5.1.1 Upaya Non Litigasi
1. Rehabilitasi Fisik
Proses pemulihan Psiko-sosial dan penyedia pelayanan terhadap aak-anak yang menjadi korban Eksploitasi Seksual memerlukan waktu yang panjang dan dana yang
besar. Hal ini mengingat ketika anak menjadi korban, ada berbagai pengaruh dan dampak terhadap kondisi fisik, mental dan sosial anak. Diperlukan konseling
psikologis, medis dan sosial serta pemberian dukungan lain yang dibutuhkan oleh anak PKPA Medan, Yayasan Setara, Kakak, YKAI, LA , Badan Pemberdayaan
Masyarakat Manado, 2008: 36. Ketika anak yang menjadi korban eksploitasi seksual diperlukannya suatu
rehabilitasi atau pemulihan secara fisik agar anak dapat menjalani aktivitasnya kembali. NB mengaku bahwa upaya rehabilitasi fisik yang ia terima dirasakannya
cukup membantu untuk pemulihan fisiknya. Berikut penuturan anak korban:
“ Waktu abis kejadian itu aku dibawa sama pendampingku kak kerumah sakit. Di
rumah sakit aku diperiksa sama doker. Aku diinfus. Sakit kali kak. Tapi abis diinfus dan dikasi obat udah enakkan badanku kak. Kemaren itu, sebelum dibawa kerumah sakit
badanku sakit semua. Sampai gak terasa gitu badanku kk”.
Yayasan Pusaka Indonesia juga melakukan kerja sama dengan Rumah Sakit Bhayangkara dan Rumah Sakit Pirngadi. Saat pemeriksaan di rumah sakit. Korban
mengaku bahwa ia selalu didampingi oleh mama dan saudara kandungnya kakak. Pengakuan dari mamanya: “
Pemeriksaan di Rumah Sakit kemaren itu sangat membantulah dek. Selain membantu keluarga kami, NB pun uda merasa enakan. Biasanya
kalau di rumah itu, dia selalu mengeluh sakitlah badannya, sakit kepalanya, linu-linu badannya. Setelah dia dibawa ke Rumah Sakit. Gak pernah lagi dia ngeluh-ngeluh sama
kami”.
Universitas Sumatera Utara
Setelah dilakukan observasi dan wawancara yang mendalam kepada korban. Maka dapat dilihat bahwa Rehabilitasi Fisik yang korban terima ternyata
memberikan dampak positif terhadap kesehatan korban dan korban merasa kodisi fisiknya telah pulih kembali.
2. Rehabilitasi Psikologis
Rehabilitasi Psikologis juga penting dilakukan sebagai pelayanan untuk membantu korban anak eksploitasi dalam mengatasi ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya anak akibat tindak eksploitasi seksual. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat kompleksnya
kasus eksploitasi yang dialami anak mulai saat perekrutan, transit, setelah sampai di daerah tujuan ataupun setelah bebas dari daerah lokalisasi Juniarti, Marjoko, Amri,
2010: 35. Ketika ditanya kepada korban mengenai bagaimana proses rehabilitasi psikologis
yang NB terima. NB menjelaskan bahwa ia sering sharing-sharing dengan psikiater yang telah di fasilitasi oleh pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia. Berikut
penuturan NB: ”
Kemaren itu aku sering kali kak diajak ngomong-ngmong sama, ada kakak-kakak yang kuliah di USU. Aku diajak becanda, aku sering dikasi taukannya mengenai kehidupan.
Aku jadi semangat lagi kak abis itu. Karena kejadian itu, ku rasa hidup ku udah hancur kali kak. Jadi males aku ngomong sama orang-orang. Sama mama pun kalau di rumah jarang-
jarang aku ngomong kak. Tapi kerana dikasi pandangan sama kakak yang kuliah di USU itu aku jadi lebih tenang sekarang. Uda gak suka diam-diam kalau di rumah.”
