Upaya Litigasi Peranan Yayasan Pusaka Indonesia .1 Pengertian Peranan

tengah komunitas dan memastikan pengaruhnya bagi upaya terwujudnya pemahaman yang lebih utuh dari masyarakat tentang pentingya perlindungan terhadap hak-hak anak Ikhsan, 2009 : 10.

2.2.2 Upaya Litigasi

Upaya litigasi dalam bantuan hukum yang diberikan oleh setiap lembaga kepada seseorang adalah berdasarkan surat kuasa dengan pemberian kuasa kepada seorang advokat. Dalam pasal 1792 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasanya wewenang kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dalam praktiknya, untuk mewakili atau mendampingi kepentingan para pihak penggugat, tergugat, tersangka atau korban dalam proses pengadilan haruslah dibuat dengan surat kuasa khusus. Dalam pratik pengadilan, terdapat suatu upaya Litigasi. Upaya litigasi adalah cara penyelesaian sengketa atau konflik yang diselesaikan melalui pengadilan Imran, Prasetyo, Nasir, Muyassarotussolichah, 2000: 39-40. Peranan Yayasan Pusaka Indonesia dalam menangani kasus-kasusnya yaitu melakukan upaya Litigasi yang meliputi:

1. Pendampingan Korban di Kepolisian

Seorang pendamping dalam menjalankan tugasnya biasanya, melakukan tugas penyusunan kronologis peristiwa yang akan dijadikan acuan dalam melaporkan kasus yang tengah dihadapi oleh korban. Mendampingi korban saat melapor ke pihak yang berwenang. Meghadirkan saksi-saksi dan alat bukti lainnya juga di perlukan karena dengan adanya saksi-saksi maka akan dapat mempermudah pihak kepolisian untuk Universitas Sumatera Utara melakukan penyelidikan. Sebagai seorang pendamping, melakukan pendampingan di kepolisian merupakan suatu keharusan karena hal itu untuk menjaga keamanan korban. Pada proses awal penyidikan, maka anak korban harus menjalani pemeriksaan di rumah sakit untuk memperoleh Visum et Repertum VER yang akan menjadi bukti laporan korban di kepolisian. Oleh karena VER biasanya di buat di Rumah Sakit Umum dan harus melewati administrasi rumah sakit maka pendamping sangat berperan untuk menjadi pendamping anak di rumah sakit. Selama proses pembuatan surat BAP, anak korban harus tetap dijaga keamanannya agar ia mau untuk melanjutkan pelaporan yang telah dibuatnya. Selanjutnya, pendamping melakukan monitoring terhadap proses penanganan perkara korban di kepolisian untuk dilimpahkan ke proses penuntutan di kejaksaan.

2. Pendampingan Korban di Pengadilan

Mendampingi korban saat di pengadilan merupakan kewajiban dari pendamping. Di pengadilan, pendamping biasanya mempertemukan korban dengan saksi. Pendamping memberikan penjelasan secara ringkas tentang prosesi persidangan yang akan di hadapi oleh anak korban. Di sini, peran pendamping sangat dibutuhkan. Pendamping harus mampu meyakinkan korban untuk berani memberikan kesaksian di depan persidangan. Hal yang juga harus diperhatikan pendamping adalah untuk menjauhkan korban dan saksi dari incaran pers atau media massa yang biasanya ada di pengadilan. Apabila korban telah selesai menjalani persidangan, pendamping berhak memberitajukan beberapa prosedur hukum yang akan dijalani oleh korban hingga putusan pengadilan. Apabila korban berhalangan untuk menghadiri sidang selanjutnya, pendamping dari pihak Yayasan Pusaka Indonesia dapat melakukan monitoring terhadap persidangan selanjutnya hingga jatuhnya putusan hakim Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 39. Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Upaya Non Litigasi

