Informan I Upaya Litigasi 1. Pendampingan Korban Di Kepolisian

lapangan untuk mengetahui bagaimana peranan Yayasan Pusaka Indonesia ketika mendampingi korban eksploitasi seksual pada ketiga informan kunci tersebut. Data- data yang diperoleh kemudian dianalisis melalui pendekatan kualitatif yang diamati dari segi upaya pendampingan Litigasi dan Non Litigasi sebagai penanganan permasalahan yang alami oleh ketiga informan kunci dalam penelitian ini. Untuk memperoleh gambaran lebih jelas dari data yang telah terkumpul, penulis mencoba untuk membagi dalam beberapa poin-poin terkait permasalah yang ingin di uraikan dengan memasukkan petikan wawancara dari informan kunci dan informan tambahan serta narasi penulis tetang data-data tersebut.

5.1 Informan I

Nama : NB Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 17 Tahun Pendidikan Terakhir : SD Agama : Kristen Protestan Anak Ke : 6 Jumlah Saudara Kandung : 7 Orang Pelaku : MH

5.1 Upaya Litigasi 1. Pendampingan Korban Di Kepolisian

Dalam menjalankan tugasnya, biasanya seorang pedamping melakukan tugas penyusunan kronologis peristiwa yang akan dijadikan acuan dalam melaporkan kasus yang tengah dihadapi oleh korban. Mendampingi korban saat melapor ke pihak yang Universitas Sumatera Utara berwenang. Meghadirkan saksi-saksi dan alat bukti lainnya juga di perlukan karena dengan adanya saksi-saksi maka akan dapat mempermudah pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan. Sebagai seorang pendamping, melakukan pendampingan di kepolisian merupakan suatu keharusan karena hal itu untuk menjaga keamanan korban. Pada proses awal penyidikan, maka anak korban harus menjalani pemeriksaan di rumah sakit untuk memperoleh Visum et Repertum VER yang akan menjadi bukti laporan korban di kepolisian. NB merupakan anak berusia 16 Tahun yang memiliki paras manis dengan kulit berwarna kuning langsat. Rambutnya yang ikal dan memiliki panjang hingga menutupi leher sering ia ikat apabila beraktifitas sehari-hari. NB merupakan anak yang memiliki rasa kesopanan yang tinggi dan memiliki sifat pemalu apabila ia berinteraksi dengan orang lain. Sepintas NB seperti anak normal yang lainnya yang kelihatan tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Dia selalu tertawa dan kadang sedikit menundukkan kepalanya saat sendiri. NB mengalami kasus eksploitasi seksual saat ia duduk di kelas 1 bangku sekolah menengah pertama SMP. NB bersama-sama dengan orang tuanya mendatangi Yayasan Pusaka Indonesia untuk melaporkan kasus yang tengah dihadapi oleh anaknya. Pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia menerima dengan tangan terbuka atas laporan dari anak korban tersebut. Menurut penuturannya, pendamping dari pihak Yayasan Pusaka Indonesia tetap mendampingi korban saat ia melapor ke pihak kepolisian. Berikut penuturannya: “ Pertama kali datang ke Pusaka kami langsung disapa sama pegawai-pegawai yang kerja di situ. Aku sama mamaku ditanyak-tanyain sama pendamping Pusaka. Terus abis di Tanya-tanyai itu aku langsung diajaknya ke kantor polisi untuk melapor kasusku itu. Waktu dikantor polisi ya pendampingku itu tetap sama aku di situ. Ditemeni aku sampai proses penyelidikan itu selesai .” Universitas Sumatera Utara NB merasa nyaman selama dalam proses pemeriksaan di kepolisian karena pendamping selalu mendampingi saat polisi melakukan penyelidikan terhadapnya. NB juga menuturkan bahwa pendamping telah berusaha secara maksimal. Pendamping juga telah membuat laporan pengaduan di kepolisian dengan menyertakan alat bukti pendukung lainnya seperti, akta kelahirannya, kartu keluarga, KTP, dan saksi. Anak korban juga di damping pada saat pengambilan Berita Acara Tambahan dan konfrontir saat di Kepolisian. NB menuturkan kepada peneliti bahwa pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia melakukan komunikasi dan koordinasi dengan keluarganya. Pendamping juga memberitahukan perkembangan kasus yang dihadapi korban. Pendamping selalu menginformasikan kepada NB dan keluarganya mengenai hasil monitoring yang telah dilakukannya. Saat pemeriksaan atau Visuk Et Repertum terhadap NB, pendamping selalu mendampinginya di rumah sakit, selalu memberikan semangat dan motivasi agar korban bisa cepat menyelesaikan kasus yang tengah dihadapinya.

2. Pendampingan Korban di Pengadilan

Mendampingi korban saat di pengadilan merupakan kewajiban dari pendamping. Di pengadilan, pendamping biasanya mempertemukan korban dengan saksi. Pendamping memberikan penjelasan secara ringkas tentang prosesi persidangan yang akan di hadapi oleh anak korban. Di sini, peran pendamping sangat dibutuhkan. Pendamping harus mampu meyakinkan korban untuk berani memberikan kesaksian di depan persidangan. Hal yang juga harus diperhatikan pendamping adalah untuk menjauhkan korban dan saksi dari incaran pers atau media massa yang biasanya ada di pengadilan. Apabila korban telah selesai menjalani persidangan, pendamping berhak memberitajukan beberapa prosedur hukum yang Universitas Sumatera Utara akan dijalani oleh korban hingga putusan pengadilan. Apabila korban berhalangan untuk menghadiri sidang selanjutnya, pendamping dari pihak Yayasan Pusaka Indonesia dapat melakukan monitoring terhadap persidangan selanjutnya hingga jatuhnya putusan hakim Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 39. Mempertemukan korban dengan saksi merupakan salah satu tugas dari pendamping. Pendamping harus mengatur waktu pertemuan dengan korban dan saksi saat di pengadilan. Menurut penuturan NB, bahwa pendamping menjemput keluarga dan saksi untuk pergi bersama-sama ke pengadilan. Hal tersebut di lakukan untuk menjamin keselamatan korban dan saksi. Ketika ditanya apakah pendamping menjelaskan proses persidangan terhadap korban, NB kemudian menjawab bahwa pendamping saat di persidangan menjelaskan secara detail apa-apa saja yang harus dilakukannya saat dipersidangan. Berikut penuturan NB: ”Iya kak, waktu dipersidangan itu, baik kali abang itu. Aku diingatkannya tentang kejadian yang kemaren itu. Aku di suruhnya tenang kalau hakim nanyak-nanyakin aku.” Selesai selesai pengambilan kesaksian di depan sidang pengadilan, pendamping memberitahukan kepada korban dan keluarga korban mengenai beberapa prosedur hukum yang harus dijalani oleh korban kembali hingga putusan pengadilan. Saat pengadilan selanjutnya anak korban mengatakan jika keluarga dan dirinya tidak dapat menghadiri persidangan selanjutnya karena anak korban berhalangan hadir. Sehingga, pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia melakukan monitoring persidangan selanjutnya. Berdasarkan dari hasil observasi dan wawancara mendalam yang telah dipaparkan oleh korban, dapat dilihat bahwa pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia mengupayakan yang terbaik untuk kepentingan NB korban. Pendamping menjalin komunikasi yang baik antara korban dan keluarga korban. Universitas Sumatera Utara

5.1.1 Upaya Non Litigasi

1. Rehabilitasi Fisik

Proses pemulihan Psiko-sosial dan penyedia pelayanan terhadap aak-anak yang menjadi korban Eksploitasi Seksual memerlukan waktu yang panjang dan dana yang besar. Hal ini mengingat ketika anak menjadi korban, ada berbagai pengaruh dan dampak terhadap kondisi fisik, mental dan sosial anak. Diperlukan konseling psikologis, medis dan sosial serta pemberian dukungan lain yang dibutuhkan oleh anak PKPA Medan, Yayasan Setara, Kakak, YKAI, LA , Badan Pemberdayaan Masyarakat Manado, 2008: 36. Ketika anak yang menjadi korban eksploitasi seksual diperlukannya suatu rehabilitasi atau pemulihan secara fisik agar anak dapat menjalani aktivitasnya kembali. NB mengaku bahwa upaya rehabilitasi fisik yang ia terima dirasakannya cukup membantu untuk pemulihan fisiknya. Berikut penuturan anak korban: “ Waktu abis kejadian itu aku dibawa sama pendampingku kak kerumah sakit. Di rumah sakit aku diperiksa sama doker. Aku diinfus. Sakit kali kak. Tapi abis diinfus dan dikasi obat udah enakkan badanku kak. Kemaren itu, sebelum dibawa kerumah sakit badanku sakit semua. Sampai gak terasa gitu badanku kk”. Yayasan Pusaka Indonesia juga melakukan kerja sama dengan Rumah Sakit Bhayangkara dan Rumah Sakit Pirngadi. Saat pemeriksaan di rumah sakit. Korban mengaku bahwa ia selalu didampingi oleh mama dan saudara kandungnya kakak. Pengakuan dari mamanya: “ Pemeriksaan di Rumah Sakit kemaren itu sangat membantulah dek. Selain membantu keluarga kami, NB pun uda merasa enakan. Biasanya kalau di rumah itu, dia selalu mengeluh sakitlah badannya, sakit kepalanya, linu-linu badannya. Setelah dia dibawa ke Rumah Sakit. Gak pernah lagi dia ngeluh-ngeluh sama kami”. Universitas Sumatera Utara Setelah dilakukan observasi dan wawancara yang mendalam kepada korban. Maka dapat dilihat bahwa Rehabilitasi Fisik yang korban terima ternyata memberikan dampak positif terhadap kesehatan korban dan korban merasa kodisi fisiknya telah pulih kembali.

