Bersikap Positif terhadap Upaya Mewujudkan Keter-
77
Bab 3 Keterbukaan dan Keadilan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Kyai Haji Ahmad Dahlan
lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 - meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun adalah seorang Pahlawan Nasional I ndonesia. I a adalah putra keempat dari
tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. I bu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah putri dari
H. I brahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan I slam dan pendidikan, Pemerintah Republik I ndonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan
surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut. 1.
K.H. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan umat I slam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2. Organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran I slam yang murni kepada
bangsa ini. Ajaran itu menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan I slam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah memelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat
diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran I slam; dan 4.
Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita Aisyiyah telah memelopori kebangkitan wanita I ndonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
SEKI LAS TOKOH
123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901212345678901234567890123456 123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901212345678901234567890123456
123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901212345678901234567890123456 123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901212345678901234567890123456
123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901212345678901234567890123456 123456789012345678901234567890121234567890123456789012345678901212345678901234567890123456
Apa yang dapat kamu teladani dari beliau? bagaimana K.H. Ahmad Dahlan bersikap dalam menghadapi keterbukaan di organisasi Muhammadiyah? Ungkapkan penilaianmu terhadap
tokoh ini.
Kegiatan 5
Sudah seharusnya masyarakat bersedia berperilaku positif dan berpartisipasi dalam upaya peningkatan jaminan keadilan melalui upaya-upaya konkrit berikut.
1 Membiasakan diri bertindak adil. 2 Mengkritik tindakan yang tidak adil dan memberikan solusi alternatif dalam
mewujudkan jaminan keadilan yang lebih baik. 3 Menghargai tindakan berbagai pihak yang memperkuat jaminan keadilan.
4 Memantau kinerja berbagai lembaga yang bertugas memberikan jaminan keadilan.
5 Mencermati fakta ketidakadilan dalam masyarakat dan kebijakan yang berkaitan dengan jaminan keadilan.
6 Mengetahui dan memahami hal-hal mendasar yang berkaitan dengan jaminan keadilan.
Sebagai warga bangsa dan negara, sudah sepatutnya warga mendukung setiap usaha dalam menegakkan keadilan. Melalui upaya-upaya tersebut, diharapkan
dapat terbentuk pengawasan publik yang telah efektif terhadap kinerja lembaga- lembaga yang berfungsi memberikan jaminan keadilan serta dapat menum-
buhkembangkan kesadaran dan kebiasaan masyarakat untuk bertindak adil.
Jaminan keadilan harus ditopang oleh meningkatnya kinerja lembaga- lembaga keadilan dalam masyarakat sehingga dapat membuat jaminan keadilan
itu semakin kukuh.
Pendidikan Kewarganegaraan SMA MA Kelas XI
78
TEROPONG
Jaminan Keadilan Melalui Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Upaya mengubah sistem peradilan pidana dengan meletakkan pengalaman perempuan ketika bersentuhan dengan sistem hukum akan lebih mudah dicapai kalau perspektif
dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu SPPT atau Criminal Justice System sudah dipahami oleh aparat penegak hukum. SPPT diharapkan menjadi alat tangguh untuk
melindungi kelompok rentan, termasuk perempuan korban kekerasan, dan menghentikan ketidakadilan yang disahkan atas nama hukum. Persoalan besarnya, seperti dikemukakan
Wakil Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan Deliana Sayuti I smudjoko, perspektif itu tidak mudah diterima apalagi dipahami oleh
sebagian aparat penegak hukum.
