... 55
(22)
xx
Tabel 13. Distribusi ItemSkala Perilaku Hubungan Setelah Pengguguran Item..57
Tabel 14. Distribusi Item Skala Kematangan Pekerjaan dan Psikologis Setelah Seleksi Item ... 58
Tabel 15. Distribusi Item Skala Kematangan Pekerjaan dan Psikologis Setelah Pengguguran Item ... 59
Tabel 16. Deskripsi Jenis Kelamin ... 65
Tabel 17. Deskripsi Usia ... 65
Tabel 18. Deskripsi Masa Kerja Berdasarkan Lama Bergabung Dalam Organisasi ... 66
Tabel 19. Deskripsi Pengalaman Kerja ... 66
Tabel 20. Statistik Data Penelitian... 67
Tabel 21. Data Teoritis dan Data Empiris... 68
Tabel 22. Hasil One Sample T-Test ... 69
Tabel 23. Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Dimensi Perilaku Tugas dan Perilaku Hubungan Pada Kepemimpinan Situasional ... 71
Tabel 24. Kategori Gaya Kepemimpinan Situasional ... 72
Tabel 25. Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Gaya Kepemimpinan Situasional ... 73
(23)
xxi
Tabel 26. Kategori Kesesuaian Gaya Kepemimpinan Situasional Berdasarkan Kematangan Pekerjaan dan Psikologis ... 74
Tabel 27. Distribusi Frekuensi Kesesuaian Gaya Kepemimpinan Situasional Berdasarkan Kematangan Pekerjaan dan Psikologis ... 74
Tabel 28. Distribusi Frekuensi Kesesuaian Gaya Kepemimpinan Situasional Berdasarkan Kematangan Pekerjaan dan Psikologis ... 75
Tabel 29. Distribusi Frekuensi Kebutuhan Motivasi Kerja ERG ... 76
Tabel 30. Uji Normalitas... 77
Tabel 31. Uji Data Tambahan Hubungan Masa Kerja dengan Motivasi Kerja ... 79
Tabel 32. Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Motivasi Kerja ERG dengan Masa Kerja ... 80
Tabel 33. Uji Data Tambahan Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Motivasi Kerja ... 81
Tabel 34. Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Motivasi Kerja ERG dengan Jenis Kelamin ... 82
(24)
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Uji Coba ... 98
Lampiran 2. Reliabilitas ... 121
Lampiran 3. Skala Penelitian ... 136
Lampiran 4. Uji Asumsi ... 151
(25)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisasi non-profit menjadi salah satu tipe organisasi yang cukup berkembang pesat di dunia, khususnya pada organisasi sosial (Hall &Worth, dalam Varela, 2013). Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, organisasi non-profit merupakan organisasi yang dibentuk oleh masyarakat dan berperan serta pada proses pelayanan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila (dalam Wursanto, 2002). Untuk mencapai tujuan nasional tersebut, organisasi membutuhkan tenaga sosial yang dapat dipercaya agar dapat mewujudkan suatu perubahan positif di dalam masyarakat, yaitu tenaga sukarelawan yang menjalankan sejumlah pelayanan sebagai kegiatan utama organisasi non-profit (Herman dan Heimovics, dalam Puspita, 2012).
Relawan adalah bagian yang sangat berharga pada organisasi non-profit dalam berbagai situasi (Worth, dalam Varela 2013) sebab dalam pengabdiannya terhadap masyarakat, relawan dituntut untuk selalu siap melayani masyarakat tanpa ada batasan waktu (Komunikasi pribadi, 19 Juni 2014). Menurut Schroender (dalam Hutapea et al., 2012), relawan merupakan individu yang rela menyumbangkan jasa, kemampuan, dan waktu tanpa mengharapkan keuntungan materi dari organisasi. Harapan tersebut
(26)
menyebabkan suatu organisasi perlu mengetahui motivasi yang melatarbelakangi setiap tenaga kerja dalam bekerja, terlebih pada relawan yang secara langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dilakukan agar organisasi dapat mewujudkan misinya (Clary et al., dalam Varela, 2013). Hal ini dikarenakan motivasi kerja relawan yang dapat mengalami perubahan seiring berjalannya waktu (Topatimasang et al., 1988).
Perubahan motivasi kerja relawan ini sesuai dengan pernyataan Agus, salah satu relawan pada organisasi Victory Plus bahwa lingkungan kerja yang cukup rawan dan tidak adanya batasan waktu pelayanan menyebabkan terjadinya perubahan tingkat motivasi pada relawan di organisasi ini yang tampak pada menurunnya jumlah relawan aktif pada organisasi ini (Komunikasi pribadi, 27 Maret 2014). Hal serupa juga diutarakan oleh Wuri, salah satu staf divisi penelitian pada organisasi PKBI, yang menyatakan bahwa terjadi penurunan kinerja pada sebagian besar relawan setiap bulannya hingga akhirnya satu per satu memutuskan untuk mengajukan surat pengunduran diri dari organisasi non-profit ini (Komunikasi pribadi, 19 Juni 2014).
Meskipun tingkat pengunduran diri di organisasi PKBI cukup tinggi, namun terdapat pula relawan pasif yang memutuskan untuk bergabung kembali dalam organisasi PKBI sebagai relawan aktif (Komunikasi pribadi, 19 Juni 2014). Fenomena ini sesuai dengan pernyataan Agung Purnomo (Komunikasi pribadi, 1 September 2014), salah satu relawan pada organisasi PKBI, yang menyatakan bahwa dirinya memutuskan untuk bergabung
(27)
kembali menjadi relawan aktif pada organisasi PKBI setelah mengundurkan diri selama satu tahun. Adanya keinginan untuk mengembangkan kemampuan dalam diri dan menjalin hubungan yang lebih akrab dengan seluruh rekan kerja mendorong Agung untuk kembali bergabung ke dalam organisasi PKBI.
Pernyataan Agung mengenai keputusannya tersebut sesuai dengan Teori Motivasi Kebutuhan (Needs Theories of Motivation), yaitu teori ERG sebab Agung memiliki kebutuhan untuk dapat berkembang menjadi individu yang lebih produktif dan dapat memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekitarnya. Selain itu, Agung memiliki kebutuhan untuk terus mempertahankan eksistensi dan bekerja sama dengan seluruh rekan kerja di organisasi PKBI yang sesuai dengan teori ERG. Teori ERG merupakan teori motivasi yang terdiri dari tiga kelompok kebutuhan dimana setiap individu memiliki tingkat kebutuhan yang beragam pada proses pemenuhannya. Ketiga kelompok kebutuhan tersebut terdiri dari Kebutuhan Eksistensi, Kebutuhan Berelasi, dan Kebutuhan Berkembang (Munandar, 2014).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi kerja relawan. Steers dan Porter (1983) membagi faktor-faktor tersebut menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari minat, sikap, kebutuhan, dan kepribadian seorang individu. Faktor eksternal terdiri dari karakteristik pekerjaan dan kelompok kerja, yaitu rekan kerja dan kualitas hubungan dengan atasan. Kualitas hubungan yang dipengaruhi oleh peran relawan dan peran pemimpin dalam mengontrol organisasi merupakan salah
(28)
satu faktor yang harus diperhatikan untuk menjaga motivasi kerja relawan dan mendukung kelangsungan organisasi (Hersey & Blanchard, 1986 ; Varela, 2013; Nahavandi & Worth, dalam Varela, 2013). Peran pemimpin tersebut akan dipersepsi oleh relawan sehingga motivasi kerja relawan terus terjaga dan dapat mewujudkan misi pelayanan organisasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Worth (dalam Varela, 2013) bahwa relawan merupakan bagian terpenting pada organisasi non-profit dalam berbagai situasi.