NB merupakan anak perempuan terakir dari 7 saudaranya. Dalam kesehariannya, NB terlihat riang bermain bersama teman-temannya. Menurut penuturan ibu SA, NB
memang terlihat tidak memiliki perubahan emosi yang menonjol dalam kehidupan sehari-hari akibat kasus yang menimpanya. Namun ibu SA juga menambahkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa NB sempat menerima ejekan dari lingkungan sekitar mengenai kondisi yang ia alami, dan itu sempat membuat NB merasa malu dan menarik diri dari kehidupan
sosialnya Rehabilitasi psikologis ini sangat membantu korban agar ia dapat memahami
dirinya sendiri dan orang lain dengan belajar tentang keagamaan dan belajar untuk berpikiran positif. Menurut penuturan NB bahwa ia juga mengikuti siraman rohani
dari pendeta. Dengan adanya siraman rohani dari pendeta, NB lebih merasa dekat dengan Tuhan karena dengan begitu NB dapat menghindari segala perbuatan yang di
larang oleh Agama. Penuturan ibu SA bahwa saat NB melakukan rehabilitasi psikologis, ibu SA
selalu menemaninya. Ibu SA juga sering bertanya kepada pendeta bagaimana menghadapi anaknya. Selain itu juga, menurut penuturan ibu SA Bahwa pendamping
NB juga selalu mendampingi tetapi ia tidak mengikuti prosesi kebaktian. Tetapi pada saat bertemu dengan psikiater, pendamping mengikuti prosesi itu dan ia juga
memberikan motivasi serta dukungan kepada NB. 3.
Rumah Aman Shelter
Rumah Aman yang sering disebut juga shelter dapat diartikan sebagai tempat menyingkir sementara waktu, guna memberikan kesempatan kepada anak korban
eksploitasi seksual untuk dapat memikirkan masalanya dengan tenang dan jauh dari intervensi orang lain. Keberadaan shelter sangat di butuhkan apalagi jika anak
korban merasa terancam jiwa dan keselamatannya, emosi labil dan perlu ketenangan untuk memikirkan masalahnya Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 30.
Rumah Aman Shelter bagi NB merupakan rumah yang sangat memberikannya perlindungan. Di dalam Shelter NB merasa sangat senang karena ia mendapatkan
pengalaman serta keterampilan yang selama ini ia tidak mengerti. Terlihat dari raut wajahnya ketika bercerita dengan peneliti
“senang kali aku kan di dalam Shelter. Di sana
Universitas Sumatera Utara
aku diajari sama orang-orang yang ada di sana buat bunga-bunga am bros. Dari buat bunga- bunga sama bros itulah aku jadi tau, jadinya aku sekarang gak perlu lagi beli-beli bros. Aku
memang gak pakek jilbab kk, Cuma kalau ku taruk di baju kan cantik juga. Kadang-kadang kawan-kawanku malah mintak buatkan sama aku”.
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, NB memang sangat menikmati ketrampilan yang tealah diberikan oleh pendampingnya saat di dalam Shelter.
Menurut penuturan NB, ia berada di dalam Shelter selama 3 minggu. Dalam waktu 3 minggu itu, ia selalu mendapatkan pelajaran keterampilan yang berbeda-beda.
Menurut NB, pendamping selalu berkomunikasi dengan baik dengan pegawai Shelter maupun dengannya. Berikut penuturan NB:
“Abang yang dari Pusaka itu kak, selalu nemeni aku kalau aku dikasi pelatihan sama pegai Shelter, kami belajar sama kalu buat-buat keterampilan gitu. Tapia abang itu gak
begitu pande kak, kalau di ajari, salah-salah aja. Pokoknya susahla abang itu. Tapi baik kali abang itu kak, mau nemeni aku di Shelter sampai dia gk pulang-pulang ke rumah”.
Tugas seorang pendamping ketika klien atau korban eksploitasi seksual berada di dalam Shelter adalah memenuhi segala kebutuhan dasar korban. Hal tersebut di
maksudkan agar ia merasa nyaman dan menganggap bahwa ia memang berada di rumahnya sendiri. Penuturan dari NB bahwa segala kebutuhannya saat di dalam
Shelter memang dipenuhi. Tidak pernah sekali pun ia merasa kekurangan atau merasa tidak di perdulikan dengan pendamping saat di dalam Shelter. NB juga
menambahkan, bahwa ia selalu di beri piket untuk memasak. Dan dia mengaku karena dengan adanya piket tersebut, ia sekarang bisa memasak. Berikut penuturan
NB:
“Waktu di Shelter kak, aku sering di suruh masak. Sama pendamping di sana di buat piket. Katanya biar aku bisa masak. Memang betul kata pendamping itu kak. Sekarang aku
agak sedikit lebih jago masak. Mau masakan apa pun aku uda bisa. Kalau dulu, aku suka nyuruh-nyuruh mama untuk masak sesuatu. Dulu masak mie goreng aja aku gak pintar kak,
kalau sekarang, mau masakkan yang susah sekali pun aku uda bisa memasaknya. Jadi senang aku kak, jadi pengalaman itu sama aku kak”.
