13 kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Batangnya didukung oleh
banyak akar tunggang yang bercabang-cabang dan lateral, kulit kayu berwarna abu-abu tua. Rantingnya membesar pada ruas-ruas, keras dan mengempulur. Daun
tunggal berhadapan diujung ranting, berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah dan kemerahan di bagian bawah. Gagang daun panjangnya
17-35 mm dan warnanya kemerahan. Bunga Rhizophora apiculata berjenis biseksual dengan kepala bungan kekuningan yang terletak pada gagang berukuran
14 mm, letaknya diketiak daun. Formasi bunganya kelompok 2 bunga per kelompok. Daun mahkota berjumlah 4 buah, memiliki cirri-ciri: berwarna kuning
keputihan, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm, bentuknya melengkung, benang sari berjumlah 11-12 dan tidak bertangkai.
2.3 Permasalahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Terjadinya kerusakan dan penurunan luas ekosistem mangrove di Negara ini mengindikasikan bahwa pengelolaan yang dilakukan selama ini belum berpihak
pada azas kelestarian. Padahal jika merujuk pendapat yang dikemukakan oleh Macintosh dan Ashton 2003 yang menyatakan bahwa tujuan pengelolaan
ekosistem mangrove adalah untuk mendukung upaya konservasi, rehabilitasi, dan penggunaan berkelanjutan eksosistem mangrove agar dapat memberikan
keuntungan pada seluruh manusia di muka bumi ini, maka orientasi pengelolaan mangrove seharusnya adalah kelestarian dan bukannya kepentingan ekonomi
jangka pendek yang pada akhirnya mengancam kelestarian mangrove. Oleh karena itu pengelolaan mangrove selanjutnya harus dikembalikan pada
tujuan awalnya. Namun untuk merealisasikan hal tersebut ada beberapa permasalahan dalam pengelolaan daerah pesisir, di mana ekosistem mangrove
berada di dalamnya. Hal ini berhubungan dengan potensi konflik kepentingan, kewenangan, tumpang tindih pengelolaan antar sektor, keterkaitan yang erat
dengan ekosistem darat dan laut, lemahnya kerangka hukum, degradasi lingkungan serta keterlibatan masyarakat. Selain itu terbatasnya informasi dan
teknologi serta kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir juga merupakan masalah yang dihadapi dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan.
14
2.4 Silvofishery
Kawasan hutan mangrove yang memilki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi terus menerus mengalami degradasi akibat dikonversi dan berubah fungsi
untuk kegiatan lainnya, seperti pemukiman, pariwisata, perhubungan, reklamasi pantai, budidaya perikanan dan sebagainya. Diduga bahwa konservasi lahan
mangrove untuk pemukiman dan tambak udang merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan yang cukup besar.
Namun demikian, upaya tersebut pada umunya mengalami kegagalan yang disebabkan oleh adanya konflik kepentingan para penggunanya user. Sebagai
contoh, kawasan yang diperuntukkan sebagai green belt lebih banyak digunakan untuk kegiatan budidaya air payau brackishwater aquaculture, seperti tambak
udang, dan saat akan direforestasi justru mengalami hambatan yang cukup berarti. Untuk mengatasi persoalan konflik antara pengguna tersebut, maka perlu
dicarikan solusi yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan para pengguna. Di satu sisi konservasi kawasan mangrove terus berjalan dan di sisi lain kegiatan
budidaya perikanan tidak terhambat. Salah satu konsep pengembangan yang dapat mengkombinasikan antara pemanfaatan dan sekaligus konservasi di kawasan
mangrove adalah silvofishery. Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah bentuk kegiatan
yang terintegrasi terpadu antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama Fitzgerald 1997. Konsep silvofishery ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah Nofianto 2008. Pendekatan antara konservasi dan
pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktifitas relatif tinggi
dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan. Silvofishery yang dikembangkan di Indonesia memiliki 3 modeltipe, yaitu
empang parit atau lebih dikenal dengan tambak tumpang sari dan komplangan.
2.4.1 Pola Empang Parit
Pola empang parit merupakan model silvofishery yang umum dikembangkan dengan membuat saluran air tempat membudidayakanmemelihara
ikan ataupun udang. Saluran air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk
15 silvofishery, sedangkan tumbuhan mangrove dapat ditanam di bagian tengah,
sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan mangrove wanasilvo dan budidaya ikan minafishery seperti dalam Gambar 2.
Kondisi ini dapat diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak bagian tengah untuk
ditanami mangrove, sedangkan bagian caren atau parit tetap dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan
direforestasi dapat mencapai sekitar 80 dari luasan tambak. Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu
mangrove Bengen 2000. Namun demikian, menurut Fitzgerald 1997, kepadatan mangrove yang ditanam dapat bervariasi antara 0.17-2.5 pohonm2.