Kepemimpinan menurut Stogdill (dalam Wahjosumidjo, 1985) adalah suatu proses memengaruhi aktivitas kelompok dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, pemimpin organisasi tidak dapat didefinisikan sebagai suatu kepemimpinan tanpa adanya peran para tenaga kerja. Hal yang sama terjadi pula pada organisasi non-profit dimana kepemimpinan dilakukan kepada seluruh tenaga kerja, yaitu staf dan relawan. Selain itu, fungsi utama dari suatu kepemimpinan terletak pada aktivitas memegang kekuasaan dan membuat keputusan (Dubin, dalam Wahjosumidjo, 1985). Namun tidak semua pemimpin dapat menghasilkan keputusan yang baik bagi kelangsungan suatu organisasi. Kepemimpinan yang baik tidak hanya terpaku pada konsep, melainkan juga dalam proses menerapkan suatu hubungan dan saling memberi antar pemimpin dan bawahan (Northouse, dalam Varela, 2013). Hal ini disebabkan dalam mencapai tujuan bersama dalam organisasi, seorang pemimpin dituntut untuk dapat bekerjasama dengan bawahannya, termasuk relawan pada lingkup organisasi non-profit. Oleh sebab itu, pemimpin perlu memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk
(29)
dapat menciptakan situasi yang positif yang dapat mendorong relawan untuk bekerja dan berperilaku sesuai misi organisasi.
Dari beragam tipe kepemimpinan, terdapat tipe kepemimpinan yang efektif diterapkan dalam organisasi non-profit, yaitu tipe kepemimpinan situasional. Hal ini dikarenakan situasi di sekitar organisasi non-profit seringkali berubah sehingga membutuhkan tipe kepemimpinan yang dapat disesuaikan dengan situasi pada organisasi tersebut (Topatimasang et al., 1988). Menurut Hersey dan Blanchard (1986), kepemimpinan situasional mampu memberikan pemahaman dan petunjuk yang mudah dalam mengelola dan memotivasi seseorang. Hal ini dikarenakan pemimpin dalam tipe kepemimpinan situasional tidak hanya berorientasi pada tugas, pekerjaan, pengawasan, dan waktu kerja saja, akan tetapi tipe kepemimpinan ini juga menekankan pada hubungan interpersonal dan kematangan anggota dalam proses pengambilan keputusan bagi kelangsungan organisasi (Hersey & Blanchard, 1986). Hal ini memungkinkan terciptanya kedekatan antara pemimpin dengan bawahannya, termasuk relawan. Selain itu, situasi lingkungan kerja yang berubah-ubah dan cukup rawan menuntut pemimpin agar dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang fleksibel sesuai dengan keadaan lingkungan kerja, yaitu kepemimpinan situasional (Finkelstein, dalam Varela, 2013; Komunikasi pribadi, 27 Maret 2014).
Menurut Hersey dan Blanchard (1986), kepemimpinan situasional menekankan pada suatu kepemimpinan yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu dimensi perintah dan dimensi pemberian dukungan yang masing-masing
(30)
dimensi tersebut diterapkan pada situasi tertentu. Unsur-unsur situasi yang mempengaruhi suatu gaya kepemimpinan adalah unsur waktu, tuntutan tugas-tugas, iklim organisasi, rekan kerja, dan ketrampilan para bawahan (Hersey & Blanchard, 1986). Dalam penerapannya, gaya kepemimpinan tersebut dapat diterapkan dengan mengetahui terlebih dahulu dimensi tingkat kematangan tiap bawahan sebab ketrampilan dan motivasi kerja bawahan cukup beragam (Hersey & Blanchard, 1986). Hal ini menyebabkan seorang pemimpin harus melakukan evaluasi terlebih dahulu untuk mengetahui kebutuhan tiap bawahan untuk selanjutnya diterapkan sesuai dengan tingkat kematangan bawahan (Hersey & Blanchard, 1986). Kepemimpinan situasional kemudian diterapkan melalui empat gaya yang dipilih dan disesuaikan dengan tingkat kematangan bawahan. Empat gaya tersebut adalah gaya telling, gaya selling,
gaya participating, dan gaya delegating (Hersey & Blanchard, 1986). Gaya kepemimpinan dan sikap pemimpin tersebut kemudian dipersepsi oleh bawahan sehingga dapat mempengaruhi motivasi kerjanya (Wahjosumidjo, 1987). Dengan kepemimpinan yang bersifat situasional, memungkinkan bawahan untuk berpartisipasi mengutarakan pendapat maupun hambatan yang dijumpai di tengah masyarakat untuk menciptakan keputusan bersama bagi kelangsungan organisasi (Topatimasang, 1988).
Pada organisasi profit, telah dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan gaya kepemimpinan situasional terhadap motivasi kerja yang menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (Rahadyani, 2005). Pada lingkup organisasi non-profit, penelitian mengenai motivasi kerja relawan
(31)
telah banyak dilakukan, namun penelitian sebelumnya digunakan untuk mengetahui hubungan antara perilaku prososial maupun altruisme terhadap motivasi kerja relawan (Damayanti, 2011 ; Puspita, 2012).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara efektivitas kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja relawan berdasarkan teori ERG pada organisasi non-profit di Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara efektivitas kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja relawan berdasarkan teori ERG pada organisasi non-profit di Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi ilmu Psikologi, khususnya pada bidang Psikologi Kepemimpinan, Psikologi Industri dan Organisasi, serta Psikologi Sosial terkait kepemimpinan situasional dan motivasi kerja dalam diri relawan.
(32)
2. Manfaat Praktis a. Bagi Subjek
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi subjek bahwa motivasi kerja merupakan unsur penting dalam suatu organisasi yang dapat dipicu oleh beberapa aspek pendorong. Dengan adanya informasi tersebut, diharapkan subjek dapat memahami aspek pendorong paling dominan dalam dirinya dan ikut berperan aktif untuk menjaga kestabilan motivasi kerjanya. Selain itu, diharapkan subjek dapat lebih terbuka kepada pemimpin organisasi dalam mengungkapkan hal apa yang menjadi kebutuhannya agar gaya kepemimpinan situasional dapat berfungsi secara efektif.
b. Bagi Organisasi dan Pemimpin Organisasi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi organisasi dan pemimpin untuk lebih memperhatikan kebutuhan dan aspek pendorong pada diri relawan dalam menjalankan tugasnya agar organisasi dan pemimpin dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai agar motivasi kerja relawan tetap terjaga dan dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan baik.
(33)
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KEPEMIMPINAN SITUASIONAL
1. Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dalam mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi (Terry,
dalam Thoha, 1988; Robbins, 2006; Riggio, 2009; Northouse, 2013). Selain itu, Rost (1993) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah
hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan bawahan yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersama (dalam Jansen, 2013). Keberhasilan suatu proses kepemimpinan dipengaruhi oleh cara pemimpin dalam menciptakan interaksi kerjasama serta mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab kelompok untuk mencapai tujuan organisasi (Wahjosumidjo, 1985). Oleh karena itu, seringkali pemimpin lebih banyak memiliki peran untuk menciptakan jalinan komunikasi dan mempertahankan hubungan dengan bawahan (Northouse, 2013).
Menurut Stogdill (dalam Wahjosumidjo, 1985), kepemimpinan memiliki beberapa definisi, yaitu :
a. Suatu seni untuk menciptakan kesepakatan dan pemahaman yang sama
(34)
b. Suatu bentuk persuasi dan inspirasi
c. Suatu kepribadian yang memiliki pengaruh d. Tindakan dan perilaku
e. Titik pusat pada proses kegiatan kelompok f. Hubungan kekuatan/ kekuasaan
g. Sarana pencapaian tujuan h. Suatu hasil dari interaksi
i. Suatu peran yang memiliki suatu pola j. Awal dari terbentuknya suatu struktur
Wahjosumidjo (1985) mendefinisikan kepemimpinan ke dalam beberapa definisi, yaitu :
a. Kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu, seperti kepribadian
(personality), kemampuan (ability), dan kesanggupan (capability).
b. Kepemimpinan adalah serangkaian kegiatan (activity) pemimpin yang tidak dapat dipisahkan dari kedudukan (posisi) serta gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri.
c. Kepemimpinan merupakan sebuah proses antarhubungan atau interaksi antara pemimpin, bawahan, dan situasi.