2. Rehabilitasi Psikologis

Rehabilitasi Psikologis juga penting dilakukan sebagai pelayanan untuk membantu korban anak eksploitasi dalam mengatasi ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya anak akibat tindak eksploitasi seksual. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat kompleksnya kasus eksploitasi yang dialami anak mulai saat perekrutan, transit, setelah sampai di daerah tujuan ataupun setelah bebas dari daerah lokalisasi Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 35. Ketika ditanya kepada korban mengenai bagaimana proses rehabilitasi psikologis yang NB terima. NB menjelaskan bahwa ia sering sharing-sharing dengan psikiater yang telah di fasilitasi oleh pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia. Berikut penuturan NB: ” Kemaren itu aku sering kali kak diajak ngomong-ngmong sama, ada kakak-kakak yang kuliah di USU. Aku diajak becanda, aku sering dikasi taukannya mengenai kehidupan. Aku jadi semangat lagi kak abis itu. Karena kejadian itu, ku rasa hidup ku udah hancur kali kak. Jadi males aku ngomong sama orang-orang. Sama mama pun kalau di rumah jarang- jarang aku ngomong kak. Tapi kerana dikasi pandangan sama kakak yang kuliah di USU itu aku jadi lebih tenang sekarang. Uda gak suka diam-diam kalau di rumah.” NB merupakan anak perempuan terakir dari 7 saudaranya. Dalam kesehariannya, NB terlihat riang bermain bersama teman-temannya. Menurut penuturan ibu SA, NB memang terlihat tidak memiliki perubahan emosi yang menonjol dalam kehidupan sehari-hari akibat kasus yang menimpanya. Namun ibu SA juga menambahkan Universitas Sumatera Utara bahwa NB sempat menerima ejekan dari lingkungan sekitar mengenai kondisi yang ia alami, dan itu sempat membuat NB merasa malu dan menarik diri dari kehidupan sosialnya Rehabilitasi psikologis ini sangat membantu korban agar ia dapat memahami dirinya sendiri dan orang lain dengan belajar tentang keagamaan dan belajar untuk berpikiran positif. Menurut penuturan NB bahwa ia juga mengikuti siraman rohani dari pendeta. Dengan adanya siraman rohani dari pendeta, NB lebih merasa dekat dengan Tuhan karena dengan begitu NB dapat menghindari segala perbuatan yang di larang oleh Agama. Penuturan ibu SA bahwa saat NB melakukan rehabilitasi psikologis, ibu SA selalu menemaninya. Ibu SA juga sering bertanya kepada pendeta bagaimana menghadapi anaknya. Selain itu juga, menurut penuturan ibu SA Bahwa pendamping NB juga selalu mendampingi tetapi ia tidak mengikuti prosesi kebaktian. Tetapi pada saat bertemu dengan psikiater, pendamping mengikuti prosesi itu dan ia juga memberikan motivasi serta dukungan kepada NB. 3. Rumah Aman Shelter Rumah Aman yang sering disebut juga shelter dapat diartikan sebagai tempat menyingkir sementara waktu, guna memberikan kesempatan kepada anak korban eksploitasi seksual untuk dapat memikirkan masalanya dengan tenang dan jauh dari intervensi orang lain. Keberadaan shelter sangat di butuhkan apalagi jika anak korban merasa terancam jiwa dan keselamatannya, emosi labil dan perlu ketenangan untuk memikirkan masalahnya Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 30. Rumah Aman Shelter bagi NB merupakan rumah yang sangat memberikannya perlindungan. Di dalam Shelter NB merasa sangat senang karena ia mendapatkan pengalaman serta keterampilan yang selama ini ia tidak mengerti. Terlihat dari raut wajahnya ketika bercerita dengan peneliti “senang kali aku kan di dalam Shelter. Di sana Universitas Sumatera Utara aku diajari sama orang-orang yang ada di sana buat bunga-bunga am bros. Dari buat bunga- bunga sama bros itulah aku jadi tau, jadinya aku sekarang gak perlu lagi beli-beli bros. Aku memang gak pakek jilbab kk, Cuma kalau ku taruk di baju kan cantik juga. Kadang-kadang kawan-kawanku malah mintak buatkan sama aku”. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, NB memang sangat menikmati ketrampilan yang tealah diberikan oleh pendampingnya saat di dalam Shelter. Menurut penuturan NB, ia berada di dalam Shelter selama 3 minggu. Dalam waktu 3 minggu itu, ia selalu mendapatkan pelajaran keterampilan yang berbeda-beda. Menurut NB, pendamping selalu berkomunikasi dengan baik dengan pegawai Shelter maupun dengannya. Berikut penuturan NB: “Abang yang dari Pusaka itu kak, selalu nemeni aku kalau aku dikasi pelatihan sama pegai Shelter, kami belajar sama kalu buat-buat keterampilan gitu. Tapia abang itu gak begitu pande kak, kalau di ajari, salah-salah aja. Pokoknya susahla abang itu. Tapi baik kali abang itu kak, mau nemeni aku di Shelter sampai dia gk pulang-pulang ke rumah”. Tugas seorang pendamping ketika klien atau korban eksploitasi seksual berada di dalam Shelter adalah memenuhi segala kebutuhan dasar korban. Hal tersebut di maksudkan agar ia merasa nyaman dan menganggap bahwa ia memang berada di rumahnya sendiri. Penuturan dari NB bahwa segala kebutuhannya saat di dalam Shelter memang dipenuhi. Tidak pernah sekali pun ia merasa kekurangan atau merasa tidak di perdulikan dengan pendamping saat di dalam Shelter. NB juga menambahkan, bahwa ia selalu di beri piket untuk memasak. Dan dia mengaku karena dengan adanya piket tersebut, ia sekarang bisa memasak. Berikut penuturan NB: “Waktu di Shelter kak, aku sering di suruh masak. Sama pendamping di sana di buat piket. Katanya biar aku bisa masak. Memang betul kata pendamping itu kak. Sekarang aku agak sedikit lebih jago masak. Mau masakan apa pun aku uda bisa. Kalau dulu, aku suka nyuruh-nyuruh mama untuk masak sesuatu. Dulu masak mie goreng aja aku gak pintar kak, kalau sekarang, mau masakkan yang susah sekali pun aku uda bisa memasaknya. Jadi senang aku kak, jadi pengalaman itu sama aku kak”. Universitas Sumatera Utara Dari hasil observasi yang dilakukan bahwa terlihat, sangat berdampak positif ketika anak yang telah menjadi korban eksploitasi seksual di tempatkan did lam Shelter, Karena dengan begitu anak korban merasa bahwa ia mampu untuk bersosialisasi kembali dengan lingkungan sosialnya.