Persengketaan atau perselisihan yang timbul di tengah-tengah masyarakat disamping dapat diselesaikan secara litigasi, juga dapat diselesaikan melalui mekanisme lain yang bersifat Non Litigasi. Upaya Non Litigasi merupakan Penyelesaian sengketa atau konflik tanpa melalui pengadilan. Biasanya, cara penyelesaian ini dilakukan dengan menyertakan pihak ketiga sebagai penengah. Keterlibatan pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketa mengandung asumsi bahwa pihak ketiga yang netral mampu mempengaruhi atau menyakinkan para pihak yang bersengketa dengan memberikan informasi atau pengetahuan dan memfasilitasi proses perundingan agar lebih efektif Imran, etl, 2000: 28. Di Indonesia, penyelesaian sengketa diluar pengadilan di atur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Uraian mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah sebagai berikut: 1. Konsultasi Proses konsultasi merupakan sebuah upaya untuk memberikan saran yang memungkinkan semua pihak yang bersengketa memperoleh peluang atau keuntungan yang relatif seimbang. Bentuk konsultasi ini biasanya merupakan saran-saran prosedural mengenai bagaimana melakukan gerakan-gerakan yang menunjukan maksud damai, meningkatkan komunikasi, memulai negoisasi, mengidentifikasi minat dan kepentingan, membuat tawaran, Universitas Sumatera Utara mengendurkan posisi garis keras yang dipertahankan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa Moore, 1995:20-21 dalam Imran, etl, 2000: 31. 2. Negoisasi Merupakan penyelesaian sengketa melalui perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Negoisasi bersifat informal dan tidak terstruktur serta tidak mempunyai batas waktu, sehingga efektifitas dan efisiensi dari proses tersebut sangat bergantung kepada para pihak Susskind Madigen dalam Imran, etl, 2000: 33 3. Mediasi Merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak ketiga netral Mediator guna mencari bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Peran Mediator adalah memberikan bantuan yang bersifat substantive dan prosedural kepada pihak yang bersengketa terbatas pada pemberian saran. Seorang mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan atau menetapkan suatu bentuk penyelesaian Wijoyo, 1999:99 dalam Imran, etl, 2000: 34. 4. Konsiliasi Merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan melibatkan pihak ketiga netral Konsiliator untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak Wijoyo, 1999:104 dalam Imran, etl, 2000: 35. Universitas Sumatera Utara 5. Penilaian Ahli Merupakan upaya para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka dengan menunjuk seorang ahli yang bersifat independen, yang diserahi untuk: a. Menyelidiki dan menganalisis persengketaan. b. Untuk menjernihkan masalah yang disengketakan. c. Dari hasil penelitiannya, ahli dapat menyampaikan pendapatnya Opini Harahap, 1996:78-79 dalam Imran, etl, 2000: 37. Peranan Yayasan Pusaka Indonesia dalam menangani kasus-kasusnya yaitu melakukan upaya Non Litigasi yang meliputi:

1. Pelayanan Rehabilitasi Psikososial Bagi Korban

Mengakui bahwa peran dari para penyedia pelayanan medis dan psikososial dalam upaya pencegahan eksploitasi seksual dan sexual abuse, dan pemulihan korban dan reintegrasinya ke masyarakat sangat penting. Bagian pengembangan sumber daya manusia Komisi Sosial Ekonomi Asia Pasifik HRD-ESCAP mengembangkan dan melaksanakan program pelatihan bagi penyedia pelayanan psikososial dan medis. Proses pemulihan Psiko-sosial dan penyedia pelayanan terhadap aak-anak yang menjadi korban Eksploitasi Seksual memerlukan waktu yang panjang dan dana yang besar. Hal ini mengingat ketika anak menjadi korban, ada berbagai pengaruh dan dampak terhadap kondisi fisik, mental dan sosial anak. Diperlukan konseling psikologis, medis dan sosial serta pemberian dukungan lain yang dibutuhkan oleh anak. Perlu dilakukan pula penghapusan stigmatisasi terhadap anak untuk mempercepat proses pemulihan. Pihak-pihak yang terlibat didalam proses pemulihan harus melakukan pendekatan yang tidak menghukum anak PKPA Universitas Sumatera Utara Medan, Yayasan Setara, Kakak, YKAI, LA , Badan Pemberdayaan Masyarakat Manado, 2008: 36 . Pelayanan psikososial yang berupa rehabilitasi dimaksudkan agar anak yang menjadi korban eksploitasi seksual kembali pulih baik secara fisik, medis dan psikis. Menumbuhkan kembali rasa percaya diri akan sangat bermanfaat bagi korban dalam melanjudkan hidup dan kehidupannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Selain itu, adanya rumah perlindungan yang sering disebut juga shelter dapat diartikan sebagai tempat menyingkir sementara waktu, guna memberikan kesempatan kepada anak korban eksploitasi seksual untuk dapat memikirkan masalanya dengan tenang dan jauh dari intervensi orang lain. Keberadaan shelter sangat di butuhkan apalagi jika anak korban merasa terancam jiwa dan keselamatannya, emosi labil dan perlu ketenangan untuk memikirkan masalahnya. Pemenuhan kebutuhan korban di dalam shelter di penuhi secara layak dan korban mendapatkan konseling yang akan membantu korban merencanakan langkah- langkah dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Shelter yang ideal harus mampu menjamin keamanan penghinya dan juga memiliki aturan tat tertib bagi penghuni shelter, konselor,staf dan relawan lain yang beraktifitas di shelter Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 30. Selain itu, Yayasan Pusaka Indonesia juga melakukan pelayanan medis yang merupakan rehabilitasi fisik yang harus sesegera mungkin dilakukan apabila korban anak eksploitasi seksual yang menderita sakit ataupun luka sehingga fisiknya pulih kembali. Dalam hal ini, anak yang menjadi korban eksploitasi seksual perlu perlakuan lebih khusus lagi menyangkut pemeriksaan kesehatan fungsi organ reproduksi, termasuk guna pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 33 . Universitas Sumatera Utara Rehabilitasi Psikologis juga penting dilakukan sebagai pelayanan untuk membantu korban anak eksploitasi dalam mengatasi ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya anak akibat tindak eksploitasi seksual tersebut. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat kompleksnya kasus eksploitasi yang dialami anak mulai saat perekrutan, transit, setelah sampai di daerah tujuan ataupun setelah bebas dari daerah lokalisasi. Dampak psikologis korban terkait langsung dengan pengalaman korban selama proses perdagangan seperti kecemasan, ketergantungan pada zat adiktif, ganguan stress paska trauma, depresi Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 35.

2. Reintegrasi

Reintegrasi sosial adalah penyatuan kembali Korban dengan pihak keluarga, keluarga pengganti atau masyarakat yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Anak-anak yang disalahgunakan melalui eksploitasi seksual sangat dirugikan dan memerlukan pelayanan yang menyeluruh, mudah diakses dan berjangka panjang. Program-program pemulihan dan reintegrasi harus membantu mengembalikan martabat anak, kesehatan jasmani dan rohaninya. Selain itu, program-program ini harus bertujuan membawa perbaikan bagi lingkungan anak sebelumnya melalui kesejahteraan lahiriah, peningkatan harga diri, dan peningkatan kemampuan untuk melindungi diri Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 44. Langkah-langkah dalam proses reintegrasi sosial korban adalah: 1. Penilaian Resiko Penilaian Resiko dimaksudkan untuk melihat apakah daerah asal korba merupakan pilihan yang tepat untuk pemulangan korban. Universitas Sumatera Utara

2. Membangun Motivasi Korban

Setiap anak dan perempuan korban eksploitasi seksual, harus diperlakukan sebagai suatu individu dan bukan anggota sebuah kelompok. Perlakuan secara benar dan tepat yang dilandasi penghormatan terhadap martabat korban merupakan unsur yang terpenting untuk membangun motivasi korban. Motivasi korban mengenai rehabilitasi psikologis. 3. Menyusun Proses Reintegrasi Proses reintegrasi atau pemulangan harus dilakukan secara sukarela dan penuh kesadaran dari korban. Oleh karena itu, korban harus di libatkan dalam menyusun rencana proses reintegrasinya.

4. Monitoring

Memulangkan korban ke kampung halamannya saja tidaklah cukup. Korban membutuhkan pendampingan sampai korban bisa ber-integrasi dengan baik ke masyarakat. Untuk mengetahui suksesnya proses rehabilitasi dan reintegrasi yang dilakukan, maka pendamping perlu melakukan monitoring terhadap korban. Dalam upaya reingrasi sosial ini, faktor terpenting adalah adanya dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar korban. Bantuan ekonomi dan konseling dapat mencegah korban untuk diperdagangkan kembali untuk tujuan eksploitasi seksual Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 44-47. 2.3 Kesejahteraan Sosial 2.3.1 Defenisi Kesejahteraan Sosial