Kepemimpinan menurut Moenir (1988) adalah suatu sifat dan kemampuan yang dimiliki seseorang sehingga individu tersebut diikuti, dipatuhi, dihormati dan disayangi oleh orang lain serta bersedia dengan penuh keikhlasan melakukan perbuatan atau kegiatan yang dikehendaki
(35)
oleh individu tersebut (dalam Rahadyani, 2005). Selain itu, Bear dan Fitzgibbon (2005) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses pengelolaan yang seimbang antara efisiensi, keefektifan, misi dan visi untuk dapat menggerakkan organisasi (dalam McMurray et al., 2010). Hal tersebut didukung oleh pernyataan Wirawan (2013) yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses pemimpin menciptakan visi dan melakukan interaksi saling mempengaruhi dengan para anggota kelompok untuk merealisasikan visi mereka.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan, kepribadian, dan kesanggupan seseorang dalam memimpin, menggerakkan, mempengaruhi, menciptakan, dan mempertahankan hubungan dengan suatu kelompok melalui suatu gaya atau perilaku. Gaya atau perilaku tersebut dilakukan agar pemimpin diikuti, dipatuhi, dihormati, dan disayangi oleh kelompok tersebut sehingga tercipta suatu kesepakatan untuk mewujudkan tujuan bersama sesuai visi dan misi yang ada.
2. Kepemimpinan Situasional
Menurut Hersey dan Blanchard (1986), kepemimpinan situasional merupakan gaya kepemimpinan dimana peran pemimpin dianggap lebih mengayomi, memahami, serta memahami situasi dan kondisi yang terjadi di dalam organisasi. Hal ini dilakukan sebab pada beberapa penelitian menyatakan bahwa dalam suatu proses kepemimpinan, pemimpin yang
(36)
berhasil adalah pemimpin yang mampu mengadaptasikan gaya kepemimpinannya agar sesuai dengan faktor situasional yang ada di sekitarnya. Meskipun faktor situasional dipandang dapat mempengaruhi suatu proses kepemimpinan, namun kepemimpinan situasional lebih menekankan pada perilaku pemimpin dan bawahan (Hersey dan Blanchard, 1986). Hal ini didukung oleh pernyataan Sanford yang menyatakan bahwa bawahan merupakan faktor yang paling penting dalam setiap proses kepemimpinan (dalam Hersey dan Blanchard, 1986)
Kepemimpinan situasional menurut Hersey dan Blanchard (1986) merupakan suatu teori yang berfokus pada perilaku pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan yang disesuaikan dengan tingkat kematangan bawahan. Hal ini dilakukan untuk membantu orang-orang yang melakukan proses kepemimpinan agar lebih efektif dalam menjalankan peran mereka (Hersey dan Blanchard, 1986). Selain itu, kepemimpinan situasional didefinisikan sebagai proses kepemimpinan yang didasarkan atas hubungan saling mempengaruhi antara : 1) tingkat bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin (perilaku tugas), 2) tingkat dukungan sosioemosional yang disajikan pemimpin (perilaku hubungan), dan 3) tingkat kesiapan yang diperlihatkan bawahan dalam melaksanakan tugas, fungsi, atau tujuan tertentu (kematangan bawahan) (Hersey dan Blanchard, 1986).
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan situasional merupakan suatu gaya kepemimpinan yang
(37)
berfokus pada situasi di sekitar pemimpin, yaitu pada perilaku antara pemimpin dan bawahan, serta pada tingkat kematangan bawahan yang berkaitan dengan tugas. Oleh sebab itu, kepemimpinan situasional didasarkan pada hubungan antara tingkat bimbingan dan arahan, tingkat dukungan sosioemosional, dan level kematangan bawahan.
3. Gaya Kepemimpinan Situasional
Hersey dan Blanchard (1986) menguraikan bahwa terdapat empat gaya yang diterapkan dalam pelaksanaan kepemimpinan situasional, yaitu:
a. Telling (Memberitahukan)
Telling merupakan model kepemimpinan yang dapat diterapkan bagi bawahan yang memiliki tingkat kematangan yang rendah dalam pelaksanaan tugasnya. Pada tahap ini bawahan cenderung merasa tidak mampu dan tidak mau dalam memikul tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas sehingga bawahan pada tahap ini dapat dikategorikan sebagai bawahan yang tidak berkompeten. Faktor ketidakyakinan pada kemampuan diri dalam melaksanakan sebuah tugas menjadi faktor utama yang menghambat kematangan bawahan pada tahap ini.
Faktor ketidakyakinan bawahan yang menyebabkan gaya kepemimpinan telling menjadi model yang sesuai untuk bawahan pada tahap ini. Hal ini disebabkan karena gaya kepemimpinan telling
(38)
mengacu pada perilaku ‘memberitahukan’ yang dilakukan oleh
pemimpin kepada bawahan. Gaya kepemimpinan ini dicirikan oleh perilaku pemimpin yang membangun peran dan memberitahu bawahan mengenai apa, bagaimana, kapan, dan dimana dalam melaksanakan tugas. Oleh sebab itu, gaya kepemimpinan ini menekankan pada perilaku tugas yang tinggi dan rendah hubungan.
b. Selling (Menjajakan)
Bawahan pada model kepemimpinan selling merupakan bawahan dengan cakupan tingkat kematangan rendah ke sedang. Pada tahap ini bawahan merasa diri tidak mampu melaksanakan tugas, namun memiliki kemauan untuk memikul tanggung jawab dalam suatu tugas. Faktor kurangnya ketrampilan yang dimiliki bawahan menjadi salah satu faktor yang memicu rendahnya keyakinan bawahan pada tingkat kematangan ini. Oleh sebab itu, diperlukan adanya perilaku suportif untuk memperkuat keyakinan dan antusiasme bawahan pada level kematangan ini.
Gaya kepemimpinan selling merupakan model kepemimpinan yang sesuai untuk diterapkan pada level kematangan ini. Hal ini disebabkan karena pada gaya kepemimpinan ini, pemimpin fokus pada perilaku tugas yang tinggi dan diimbangi dengan hubungan yang tinggi pula. Proses ini dilakukan pemimpin dengan melakukan komunikasi dua arah dan memberikan penjelasan kepada bawahan.
(39)
Selain itu, pemimpin berusaha agar secara psikologis bawahan dapat ikut ambil bagian pada tugas yang diberikan.
c. Participating (Mengikutsertakan)
Participating merupakan gaya kepemimpinan yang diterapkan bagi bawahan pada tingkat kematangan sedang ke tinggi. Pada tahap ini, bawahan memiliki kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas namun tidak mampu melakukan hal-hal yang diinginkan pemimpin. Ketidakmauan mereka seringkali disebabkan oleh adanya rasa kurang yakin atau tidak merasa aman. Selain itu, ketidakmampuan seseorang untuk melaksanakan suatu tugas terkadang dipengaruhi oleh rendahnya motivasi kerja yang dimiliki oleh bawahan. Oleh sebab itu, perlu adanya komunikasi dua arah untuk mendorong motivasi kerja bawahan dalam melaksanakan suatu tugas dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki.
Gaya kepemimpinan participating merupakan model yang sesuai untuk diterapkan pada level kematangan ini. Hal ini disebabkan karena pemimpin memiliki peran utama untuk membangun suatu hubungan dan komunikasi yang baik dengan bawahan tanpa memberikan penekanan yang berlebih pada tugas. Oleh sebab itu, gaya kepemimpinan ini fokus pada perilaku tinggi hubungan dan rendah tugas.
(40)
d. Delegating (Mendelegasikan)
Gaya kepemimpinan delegating diterapkan bagi bawahan dengan tingkat kematangan yang tinggi. Bawahan dengan tingkat kematangan yang tinggi memiliki kemampuan, yakin, dan mampu untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Pada tahap ini, umumnya pemimpin hanya memberikan arahan tugas yang relatif rendah kepada bawahan. Hal ini disebabkan karena pemimpin memiliki keyakinan pada kompetensi dan kemampuan yang dimiliki oleh bawahan. Selain itu, pemimpin juga menilai bahwa secara psikologis bawahan telah memiliki kematangan yang baik pada setiap tugas yang diberikan. Oleh sebab itu, pemimpin tidak melakukan komunikasi dua arah kepada bawahan dan membangun hubungan yang relatif rendah. Dalam gaya kepemimpinan ini pemimpin menerapkan perilaku yang rendah hubungan dan rendah tugas.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat empat gaya kepemimpinan situasional yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan kepemimpinan situasional, yaitu gaya telling, gaya selling, gaya participating, dan gaya delegating.