5.1.2 Reintegrasi 1. Penilaian Resiko

Penilaian resiko merupakan suatu penilaian bahwa apakah daerah asal korban merupakan pilihan yang tepat untuk pemulangan korban. Sebagai seorang pendamping, maka pendamping harus mampu untuk menginformasikan kepada korban tentang rencana pemulangannya ke daerah asal, memiliki hubungan yang baik dengan jaringan kerja yang lain seperti Pemda, Kepolisian maupun LSM yang berada di daerah asala korban untuk membantu upaya pemulangan korban. Sebagai seorang pendamping, bang Mitra selalu memberikan informasi kepada NB mengenai rencana pemulangannya. Terlihat jelas di wajah NB, bahwa ia tidak mau pulang ke daerah asalnya. Terkadang, sebagai seorang pendamping memiliki kendala dan kesulitan untuk membujuk korban agar ia mau untuk pulang ke daerah asalnya. Sebagai pendamping, bang Mitra selalu memberikan pengertian kepada NB bahwa orang tuanya selalu sayang kepada NB dan orang tuanya mau NB kembali ke rumah untuk tinggal bersama-sama lagi. Penuturan NB:” waktu aku mau di pulangkan kerumah mama kak, aku di kawal sana sini. Uda macam artis aku rasa. Banyak kali polisi. Sampek wartawan yang mau meliput aja di haling-halanginya. Aku merasa aman kak. Banyak kali rupanya yang peduli sama aku. Itu yang buat aku, mau pulang. Awalnya aku memang gak mau pulang kak. Karena aku takut kalau di rumah gak di penuhi Universitas Sumatera Utara kebutuhanku. Tapi karna ku tengok banyak kali yang sayang sama aku. Jadi kangen aku sama mama di rumah kak. “ Saat pemulangan NB ke rumah orang tuanya, orang tua NB merasa senang dan terharu karena NB sudah kembali lagi. Penurutan ibu SA, NB pulang kerumah di kawal sama polisi da di damping pendampinginya. Senang kali aku akhirnya anak ibu bisa pulang kerumah lagi. Ibu melihat NB makin gemuk. Dulu badan NB gak gemuk kek gijtu. Semenjak dia di dalam Shelter makin gemuk dia. NB Nampak tenang dan gak ada rasa takut walaupun dia di kawal sama polisi. Ibu juga seneng, karena banyak kali yang membantu keluarga kami”. Penulis melihat, pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia telah mengambil langkah yang teapat untuk pemulangan korban. Sebagai anak-anak yang masih membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya, maka memang sepatutnya NB untuk dipulangkan ke daerah asalnya. Selain itu, penulis juga melihat bahwa sikap pendamping tidak merasa canggung lagi ketika berinteraksi dengan NB dan keluarganya. Ketika sudah kembali ke daerah asal NB, sebagai seorang pendamping, bang Mitra tidak meninggalkan NB untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Pendamping dan orang tua NB berusaha agar NB mau untuk berinteraksi dengan tetangganya. Penuturan ibu NB: “Kami berusaha supaya mau si NB berkawan lagi sama tetangga-tetangga dekat rumah. Hari pertama dia di rumah, ya NB mengurung diri aja di kamar, karena banyak tetangga kami yang datang ke rumah untuk liat dia. Tapi gak mau dia keluar kamar. Kek gitu terus selama seminggu. Masuk hari ke Sembilan, dia udah sedikit mau untuk keluar ke teras, duduk-duduk sama kami di teras. Ya uda bisa ketawak-ketawaklah dia sama kami. Lama- lama masih datang tetangga ke rumah, tapi NB gak ke kamar lagi. Dia mau duduk juga di situ, tapi ya diam aja dia. Kalau di tanyain sama tetangga kadang-kadang dijawab, kadang- kadang di diami aja. Ya saya sebagai mamanya gak bisa memaksakan kehendak NB. Karna saya juga bisa merasakan kek mana penderitaan yang dia rasakan”. Universitas Sumatera Utara Dari observasi yang dilakukan oleh peneliti melihat bahwa sebenarnya NB mau untuk berinteraksi kembali dengan masyarakat sekitar terutama tetangga rumahnya. Tetapi NB masih belum nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh tetangganya. Peneliti melihat, bahwa masyarakat tidak memberikan respon yang negatif terhadap NB. Mereka merasa kasihan dengan kejadian yang terjadi pada NB.

2. Membangun Motivasi Korban

Setiap anak yang mengalami tindak eksploitasi seksual harus diberlakukan sebagai satu individu dan bukan anggota suatu kelompok. Perlakuan secara benar dan tepat yang dilandasi penghormatan terhadap martabat korban merupakan unsur terpenting untuk membangun motivasi korban. Membangun Motivasi merupakan suatu tugas dari pendamping yang harus melakukan komunikasi yang efektif dan komprehensif dengan korban, membangun penerimaan atas perasaan-perasaan negatif korban dan membangun sifat positifnya kembali, pendamping juga dapat memberikan beberapa pandangan atau contoh orang-orang yang berkerja keras dan dapat berhasil dalam kehidupannya. Membangun rasa keprcayaan diri NB merupakan tugas berat yang harus di lakukan oleh pendamping. Ketika di Tanya mengenai bagaimana ia memandang masa depannya, NB menjelaskan bahwa NB akan bersekolah lagi dan ia akan menyusun kembali rencana masa depannya. Berikut penuturan NB: “Kalau di Tanya mau ku kek mana untuk ke depannya kak, ya aku mau kayak anak- anak seperti biasanya. Aku kan memang harus sekolah lagi, nerusin sekolah yang ku tinggalkan dulu. Aku gak mau kalah sama anak-anak yang lain kak. Mereka bisa jadi orang kaya, aku juga bisa. Aku mau jadi Dokter, biar bisa nanti ku sembuhkan kawan-kawanku kalau mereka sakit. Pokoknya aku mau sekolah sampai kuliah. Tapi aku gak mau merepotkan orang mama terus kak, aku mau sambil kerja. Biar bisa aku beli buku-buku ku sendiri. Aku mau buat mama sama bapak aku bangga kak. Udah cukup aku buat orang tua ku malu”. Universitas Sumatera Utara NB merupakan anak yang cepat tanggap dalam menghadapi sesuatu. Dia mampu untuk mengambil keputusan yang tepat untuk kebaikan dirinya sendiri. Dari observasi yang dilakukan, Peneliti melihat bahwa NB tidak sedikitpun mengalami trauma. Pendamping NB juga menjelaskan bahwa NB tidak takut kalau ia melihat laki-laki. Dia dapat menyesuaikan dengan orang-orang yang ia temui. Orang tua NB menambahkan bahwa, ketika ia kembali kerumah. NB kelihatan semakin rajin. Dan ia mau untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang dahulunya ia susah sekali kalau di suruh untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Di dalam rumah, NB sering menulis. Berikut penuturan ibu NB: “Ku tengok makin rajin kali sekarang NB itu. Suka kali sekarang dia beres-beres rumah, masak, nyuci baju. Pokoknya semualah dikerjainya. Kalau ada sedikit aja yang kotor atau berantakan langsung dibereskannyalah itu. Kadang-kadang NB makin cerewet ibu liat, karena kalau apakan orang ibu masi suka sembarangan ngeletak-ngeletakam barang. Terus kalau nonton gitu, bukannya nonton Tv na dia, nulis aja kerjaannya. Kadang ibu intip gitu dia nulis apa, tapi langsung di tutupinya. Terkadang kalau dia mandi, baru ibu buka bukunya. Barulah ibu liat dia nulis apa. Bangga kali ibu sama dia, ternyata dia mau jadi Dokter. Mudah-mudahanlah cita-cita NB tercapai”. Pendamping juga menjelaskan kepada penulis, bahwa selama NB kembali kerumahnya. Motivasi untuk rencana masa depannya telah ia rencanakan sedemikian matangnya. Sehingga ia merasa mampu untuk mencapai cita-citanya. Menurut pendamping, NB sering bercerita dan ia suka sekali meminta pendapat dari pendamping hal apa yang mesti ia lakukan. Sebagai seorang pendamping, maka ia harus mampu untuk mewujudkan keinginan dari korban.

3. Menyusun Proses Reintegrasi

Proses reintegrasi atau pemulangan korban harus dilakukan secara sukarela dan penuh kesadaran dari korban. Oleh karena itu, pada saat penyusunan rencana proses pemulangan. Sebagai seorang pendamping seharusnya memperhatikan kondisi Universitas Sumatera Utara korban dan menanyakan kepada korban apakah ia mau untuk kembali dan apakah orang tuanya juga harus diberitahukan mengenai kasus yang tengah di hadapainya. Pendamping harus mampu menguasai situasi dan kondisi korban. Saat rencana pemulangan NB ke daerah asalnya ia menyatakan bahwa ia secara sadar ingin kembali ke rumah orang tuanya. Ibu SA menceritakan kepada peneliti “Kami memang dikasi taukan dek sama pendamping NB kalu NB mau pulang ke rumah. Kami senang dia pulang. Tapi kami ya sedih juga dengar kabar kalau di jadi korban eksploitasi. Sebagai orang tuanya, ibu gk bisa berbuat apa-apa lagi. Mungkin memang uda kayak gitula jalan hidupnya. Jadi ibu tanyak sama EP, ada kau di paksa-paksa sama pendamping mu kalau kau harus pulang? NB bilang sama ibu, kalau dia yang memang mau pulang sendiri ke rumah. Kangen katanya NB sama ibu”. Proses pemulangan yang dilakukan oleh pendamping dan pihak yang terlibat membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena menunggu proses hukum sampai selesai. NB menuturkan bahwa ia cukup lama juga untuk pulang ke rumahnya. “Ada kira-kira 1 bulan setengahlah kak proses pemulangan ku itu. Soalnya kata pendamping ku, mesti semua pihak di terlibatkan. Terus ada juga kendala sama dana kak. Bersyukur kali aku kak, mereka peduli sama aku”.

4. Monitoring

Proses pemulangan korban ke daerah asal saja tidak cukup. Korban membutuhkan pendampingan sampai korban bisa berinteraksi dengan baik ke masyarakat. Sebagai orang pendamping, tugas yang harus dilakukan yaitu tetap memonitoring korban di daerah asalnya. Sesuai pengakuan NB “selama aku di rumah kak, pendamping ku itu selalu sama aku kak. Kemana pun aku pergi selalu diikutinya. Kalau aku ketemu sama orang di kampung, pendamping ku selalu suruh aku menyapa-yapa orang disitu kak”. NB menuturkan kepada peneliti bahwa NB selalu memiliki komunikasi yang intensif dengan pendampingnya. Setiap hari kami selalu sama kak, kadang-kadang Universitas Sumatera Utara aku sering nanyak sama abang itu, aku harus kek mana bersikap dan bertindak. Kadang-kadang aku masih malu dan takut kalau keluar rumah dan bertemu dengan tetangga ku. Mangkanya itu kak aku sama pendamping ku itu sering kali kami berbicara mengenai sikap dari tetanggaku”. Saat ditanyakan kepadanya mengenai kenyamanan NB berada di tengah-tengah masyarakat, NB menurutkan bahwa ia sebenarnya merasa nyaman, tetapi terkadang tetangganya selalu membicarakan dan sering bertanya mengenai kejadian yang terjadi padanya. Sehingga NB terkadang merasa tidak nyaman dan merasa terusik dengan pertanyaan-pertanyaan dari tetangganya. Jadi, peneliti dapat menyimpulkan bahwa, seorang anak yag telah menjadi korban eksploitasi seksual tidak harus di Tanya-tanya mengenai kasus yang telah terjadi padanya. Dan sebagai seorang pendamping, memang sudah seharusnya memberikan pelayanan yang terbaik untuk korban NB.

