Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews 2000

Pendidikan Kewarganegaraan SMA MA Kelas XI 8 e. Warga menaruh kesadaran, minat, dan perhatian terhadap sistem politik pada umumnya dan terutama terhadap objek politik output, sedangkan kesa- darannya terhadap input dan kesadarannya sebagai aktor politik masih rendah. 3 . Budaya Politik Partisipan Menurut pendapat Almond dan Verba 1966, budaya politik partisipan adalah suatu bentuk budaya yang berprinsip bahwa anggota masyarakat diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif. Dalam budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadap keseluruhan objek politik, baik umum, input dan output, maupun pribadinya dapat dikatakan tinggi. Ciri-ciri dari budaya politik partisipan adalah sebagai berikut. a. Warga menyadari akan hak dan tanggung jawabnya dan mampu memper- gunakan hak itu serta menanggung kewajibannya. b. Warga tidak menerima begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin tetapi dapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input, output maupun posisi dirinya sendiri. c. Anggota masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek politik, baik menerima maupun menolak suatu objek politik. d. Masyarakat menyadari bahwa ia adalah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis. e. Kehidupan politik dianggap sebagai sarana transaksi, seperti halnya penjual dan pembeli. Warga dapat menerima berdasarkan kesadaran, tetapi juga mampu menolak berdasarkan penilaiannya sendiri. Bagaimana dengan budaya politik di Indonesia? Ada beragam pandangan mengenai budaya politik Indonesia. Keragaman pendapat ini dimungkinkan karena persoalan budaya politik itu dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Rusadi Kartaprawira dalam bukunya Sistem Politik di Indonesia menyatakan adanya beberapa ciri dari budaya politik Indonesia, antara lain adalah sebagai berikut. a. Sifat ikatan primordial masih kuat yang dikenali melalui indikator yang berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan. b. Budaya politik Indonesia bersifat parokial subjek di satu pihak dan partisipasi di lain pihak. c. Ada subbudaya yang banyak dan beraneka ragam. Hal ini terjadi karena Indonesia memiliki banyak suku yang masing-masing memiliki budaya sendiri-sendiri. d. Kecenderungan budaya politik Indonesia masih mengukuhi sifat paternalisme dan sifat patrimonial. Sebagai indikator, misalnya adalah perilaku menyenangkan atasan. Affan Gaffar 1999 dalam bukunya Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi mengatakan bahwa budaya politik Indonesia memiliki tiga ciri dominan yaitu sebagai berikut. 9 Bab 1 Budaya Politik di I ndonesia

1. Hierarki yang tegas

Sebagian besar masyarakat Indonesia bersifat hierarkis yang menunjukkan adanya pembedaan atau tingkatan atas dan bawah. Stratifikasi sosial yang hierarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa dan rakyat kebanyakan. Masing-masing terpisah melalui tatanan hierarkis yang sangat ketat. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercermin pada cara penguasa memandang dirinya dan rakyatnya. Mereka cenderung merendahkan rakyatnya. Karena penguasa sangat baik, pemurah, dan pelindung, sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk, setia, dan taat kepada penguasa negara. Bentuk negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan publik. Penguasa membentuk semua agenda publik, termasuk merumuskan kebijakan publik, sedangkan rakyat cenderung disisihkan dari proses politik. Rakyat tidak diajak berdialog dan kurang didengar aspirasinya.

2. Kecenderungan patronage

Kecenderungan patronage, adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage, baik di kalangan penguasa dan masyarakat maupun pola hubungan patron-client. Pola hubungan ini bersifat individual. Antara dua individu, yaitu patron dan client, terjadi interaksi timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan kasih sayang, bahkan materi. Kemudian, client memiliki sumber daya berupa dukungan, tenaga, dan kesetiaan. Menurut Yahya Muhaimin, dalam sistem bapakisme hubungan bapak-anak, ”bapak” patron dipandang sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan bahkan spiritual serta pelepasan kebutuhan emosional ”anak” client. Sebaliknya, para anak buah dijadikan tulang punggung bapak.

3. Kecenderungan Neo-patrimonialistik

Dikatakan neo-patrimonalistik karena negara memiliki atribut atau kelengkapan yang sudah modern dan rasional, tetapi juga masih memperhatikan atribut yang patrimonial. Negara masih dianggap milik pribadi atau kelompok pribadi sehingga diperlakukan layaknya sebuah keluarga. Menurut Max Weber, dalam negara yang patrimonalistik penyelenggaraan pemerintah berada di bawah kontrol langsung pimpinan negara. Adapun menurut Affan Gaffar, negara patrimonalistik memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut. a. Penguasa politik seringkali mengaburkan antara kepentingan umum dan kepentingan publik. b. Rule of law lebih bersifat sekunder apabila dibandingkan dengan kekuasaan penguasa. c. Kebijakan seringkali bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik. d. Kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada teman-temannya lebih besar.