4. Dimensi Kepemimpinan Situasional
Hersey dan Blanchard (1986) menguraikan tiga dimensi pokok yang diterapkan pemimpin kepada bawahan, yaitu perilaku tugas, perilaku
(41)
hubungan, dan kematangan bawahan (Hersey dan Blanchard, 1986). Menurut Hersey dan Blanchard (1986) serta Sopiah (2008), ketiga dimensi tersebut meliputi :
a. Perilaku tugas
Perilaku tugas merupakan suatu fungsi yang berhubungan dengan suatu hal yang harus dilaksanakan untuk memilih dan mencapai suatu tujuan secara rasional. Perilaku tugas dapat diciptakan oleh pemimpin melalui upaya pemimpin dalam proses penyusunan tujuan, pengarahan, dan pengendalian.
b. Perilaku hubungan
Perilaku hubungan merupakan suatu fungsi yang berhubungan dengan kepuasan emosi yang diperlukan untuk mengembangkan dan memelihara kelompok, masyarakat atau untuk mempertahankan keberadaan organisasi. Perilaku hubungan dapat diciptakan oleh pemimpin melalui upaya pemimpin dalam memberikan dukungan, mengkomunikasikan hal-hal yang berhubungan dengan organisasi, aktif menyimak, dan memberikan umpan balik mengenai kinerja bawahan.
c. Tingkat kematangan bawahan 1. Kematangan pekerjaan
Kematangan pekerjaan dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki seseorang yang
(42)
berguna untuk menunjang performa kerjanya. Individu yang memiliki kematangan pekerjaan yang tinggi dalam bidang tertentu akan memiliki pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu tanpa arahan dari orang lain. Kematangan bawahan dalam pekerjaan dapat diidentifikasi dari pengalaman pekerjaannya, pengetahuan yang dimiliki berkaitan dengan pekerjaan, dan pemahaman akan syarat pekerjaan yang akan dilakukan.
2. Kematangan psikologis
Kematangan psikologis dikaitkan dengan kemauan atau motivasi seseorang untuk melakukan suatu hal, selain itu kematangan psikologis ini erat kaitannya dengan keyakinan dalam diri individu tersebut. Individu yang memiliki kematangan secara psikologis dalam bidang atau tanggung jawab tertentu akan merasa bahwa tanggung jawab merupakan hal yang penting. Individu dengan kematangan psikologis yang tinggi memiliki keyakinan dalam dirinya dan merasa diri mampu dalam aspek pekerjaan tertentu sehingga mereka tidak membutuhkan dorongan ekstern dalam melaksanakan suatu tugas. Kematangan psikologis bawahan juga dapat diidentifikasi dari motivasi berprestasi dan keterikatan bawahan pada pekerjaannya.
(43)
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat tiga dimensi yang diterapkan dalam pelaksanaan kepemimpinan situasional, yaitu dimensi perilaku tugas, perilaku hubungan, dan kematangan bawahan yang diperhatikan dan dilakukan antara pemimpin dan bawahan.
5. Persepsi Terhadap Kepemimpinan Situasional
Menurut Robbins (dalam Ardana et al., 2008), persepsi adalah suatu proses dimana individu berusaha untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesannya terhadap suatu hal untuk memberi arti tertentu pada lingkungannya. Menurut Gitosudarmo (dalam Ardana et al., 2008), persepsi merupakan proses memberi perhatian, menyeleksi, mengorganisasikan kemudian menafsirkan stimulus yang ada di lingkungan.
Dalam proses kepemimpinan, keberhasilan seorang pemimpin pada suatu organisasi ditentukan pula oleh pandangan dan interpretasi yang dimaknai oleh bawahan (Putranto, 2004). Pandangan bawahan tersebut kemudian dipersepsi oleh bawahan sebagai bentuk penilaian terhadap kinerja pemimpin. Persepsi tersebut muncul dari berbagai pengalaman bawahan terkait proses kepemimpinan, motivasi yang diberikan, dan sikap-sikap pemimpin di dalam organisasi yang kemudian berperan penting dalam proses pembentukan sikap bawahan (Sadli, dalam Suharsih, 2001).
(44)
Berdasarkan konsep dari persepsi dan kepemimpinan situasional, dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap gaya kepemimpinan situasional adalah sebuah proses penilaian individu terhadap pemimpin dengan melibatkan seluruh pengalaman dan sikap dalam proses kepemimpinan. Proses ini didasarkan pada perilaku tugas dan perilaku dukungan pemimpin kepada bawahannya yang disesuaikan dengan kematangan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi.
B. MOTIVASI KERJA
1. Definisi Motivasi
Motivasi berasal dari bahasa Latin ‘movere’, yang berarti menggerakkan (Altman et al., 1985; Hasibuan dalam Siadari, 2010; Steers dan Porter, dalam Wijono, 2010). Namun, arti kata motivasi sendiri telah mengalami perkembangan. Steers mengatakan bahwa motivasi bukan hanya sebatas pergerakan, melainkan telah berkembang menjadi sesuatu yang mendorong, mengarahkan, dan menopang perilaku seseorang (dalam Riggio, 2009). Selain itu, Kelly mengatakan bahwa motivasi merupakan suatu kekuatan yang memelihara dan mengubah suatu arah, kualitas, dan intensi dalam berperilaku (dalam Altman et al., 1985).
Motivasi adalah suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang (Wahjosumidjo, 1985). Selain itu, Martoyo mengatakan bahwa motivasi merupakan dorongan dalam diri seseorang
(45)
yang muncul untuk mengarahkan dan mempertahankan perilaku sehingga individu dapat mencapai tujuan (dalam Siadari, 2010). Hal tersebut dikemukakan pula oleh Robbins (2006) yang mengatakan bahwa motivasi adalah proses dalam menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam mencapai sasaran.
Menurut Wiramihardja (dalam Tawale et al., 2011), motivasi diartikan sebagai kebutuhan psikologis di dalam diri individu yang memiliki arah sehingga harus dipenuhi agar kehidupan kejiwaannya terpelihara dan seimbang. Selain itu, Suseno dan Sugiyanto (2010) menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu model yang dapat menggerakkan dan mengarahkan individu agar dapat melaksanakan tugas mereka masing-masing dalam mencapai tujuan dengan penuh kesadaran, kegairahan, dan bertanggungjawab. Hal ini sesuai dengan pernyataan Robbins (dalam Brahmasari dan Suprayetno, 2008) bahwa motivasi merupakan keinginan individu untuk melakukan suatu hal sebagai bentuk kesediaan untuk melakukan suatu usaha dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi untuk memenuhi kebutuhan individu.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan interaksi antara sikap, kebutuhan, dan persepsi seseorang sehingga tercipta suatu usaha dan kemauan yang mendorong, mengarahkan, menopang, dan mempertahankan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas individu tersebut. Dalam proses interaksi tersebut,
(46)
dorongan dipenuhi sebagai bentuk kesediaan dalam mencapai tujuan untuk mememnuhi kebutuhan agar kehidupan jiwanya seimbang.
2. Definisi Motivasi Kerja
Menurut Vroom (dalam Thomas, 2010), motivasi kerja merupakan suatu proses dalam diri individu untuk mengawali dan mengarahkan suatu perilaku/tindakan. Menurut Massie dan Douglas (dalam Thomas, 2010), motivasi kerja adalah pergerakan gagasan seseorang untuk melakukan tindakan dalam mencapai tujuan. Hal tersebut dikemukakan pula oleh Wijono (2010) yang mengatakan bahwa motivasi kerja adalah kesungguhan atau usaha dari individu untuk melakukan pekerjaannya guna mencapai tujuan organisasi disamping tujuannya sendiri.