5.2 Informan II

Nama : KR Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 14 Tahun Pendidikan : SMP Agama : Islam Anak Ke : 7 Jumlah Saudara Kandung : 8 Orang Pelaku : WD Universitas Sumatera Utara

5.2.1 Upaya Litigasi 1. Pendampingan Korban di Kepolisian

Proses pendampingan KR saat penyelidikan dikepolisian berbeda dengan NB. KR mendapatka pendampingan dari Yayasan Pusaka Indonesia karena adanya rujukan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Hal tersebut sesuai dengan penuturan pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia “Saat itu, KR dan Bapak JM telah melapor ke pihak yang berwajib. Dari pihak kepolisian kemudian merujuk YPI untuk mendampinginya. Dengan tangan terbuka, kami menerima KR dengan orang tuanya untuk menjadi klien kami. Kami tidak pernah menolak suatu kasus jika kasus tersebut berhubungan dengan isu anak. Kami akan melindungi anak. Kami juga tidak pandang bulu jika melakukan pendampingan”. KR adalah Informan kedua dalam penelitian ini. KR adalah seorang anak perempuan berusia 14 tahun yang memiliki wajah oriental dan manis, rambutnya lurus dan panjang selalu ia biarkan tergurai saat ia menjalani aktivitasnya. Kulitnya yang berwarna putih membuatnya semakin terlihat cantik dibandingkan teman- temannya yang lain. KR adalah seorang anak perempuan yang memiliki sifat periang dan memiliki rasa humoris yang tinggi. KR adalah anak ke tujuh dari delapan saudaranya, hal tersebut yang membuatnya selalu ingin di manja walaupun ia bersama dengan teman-temannya. KR menjadi korban eksploitasi seksual terjadi pada saat ia dijebak oleh teman sepermainannya sendiri. Pada saat itu KR hanya ingin mencari tambahan uang jajan saja. Pada saat itu KR meminta pekerjaan kepada WD. WD adalah teman satu kelasnya. KR selalu memperhatikan WD selalu memiliki barang-barang baru dan ia selalu kelihatan bahagia dengan kehidupannya. Karena hal tersebutlah KR meminta pekerjaan dengan WD. Berikut penuturan KR: Universitas Sumatera Utara “Si WD itu kak, kalau disekolah mewah kali aku lihat. Tiap minggu ganti tas dan sepatu. Kalau aku lihat kondisi keuangan keluarganya kayaknya samanya kayak orang tua ku kak. Tapi kok bisa dia ganti-ganti tas sama sepatu tiap minggu? Jadi ku tanyalah sama dia. JS kau kerja atau memang dikasi sama mamak mu untuk beli-beli tas sama sepatu mu itu. Terus JS bilang kak, manalah mungkin mamak aku mau ngasi uang banyak-banyak sama aku. Aku kerjanya, mangkanya bisa aku beli ini semua. Kenapa rupanya? Mau kau kerja kayak aku? Aku jawab aja kak, ya mau lah. Biar bisa aku beli barang-barang baru juga kayak kau”. Sesuai dengan penuturan Bapak KR bahwa KR memang sering minta uang untuk beli tas sama sepatu sekolah, tetapi karena saat itu kondisi keuangan keluarganya tidak stabil, maka Bapak KR menunda permintaan dari KR. Baru beberapa minggulah itu seingat Bapak KR minta uang terus sama Bapak, tapi gak Bapak kasih. Eh.. rupanya Bapak liat di rak sepatunya uda ada sepatu baru dan tas baru. Awalnya KR tidak menyangka jika ia akan di jual atau di eksploitasi secara seksual dengan temannya sendiri. KR hanya dikasi uang muka sebesar Rp 100.000 dan dia harus mau utnuk bekerja apa yang diberikan oleh WD. Ketika KR diajak oleh WD untuk pergi dan WD melarang KR untuk berpamitan dengan orang tuanya, KR merasa bersalah dan takut. KR berpikiran, pekerjaan apa yang akan di berikan oleh JS. Setelah KR mengetahui ia telah dijual oleh temannya sendiri dan KR telah memakai uang muka dari pekerjaan terhina itu. Maka dengan terpaksa KR tetap harus melayani nafsu bejat dari BG. Penuturan KR: “Nyesal kali aku kemaren ikut sama teman aku itu kak, masa dijebaknya aku. Disurunya aku melayani om-om yang uda tua kali. Gemuk pulak om itu kak, aku takut kali waktu di dalam kamar itu kak. Nangis aku, tapi om itu bilang sama aku kalau aku gk boleh nangis dan harus melayani dia karena uangnya uda aku pakek. Nyesal kali aku makek uang itu kak. Kalau aku sabar nunggu Bapak yang ngasi duit sama aku. Mungkin kejadiannya gak kayak gini kak”. Visum Et Repertum adalah hal yang sangat penting lakukan agar pendamping dapat mengetahui kondisi kesehatan korban. KR harus di di periksa di Rumah sakit Universitas Sumatera Utara agar segala penyakit yang ada di dalam tubuhnya dapat terdeteksi secara dini. KR mengaku kepada pneliti bahwa ia di bawa oleh pendampingnya untuk melakukan Visum di Rumah sakit. Ia mengaku juga bahwa ia sedikit takut ketika di Visum. Sesuai penuturan KR: “Aku di bawa juga kak ke Rumah Sakit. Di Rumah Sakit, aku di periksa sama dokter. Darah ku di ambil kak. Takut kali aku waktu darah ku di ambil itu kak. Karna aku takut di suntik. Kata dokternya ini untuk memeriksa, apakah ada penyakit ku yang serius atau enggak. 1 jam setengah juga aku di periksa kak. Gak tau aku thah apa-apa aja yang di buat dokter sama aku. Aku ikut ajalah. Soalnya aku berpikir. Demi kesehatan ku juga. Mangkanya aku nurut-nurut aja”. Peneliti melihat, bahwa pendamping memberikan pelayanan dan fasilitas yang baik untuk KR. Sebagai seorang pendamping memang sangat dibutuhkan jiwa kepedulian sosial yang tinggi. Adanya suatu kewajiban yang harus benar-benar dijalankan oleh pendamping agar anak korban yang dalam penelitian ini adalah si KR dapat merasa lebih nyaman ketika proses penyelidikan di kepolisian. Hal tersebut bertujuan agar, semua laporan yang di tulis kepolisian sesuai dengan fakta yang AT alami.

2. Pendampingan Saat di Pengadilan

KR merasa bahwa ia sudah nyaman dengan pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia. Karena pada saat proses pemeriksaan di kepolisian pendampingnya selalu menemani KR. Hal tersebut sesuai dengan penuturan Bapak KR yang mengatakan jika KR sangat semangat ketika pendamping mengajaknya untuk sidang di pengadilan. “Bapak heran juga liat KR, semangat kali dia untuk ke pengadilan. Bapak kira dia takut yang kayak di kantor polisi itu. Tapi ini enggak. Uda gak sabar lagi dia untuk datang kepengadilan bersama-sama pendampingnya. Pendampingnya itu pun baik kali bapak tengok. Dia sama sekali gak membeda-bedakan kami. Tulus Universitas Sumatera Utara kali pendampingnya KR itu. Kami di jemput di rumah untuk sama-sama berangkat kepengadilannya. Seorang pendamping harus menjelaskan mengenai prosesi persidangan yang akan di jalani. Misalnya, pendamping harus memberikan penjelasan mengenai tempat duduk Hakim, Jaksa, Terdakwa dan Saksi. Mengenai proses awal persidangan, mulai dari pembacaan dakwaan, pembacaan eksepsi dari Penasehat Hukum Terdakwa, Putusan sela dan Pemeriksaan Saksi. Dan pendamping juga harus sedikit bertanya kepada korban mengenai kasus yang di alaminya. Hal tersebut bertujuan untuk mengingatkan kembali mengenai kasus dan keterangan yang telah mereka sampaikan di kepolisian. KR sedikit memberikan informasi kepada peneliti mengenai hal tersebut. Berikut penuturan KR: “Di pengadilan itu, aku di kasi tau sama abang itu tempat duduknya Hakim, Jaksa, pokoknya yang ada di situ aku di kasi taukannya kak. Nama Hakimnya aku juga di kasi taukannya. Cuma lupa aku nama Hakimnya. Abis itu, saksi juga di Tanya-tanyai sama pendamping ku itu. Biar ingat dia katanya. Aku juga kadang-kadang di tanyainnya. Di bilang sama pendamping ku kak. Kalau aku gak boleh gemetaran kalau di Tanya sama Hakim. Biar percaya katanya Hakim itu sama keterangan ku. Cuma kadnag-kadang aku agak terbatah- batah gitu kak ngjawabnya. Terus ku tengok pendamping ku. Dia senyum sama aku. Dan aku jadi tenang lagi”. Peneliti menanyakan kepada KR, mengenai bagaimana prosesi sidang yang ia hadapi. Kemudian KR menjelaskan kepada peneliti, bahwa ketika menjalani persidangan itu. Semuanya baik-baik saja. Sesuai dengan keinginannya. Pelaku dapat di jerat pasal yang berat. Saksi juga sangat kooperatif untuk terus membela KR saat di persidangan. KR memberikan keterangan kepada peneliti jika KR dan Bapaknya akan terus menghadiri prosesi sidang selanjutnya. Universitas Sumatera Utara

5.2.2 Upaya Non Litigasi

1. Rehabilitasi Fisik

Upaya Rehabilitasi secara Fisik ini dapat dilakukan oleh aparat pemerintahan maupun dari NGO. Biasanya, Yayasan Pusaka Indonesia berkerja sama dengan Rumah Sakit yang berada di Kota Medan untuk memeriksakan setiap korban yang menjadi klien di Yayasan Pusaka Indonesia. Misalnya Rumah Sakit Bhayangkara dan Rumah Sakit Pirngadi. Pendamping mengatakan kepada peneliti, bahwa mereka sudah cukup lama bekerjasama dengan Rumah Sakit tersebut. Pendamping Yayasan Pusaka Indonesia sering merujuk korban yang mengalami tindakan kekerasan seksual ke Rumah Sakit tersebut. Dengan kata lain,terjalinlah kerjasama antara pemerintah dengan LSM. KR menyatakan bahwa ia pernah mendapatkan upaya Rehabilitasi secara fisik dari pemerintah dan non pemerintah. KR mendapatkan penanganan yang baik dari upaya rehabilitasi tersebut. KR menambahkan bahwa, KR mendapatkan terapi fisik untuk kesembuhannya. Kemudian KR mengaku kepada peneliti jika ia juga pernah di rawat inap selama 1 malam di Rumah Sakit Bhayangkara. Di Rumah Sakit tersebut KR mengaku kepada peneliti jika ia menghabiskan 2 botol cairan infus, di suntik dan di beri obat serta vitamin untuk meningkatkan staminanya. Bapak KR menjelaskan bahwa selama KR berada di Rumah Sakit Ia dan Istrinya selalu menemaninya sampai KR pulang ke Rumahnya. Bapak KR juga menambahkan saat di Rumah Sakit pendamping tidak menemani KR karena Ia berhalangan untuk mendampingi selama KR di Rumah Sakit. Hal tersebut juga di benarkan oleh pendamping kepada peneliti”iya ayu, saya memang tidak menemani KR waktu di Rumah Sakit. Soalnya keluarga saya ada yang sakit. Jadi saya tidak bisa menemani KR. Kasihan juga dia gak saya temani”. Universitas Sumatera Utara Peneliti melihat kondisi fisik KR terlihat sehat sekarang. Hal itu terlihat saat KR asik bermain dengan teman-temannya. KR berjalan dengan normal, berlari- larian, dan melompat-lompat. Terlihat jauh perbedaan ketika KR masih mengalami kejadian itu. Menurut penuturan Bapak KR: “Sekarang sudah mendingan si KR ini dek. Masih bisa dia jalan, main-main, lompat- lompat. Kalau dulu, jalan pun agak susah dia. Semenjak dia opname di Rumah Sakit Bhayangkara itu lah, uda agak segar badannya bapak liat. Kasihan saya lihat KR. Sakit hati bapak kalau ingat kejadian itu”. Berdasarkan dari observasi yang dilakukan oleh peneliti dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi secara fisik untuk KR berdampak positif untuk kesehatannya. Dengan adanya Rahabilitasi fisik yang dilakukan oleh Pemerintah, maka KR mampu untuk menjalani kehidupannya tanpa harus menderita sakit.

2. Rehabilitasi Psikologis

Proses rehabilitasi psikologis yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia kepada AT dapat diberikan berkat kerjasama antara Pusaka dengan Fakultas Psikologi USU. Yayasan Pusaka Indonesia telah menjalani kerja sama dengan Fakultas Psikologi USU telah dilakukan selama kurang lebih 5 Tahun. Selama 5 Tahun saling bekerjasama. Sangat banyak manfaat serta hubungan yang positif di antara kedua belah pihak. Pihak Yayasan Pusaka Indonesia merasa terbantu dengan para Psikolog yang ada di USU untuk menangani korban eksploitasi seksual. Dan begitu juga dengan mahasisawa USU yang membutuhkan anak sebagai objek penelitiannya guna untuk kepentingan penelitian. Jadi dapat dikatakan, bahwa kerjasama yang dilakukan saling menguntungkan kedua belah pihak. Berikut Penuturan Bang Mitra sebagai Pendamping KR: “Kami sudah lama juga bekerjasama dengan Fakultas Psikologi USU. Kami saling membutuhkan sebenarnya. Kami membutuhkan mereka untuk memberikan motivasi Universitas Sumatera Utara kepada korban. Dan mereka pun butuh kami untuk melakuka penelitian sama anak yang menjadi korban eksploitasi seksual. Biasanya, kalau anak USU datang ke Pusaka untuk meneliti anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual itu abang ikut mereka juga. Ya terkdang abang tinggalkan juga. Abang biarkan saja mereka berbicara. Kan mereka butuh privasi sessama perempuan, ya abang harus mengerti kondisi itulah. Abang pun ngrasa terbantu kali sama mahasiswa-mahasiswa yang melakukan penelitian itu, abang pun jadi sedikit tau mengenai ilmu mereka”. Proses rehabilitas psikologis yang KR terima sangat bagus untuk memberikan ketenangan emosinya. KR dapat lebih termotivasi untuk melanjutkan hidup dan harus segera bangkit dari keterpurukannya. Bapak KR menjelaskan kepada peneliti bahwa semenjak adanya psikolog yang terus memberikannya semangat dan motivasi, semakin hari KR mengalami perubahan secara emosi. Penuturan dari Bapak KR “KR itu kalau gak diperharikan sedikit aja kadang-kadang dia mau gitu banting-banting pintu. Kalau ada satu aja permintaan yang gak Bapak turutin, pasti langsung marah dan gak di cakapinya bapak. Karna sering pendampingnya ngajak KR untuk cerita- cerita sama Psikolog itu, jadi lebih baik sekarang emosinya. Gak pernah lagi dia banting-banting pintu atau marah-marah lagi sama bapak. Bapak senang kali liat KR sekarang karena uda makin dewasa dia Bapak tengok. Berterima kasih kali bapak sama Pendampingnya dan Psikoloh yang dari USU itu”. Berdasarkan pemaparan yang telah di informasikan kepada peneliti, maka peneliti melihat upaya psikologis yang dilakukan oleh Yayasana Pusaka Indnonesia telah berdampak positif bagi kejiwaan anak yang menjadi korban eksploitasi seksual. Seorang anak yang telah menjadi korban eksploitasi seksual membutuhkan motivasi serta semangat yang tinggi agar ia mempunyai prinsip dalam kehidupannya.

3. Rumah Aman Shelter

Seorang pendmaping juga harus memberikan rasa aman kepada korban. Agar korban mendapatkan rasa amannya, maka pendamping harus menitipkan korban di Selter atau rumah aman. Orang tua KR sangat bersyukur kepada Tuhan. Karena Universitas Sumatera Utara ketika KR mengalami kasus eksploitasi seksual sangat banyak pihak yang perduli untuk melindungi keselamatan jiwa KR. Termasuk memindahkan KR ke Rumah Aman. Rumah Aman yang sering di sebut oleh Bapak KR sebagai “Hotel” merupakan suatu tempat untuk menyingkir sementara waktu untuk memberikan ketenangan dan mengembalikan rasa percaya diri KR untuk dapat berinteraksi dengan masyarakat di lingkungan tempat ia berasal. Berikut penuturan Bapak KR: “Saya kurang tau pasti kemaren itu KR tinggal dimana dek. Tapi KR bilang kalau dia tenang berada di rumah itu,. Dan KR katanya sangat di istimewakan oleh pendampingnya. Karena mendengar KR bahagia tinggal di rumah itu, mangkanya saya sebut sebagai “Hotel”. Sudah agak lega bapak karena bapak tau kalau dia aman di “Hotel” itu. Begitu kata Bapak KR kepada peneliti. Tugas dari seorang pendamping yang mendamping anak did alam Shelter harus memberian rasa kenyamanan kepada korban dan segala pemenuhan kebutuhan korban harus dipenuhi secara layak agar korban dapat lebih tenang dalam merencakan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Selama di dalam Shelter KR mengaku bahwa ia mendapatkan perlakuan istimewa dari pendampingnya yang ada di dalam Shelter. Segala kebutuhan dasarnya sebagai seorang anak perempuan dipenuhi. Berikut penuturan KR: “Waktu aku kena masalah itu kak. Sama sekali kebutuhan ku gak bisa terpenuhi. Jangankan mau beli bedak kak. Aku mau beli pembalut aja gak bisa. Beda kali keadaanya waktu aku di Shelter kak. Semuanya ada kak. Semuanya di sediakan. Ada bedak, sabun, pasta gigi, Shampo. Underware, handuk sampai perlengkapan yang lain juga di kasi sama aku kak. Senang kali aku kak. Semoga yang memberikan itu semua sama aku, di kasi berkat sama Tuhan”. Tugas dari seorang pendamping selanjutnya yaitu memberikan suatu keterampilan kepada korban agar ia mempunyai keterampilan saat ia kembali ke daerah asalnya. Keterampilan tersebut dapat berupa pembuatan bunga-bunga hiasan, Bros, Membuat bando dari kain perca dan lain-lain yang harus sesuai dengan keterampilan yang dimiliki oleh korban. Penuturan KR kepada peneliti: Universitas Sumatera Utara “Di Shelter aku di kasi keterampilan buat bunga-bungan kak. Sama buat Bros. bagus kalilah kak. Waktu aku sekolah dulu, aku selalu beli kek gitu. Kalau sekarang aku uda bisa buat sendiri. Gampang cara buatnya kak. Kemaren aku di dalam Shelter kurang lebih ada 3 minggu kak, selama 3 minggu itu selalu diberikan keterampilan-keterampilan. Jadi ingat pelajaran kesenian waktu sekolah dulu”. Gambaran yang di dapat oleh Peneliti ketika KR di dalam Shelter bahwa segala kebutuhan KR terpenuhi secara layak. KR banyak mendapatkan keterampilan yang membuatnya mendapatkan pengalam yang sangat berharga mengenai cara mendapatkan uang dengan cara yang Halal. Peneliti melihat bahwa banyak sekali manfaat yang diterima KR ketika ia di dalam Shelter. Peneliti yakin bahwa KR juga akan mengatakan hal yang sama seperti argument yang telah di jabarkan oleh peneliti.