“ Banyak perempuan korban kekerasan yang ketika membutuhkan perlindungan malah mendapat tekanan dan penindasan. Ada korban yang ketika kasusnya sampai ke tangan
yang berwajib, posisinya malah berbalik menjadi terdakwa,” ungkap mantan Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta itu dalam seminar mengenai SPPT, pekan
lalu di Jakarta. Liva Malahanum, pembela hukum para korban kekerasan dalam rumah tangga, dalam sesi tanya jawab memaparkan sikap aparat yang melecehkan korban,
mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Perlakuan itu diterima korban yang dalam situasi tertekan, malu, pesimis orang tak percaya apa yang diceritakannya, tak ingin
mengingat apa yang sudah dialaminya, dan trauma. Deliana memaparkan, meskipun ada Gender Vocal Point di kejaksaan dan ada sekitar 300-an Ruang Pemeriksaan Khusus
RPK di kepolisian resor, tidak semua aparat memiliki pemahaman yang cukup sensitif mengenai kekerasan terhadap perempuan. Murnila, S.H. dari RPK kepolisian mengakui
adanya hambatan internal di dalam lembaganya. Hal yang sama juga diakui Eko Siwi I riyani, S.H. dari kejaksaan yang mengatakan bahwa perspektif jaksa dalam masalah
itu belum sama. “ Polisi, jaksa, dan hakim seharusnya mempunyai persepsi dan standar yang sama mengenai perat uran yang t erkait dengan kasus kekerasan t erhadap
perempuan, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan atau UU PKDRT,” ujar Deliana.
Layanan untuk korban
Jaminan hukum yang ditawarkan UU PKDRT, seperti ditulis Deputi Bidang Perlindungan Perempuan, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan KPP, Dr. I r. I rma
Alamsyah Djaya Putra, M.Sc.— diwakili oleh Retno Adji Prasetiaju, S.H., Kepala Bidang Advokasi dan Fasilitasi Tindak Kekerasan terhadap Perempuan KPP—berpengaruh pada
layanan terhadap perempuan korban kekerasan untuk mendapatkan layanan publik, serta keberanian lebih untuk membuka sesuatu yang selama ini dipandang sebagai
“ aib” keluarga, guna menyelesaikan kasus kekerasan yang dialaminya.
Ketika menjawab pertanyaan peserta, Deliana menjelaskan perbedaan antara UU Nomor 1 Tahun 1946 mengenai
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dan perubahannya dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana RUU-
KUHAP dengan UU PKDRT. “ Dalam KUHP maupun KUHAP orang baru bisa dinyatakan bersalah kalau ada tiga saksi,” tutur Deliana. Apabila peristiwanya terkait dengan peristiwa
politik, seperti terorisme, Deliana bisa memahami. Akan tetapi, bagaimana dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga? “ Dalam UU PKDRT dengan satu saksi, yaitu saksi
korban dan alat bukti yang sah, yaitu visum, pelaku bisa dinyatakan bersalah. Tetapi,
79
Bab 3 Keterbukaan dan Keadilan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
kalau aparat penegak hukum maunya pakai KUHP bagaimana?” tanya Deliana. KUHP juga tidak mengatur soal pendampingan. I tulah, seperti dia tegaskan, pentingnya sosialisasi
SPPT agar aparat penegak hukum mempunyai pemahaman dan perspektif yang sama dalam soal kekerasan terhadap perempuan. Untuk itu, menurut Retno, Kantor Menneg PP
beberapa tahun terakhir ini melakukannya bersama-sama dengan organisasi perempuan, Derap Warapsari, Covention Watch, dan Pusat Kajian Wanita Universitas I ndonesia. Akan
tetapi, sosialisasi itu masih jauh dari cukup.
SPPT tidak dimaksudkan menjadi undang-undang. Meskipun begitu, menurut Sri Wiyati Eddyono dari Komnas Perempuan, SPPT merupakan konsep atau gagasan yang dapat
diimplementasikan kepada siapa saja. Konsep itu merupakan konsep bersama yang menggunakan perspektif korban. Penjelasan ini melengkapi pandangan staf pengajar
hukum pidana Fakultas Hukum Universitas I ndonesia, Rudy Satriyo Mukantardjo, yang memaparkan makna reposisi peranan korban dari yang tak punya hak dalam ikut
menentukan hasil akhir jalannya sistem peradilan, menjadi mempunyai hak, bahkan sangat menentukan. Jalan SPPT yang berkeadilan jender dalam penanganan kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan, seperti dikemukakan Deliana, masih membutuhkan waktu panjang. Namun, Murnila masih optimistis. Yang penting, koordinasi, keterbukaan, kontak,
dan sosialisasi harus lebih sering dilakukan. Eko Siwi berharap agar masyarakat juga proaktif menuntut jaksa, baik melalui surat maupun kontak personal.
