tambak secara terus menerus, hingga terjadi kerusakan yang sangat parah di bagian green belt.
4.8. Analisis Manfaat Ekonomi
Kawasan pesisir timur Propinsi Lampung, khsusnya di Kabupaten Tulang Bawang sekitar 12 272.62 ha atau 63.26 telah digunakan untuk areal
pertambakan. Luasan areal sabuk hijau yang ada sampai dengan saat ini 3 215.5 ha atau 16.57 dengan ketebalan rata-rata antara 20- 50 meter. Ketebalan
mangrove di sepanjang sepadan pantai atau yang berada di areal sabuk hijau masih kurang dari standar yang layak untuk dijadikan daerah perlindungan.
Tipisnya kawasan sabuk hijau akibat adanya konversi lahan oleh masyarakat setempat menjadi tambak. Rendahnya pemahaman masyarakat tentang fungsi
kawasan sabuk hijau dipandang masih sangat minim. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat
penggarap kawasan sabuk hijau, menganggap bahwa pengalihfungsian lahan menjadi areal pertambakan lebih memberikan nilai ekonomis yang cukup tinggi
dan lebih cepat. Dari tambak-tambak yang dibuka telah banyak digunakan untuk membudidayakan berbagai jenis ikan dan udang dengan nilai jual yang cukup
menjanjikan. Rendahnya pemahaman tentang pemanfaatan kawasan sabuk hijau ini ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lokal. Lebih dari
80.65 hanya lulusan Sekolah Dasar SD dan 13.16 lulusan Sekolah Menengah Pertama SMP. Pada umumnya mereka tidak mengetahui fungsi
kawasan sabuk hijau sebagai tempat pemijahan ikan dan udang, serta sebagai penyedia pakan dan berperan secara langsung dalam pencegahan abrasi pantai.
Dalam pengelolaan kawasan pesisir khususnya di sepadan pantai, pengelolaannya harus berwawasan lingkungan. Pengelolaan yang berwawasan
lingkungan harus memperhatikan asaz keberlanjutan. Dalam pengelolaan kawasan pesisir timur Propinsi Lampung dipandang perlu adanya penilaian terhadap
sumberdaya mangrove dimana tidak saja nilai pasar dari barang yang dihasilkan, melainkan juga dari jasa yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut dalam arti
bukan nilai pakai saja, tetapi juga nilai yang bukan nilai pakai dari pengelolaan sumberdaya mangrove. Pengelolaan sumberdaya mangrove sangat tergantung
kepada setiap stakeholder dalam hal ini masyarakat lokal dan pemerintah. Masyarakat lokal tidak akan mampu melaksanakan pengelolaan kawasan pesisir
dengan baik apabila tidak didukung oleh peran serta Pemerintah dan Swasta, baik dalam hal penyadaran melalui penyuluhan dan bantuan teknis.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik tambak tradisional tambak silvo, peran swasta dalam upaya pemulihan lingkungan dipandang lebih besar
dibandingkan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah. Peran swasta PT. CPB lebih bersifat terus menerus untuk tetap mengupayakan pemulihan kawasan green
belt yang sudah mulai terlihat rusak. Begitu juga dengan upaya penyuluhan dan penyadaran kepada masyarakat petambak dalam partisipasi pemulihan
lingkungkan, swasta dan NGO lebih berperan aktif dan terus menerus dibandingkan dengan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah baik Pusat maupun
Daerah. Ekosistem mangrove mempunyai manfaat nilai ekonomi tinggi, yang
terdiri dari pemanfaatan langsung dan tidak langsung. Namun demikian, nilai manfaat ekonomi yang akan dikaji dalam penelitian ini hanya dibatasi pada nilai
pemanfaatan langsung dari ekosistem mangrove. Nilai pemnafaatan langsung tersebut hanya dibatasi pada ekosistem mangrove yang dikembangkan di areal
budidaya perikanan silvofishery. Ekosistem mangrove yang akan dianalisa dalam penelitian ini adalah yang berada dalam petakan tambak tradisional milik
masyarakat lokal dengan luasan ± 1 ha dengan total tegakan mangrove ± 4 560
pohon. Kegiatan yang dilakukan dengan mengambil nilai manfaat langsung dari
ekosistem mangrove tersebut diantaranya yaitu sebagai tempat mengambil ikan, udang, dan kepiting melalui sistem silvofishery. Dalam menghitung nilai langsung
ini dilakukan dengan pendekatan berdasarkan harga pasar yang berlaku. Pendekatan ini yaitu dengan menghitung jenis jumlah produk langsung yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat dengan harga pasar yang berlaku dari setiap unit produk. Tabel 11 menjelaskan tentang jenis produk yang dapat dimanfaatkan
secara langsung dari ekosistem mangrove di pesisir timur Propinsi Lampung, kabupaten Tulang Bawang.
Tabel 11 Nilai manfaat langsung hutan mangrove berdasarkan volum produksi dan harga pasar
No Jenis produk
Harga Pasar Rpsatuan
Volume kg Nilai Per Ha
Rp 1.
Udang RB 7 000kg
54.4 380 625
2. Udang api-api
14 000kg 18.6
260 400 3.
Nila 6 000kg
42.6 255 600
4. Kakap
23 000kg 68.4
1 573 200 5.
Belanak 5 000kg
45 225 000
6. Kepiting
35 000kg 9
315 000 Total
3 009 825
Data yang diperoleh pada Tabel 11 di atas merupakan akumulasi data yang didapat selama penelitian 42 hari per ha. Data tersebut di atas merupakan
gambaran nilai pemanfaatan secara langsung dari penangkapan ikan, udang dan kepiting yang dilakukan di dalam areal tambak dengan kombinasi penanaman
mangrove didalamnya. Nilai manfaat langsung yang diamati selama 42 hari memberikan
informasi bahwa pengelolaan tambak dengan silvofishery, dimana tanpa diberi pakan pelet memberikan nilai manfaat langsung sebesar Rp. 3 009 825 per 42
hari atau Rp. 71 662 per hari. Nilai manfaat tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan upah minimum regional UMR Propinsi Lampung Rp.776
500 per bulan atau Rp. 25 883. Pemanfaatan lahan green belt yang dikelola dengan pendekatan silvofishery sebenarnya telah membuktikan bahwa apabila
dikelola dengan benar maka akan jauh memberikan nilai pendapatan langsung yang lebih besar bagi masyarakat pesisir.
Kegiatan silvofishery ini dapat dilakukan disela-sela kegiatan budidaya udang yang selama ini banyak dilakukan oleh masyarakat lokal, sambil menunggu
hasil panen. Masyarakat dapat mengambil organisme budidaya yang ada di lokasi tambak silvo untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Upaya introduksi
dan penyadaran harus perlu ditingkat lagi agar masyarakat benar-benar memiliki gambaran dan pemahaman mengenai silvofishery yang sebenarnya.
4.9. Pengembangan Silvofishery di Masa Yang Akan Datang