5.2.3 Reintergrasi 1. Penilaian Resiko

Tugas dari seorang pendamping pada saat korban akan di pulangkan ke daerah asalnya adalah harus memberikan informasi kepada korban mengenai rencana pemulangannya. Pemulangan korban harus dilakukan dengan kesadaran dari diri korban. Tidak boleh ada pemaksaan yang dilakukan pendamping. Pendamping harus memberikan kesempatan kepada korban untuk memilih kepentingan yang terbaik untuknya. Dalam hal rencana pemulangan korban ke daerah asalnya sebaiknya pendamping melakukan investigasi secara langsung untuk menilai apakah daerah asal korban memang aman untuk keselamatan korban atau tidak, melalui komunikasi dengan jaringan kerja yang ada di daerah asalnya. Penuturan KR kepada peneliti ”aku senang kak, aku uda mau pulang lagi ke rumah. Ketemu sama Bapak, sama Mama, sama Adek, sama Abang. Aku di dalam Shelter juga senang dan merasa aman. Tapi aku harus pulang kak, aku mau melanjutkan hidup ku lagi. Gak mau aku terus-terusan merepotkan abang yang dari Pusaka itu”. Waktu aku mau di Universitas Sumatera Utara pulangkan aku tetap merasa aman. Karena pendamping ku sama aku terus kak. Walau kadang aku di tinggal-tinggal karena sibuk kali kayaknya abang itu untuk ngurus kepulanganku ke Rumah Bapak lagi”. Penuturan dari Bapak KR kepada Peneliti yaitu pada saat KR akan di pulangkan ke rumah. Tetangga dekat rumahnya sudah mengetahui rencana tersebut. Menurut Bapak KR, tetangganya sangat menunggu kedatangan KR karena mereka merasa iba atas kejadian yang menimpa KR. Bapak KR juga menambahkan jika tetangganya tidak akan mengungkit atau bertanya-tanya mengenai peristiwa yang telah menimpa KR. Tetangga KR juga berharap jika KR segera pulang ke Rumah. Dan juga KR harus tetap berinteraksi dengan mereka. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan peneliti, bahwa dapat dikatakan jika orang tua dan masyarakat yang berada di sekitar rumah KR sangat mengharapkan KR untuk pulang kembali. Peneliti melihat, masih adanya rasa keperdulian yang tinggi dari masyarakat. Karena hal tersebut dapat membantu KR untuk melupakan segala masalah yang ia hadapi.

2. Membangun Motivasi Korban

Seorang anak yang telah menjadi korban Eksploitasi Seksual pasti akan merasa bahwa kehidupannya telah hancur. Anak korbna pasti akan beranggapan jika tidak ada satu pun orang yang akan menerimanya kembali. Termasuk kedua orang tua dan keluarga terdekat lainnya. Ketika anak mengalami perasaan yang demikian, disinilah peran dari seorang pendamping menjadi sangat penting. Sebagai seorang pendamping, harus tetap memberikan motivasi yang positif agak anak yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut dapat mengambil keputusan yang tepat untuk masa depannya. Universitas Sumatera Utara Ketika peneliti bertanya kepada KR mengenai rencana masa depannya. KR menjawab bahwa ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Kemudian KR akan mengikuti les untuk lebih mengasah keterampilan yang dimiliki. Berikut penuturan dari KR: “Di Shelter itu kan aku uda di ajarin buat-buat keterampilan gitu kak. Tapi kan gak terus-terusan aku di ajari. Kayaknya aku tertarik untuk buka usaha kek gitu. Mangkanya aku mau les aja kak. Mana tau kalau aku les, ilmu ku bertambah teruskan aku bisa buka usaha. Bisa dapet duit dari hasil jual-jual kerajinan gitu kak”. Peneliti melihat, bahwa KR memang sudah mulai mengerti untuk menyusun rencana masa depannya. KR sudah mulai memikirkan untuk mencari duit dengan mengandalkan keterampilan yang ia punya. Tapi, dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti. KR mengaku jika ia tidak ingin sekolah kembali. Ia menganggap sekolah hanya menghabiskan uang dan waktu ia saja. Kalau dia berkerja dan sudah menghasilkan uang sendiri, maka ia dapat membahagiakan kedua orang tuanya dengan cara member uang untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Dengan adanya pernyataan KR yang seperti itu, peneliti memberikan motivasi kepada KR untuk melanjutkan sekolahnya. Karena dengan sekolah, maka seseorang akan di hargai. Karena pendidikan itu sangat penting untuk masa depannya. Ketika KR berinteraksi dengan pendampingya, peneliti melihat bahwa ia sudah mulai bisa membuka dirinya. Karena KR sudah merasa nyaman dengan pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia. Tetapi, pada saat KR bertemu dengan orang baru. Ia berusaha untuk tidak banyak bicara. Ia sedikit menutup dirinya. Terkadang sikap acuh di tunjukkan oleh AT kepada orang tersebut. Hal tersebut dibenarkan oleh Bapak KR. Berikut penuturan Bapak KR: “Kalau si KR itu memang anaknya periang dek, tapi kalau ada orang baru yang dekat sama dia. Gak mau dia itu ngomong. Tunggu sampai lama dulu ketemu baru dia mau ketawa-ketawa sama kita. Kadang-kadang kalau ada saudara kami sendiri yang datang ke rumah. Dan KR gak kenal. Gak peduli ia sama saudaranya itu. Di biarkan saja. Begitulah Universitas Sumatera Utara sikapnya dek. Terkadang Bapak memakluminya karena diakan anak bungsu. Jadi sikap manjanya itu masi di bawa-bawanya”. Peneliti dapat menyimpulkan bahwa, KR akan merasa nyaman dengan seseorang apabila ia sudah mengenalnya cukup lama dan KR bersikap baik kepada orang yang sudah lama ia kenal. Jadi, peneliti melihat bahwa KR sedikit mengalami trauma ketika ia bertemu dengan orang asing karena KR akan menarik dirinya ketika orang tersebut ikut untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan dirinya.

3. Menyusun Proses Reintegrasi

Proses penyusunan rencana reintegrasi korban harus di susun oleh pendamping. Seorang pendamping harus memperhatikan hal-hal yang dapat membuat korban merasa nyaman ketika proses pemulangannya apabila korban secara sadar memutuskan untuk kembali ke keluarganya. Seorang pendamping harus membantu korban agar keluarganya mau untuk menerima keadaannya. Kemudian seorang pendamping harus tetap memberikan kebebasan kepada korban untuk tetap memilih tinggal di dalam Shelter atau pulang ke keluarganya. Menurut penuturan KR kepada peneliti bahwa ia saat proses penyusunan rencana pemulangannya di selalu dilibatkan. Pendamping juga selalu bertanya kepada KR apakah ia sudah siap untuk pulang ke keluarganya atau ia ingin di Shelter saja. Berikut penuturan KR: “Waktu aku mau pulang itu kak. Aku selalu di ajak rapat sama bang Mitra. Di Tanya sama bang mitra mau pulang atau tinggal di Shelter saja? Dan aku ngjawab. Aku mau pulang. Aku mau kumpul lagi sama keluarga ku. Gak mau aku pisah lagi sama mama dan bapak ku lagi kak”. KR mengatakan kepada peneliti bahwa, ketika rencana pemulangan KR membutuhkan waktu yang relatif lama. Membutuhkan waktu sekitar 2 minggu. KR mengaku, selama 2 minggu ia tetap di dalam Shelter karena KR merasa lebih aman Universitas Sumatera Utara apabila ia tetap di dalam Shelter saja. Penuturan pendamping kepada peneliti yaitu jika anak korban di biarkan untuk keluar dari Shelter, hal tersebut dapat mengancam keselamatan dari korban. Selain itu, hal tersebut juga bertujuan untuk tetap melindungi hak anak sebagai korban dan memberikan upaya perindungan terhadap keselamatam korban.