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil observasi yang dilakukan bahwa terlihat, sangat berdampak positif ketika anak yang telah menjadi korban eksploitasi seksual di tempatkan did lam
Shelter, Karena dengan begitu anak korban merasa bahwa ia mampu untuk bersosialisasi kembali dengan lingkungan sosialnya.
5.1.2 Reintegrasi 1. Penilaian Resiko
Penilaian resiko merupakan suatu penilaian bahwa apakah daerah asal korban merupakan pilihan yang tepat untuk pemulangan korban. Sebagai seorang
pendamping, maka pendamping harus mampu untuk menginformasikan kepada korban tentang rencana pemulangannya ke daerah asal, memiliki hubungan yang
baik dengan jaringan kerja yang lain seperti Pemda, Kepolisian maupun LSM yang berada di daerah asala korban untuk membantu upaya pemulangan korban.
Sebagai seorang pendamping, bang Mitra selalu memberikan informasi kepada NB mengenai rencana pemulangannya. Terlihat jelas di wajah NB, bahwa ia
tidak mau pulang ke daerah asalnya. Terkadang, sebagai seorang pendamping memiliki kendala dan kesulitan untuk membujuk korban agar ia mau untuk pulang ke
daerah asalnya. Sebagai pendamping, bang Mitra selalu memberikan pengertian kepada NB bahwa orang tuanya selalu sayang kepada NB dan orang tuanya mau NB
kembali ke rumah untuk tinggal bersama-sama lagi. Penuturan NB:” waktu aku mau di pulangkan kerumah mama kak, aku di
kawal sana sini. Uda macam artis aku rasa. Banyak kali polisi. Sampek wartawan yang mau meliput aja di haling-halanginya. Aku merasa aman kak. Banyak kali
rupanya yang peduli sama aku. Itu yang buat aku, mau pulang. Awalnya aku memang gak mau pulang kak. Karena aku takut kalau di rumah gak di penuhi
Universitas Sumatera Utara
kebutuhanku. Tapi karna ku tengok banyak kali yang sayang sama aku. Jadi kangen aku sama mama di rumah kak. “
Saat pemulangan NB ke rumah orang tuanya, orang tua NB merasa senang dan terharu karena NB sudah kembali lagi. Penurutan ibu SA, NB pulang kerumah di
kawal sama polisi da di damping pendampinginya. Senang kali aku akhirnya anak ibu bisa pulang kerumah lagi. Ibu melihat NB makin gemuk. Dulu badan NB gak
gemuk kek gijtu. Semenjak dia di dalam Shelter makin gemuk dia. NB Nampak tenang dan gak ada rasa takut walaupun dia di kawal sama polisi. Ibu juga seneng,
karena banyak kali yang membantu keluarga kami”. Penulis melihat, pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia telah
mengambil langkah yang teapat untuk pemulangan korban. Sebagai anak-anak yang masih membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya, maka memang sepatutnya
NB untuk dipulangkan ke daerah asalnya. Selain itu, penulis juga melihat bahwa sikap pendamping tidak merasa canggung lagi ketika berinteraksi dengan NB dan
keluarganya. Ketika sudah kembali ke daerah asal NB, sebagai seorang pendamping, bang
Mitra tidak meninggalkan NB untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Pendamping dan orang tua NB berusaha agar NB mau untuk berinteraksi dengan
tetangganya. Penuturan ibu NB:
“Kami berusaha supaya mau si NB berkawan lagi sama tetangga-tetangga dekat rumah. Hari pertama dia di rumah, ya NB mengurung diri aja di kamar, karena banyak
tetangga kami yang datang ke rumah untuk liat dia. Tapi gak mau dia keluar kamar. Kek gitu terus selama seminggu. Masuk hari ke Sembilan, dia udah sedikit mau untuk keluar ke teras,
duduk-duduk sama kami di teras. Ya uda bisa ketawak-ketawaklah dia sama kami. Lama- lama masih datang tetangga ke rumah, tapi NB gak ke kamar lagi. Dia mau duduk juga di
situ, tapi ya diam aja dia. Kalau di tanyain sama tetangga kadang-kadang dijawab, kadang- kadang di diami aja. Ya saya sebagai mamanya gak bisa memaksakan kehendak NB. Karna
saya juga bisa merasakan kek mana penderitaan yang dia rasakan”.
