Standar Pengukuran Arsitektur Hijau

7 3. Green Star Standar Bangunan Hijau Australia. Standar penilaian Green Star dicetuskan oleh Green Building Council Australia GBCA tahun 2002. Penilaian ini membagi bangunan ke dalam sejumlah tipe, yakni bangunan hunian, kesehatan, perbelanjaan, pendidikan, perkantoran baru, dan perkantoran eksisting. 4. Green Mark Standar Bangunan Hijau Singapura. Green Mark dikeluarkan oleh Building Council Association BCA Singapura pada tahun 2005. Standar ini memberikan penilaian terhadap sejumlah tipe bangunan dan proyek, yakni bangunan hunian, non-hunian, bangunan eksisting, interior bangunan kantor, bangunan menapak tanah, infrastruktur, dan taman barulama. Parameter yang dipakai adalah efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air, perlindungan terhadap lingkungan, kualitas fisik ruang dalam, aspek hijau lainnya dan inovasi desain. Bangunan yang dinilai dengan BCA Green Mark diberi predikat tersertifikasi emas, emas plus, dan platinum. 5. Greenship Standar Bangunan Hijau Indonesia. Greenship merupakan standar bangunan hijau yang dikembangkan oleh Green Building Council Indonesia GBCI. Green Building Council Indonesia menyusun standar bangunan hijau dengan tujuh aspek yang menjadi penilaian, yaitu ketepatan pengembangan tapak, efisiensi energi, penghematan air, sumber material, kesehatan serta kenyamanan ruang dalam, dan kondisi lingkungan bangunan. Tabel 1 Parameter LEED for Neighborhood Development Rating System lanjutan Rating 3. Green Construction and Technology 1 a. Solar Orientation 1 b. On-Site Energy Generation 1 c. On-Site Renewable Energy Sources 1 d. District Heating and Cooling 1 e. Infrastructure Energy Efficiency 1 f. Wastewater Management 1 g. Recycle Content in Infrastructure 1 h. Construction Waste Management 1 i. Comprehensive Waste Management 1 j. Light Pollution Reduction 1 4. Innovation and Design Process a. Innovation and Exemplary Performance 5 b. LEED Accredited Professional 1 Total 106 Sumber: USGBC 2007 8

2.4 Arsitektur Tradisional di Indonesia

Wiranto 1999 mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia bukan sesuatu yang padu dan bulat tetapi tersusun dari berbagai rona elemen budaya yang bervariasi. Perjalanan sejarah Indonesia yang panjang membentuk sistem kebudayaan yang berlapis-lapis. Empat lapis kebudayaan Indonesia tersebut, yakni kebudayaan Indonesia asli, kebudayaan India, kebudayaan Arab-Islam, dan kebudayaan modern Eropa-Amerika. Salah satu bentuk budaya hasil dari perjalanan waktu dan keunikan tempat adalah arsitektur tradisional. Menurut Prijotomo Sulistyowati 2009, istilah ‘Arsitektur Tradisional Indonesia’ merupakan istilah yang diberikan oleh ilmuwan dan penulis kolonial Belanda di zaman sebelum perang dunia dua. Sebutan yang berasal dari kata Belanda ‘traditioneele architectuur’ itu diberikan bagi karya-karya arsitektur asli daerah di Indonesia dengan beberapa alasan. Alasan pertama adalah untuk membedakan jenis arsitektur yang timbul, berkembang dan merupakan karakteristik suku-suku bangsa di Indonesia dari jenis arsitektur yang tumbuh atas dasar perkembangan arsitektur di Eropa, khususnya Belanda. Alasan kedua adalah karena masyarakat asli Indonesia masih mempertahankan bentuk arsitekturnya sebagai warisan dari generasi ke generasi tanpa menunjukkan adanya perubahan mendasar.

2.5 Masyarakat dan Budaya Arsitektur Bali

Masyarakat Bali menerapkan sendi-sendi agama, adat istiadat, kepercayaan, dan religi dalam segala aspek kehidupan sehari-hari, termasuk juga dalam budaya arsitektur mereka. Penerapan sendi-sendi agama, adat istiadat, kepercayaan, dan religi masyarakat tradisional Bali pada arsitektur mereka, terangkum dalam kaidah dasar arsitektur tradisional Bali atau yang biasa dikenal dengan Asta Kosala Kosali. Oleh Budihardjo 1991 kaidah ini dikonsepsikan menjadi tujuh kaidah dasar arsitektur tradisional Bali.