4. Monitoring

Pemulangan anak yang menjadi korban eksploitasi seksual ke lingkungan tempat tinggalnya adalah suatu upaya yang sangat tepat yang dilakukan oleh pendamping. Saat pemulangan korban ke tempat tinggalnya, korban harus tetap di damping oleh pendampingnya. Biasanya, seorang pendamping apabila ingin tetap mendampingi korban di tempat tinggalnya harus berkoordinasi dengan pihak-pihak yang ada di tempat tinggal korban. Misalnya, menginformasikan kepada RT atau Lurah setempat, bahwa anak yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut haruslah di lindungi agar anak yang menajdi korban merasa nyaman ketika ia mulai berinteraksi di lingkungan tempat tinggalnya. Berdasarkan penuturan KR kepada peneliti yaitu: “sampeklah aku kemaren di rumah kak, bapak sama mamak ku uda nunggu aku di rumah. Waktu di rumah itu bapak mamak ku bersikap biasa saja. Aku tau si sebenarnya mereka pingin nangis, tapi mereka gak mau nunjukin sama aku. Mamak ku langsung meluk aku.terus bilang, kalau mamak kangen sama KR. Aku gak bisa ngomong apa-apa lagi kak. Aku diam aja. Di situ, aku tengok, pendamping ku tetap sama aku. Aku kira abang itu langsung pulang. Rupanya dia nginap di rumah ku. Waktu malam-malam, bapak sama bg mitra keluar rumah. Katanya mau ke rumah pak lurah. Aku gak tau mau ngapain kak”. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada KR, dapat terlihat bahwa pendamping KR melakukan monitoring pendampingan saat korban telah pulang ke daerah asalnya. Monitoring tersebut sangat sulit untuk dilakukan. Karena, proses monitoring yang dilakukan di tempat tinggal korban membutuhkan Universitas Sumatera Utara pengorbanan yang sangat banyak. Tidak hanya tenaga dan waktu, tetapi juga material. Saat korban telah benar-benar kembali ke tempat tinggalnya seorang pendamping harus tetap menjalin komunikasi yang baik antara pendamping dengan korban, pendamping dengan keluarganya dan korban dengan masyarakat sekitar tepat tinggalnya. Karena hal tersebut dapat memudahkan pendamping untuk penyusunan laporan perkembangan prilaku korban saat ia mulai berinteraksi dengan masyarakat. Tujuan pembuatan laporan monitoring agar pendamping dapat menilai sikap dan prilaku yang telah di ajarkan pendamping kepada korban ketika ia di dalam Shelter diterapkan atau tidak dalam kehidupan sehari-harinya.

5.3 Informan III

Nama : SD Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 14 Tahun Pendidikan : SMP Agama : Islam Anak Ke : 4 Jumlah Saudara Kandung : 5 Orang Pelaku : AG

5.3.1 Upaya Litigasi 1. Pendampingan Korban di Kepolisian

Informan selanjutnya ada SD. SD adalah anak perempuan berusia 14 tahun. SD memiliki paras yang manis, dengan memiliki kulit berwarna kecoklatan dan tinggi sekitar 135 cm, rambutnya yang pendek sering ia gerai dalam beraktivitas sehari-hari. SD terlihat begitu malu saat pertama kali bertemu dengan peneliti. SD Universitas Sumatera Utara tidak banyak bicara, ia hanya berbicara apabila peneliti bertanya kepadanya. Ketika peneliti menyanyakan kepada SD mengenai sikap dari pendampingnya ketika ia melakukan proses penyelidikan di kepolisian, kemudian dengan nada yang lemah SD menjawab. Berikut penuturan SD: “Abang itu ya nemeni aku kak waktu di kantor polisi. Lama kali aku di periksa. Ya pokoknya aku di dalam ruangan polisi itu aku di Tanya-tanyai polisi. kadang-kadnag aku dibentak sama polisi itu. Tapi aku ya nurut aja. Pendamping dari Pusaka, bang Mitra namanya kak. Abang itu ya di dalam ruangan juga. Mamak, bapak, sama abang ku yang gak boleh masuk. Waktu aku ud selesai di Tanya-tanyai baru abang ma bapak ku masuk kak. Gantian mereka yang di Tanya-tanya sama polisinya”. SD juga menambahkan jika ia di minta oleh pendamping untuk melakukan Visum di Rumah Sakit untuk memastikan kesehatannya. Saat melakukan Visum, menurut penuturan SD bahwa pendampingnya membawanya ke Rumah Sakit Pirngadi. Di Rumah Sakit tersebut SD di periksa oleh Dokter Ahli Kandungan untuk dapat memeriksa kesehatan fungsi organ reproduksi SD, sebagai guna pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan. Pendamping juga menuturkan kepada peneliti, bahwa ketika di lakukan Visum, semua administrasi di tanggung oleh phak Yayasan Pusaka Indonesia. Hal tersebut di lakukan agar SD dan keluarganya tidak merasa terbeban lagi dengan biaya Rumah Sakit. Dan pendamping juga menambahkan bahwa, orang tua dari SD tidak mendampinginya saat Visum di Rumah Sakit Pirngadi. Setelah melakukan Visum SD di antar pulang oleh pendampingnya dan saat itu, pendamping memberitahukan kepada orang tua SD bahwa mereka akan beritahukan kembali mengenai perkembangan kasus yang telah di laporkan di pihak kepolisian. Dari hasil wawamcara yang mendalam yang dilakukan peneliti dengan SD dan pendampingnya maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa pada saat proses pemeriksaan di Kepolisian, pendamping tetap mengusahakan hal yang terbaik untuk Universitas Sumatera Utara SD. Pendamping telah melakukan tugasnya secara benar sesuai dengan SPO dalam penanganan kasus Yayasan Pusaka Indonesia.

2. Pendampingan Di Pengadilan Hal yang hampir sama pada proses pendampingan di pengadilan yang di

lakukan pendamping kepada informan II yaitu KR. Pada saat proses pendampingan SD di pengadilan yaitu pendamping tetap mendampingi SD pada saat di pengadilan. Pendamping menuturka kepada peneliti. Berikut penuturannya: “Pada proses pendampingan korban SD di pengadilan, sama seperti pendampingan yang abang lakukan pada KR. Abang tetap mendampinginya di pengadilan dan selalu memberitahukan kepada setiap siapa saja yang menjadi dampingan Pusaka, abang akan memberitahukan mengenai prosesi persidangannya. Abang juga kasih tau nama yang menjadi Hakimnya, Jaksanya dan semuanya yang ada di dalam persidangan. Abang juga akan menanyakan kepada korban mengenai kasus yang menimpanya. Hal tersebut di maksudkan agar supaya korban dapat mengingat kembali mengenai kronologis kasusnya supaya singkron antara keterangan yang telah diambil di kepolisian dengan keterangan yang akan di sampaikan di persidangan ini”. Ketika peneliti menyakan kepada SD dan ibu SD mengenai monitoring persidangan selanjutnya, apakah pendamping mau untuk memonitoring persidangan, kemudian Ibu SD menjelaskan kepada peneliti:” Gini lo dek. Kami kan buta dengan hukum. Kami gak tau kek mana persidangan itu. Persidangan pertama SD saya sudah capek karena harus kesanala, kesinila. Lama-lam ibu juga akan sakit kalau kayak itu. Kami uda percaya dengan Bapak Mitra. Jadi kami minta supaya Bapak Mitra saja yang terus mengahadiri persidangan selanjutnya. Lagi pula saya sudah benci kali dengan tersangka AG itu. Saya tidak mau lihat muka AG lagi. Mangkanya Bapak Mitra saja yang menghadiri sidang selanjutnya. Tapi kami selalu di kasi tau kok kek mana perkembangan kasusnya”. Universitas Sumatera Utara Jika di analisis dari wawancara tersebut, maka dapat dilihat bahwa pendampingan yang dilakukan sedikit banyaknya dapat berpengaruh kepada tingkat keprcayaan klien terhadap Yayasan Pusaka Indonesia. Apabila pendamping memberikan pelayanan yang baik kepada klien, dalam konteks penelitian ini adalah korban KR maka baik dari korban maupun keluarga korban akan merasa ringan terhadap beban yang selama ini mereka pikul.