Universitas Sumatera Utara
Dari observasi yang dilakukan oleh peneliti melihat bahwa sebenarnya NB mau untuk berinteraksi kembali dengan masyarakat sekitar terutama tetangga
rumahnya. Tetapi NB masih belum nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh tetangganya. Peneliti melihat, bahwa masyarakat tidak memberikan
respon yang negatif terhadap NB. Mereka merasa kasihan dengan kejadian yang terjadi pada NB.
2. Membangun Motivasi Korban
Setiap anak yang mengalami tindak eksploitasi seksual harus diberlakukan sebagai satu individu dan bukan anggota suatu kelompok. Perlakuan secara benar
dan tepat yang dilandasi penghormatan terhadap martabat korban merupakan unsur terpenting untuk membangun motivasi korban. Membangun Motivasi merupakan
suatu tugas dari pendamping yang harus melakukan komunikasi yang efektif dan komprehensif dengan korban, membangun penerimaan atas perasaan-perasaan
negatif korban dan membangun sifat positifnya kembali, pendamping juga dapat memberikan beberapa pandangan atau contoh orang-orang yang berkerja keras dan
dapat berhasil dalam kehidupannya. Membangun rasa keprcayaan diri NB merupakan tugas berat yang harus di
lakukan oleh pendamping. Ketika di Tanya mengenai bagaimana ia memandang masa depannya, NB menjelaskan bahwa NB akan bersekolah lagi dan ia akan
menyusun kembali rencana masa depannya. Berikut penuturan NB:
“Kalau di Tanya mau ku kek mana untuk ke depannya kak, ya aku mau kayak anak- anak seperti biasanya. Aku kan memang harus sekolah lagi, nerusin sekolah yang ku
tinggalkan dulu. Aku gak mau kalah sama anak-anak yang lain kak. Mereka bisa jadi orang kaya, aku juga bisa. Aku mau jadi Dokter, biar bisa nanti ku sembuhkan kawan-kawanku
kalau mereka sakit. Pokoknya aku mau sekolah sampai kuliah. Tapi aku gak mau merepotkan orang mama terus kak, aku mau sambil kerja. Biar bisa aku beli buku-buku ku
sendiri. Aku mau buat mama sama bapak aku bangga kak. Udah cukup aku buat orang tua ku malu”.
Universitas Sumatera Utara
NB merupakan anak yang cepat tanggap dalam menghadapi sesuatu. Dia mampu untuk mengambil keputusan yang tepat untuk kebaikan dirinya sendiri. Dari
observasi yang dilakukan, Peneliti melihat bahwa NB tidak sedikitpun mengalami trauma. Pendamping NB juga menjelaskan bahwa NB tidak takut kalau ia melihat
laki-laki. Dia dapat menyesuaikan dengan orang-orang yang ia temui. Orang tua NB menambahkan bahwa, ketika ia kembali kerumah. NB kelihatan
semakin rajin. Dan ia mau untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang dahulunya ia susah sekali kalau di suruh untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Di dalam rumah,
NB sering menulis. Berikut penuturan ibu NB:
“Ku tengok makin rajin kali sekarang NB itu. Suka kali sekarang dia beres-beres rumah, masak, nyuci baju. Pokoknya semualah dikerjainya. Kalau ada sedikit aja yang kotor
atau berantakan langsung dibereskannyalah itu. Kadang-kadang NB makin cerewet ibu liat, karena kalau apakan orang ibu masi suka sembarangan ngeletak-ngeletakam barang. Terus
kalau nonton gitu, bukannya nonton Tv na dia, nulis aja kerjaannya. Kadang ibu intip gitu dia nulis apa, tapi langsung di tutupinya. Terkadang kalau dia mandi, baru ibu buka bukunya.
Barulah ibu liat dia nulis apa. Bangga kali ibu sama dia, ternyata dia mau jadi Dokter. Mudah-mudahanlah cita-cita NB tercapai”.
Pendamping juga menjelaskan kepada penulis, bahwa selama NB kembali kerumahnya. Motivasi untuk rencana masa depannya telah ia rencanakan sedemikian
matangnya. Sehingga ia merasa mampu untuk mencapai cita-citanya. Menurut pendamping, NB sering bercerita dan ia suka sekali meminta pendapat dari
pendamping hal apa yang mesti ia lakukan. Sebagai seorang pendamping, maka ia harus mampu untuk mewujudkan keinginan dari korban.
3. Menyusun Proses Reintegrasi