Manfaat Penelitian Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali

4 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Latar Belakang Arsitektur Hijau

Vitruvius dalam bukunya Ten Books on Architecture terjemahan Morris H. Morgan 1960 menyatakan bahwa arsitektur harus memenuhi tiga unsur, yaitu Firmitas ketahanan, Utilitas kegunaan, dan Venustas keindahan. Membuat karya yang kokoh dan indah berarti kita menciptakan karya seni murni seperti patung, dan bila kita membuat karya yang hanya fungsional dan kokoh, maka kita menciptakan bangunan. Karya arsitektur harus memenuhi ketiga unsur diatas atau penambahan unsur keindahan pada sebuah bangunan. Hal tersebut yang menjadi konsep perkembangan arsitektur klasik. Kehidupan, bentuk aktivitas, ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang sehingga membawa pertambahan terhadap sumber energi sampai pada penggunaan bahan bakar minyak, listrik, dan nuklir. Ketergantungan bangunan terhadap penggunaan energi semakin tinggi ketika arsitek membuat bangunan tinggi yang harus dilengkapi dengan mesin angkut vertikal elevator, pompa air, mesin pendingin ruangan, dan lainnya. Penggunaan energi besar-besaran merupakan suatu faktor yang selalu melekat dalam karya arsitektur Karyono 2010. Embargo minyak terhadap Blok Barat Amerika dan sekutunya di Eropa Barat oleh negara Arab pada tahun 1973 menyebabkan krisis energi pada negara- negara barat. Hal tersebut membawa perubahan besar dalam dunia arsitektur. Para arsitek di negara Barat mulai sadar betapa pentingnya energi bagi dunia arsitektur. Komisi PBB untuk lingkungan dan pembangunan membuat suatu deklarasi yang dikenal dengan Brundtland report yang di dalamnya mendefinisikan tentang Pembangunan Berkelanjutan Karyono 2010. Menurut World Commision and Environment Development WCED 1987 dalam Pranoto 2008, Pembangunan Berkelanjutan adalah “the development which meets the needs of present, without compromising the ability of future generation to meet with their own needs”. Pernyataan tersebut bertujuan agar sebuah desain berkelanjutan dapat meminimalisasi dampak negatif terhadap sumberdaya sosial, ekonomi, dan ekologi. Dalam mencapai kondisi berkelanjutan tersebut muncullah pemikiran- pemikiran dan pendekatan-pendekatan baru dalam desain diantaranya desain ekologis ecological design, desain berkelanjutan secara ekologis ecologically sustainable design, desain hijau green design, dan lainnya adalah istilah-istilah yang menggambarkan penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam merancang bangunan maupun lanskap Kibert 2008.

2.2 Arsitektur Hijau

Arsitektur hijau merupakan arsitektur yang berwawasan lingkungan dan berlandaskan kepedulian tentang konservasi lingkungan global alami dengan penekanan pada efisiensi energi energy-efficient, pola berkelanjutan sustainable dan pendekatan holistik holistic approach. Credo form follows energy diperluas menjadi form follows environment yang berdasarkan pada prinsip recycle, reuse, reconfigure Priatman 2002. 5 Robert dan Brenda Vale 1991 mengatakan bahwa pendekatan hijau untuk lingkungan binaan melibatkan pendekatan holistik dengan desain bangunan, semua sumber daya yang masuk pada sebuah gedung akan menjadi material, bahan bakar, atau kontribusi pengguna yang perlu untuk dipertimbangkan jika arsitektur berkelanjutan dibuat untuk kesehatan manusia. Pendapat Sim Van Der Ryn dan Calthorpe 1996 menjelaskan bahwa kita harus dapat memasukkan sebuah pemahaman ekologi yang mendalam pada suatu desain dari produk, bangunan, dan lanskap. Menurut Brenda dan Robert Vale 1991, terdapat 6 prinsip dasar dalam perencanaan Green Architecture: 1. Conserving energy, yang berarti sebuah karya arsitektur seharusnya didesain atau dibangun dengan pertimbangan yang meminimalisir penggunaan bahan bakar fosil. 2. Working with climate, suatu karya arsitektur seharusnya didesain untuk bekerja baik dengan iklim dan sumber daya energi alam. 3. Minimizing new resources, suatu karya arsitektur seharusnya didesain untuk meminimalisir penggunaan sumber daya dan pada akhir penggunaan dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya. 4. Respect for users, arsitektur hijau mempertimbangkan kepentingan manusia yang terlibat didalamnya. 5. Respect for site, suatu karya arsitektur didesain dengan meminimalisir perusakan alam. 6. Holism, semua prinsip diatas harus menyeluruh dijadikan sebagai pendekatan dalam membangun sebuah lingkungan.

2.3 Standar Pengukuran Arsitektur Hijau

Tingkat kehijauan suatu bangunan atau kawasan harus dapat diposisikan dalam tingkat yang dapat dimengerti atau diukur oleh suatu acuan standar tertentu. Karyono 2010 menjabarkan beberapa alat ukur atau standar yang telah banyak dirumuskan di negara-negara maju, yaitu: 1. BREEAM Building Research Establishment’s Environmental Assessment Method. BREEAM merupakan acuan penilaian tingkat hijau tertua di dunia. Parameter yang dinilai BREEAM meliputi 10 aspek, yaitu manajemen, kesehatan dan kualitas hidup, energi, transportasi, air, material, limbah, tata guna lahan dan ekologi, polusi, dan inovasi. Standar ini memberikan lima kategori hasil penilaian, yaitu Pass, Good, Very Good, Excellent, dan Outstanding. 2. LEED Leadership in Energy and Environmental Design. Sistem penilaian LEED menggolongkan enam tipe proyek, fasilitas, atau bangunan, yakni bangunan baru, bangunan eksisting, ruang interior, inti bangunan dan selubung bangunan, rumah, pengembangan lingkungan perumahan, sekolah, dan bangunan perbelanjaan. Empat penggolongan sertifikasi yang diberikan LEED adalah Certified, Silver, Gold, dan Platinum. LEED pada objek pengembangan lingkungan perumahan terdapat 49 kriteria hijau dalam 4 parameter yang digunakan Tabel 1.