Menurut Steers dan Porter (dalam Suseno dan Sugiyanto, 2010), motivasi kerja adalah suatu usaha yang dapat menimbulkan suatu perilaku, mengarahkan perilaku, dan memelihara atau mempertahankan perilaku yang sesuai dengan lingkungan kerja dalam organisasi (dalam Suseno dan Sugiyanto, 2010). Menurut Schneider dan Alderfer (1973), motivasi kerja merupakan suatu dorongan untuk memenuhi kebutuhan pokok individu. Selain itu, menurut Tjalla (dalam Suseno dan Sugiyanto, 2010) yang menyatakan bahwa motivasi kerja merupakan dorongan akan kebutuhan pokok manusia yang diharapkan dapat terpenuhi sehingga jika kebutuhan tersebut tercapai akan berakibat positif pada kesuksesan
(47)
seseorang. Seseorang yang memiliki motivasi kerja tinggi akan berusaha agar pekerjaannya dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja merupakan dorongan yang menimbulkan perilaku kerja, keinginan, dan kesungguhan seseorang untuk ikut ambil bagian dalam suatu tindakan, serta memelihara, mempertahankan, dan mengarahkan tindakan tersebut hingga mencapai tujuan tertentu dari suatu organisasi atau kebutuhan psikologisnya.
3. Teori Motivasi Kerja
Secara umum, motivasi kerja dibagi ke dalam empat kelompok teori motivasi, yaitu Teori Motivasi Kebutuhan (Need Theories of Motivation), Teori Motivasi Dasar Perilaku (Behavior-Based Theories of Motivation), Teori Motivasi Desain Kerja (Job Design Theories of Motivation), dan Teori Motivasi Kognitif (Cognitive Theories of Motivation) (Riggio, 2009). Teori motivasi kebutuhan menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor fisiologis dan psikologis dalam diri individu yang mendorong dan mengarahkan seseorang untuk dapat memenuhinya (Riggio, 2009). Menurut Riggio (2009), teori motivasi kebutuhan terdiri dari: 1) Teori Hierarki Kebutuhan Dasar (Basic Need Theories), 2) Teori ERG (ERG Theory), 3) Teori Motivasi Berprestasi McClelland
(48)
Teori motivasi dasar perilaku berfokus pada perilaku sebagai suatu hal yang penting agar dapat mempengaruhi motivasi kerja (Riggio, 2009). Menurut Riggio (2009), teori motivasi dasar perilaku terdiri dari tiga teori, yaitu: 1) Teori Penguatan (Reinforcement Theory), 2) Motivasi Intrinsik vs Ektrinsik (Extrinsic versus Intrinsic Motivation), dan 3) Teori Tujuan (Goal-setting Theory).
Riggio (2009) mengemukakan bahwa teori motivasi desain kerja berfokus pada perilaku agar seseorang dapat termotivasi. Menurut Riggio (2009), teori motivasi desain kerja terdiri dari dua teori, yaitu: 1) Teori Dua Faktor Herzberg (Herzberg’s Two-factor Theory) dan 2) Karakteristik Pekerjaan (Job Characteristic Model).
Teori motivasi kognitif menurut Riggio (2009) merupakan teori yang menampilkan pandangan bahwa pekerja memiliki pemikiran rasional yang mempertimbangkan kerugian dan keuntungan sebelum ia melakukan suatu pekerjaan. Riggio (2009) membagi teori motivasi kognitif kedalam dua teori, yaitu: 1) Teori Motivasi Keadilan (Equity Theory of Motivation) dan 2) Teori Motivasi Harapan (Expectancy Theory of Motivation).
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori motivasi kebutuhan, yaitu teori motivasi ERG yang dikemukakan oleh Alderfer. Hal ini disebabkan karena dalam wawancara yang telah peneliti lakukan terhadap beberapa relawan sebagai sample penelitian, peneliti memperoleh data bahwa alasan sebagian relawan untuk bergabung dalam
(49)
organisasi non-profit disebabkan adanya kebutuhan relawan untuk mempelajari hal baru dan berkembang. Selain itu, sebagian relawan mengemukakan bahwa alasan untuk bergabung sebagai relawan dimotivasi oleh adanya kebutuhan untuk menjalin relasi dalam lingkungan baru (Komunikasi pribadi, 19 Juni 2014; Komunikasi pribadi, 1 September 2014). Kebutuhan-kebutuhan yang memotivasi seseorang untuk bergabung sebagai relawan pada organisasi non-profit ini sesuai dengan teori motivasi kerja ERG yang dikemukakan oleh Alderfer.
4. Teori Motivasi Kerja “ERG”
Teori motivasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Motivasi ERG yang dikemukakan oleh Schneider dan Alderfer (1973). Teori motivasi kerja ERG dilatarbelakangi oleh tiga kebutuhan utama yang ada dalam diri individu, yaitu existence needs, relatedness needs, dan growth needs (Schneider et al., 1973; Alderfer et al., 1979).
Teori ERG ini sebenarnya merupakan ringkasan dari teori kebutuhan yang dikembangkan oleh Maslow (Schneider et al., 1973; Alderfer et al., 1979). Existence needs (kebutuhan keberadaan/eksistensi) dalam teori ERG merupakan rangkuman dari kebutuhan yang dikembangkan oleh Maslow, yaitu kebutuhan fisiologis. Selain itu,
relatedness needs (kebutuhan berelasi) memiliki pemahaman yang sama dengan kebutuhan sosial Maslow dan kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan terakhir yang dikemukakan oleh Alderfer adalah growth needs
(50)
(kebutuhan untuk berkembang) merupakan rangkuman dari kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri yang dikembangkan oleh Maslow. Kebutuhan untuk berkembang ini juga berfokus pada aspek lingkungan sebagai tempat dimana seseorang dapat berkembang (Schneider et al., 1973).
Dalam pemenuhan kebutuhan, Alderfer mengatakan bahwa teori ERG tidak memiliki hierarki yang kaku dimana kebutuhan yang lebih rendah harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum seseorang melakukan usaha untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Teori ERG berargumen bahwa kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah yang telah terpenuhi akan menyebabkan seseorang memiliki hasrat untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi. Walaupun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan ganda dapat memotivasi seseorang untuk melakukan suatu tindakan di saat yang sama (dalam Robbins, 2006). Menurut Tjalla (dalam Suseno dan Sugiyanto, 2010), semakin terpenuhinya kebutuhan seseorang, maka motivasi kerjanya juga akan semakin tinggi.
5. Jenis-jenis Kebutuhan Motivasi Kerja ERG
Alderfer et al., (1979) mengatakan bahwa terdapat tiga kebutuhan yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yaitu :
a. Existence Needs (Kebutuhan Keberadaan/Eksistensi)
Menurut Alderfer, existence needs meliputi berbagai macam tingkat dorongan yang berkaitan dengan kebutuhan materi dan fisik.
(51)
Objek tersebut merupakan kebutuhan yang mendasar yang harus dipenuhi oleh setiap individu sehingga timbul suatu proses untuk dapat memenuhinya. Dalam proses pemenuhan tersebut, dibutuhkan adanya suatu kompetisi sebab ketersediaan objek materi tersebut terbatas
b. Relatedness Needs (Kebutuhan Berelasi)
Relatedness needs berfokus pada individu lain, baik secara individual maupun kelompok, sebagai target dalam memenuhi kebutuhan untuk menjalin hubungan sosial. Proses pemenuhan kebutuhan ini dilakukan dengan cara saling memberi dan menerima nilai-nilai positif dan negatif serta saling mempengaruhi antar individu.
c. Growth Needs (Kebutuhan Perkembangan)
Menurut Alderfer et al., (1979), growth needs merupakan keinginan seseorang untuk berproses agar dapat bertumbuh dan berkembang secara lebih kreatif dan produktif. Kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan ini akan timbul apabila individu dapat menyelesaikan segala permasalahan serta menunjukkan potensi diri dan mengembangkan kemampuannya (Schneider dan Alderfer, 1973).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat tiga jenis kebutuhan yang mendorong terciptanya motivasi dalam diri seseorang, yaitu existence needs, relatedness needs, dan growth needs.