Oleh Maria Hartiningsih dengan sedikit perubahan Sumber:
ht t p: www.kompas.co.id kompas-cet ak 0703 20 swara 3396445.ht m
Uji Pemahaman Kew arganegaraan Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar.
1. Deskripsikan mengapa apresiasi diperlukan dalam perkembangan keterbukaan.
2. Deskripsikan pendapatmu tentang apa itu apresisi.
3. Deskripsikan hubungan antara berperilaku positif dan berpartisipasi
dengan jaminan keadilan. 4.
Deskripsikan pendapatmu tentang mengapa keterbukaan dan jaminan keadilan perlu disikapi secara positif.
5. Sebutkan dan jelaskan upaya-upaya konkrit sikap apresiatif itu.
BERPI KI R KRI TI S
Setelah kamu mempelajari dan memahami materi bersikap positif terhadap upaya mewujudkan keterbukaan dan jaminan keadilan, coba kamu berikan gambaran tentang
berperilaku posit if dan berpart isipasi di lingkungan sekit arm u t erhadap upaya mewujudkan keterbukaan dan jaminan keadilan.
Kegiatan 6
Pendidikan Kewarganegaraan SMA MA Kelas XI
80
1. Prinsip keterbukaan dapat diwujudkan dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.
2. Prinsip keterbukaan menghendaki agar penyelenggaraan pemerintahan
dilaksanakan secara terbuka. Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan harus jelas, tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan
rahasia, tetapi segala sesuatunya perencanaan, pelaksanaan dan pertang- gungjawabannya harus dapat diketahui oleh publik.
3. Prinsip mengenai pemerintahan yang terbuka bukan berarti semua
informasi mengenai penyelenggaran pemerintahan dapat diakses oleh publik tanpa batas. Dalam pemerintahan yang terbuka terdapat
kekecualian kebebasan informasi atau batas-batas keterbukaan.
4. Pemerintahan yang terbuka dapat meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pemerintahan. 5.
Keadilan adalah hal-hal yang berkaitan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antarmanusia. Keadilan berisi tuntutan agar orang memper-
lakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya.
6. Penyelenggaraan negara yang baik adalah penyelenggaran negara yang
menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. Penyeleng-
garaan pemerintahan yang tidak terbuka akan mengakibatkan terjadinya korupsi politik, yakni penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan
pribadi atau kelompok.
7. Keterbukaan dan jaminan keadilan mutlak diperlukan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Melalui keterbukaan terjadi interaksi antarwarga negara dan warga negara dengan pemerintahannya sehingga dapat tercipta
persatuan bangsa yang kukuh. Keadilan dapat mempererat rasa keber- samaan dalam hidup berbangsa dan bernegera.
I NTI SARI
Sudahkan kamu memahami konsep tentang keterbukaan dan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Pelajarilah materi dalam bab
ini dengan saksama. Jangan ragu untuk bertanya kepada guru jika ada hal- hal yang belum kamu kuasai.
REFLEKSI
Keterbukaan adalah sikap mau menerima masukan dari luar, tidak mau merahasiakan, serta tidak hanya khusus untuk kalangan tertentu, juga bersedia
berkomunikasi dengan masyarakat luas. Nah, biasakan untuk tidak takut menerima kritik serta menjalin komunikasi yang baik dengan semua orang.
Pembiasaan
1234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890 1234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890
1234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890 1234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890
1234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890 1234567890123456789012345678901212345678901234567890123456789012123456789012345678901234567890
81
Bab 3 Keterbukaan dan Keadilan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara