Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA

1. Tahapan Penelitian Pada tahapan ini korbanklien menjalin relasi dengan caseworker. Tahapan ini caseworker mencoba untuk memilah-milah mengenai informasi atau data yang mengenai kasus eksploitasi seksual yang terjadi pada anak. 2. Tahapan Pengkajian Pada tahapan ini, caseworker diharapkan melakukan berbagai macam bentuk terapi ataupun treatment tergantung pada kebutuhan dan keunikan masing- masing klien. Dengan bekerja sama dengan pihak-pihak lain atauapun dari profesi lainnya, seperti polisi, dokter, ahli hukum yang dapat dijadikan masukan pada tahapan ini. Dengan mengunakan prinsip-prisip partisipasi agar hubungan klien dengan pihak-pihak terkait dalam terjalin dengan baik. 3. Tahapan Intervensi Pada tahapan ini, caseworker dalam melakukan proses terapi yang dikembangkan melakukan proses diskusi dengan melakukan alternative pemecahan masalah bersama klien. Adanya dorongan ataupun pemberian terapi kepada korban anak dapat berupa terapi konkrit, terapi penunjang atau penyembuhan. 4. Tahapan Terminasi Pemutusan hubungan dengan klien atau korban eksploitasi seksual pad anak. Dengan pencapaian tujuan terapi ataupun treatment yang telah dilakukan.

2.4 Kerangka Pemikiran

Terwujudnya kebijakan isi, struktur dan kultur publik yang berpihak pada anak dan perempuan di Indonesia adalah jalan panjang yang membutuhkan beberapa dekade lagi untuk pencapaiannya. Hal ini adalah akibat dari berbagai persoalan struktural yang belum terpecahkan oleh negara. satu dari beberapa aspek struktural Universitas Sumatera Utara tersebut adalah mismanagement penyelengaraan negara yang ujung-ujungnya menimbulkan, korupsi, pembusukan hukum, pemiskinan dan pengabaian terhadap hak-hak dasar dari warga negara, termasuk anak dan perempuan. Disisi lain, secara gradual memang ada sejumlah progres dalam upaya penghormatan terhadap hak-hak anak. Ini bisa dilihat dari lahir dan dibentuknya sejumlah perangkat bagi perlindungan anak di tingkat nasional dan lokal. Lahirnya sejumlah UU UU perlindungan Anak, UU penghapusan pedaganga orang dll dan Gugus tugas Nasional dan Daerah bagi traffiking anak dan perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Daerah dan berbagai program penguatan kapasitas Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk perlindungan anak merupakan beberapa contoh untuk menunjukkan adanya pemosisian negara dalam perlindungan anak di Indonesia. Pengalaman Yayasan Pusaka Indonesia dalam hal berkoalisi dan berjejaring untuk melakukan gerakan advokasi dalam perlindungan anak selalu melakukan tindakan koordinasi. Dalam hal ini, koordinasi merupakan kata yang sangat sulit untuk tetap dijaga kualitasnya pada suatu lembaga. Namun, cara yang selalu ditempuh oleh Yayasan Pusaka Indonesia untuk tetap menjaga momentum dalam koordinasi adalah dengan tidak memusatkan perwakilan pusaka dalam jaringan atau koalisi itu pada satu orang saja. Biasanya ada pelapis atau kerjasama dengan beberapa pihak pemerintah maupun swasta agar tanggungjawab berjaringan ini bisa lebih ringan dan tidak menimbulkan rasa bosan. Selain itu, Pusaka Indonesia menerapkan prinsip keterbukaan dan kesadaran akan keterbatasan yang dimiliki. Pendampingan atau penanganan korban eksploitasi seksual pada anak perlu dilandasi prinsip-prinsip yang mengedepankan atas kemanusian, keadilan dan Universitas Sumatera Utara kepentingan terbaik pada korban dan Masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut merupakan pengakuan, anak adalah manusia dengan hak-haknya merupakan kodrat hidup dan bahwa anak adalah korban, sehingga perlu dilindungi, dilayani, dan didukung dalam memperoleh hak-haknya sebagai korban. Peranan Yayasan Pusaka dalam mendampingi kasus korban eksploitasi seksual melalui upaya Litigasi dan Non Litigasi. Litigasi adalah cara penyelesaian sengketa atau konflik yang diselesaikan melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa atau konflik biasanya para pendamping melakukan upaya pendampingan saat pelaporan kepolisian dan pada saat di pengadilan. Upaya pendamping saat pelaporan dikepolisian biasanya melakukan penyusunan kronologi peristiwa yang terjadi pada korban, pengumpulan saksi-saksi, mendampingi saat pemeriksaan kesehatan di rumah sakit, dan mendampingi korban sampai ke pengadilan. Penyelesaian sengketa dengan upaya Non Litigasi merupakan upaya penyelesaian sengketa atau konflik di luar pengadilan. Biasanya penyelesaian sengketa atau konflik secara non litigasi yang dilakukan pihak Yayasan Pusaka Indonesia meliputi upaya rehabilitasi dan reintegrasi. Upaya rehabilitasi meliputi upaya rehabilitasi fisik dan rehabilitasi psikologis. Sedangkan upaya reintegrasi merupakan upaya pemulangan korban ke daerah asal. Biasanya pihak Yayasan Pusaka Indonesia akan melakukan langkah-langkah sebelum memulangkan korban tersebut ke daerah asalnya misalnya penilaian resiko korban, adanya upaya membangun motivasi korban, dan apabila setelah semuanya siap menerima korban kembali baru pendamping akan memulangkan korban ke lingkungan keluarga dan sosialnya Universitas Sumatera Utara Tabel 1 Bagan Alur Pikir Peranan Yayasan Pusaka Indonesia Perlindungan Korban Eksploitasi Seksual pada Anak Upaya Pendampingan Litigasi terdiri dari:

a. Pendampingan korban di Kepolisian