(52)
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja
Dalam proses pemenuhan kebutuhan, Alderfer (dalam Siagian, 1989) menekankan bahwa kebutuhan akan eksistensi, kebutuhan berelasi, dan kebutuhan untuk berkembang (existence, relatedness, dan growth) tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : 1) faktor sosial, 2) faktor budaya, 3) latar belakang sosial, 4) latar belakang pendidikan, dan 5) kemampuan yang dimiliki. Menurut Ramilo, Shrum, dan Narul (dalam Biri dan Iwu, 2014), faktor budaya merupakan salah satu hal yang mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Dalam penelitian yang telah dilakukan, dikatakan bahwa faktor budaya yang berkembang mengajarkan seorang pria agar dapat bekerja keras dan lebih termotivasi dalam memenuhi kebutuhannya dibandingkan seorang wanita.
Menurut Ardana et al., (2008), motivasi kerja seseorang dipengaruhi oleh karakteristik dalam diri individu itu sendiri dan faktor-faktor pekerjaan, yaitu faktor-faktor lingkungan pekerjaan dan faktor-faktor dalam pekerjaan. Dalam teori ini, terdapat berbagai macam faktor yang mempengaruhi motivasi kerja seseorang berdasarkan karakteristik dalam diri individu, yaitu : 1) minat, 2) sikap terhadap diri sendiri, pekerjaan, dan situasi pekerjaan, 3) kebutuhan individual, 4) kemampuan dan kompetensi, 5) pengetahuan tentang pekerjaan, dan 6) emosi, suasana hati, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang dianut oleh individu tersebut.
(53)
Selain berdasarkan karakteristik dalam diri individu, terdapat pula faktor-faktor pekerjaan yang mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja berdasarkan faktor lingkungan pekerjaan, yaitu : 1) gaji dan keuntungan yang diterima, 2) kebijakan-kebijakan perusahaan, 3) supervisi, 4) hubungan antar individu dalam lingkungan kerja, 5) kondisi fisik lingkungan kerja dan durasi kerja, dan 6) budaya organisasi. Pada faktor dalam pekerjaan, faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang adalah : 1) sifat pekerjaan, 2) rancangan tugas/pekerjaan, 3) pemberian pengakuan terhadap prestasi, 4) tingkat/ besarnya tanggung jawab yang diberikan, 5) adanya perkembangan dan kemajuan dalam pekerjaan, dan 6) adanya kepuasan dari pekerjaan.
As’ad (1978) mengatakan bahwa motivasi kerja yang baik
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : 1) pekerjaan yang tetap, 2) teman kerja yang baik, 3) pimpinan yang baik, 4) kesempatan untuk memperoleh pengalaman dari pekerjaannya, 5) suasana kerja yang menyenangkan, 6) kesempatan untuk mengabdi kepada masyarakat, 7) jaminan sosial yang baik, 8) keadaan tempat kerja yang menyenangkan, 9) kesempatan untuk berprestasi, 10) gaji yang tinggi, 11) jam kerja yang singkat, dan 12) pekerjaan yang relatif mudah. Menurut Ross et al., (1999), jam kerja yang ditentukan oleh organisasi memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses mempertahankan motivasi kerja seseorang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nesbitt et al., (dalam
(54)
Ross et al., 1999) dikatakan bahwa adanya jam kerja terlalu padat akan berpengaruh secara negatif terhadap suasana hati seseorang yang akan berpengaruh pula terhadap tingkat motivasi kerjanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa motivasi kerja dalam diri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor dalam diri individu, faktor lingkungan pekerjaan, faktor dalam pekerjaan, faktor sosial, faktor budaya, latar belakang sosial, dan latar belakang pendidikan.
C. RELAWAN ORGANISASI NON-PROFIT
1. Organisasi Non-Profit
Menurut Koteen (dalam Salusu, 1996), organisasi non-profit adalah badan-badan pemerintahan yang dibentuk dengan undang-undang dan diberi wewenang untuk memberi pelayanan. Selain itu, Salusu mendefinisikan organisasi non-profit tidak semata-mata sebagai organisasi swasta yang bersifat sosial, namun organisasi non-profit juga merupakan badan-badan pemerintah yang memiliki tugas pokok dalam memberikan pelayanan umum kepada masyarakat walaupun hal tersebut mendatangkan keuntungan (1996).
Menurut Axelrod dan Nahavandi, organisasi non-profit merupakan organisasi dengan dasar kepemimpinan sukarela dan tidak mendapatkan upah, tetapi orang-orang yang terlibat dalam organisasi ini memiliki
(55)
ketertarikan pada misi organisasi (dalam Varela, 2013). Selain itu, Phipps dan Burbach (dalam Varela, 2013) mendefinisikan organisasi non-profit sebagai organisasi yang memiliki misi untuk melayani masyarakat, menciptakan, dan mempertahankan kepercayaan masyarakat.
Anthony dan Young (dalam Salusu, 1996) mendefinisikan organisasi non-profit ke dalam beberapa karakteristik yang melekat pada organisasi ini, antara lain : 1) tidak bermotif mencari keuntungan, 2) adanya pertimbangan khusus dalam pembebanan pajak, 3) ada kecenderungan semata-mata berorientasi pada pelayanan, 4) banyak menghadapi kendala yang besar pada tujuan dan strategi, dan 5) tidak banyak menggantungkan diri pada klien untuk mendapatkan bantuan finansial.
Menurut Wolf (1984), organisasi non-profit memiliki empat karakteristik, yaitu :
a. Organisasi non-profit harus dapat menyatukan dan memiliki tujuan yang berguna bagi masyarakat
b. Struktur organisasi non-profit harus dihindarkan dari keinginan dan kepentingan pribadi
c. Organisasi non-profit harus dibebaskan dari pajak
d. Organisasi non-profit memiliki status khusus di dalam hukum Oleck (dalam Salusu, 1996) membagi organisasi non-profit ke dalam tiga kategori, yaitu :
(56)
a. Public benefit, yaitu keuntungan yang diperoleh organisasi ini difokuskan untuk dinikmati bagi masyarakat umum, seperti museum, sekolah, rumah sakit, dll.
b. Mutual benefit, yaitu keuntungan yang diraih oleh organisasi dinikmati secara bersama.
c. Private benefit, yaitu organisasi hanya mencari untung dalam jumlah yang sedikit dan dibebaskan dari pajak. Selain itu, keuntungan finansial yang didapat hanya dipergunakan untuk membiayai belanja rutin dan pemeliharaan.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa organisasi non-profit merupakan badan-badan pemerintahan dengan dasar kepemimpinan sukarela yang memiliki tugas pokok untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Individu yang terlibat di dalam organisasi non-profit tidak memiliki motif untuk mencari keuntungan finansial dan banyak menghadapi kendala dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam penelitian ini, peneliti memberikan batasan bentuk organisasi non-profit, yaitu :
1. Bentuk kegiatan yang dilakukan berupa pelayanan kepada masyarakat dalam bidang sosial, kemanusiaan, dan pendidikan. 2. Anggota maupun pengurus disebut sebagai relawan atau staf.
(57)
3. Organisasi bersifat non-profit atau tidak mencari keuntungan finansial. Honor dalam organisasi hanya bersifat sebagai pengganti biaya operasional.
2. Relawan
Menurut Herman dan Heimovics (dalam Puspita, 2012) sejumlah organisasi non-profit membutuhkan relawan untuk menjalankan sejumlah pelayanan utama yang menjadi kegiatan dari organisasi tersebut. Hal ini didukung oleh pernyataan Worth (dalam Varela, 2013) yang menyatakan bahwa relawan merupakan ujung tombak dan sumber kekuatan bagi organisasi non-profit.