5.3.2 Upaya Non Litigasi

1. Rehabilitasi Fisik

Tugas pendamping ketika hendak melakukan Rehabilitasi Fisik maka harus memperhatikan hal-hal berikut yaitu bertanya kepada korban terlebih dahulu mengenai kesehatan fisiknya, mendengarkan dan mencatat keluhannya mengenai bagian fisik korban yang terasa sakit, dan segera merujuk korban ke Rmah Sakit apabila korban merasakan sakit yang luar biasa, memberitahukan kepada keluarga korban mengenai perkembangan kondisi kesehatanya. Hal tersebut di maksudkan agar keluarga dapat menjaga dan memberikan perhatian kepada korban dami kelangsungan kesehatan dari korban. Sesuai penuturan SD kepada peneliti yaitu :”Kemaren aku sempat di rehabilitasi juga kak, tapi Cuma sebentar, Aku di bawa ke Rumah Sakit aja kak. Di Rumah Sakit itu aku di kasi Vitamin. Rahim sama kemaluan ku di periksa. Malu aku kak. Tapi kata Dokternya gak papa. Biar gak dak Virus di dalam tubuhku. Kemaren aku di periksa di Rumah Sakit Pirngadi kak. Biayanya semua yang tanggung bang Mitra pokonnya aku tinggal ngikuti aja apa kata bang Mitra sama Dokter sama Perawatnya kak”. Ketika di Tanya mengenai apakah pendamping menemani SD saat rehabilitasi fisik, SD bercerita bahwa ia memang di temani oleh pendampingnya saat di Rumah Sakit. Tetapi tidak sampai memasuki ruangan pemeriksaan. Hal tersebut di maksudkan agar dokter dapat dengan leluasa memeriksa SD tanpa Universitas Sumatera Utara harus merasa segan dengan kehadiran pendampingnya. SD juga menambahkan kepada peneliti bahwa setelah ia mendapatkan rehabilitasi fisik di Rumah Sakit Pirngadi tersebut, ia mengalami perubahan dalam kesehatannya. SD tidak pernah merasakan nyeri lagi di bagian perutnya.

2. Rehabilitasi Psikologis

Standard Operatoinal Procedure dalam pendampingan Rehabilitasi Psikologis yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia yaitu pendamping harus memberikan rasa nyaman kepada korban, pendamping harus memberitahukan kepada korban mengenai rencana akan di adakannya tes psikologis, serta sebagai pendamping juga harus memfasilitasi korban agar ia mau dan mampu untuk mengungkapkan perasaannya. Ketika ditanya mengenai apakah SD menerima upaya rehabilitasi psikologis dari Yayasan Pusaka Indonesia, SD mengakui bahwa ia mendapatkan upaya rehabilitasi tersebut. Tetapi ia tidak mengetahui secara pasti, uapaya rehabilitasi tersebut di lakukan oleh pihak pemerintah atau dari pihak YPI, dengan gamblang SD menuturkan kepada peneliti. Berikut penuturan SD: “Memang kemaren aku di suruh datang ke Pusaka sama bg Mitra kak. Samapi di Pusaka, aku di Tanya-tanyai sama kakak pakek jilbab. Orangnya cantik kak. Karena sama-sama perempuan, aku jadi enak gitu ngbrolnya. Banyak yang di tanyak sama aku kak. Terus aku di kasi permainan gitu, aku di suru menyelesaikan permainannya. Terus aku disuruh nggambar. Waktu itu aku nggambar pohon sama bunga kak. Selesai nggambar aku di suruhnya nunggu. Terus bang Mitra datang ke ruanganku itu terus aku di bawa keluar ruangan itu”. Diketahui bahwa yang melakukan upaya rehaboilitasi Psikologis itu adalah pihak dari Yayasan Pusaka Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari bang Mitra sebagai pendamping yang ada di Yayasan Pusaka Indonesia. Berikut penuturan bang Mitra: Universitas Sumatera Utara “Kalau upaya Rehabilitasi Psikologis yang diterima SD itu merupakan rehabilitasi yang difasilitasi oleh Yayasan Pusaka Indonesia. Kami bekerjasama dengan mahasiswa psikologi USU untuk mengetahui kesehatan mental dari SD. Agar saya sebagai pendamping dari SD dapat dengan mudah untuk menghadapinya”. Ketika dilakukan upaya rehabilitasi psikologis tersebut, saya tetap mendamping SD walaupun saya tidak mengikuti setiap prosesi yang dijalani oleh SD. Saya hanya memantaunya saja dari luar. Karena saya ingin memberikan kebebasan pada adek-adek mahasisawa yang dari USU dapat secara leluasa dalam menangai si SD ini”. Pendamping juga menuturkan kepada peneliti bahwa, adanya perubahan secara emosional yang telah di tunjukkan SD setelah ia mengikuti psosesi rehabilitasi Psikologis. SD juga terlihat lebih tenang dan SD juga terlihat lebih terbuka dengan orang yang ada di sekitarnya.

3. Rumah Aman Shelter

Menjaga keamanan korban adalah tugas penting dari seorang pendamping. Seorang pendamping harus tetap menjaga agar korban merasa aman ketika ia berada di suatu tempat. Yayasan Pusaka Indonesia menyediakan sebuah Rumah Aman Shelter yang keberadaan Shelter tersebut di rahasiakan dari masyarakat umum. Hal tersebut bertujuan agar korban mendapatkan memikirkan penyelesaian masalah yang tengah di hadapinya dengan tenang dan jauh dari intervensi orang lain. Pengakuan dari pendamping SD, mengatakan bahwa, pada saat kejadian itu SD merasa bahwa jiwanya terancam. Kemudian karena hal tersebut SD kemudian di titipkan di Rumah Aman Pusaka. Di Rumah Aman Pusaka SD mengaku bahwa segala kebutuhannya terpenuhi. Pendampingnya selalu menyediakan kebutuhan yang dibtuhkan oleh SD. Berikut penuturan SD: “Di Rumah Aman itu kak, aku di kasi makan setiap hari. Kadang-kadang aku juga ikut masak sama pegawai yang ada di Shelter itu. Kadang-kadang bg Mitra juga ikut masak. Setiap hari aku nyapu, masak, nyuci baju ku sendiri. Ya sama keadaannya kalau aku lagi di rumah. Cuma bedanya kalau di Shelter gak ada mamak, bapak, abang sama adek ku kak”. Universitas Sumatera Utara Selama aku di Shelter itu kak, aku sering di suruh menggambar. Sebenarnya aku gak begitu suka menggambar, tetapi karena uda jadi rutinitas ku. Jadi suka aku kak”. Berdasarkan pemaparan SD tersebut, peneliti melihat bahwa upaya pendamping dari YPI dapat membuat SD mendapatkan keahlian yang baru yaitu SD sekarang sudah mulai tertarik untuk menggambar. Dengan adanya rasa ketertarikan tersebut, maka SD sudah mempunyai keterampilan yang dapat ia kembangkan apabila ia keluar dari Shelter. dengan kata lain, bahwa SD mendapatkan hal yang psoitif untuk melanjutkan kehidupan di masa depannya.

5.3.3 Reintegrasi

Proses Reintergrasi yang di hadapi oleh SD tidak ada. Hal tersebut di sebabkan kerena SD mengalami tindak eksploitasi seksual berada dalam lingkup Daerah kota Medan. Proses reintegrasi yang dilakukan pendamping kepada SD sendiri yaitu pada saat pemulangan SD ke Rumah keluarganya saja. Setelah SD sudah merasa keadaannya sudah aman. Pendamping menghubungi keluarga SD untuk memberitahukan rencana pemulangannya kepada keluarga. Karena keluarga SD juga menganggap bahwa keadaan SD sudah benar-benar aman. Keluarganya menerima kepulangan SD. Hal tersebut di benarkan oleh Ibu SD. Berikut penuturannya: “Kami uda cukup senanglah dek, karena si SD telah di tempatkan di Rumah Aman. Waktu pak Mitra nghubungi kami, kalau SD mau pulang ke rumah lagi. Saya bertanya sama pak Mitra, apakah keadaan SD sudah aman atau belum. Kalau sudah aman kami akan menjemputnya di Shelter. Kemudian pak Mitra bilang, jika orang ibu gak perlu sampai menjemputnya. Nanti akan di antar oleh pak Mitra. Pada waktu itu, kami memang benar- benar menunggu kepulangan SD ke rumah dek. Walau bagaimanapun kondisi SD waktu itu, ibu tetap menerima dia sebagai anak ibu”. Penuturan pendamping kepada peneliti bahwa, tidak semua anak yang mengalami kasus eksploitasi seksual harus di Integrasi. Tergantung letak kota yang Universitas Sumatera Utara menjadi tujuan eksploitasinya. Apabila korban di eksploitasi di dalam kota, maka pendamping YPI hanya menyediakan Shelter atau Rumah Aman agar anak yang menjadi korban tindak eksploitasi seksual itu dapat merasa aman. Berdasarkan pemaparan dari pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia tersebut, maka peneliti dapat menilai bahwa segala keprofesionalisme kinerja pegawai yang menjadi pendamping di Yayasan Pusaka Indonesia telah menjalankan SPO dalam penanganan kasus-kasus yang di tangani oleh YPI dengan baik. Selain itu, peneliti juga dapat menilai, bahwa segala bentuk pelayanan pendampingan yang dilakukan oleh YPI juga memberikan dampak yang positif bagi perkembangan sosial korban ketika ia mulai berinteraksi dengan lingkungan keluarganya maupun ketika ia berinteraksi dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Universitas Sumatera Utara

BAB VI PENUTUP