. Kepadatan vegetasi yang rendah cocok diterapkan untuk tambak ikan bandeng, sedangkan kepadatan vegetasi yang lebih tinggi sesuai untuk diterapkan
pada budidaya udang dan kepiting bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya adalah bakau Rhizophora sp atau dapat juga menggunakan jenis api-api
Avicennia spp.
Gambar 2 Pola empang parit http:mangrove.unila.ac.id 2008
16 Kanal untuk memelihara ikanudang berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman
sekitar 40-80 cm dari muka pelataran. Dengan berbagai modifikasi disain dasar tersebut, maka luasan perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara
ikanudang dapat disesuaikan hingga mencapai 40-60. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih, dan baronang, serta udang dan
kepiting bakau, dapat dipelihara secara intensif di kanal tersebut.
2.4.2 Pola Empang Parit yang Disempurnakan
Pada dasarnya sistem empang parit yang disempurnakan Gambar 3 tidak berbeda jauh dengan sistem empang parit. Perbedaannya hanya terletak pada
disain lahan untuk menanam mangrove dan empang diatur oleh saluran air yang terpisah. Model ini memerlukan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan
empang parit, karena adanya tanggul yang mengelilingi lahan pelataran yang akan digunakan untuk menanam mangrove.
Gambar 3 Empang parit yang disempurnakan http:mangrove.unila.ac.id 2008
17
2.4.3 Model Komplang selang-seling
Model Komplang merupakan suatu sistem silvofishery dengan desain tambak berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang akan ditanami
mangrove Gambar 4. Lahan untuk mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu air yang terpisah. Luas
areal yang akan digunakan untuk silvofishery dengan model ini disarankan antara 2-4 ha, sehingga nantinya akan dikembangkan ukuran tambak yang standar untuk
memelihara ikanudang minimal adalah 1 ha. Model ini merupakan suatu metode budidaya air payau dengan input yang rendah dan menghasilkan dampak negatif
yang minimal terhadap lingkungan ekosistem. Sistem komplangan yang diterapkan tegak lurus dengan garis pantai
memungkinkan sejumlah aliran air tawar menuju ke mangrove di dalam areal greenbelt. Model ini juga dapat menjaga kelimpahan keanekaragaman
sumberdaya alam hayati.
Gambar 4 Model Komplangan
http:mangrove.unila.ac.id 2008
Dari beberapa penjelasan tersebut, diketahui bahwa silvofishery sistem empang parit dan komplangan dapat diterapkan untuk menjaga kelestarian dan
fungsi kawasan mangrove dengan kegiatan budidaya perikanan tetap dapat berlangsung di areal tersebut.
2.5 Serasah Mangrove
Serasah merupakan jatuhan dari organ tumbuh-tumbuhan yang membentuk suatu lapisan pada permukaan tanah Spurr dan Burton 1980. Sedangkan menurut
18 Jensen 1974 serasah adalah lapisan dari organ tumbuh-tumbuhan yang banyak
mengandung unsur-unsur mineral yang sangat memegang peranan penting di dalam suatu ekosistem hutan. Komponen-komponen yang dapat membentuk
lapisan serasah pada permukaan tanah di lantai hutan berasal dari daun leaf litter dan komponen-komponen bukan daun non leaf litter yaitu berupa ranting,
bunga, buah, biji, kulit batang dan bagian-bagian yang tak dapat diidentifikasikan. Hutan mangrove mempunyai produktivitas bahan organ yang sangat tinggi,
tetapi hanya kurang lebih 10 dari produksinya langsung dimakan oleh herbivora. Sebagian besar dari produksi tersebut dimanfaatkan sebagai detritus atau bahan
organik mati seperti daun-daun mangrove yang gugur sepanjang tahun dan dengan melalui aktivitas makan oleh mikroba dekomposer dan hewan-hewan pemangsa
detritus diproses menjadi partikel-partikel halus Odum dan Held 1975. Detritus meruapakan suatu fraksi penting dari rantai makanan yang terdapat
di hutan mangrove dan estuaria. Partikel-partikel organik tersebut menjadi tempat hidup bagi bakteri, jamur dan mikroorganisme lainnya yang merupakan sumber
makanan utama bagi organisme omnivore seperti udang, kepiting, dan sejumlah ikan. Odum 1971 mengemukakan bahwa studi yang telah dilakukan di Florida
Selatan menunjukkan bahwa pohon bakau Rhizopora spp. yang sebelumnya dianggap bernilai rendah, sebenarnya memberikan sumbangan yang sangat besar
terhadap rantai makanan, sehingga dapat menunjang bidang perikanan. Hara yang dihasilkan oleh serasah antara lain mengandung N dan P yang
terlarut dalam air akan menunjang proses pertumbuhan fitoplankton. Sehingga terdapat hubungan antar total N dan P serasah, total N dan P air, produktivitas
perairan dan jumlah individu fitoplankton, zooplankton dan makrozoobenthos.
2.6 Dekomposisi Serasah Hutan Mangrove