Dalam penelitiannya, Suparlan (1997) mendefinisikan relawan sebagai warga masyarakat baik perorangan maupun kelompok, yang mau dan mampu memberikan pemikiran, keahlian, barang, jasa, kemudahan, serta waktu dalam pengabdian secara aktif di bidang kesejahteraan sosial. Selain itu, Schroender mengatakan bahwa relawan merupakan individu yang tidak mengharapkan upah atau keuntungan finansial, tetapi memiliki kerelaan untuk menyumbangkan tenaga atau jasa, kemampuan, dan waktu dalam melakukan suatu pelayanan kepada masyarakat (dalam Hutapea et al., 2012)
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa relawan merupakan warga masyarakat baik perorangan maupun kelompok yang mau dan mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang
(58)
diberikan oleh relawan dapat berupa pemikiran, keahlian, barang, jasa, serta waktu dalam pengabdian secara aktif di bidang kesejahteraan sosial dan tidak mengharapkan upah atau keuntungan finansial.
D. DINAMIKA HUBUNGAN ANTARA EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DENGAN MOTIVASI KERJA RELAWAN BERDASARKAN TEORI ERG PADA ORGANISASI NON-PROFIT DI YOGYAKARTA
Organisasi non-profit sebagai badan pemerintahan memiliki tugas pokok untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan ini dilakukan oleh beberapa individu secara sukarela demi terciptanya kesejahteraan di tengah masyarakat. Individu yang terlibat dalam pelayanan ini disebut sebagai relawan. Menurut Schroender (dalam Hutapea et al., 2012), relawan merupakan individu atau kelompok yang memiliki kerelaan untuk melakukan beberapa hal sebagai wujud pengabdian masyarakat demi terciptanya kesejahteraan di tengah masyarakat.
Pengabdian kepada masyarakat bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan. Hal ini disebabkan oleh relawan tidak memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian yang sama sehingga pelayanan dapat dikatakan tidak memiliki keseragaman (Wolf, 1984). Dalam proses pelayanan kepada masyarakat, relawan dituntut agar dapat memenuhi harapan masyarakat terkait permasalahan sosial yang timbul meskipun tidak ada keseragaman pendidikan dan keahlian pada seluruh relawan. Hal ini menyebabkan peran pemimpin begitu penting dalam proses pengkoordinasian
(59)
relawan organisasi non-profit agar tercipta pola yang sama pada proses pelayanan (Wolf, 1984).
Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menggerakkan suatu kelompok sebagai upaya untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok. Proses pencapaian tujuan ini dilakukan dengan cara membangun tim, menciptakan kesatuan, menyelesaikan perselisihan dalam kelompok, dan mempengaruhi setiap individu yang tergabung dalam organisasi tersebut (Kreitner dan Kinicki, 2005). Keberhasilan dalam menggerakkan dan menciptakan suatu hubungan kerjasama ditentukan oleh bentuk kepemimpinannya. Dalam penelitian ini, bentuk kepemimpinan yang digunakan adalah gaya kepemimpinan situasional. Hal ini disebabkan karena pada bentuk kepemimpinan situasional menuntut seorang pemimpin untuk memiliki kepekaan dalam membaca situasi yang dihadapi lingkungan di sekitar kelompok untuk menentukan keefektifan perilaku kepemimpinannya. Selain berfokus pada situasi, kepemimpinan situasional juga menekankan pada hubungan yang terjalin antara pemimpin dan bawahan.
Dalam prosesnya, kepemimpinan situasional didasarkan atas hubungan antara : 1) kadar bimbingan dan arahan (perilaku tugas) pemimpin terhadap bawahan, 2) kadar dukungan sosioemosional (perilaku hubungan) yang diberikan pemimpin terhadap bawahan, dan 3) level kematangan atau kesiapan bawahan yang nampak dari usaha yang dilakukan bawahan dalam setiap tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh pemimpin. Berdasarkan
(60)
ketiga hubungan tersebut, teori kepemimpinan situasional mengatakan bahwa tingkat kematangan bawahan dianggap bagian penting dalam menentukan perilaku pemimpin (Hersey & Blanchard, 1986). Perilaku pemimpin yang disesuaikan dengan kematangan bawahan tersebut akan diterapkan dalam gaya yang beragam, yaitu gaya telling, gaya selling, gaya participating, dan gaya delegating (Hersey & Blanchard, 1986). Oleh sebab itu, pemimpin perlu mengetahui dan memahami tingkat kematangan bawahan agar dapat menyesuaikan pola kepemimpinannya. Tingkat kematangan yang ditunjukkan bawahan atas suatu tugas, fungsi, atau tujuan tertentu menjadi penentu banyaknya pengarahan atau dukungan yang harus diberikan oleh pemimpin kepada setiap bawahan dalam kelompok tersebut (Hersey & Blanchard, 1986; Madianto, 2003).
Pada proses kepemimpinan situasional, penerapan masing-masing dimensi kepemimpinan situasional tersebut akan dipersepsikan oleh bawahan, baik secara positif maupun negatif. Persepsi positif merupakan kesesuaian harapan dengan proses yang dilakukan pemimpin (efektif) sehingga bawahan merasakan adanya rasa penghargaan dalam diri bawahan. Hal ini akan memacu semangat kerja, prestasi kerja, kepuasan kerja, dan meminimalkan intensitas absen dan resiko burnout pada bawahan. Sebaliknya, persepsi negatif merupakan penilaian dan pandangan anggota yang menimbulkan perasaan tidak didukung, tidak diperhatikan, tidak nyaman, dan tidak termotivasi untuk bekerja dikarenakan proses kepemimpinan yang tidak efektif (Putranto, 2004; Anoraga, dalam Tawale et al., 2011; As’ad, 1978;
(61)
Gibson et al., dalam Brahmasari dan Suprayetno, 2008, Tawale et al., 2011). Persepsi positif dan negatif dari proses kepemimpinan akan mempengaruhi tingkat motivasi kerja bawahan. Motivasi kerja adalah suatu dorongan dalam diri seseorang yang nampak dalam suatu tindakan sehingga individu tersebut memiliki keinginan untuk berperan aktif dalam proses pencapaian tujuan organisasi. Teori motivasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kebutuhan dasar yang dikembangkan oleh Alderfer.
Alderfer (1979) mengatakan bahwa terdapat tiga kebutuhan dasar yang mendasari motivasi kerja seseorang, yaitu kebutuhan eksistensi, kebutuhan menjalin relasi, dan kebutuhan untuk berkembang. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, setiap individu memiliki tingkat motivasi yang berbeda dalam memenuhi masing-masing kebutuhan. Hal ini menyebabkan teori motivasi ERG tidak memiliki hierarki yang kaku dalam proses pemenuhan kebutuhannya. Selain itu, tingkat prioritas kebutuhan seseorang juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya : 1) faktor sosial, 2) faktor budaya, 3) latar belakang sosial, 4) latar belakang pendidikan, dan 5) kemampuan yang dimiliki (Alderfer, dalam Siagian, 1989).
Terdapat berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kerja individu (Ardana et al., 2008). Steers dan Porter (1983) berpendapat bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi kerja bawahan adalah kualitas hubungan antara bawahan dan atasan. Kualitas hubungan yang baik antara bawahan dan atasan dapat dilakukan dengan memberikan motivasi dan menginspirasi bawahan untuk ikut ambil bagian bagi kemajuan organisasi
(62)
(Nahavandi dan Worth, dalam Varela, 2013). Selain itu, pemberian dorongan sebagai salah satu bentuk motivasi penting untuk dilakukan pemimpin untuk meningkatkan gairah kerja bawahan sehingga dapat mencapai hasil yang dikehendaki (Radig dan Soegiri, dalam Brahmasari et al., 2008). Proses ini sebaiknya disesuaikan pula dengan kebutuhan masing-masing individu yang beragam. Hal ini dilakukan agar motivasi kerja bawahan tetap terjaga serta dapat memberikan hasil yang optimal.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti ingin mengetahui hubungan antara efektivitas kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja ERG relawan pada organisasi non-profit di Yogyakarta.