2.5.1 Hirarki Ruang

Masyarakat Bali yakin untuk menciptakan sebuah kehidupan bahagia yang harmonis bersumber pada keharmonisan tiga hubungan, yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan sesama. Keyakinan ini dirangkum dalam sebuah konsep Tri Hita Karana, yang kemudian dimanifestasikan dalam konsep Tri Angga dan Tri Loka. Secara umum, kedua konsep ini merupakan turunan dari tiga unsur pengatur keseimbangan yang telah dijelaskan dalam Tri Hita Karana dalam bentuk tiga nilai fisik, yaitu Utama, Madya, dan Nista. 9

2.5.2 Orientasi Kosmologi

Pada pembentukan ruang, konsep Tri Angga maupun Tri Loka digunakan sebagai dasar konsep tata ruang secara vertikal, dimana daerah tertinggi memiliki nilai Utama dan daerah terendah bernilai Nista, sedangkan diantaranya bernilai Madya. Secara horizontal, pembentukan ruang menggunakan konsep turunan Tri Angga dan Tri Loka, konsep Nawa Sanga yang membagi ruang menjadi 9 orientasi, yaitu 8 arah mata angin dan satu titik pusat atau Puseh.

2.5.3 Keseimbangan Kosmologi

Agama Hindu sebagai kepercayaan hampir semua penduduk Bali, mengajarkan umatnya untuk hidup harmonis dengan alam semesta dan segala isinya yang tersirat dalam konsep manik ring cucupu. Di dalam konsep ini, seluruh kehidupan dan keadaan alam semesta yang terdiri dari lima unsur pembentuk Panca Mahabhuta, yaitu cairan, sinar, angin, udara, tanah, dan zat padat, masing-masing memiliki nilai yang berlawanan Rwa Bhineda. Hal ini juga diterapkan pada arsitektur tradisional Bali.

2.5.4 Ukuran Tubuh Manusia

Keunikan lain dari arsitektur tradisional Bali adalah masyarakat Bali menentukan ukuran-ukuran bangunan mereka berdasarkan ukuran dari bagian tubuh mereka, seperti tangan jari, telapak kaki, dan sebagainya. Dengan menerapkan ukuran bagian dari tubuh mereka pada ukuran-ukuran bangunan, ruang hidup mereka menyesuaikan dengan proporsi dan skala mereka yang hidup disana, sehingga tercapai kenyamanan didalamnya. Gambar 2 Hierarki ruang secara vertikal dan horizontal Budihardjo, 1991 Gambar 3 Penerapan sembilan orientasi pada pekarangan Budihardjo 1991 10

2.5.5 Konsep Open Air

Massa bangunan arsitektur tradisional Bali cenderung terdiri dari unit-unit bangunan terpisah dengan lahan terbuka sebagai elemen penghubung. Konsep open air ini juga dinilai cocok untuk menghadapi kondisi fisik alam Bali yang beriklim tropis.

2.5.6 Kejelasan Struktur

Struktur pada bangunan diperlihatkan secara eksplisit, menjelaskan bagaimana metode struktur bekerja. Konsep ini menampakkan kejujuran dan keteraturan pada setiap struktur.

2.5.7 Kejujuran Material

Arsitektur tradisional Bali menampilkan material bangunan dengan semua karakter asli secara jujur seperti apa yang terlihat pada alam sebagai suatu cara untuk mencapai keharmonisan.

2.6 Tata Ruang Desa Penglipuran

Dwijendra 2009 menyatakan bahwa falsafah hubungan yang selaras antara alam dan manusia, dan kearifan manusia yang mendayagunakan alam dapat membentuk suatu ruang kehidupan yang seimbang antara buana agung dan buana alit yang diwujudkan dalam konsep Tri Hita Karana Parahyangan, Pawongan, Palemahan. Konsep ini terlihat jelas dan dijabarkan dalam tata letak dalam desa ini. Pola desa yang terbentuk tak lepas dari pengaruh kepercayaan yang dianut masyarakat Penglipuran yang dibawa leluhurnya, yaitu dari Desa Bayung Gede. Pola tersebut terbagi dalam 2 bagian sebagai berikut: Gambar 4 Ukuran bagian tubuh sebagai dasar ukur di Bali Adhika 1994