(63)
E. SKEMA PENELITIAN/ KERANGKA PENELITIAN
Gambar 1. Bagan Dinamika Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan Situasional dengan Motivasi Kerja Relawan
Organisasi Non-Profit
- Yakin dan memiliki semangat
untuk menjadi lebih unggul
- Terjalin komunikasi dan
hubungan yang akrab dengan rekan kerja
- Memiliki keinginan untuk
berkembang dan pantang menyerah
- Penuh keraguan dalam
mengerjakan tugas
- Menarik diri dari pergaulan
dengan rekan kerja
- Kurang memiliki keinginan
untuk berkembang dan mudah putus asa
MOTIVASI TINGGI MOTIVASI RENDAH
Gaya Telling
- Perilaku tugas
tinggi
- Perilaku
hubungan rendah
Tidak sesuai dengan kematangan bawahan
Kepemimpinan Situasional
Persepsi Negatif Persepsi Positif
Gaya Selling
- Perilaku tugas
tinggi
- Perilaku
hubungan tinggi
Gaya Participating
- Perilaku tugas
rendah
- Perilaku
hubungan tinggi
Gaya Delegating
- Perilaku tugas
rendah
- Perilaku
hubungan rendah
Sesuai dengan kematangan bawahan
(64)
F. HIPOTESIS
Hipotesis penelitian adalah terdapat hubungan antara efektivitas kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja relawan berdasarkan teori ERG pada organisasi non-profit di Yogyakarta.
(65)
41
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian korelasional kuantitatif. Menurut Noor (2011), pendekatan korelasional merupakan studi yang diterapkan untuk mengetahui hubungan dua variabel atau lebih dan bertujuan untuk menguji suatu hipotesis. Proses uji hipotesis tersebut dilakukan untuk mengetahui hubungan antarvariabel atau untuk menyatakan besar kecilnya hubungan antara kedua variabel. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan situasional dengan motivasi kerja relawan pada organisasi non-profit.
B. Identifikasi Variabel
Variabel merupakan pengelompokkan dua atau lebih atribut dari suatu objek penelitian yang diteliti untuk menguji suatu hipotesis. Suatu variabel pada umumnya dapat diberi nilai angka (kuantitatif) atau nilai mutu (kualitatif) (Noor, 2011).
1. Variabel bebas : Efektivitas Kepemimpinan Situasional 2. Variabel terikat : Motivasi Kerja ERG
(66)
C. Definisi Operasional
Definisi operasional menurut Noor (2011) adalah suatu bagian yang mendefinisikan sebuah konsep/ variabel agar dapat diukur, baik dengan mengacu pada dimensi (indikator) dari suatu konsep/ variabel. Dimensi (indikator) tersebut dapat berupa perilaku, aspek, atau sifat/ karakteristik dari suatu variabel (Sekaran, dalam Noor, 2011).
1. Motivasi Kerja
Motivasi kerja merupakan dorongan relawan organisasi non-profit untuk mengerahkan kemampuannya dalam perilaku kerja dan memenuhi beberapa kebutuhan dalam dirinya, yaitu : kebutuhan eksistensi, kebutuhan berelasi, dan kebutuhan untuk berkembang. Motivasi kerja dalam penelitian ini dapat diketahui dengan mengacu pada skor total dalam skala motivasi kerja ERG yang dibuat sendiri oleh peneliti. Skala motivasi kerja ini akan terbagi menjadi tiga kelompok skala berdasarkan jenis-jenis kebutuhan motivasi kerja ERG. Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi pula motivasi kerja seseorang. Semakin rendah skor yang diperoleh, maka semakin rendah motivasi kerjanya.
2. Efektivitas Kepemimpinan Situasional
Efektivitas kepemimpinan situasional merupakan kesesuaian proses kepemimpinan dengan kematangan bawahan sehingga bawahan dapat melaksanakan tugas yang diberikan oleh pemimpin sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Efektivitas kepemimpinan situasional dalam
(67)
penelitian ini dapat diketahui dengan mengacu pada skor dalam skala kepemimpinan situasional yang terdiri dari tiga skala, yaitu 1) Skala Perilaku Tugas, 2) Skala Perilaku Hubungan, dan 3) Skala Kematangan Pekerjaan dan Psikologis. Ketiga skala ini dibuat sendiri oleh peneliti. Skor dalam penelitian ini nantinya akan dilihat apakah proses kepemimpinan bersifat efektif atau tidak efektif.
D. Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah relawan organisasi non-profit yang bergerak dalam bidang sosial, kemanusiaan, dan pendidikan. Subjek penelitian adalah relawan dengan kriteria relawan telah terlibat aktif dalam organisasi minimal selama 6 bulan. Hal ini disebabkan karena seseorang yang telah bekerja selama 6 bulan dianggap telah mengenal kondisi lingkungan kerja, baik kondisi fisik lingkungan atau relasi sosial yang terjalin (Ardana et al., 2008).
Subjek penelitian dipilih menggunakan metode nonprobability sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dimana setiap anggota populasi tidak memiliki kesempatan atau peluang yang sama sebagai sampel (Noor, 2011). Salah satu bentuk teknik nonprobability sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Dalam penelitian ini, seseorang diambil sebagai sampel dengan pertimbangan khusus sehingga layak dijadikan sampel (Noor, 2011). Pertimbangan ini dilakukan dengan cara melibatkan relawan yang telah bekerja aktif selama minimal 6 bulan di dalam
(1)
152
2.
Uji Normalitas Kebutuhan Berelasi
Descriptives
Statistic Std. Error
KEB_BERELASI Mean 36.00 .374
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 35.25
Upper Bound 36.75
5% Trimmed Mean 36.02
Median 36.00
Variance 10.222
Std. Deviation 3.197
Minimum 29
Maximum 42
Range 13
Interquartile Range 6
Skewness -.039 .281
Kurtosis -.771 .555
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.
KEB_BERELASI .100 73 .068 .976 73 .168
(2)
153
3.
Uji Normalitas Kebutuhan Berkembang
Descriptives
Statistic Std. Error
KEB_BERKEMBANG Mean 22.70 .235
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 22.23
Upper Bound 23.17
5% Trimmed Mean 22.69
Median 23.00
Variance 4.019
Std. Deviation 2.005
Minimum 19
Maximum 28
Range 9
Interquartile Range 3
Skewness -.072 .281
Kurtosis -.388 .555
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.
KEB_BERKEMBANG .153 73 .000 .955 73 .010
(3)
154
4.
Uji Normalitas Dimensi Perilaku Tugas
Descriptives
Statistic Std. Error
PERILAKU_TUGAS Mean 32.25 .421
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 31.41
Upper Bound 33.08
5% Trimmed Mean 32.15
Median 31.00
Variance 12.911
Std. Deviation 3.593
Minimum 26
Maximum 40
Range 14
Interquartile Range 4
Skewness .540 .281
Kurtosis -.495 .555
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.
PERILAKU_TUGAS .159 73 .000 .936 73 .001
(4)
155
5.
Uji Normalitas Dimensi Perilaku Hubungan
Descriptives
Statistic Std. Error
PERILAKU_HUBUNGAN Mean 31.12 .446
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 30.23
Upper Bound 32.01
5% Trimmed Mean 31.10
Median 31.00
Variance 14.526
Std. Deviation 3.811
Minimum 21
Maximum 40
Range 19
Interquartile Range 4
Skewness .173 .281
Kurtosis .226 .555
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.
PERILAKU_HUBUNGAN .108 73 .036 .981 73 .359
(5)
156
6.
Uji Normalitas Dimensi Kematangan Bawahan
Descriptives
Statistic Std. Error
KEMATANGAN_BAWAHAN Mean 37.16 .484
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 36.20
Upper Bound 38.13
5% Trimmed Mean 37.12
Median 36.00
Variance 17.111
Std. Deviation 4.137
Minimum 27
Maximum 47
Range 20
Interquartile Range 5
Skewness .429 .281
Kurtosis .379 .555
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.
KEMATANGAN_BAWAHAN .146 73 .001 .956 73 .013
(6)
157
Uji Data Tambahan
Uji Data Tambahan
1.
Masa Kerja
–
Motivasi Kerja
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 6.122a 2 .047
Likelihood Ratio 6.032 2 .049
Linear-by-Linear Association 3.732 1 .053
N of Valid Cases 144
2.
Jenis Kelamin
–
Motivasi Kerja
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 8.467a 4 .076
Likelihood Ratio 8.673 4 .070
Linear-by-Linear Association 6.754 1 .009