dari masa ke masa. Keceriaan Iwan Fals yang mengajak Andy F. Noya menari bersama, seperti sebuah penghiburan bagi sang Host Kick Andy.
Pasalnya dua tahun sudah, Kick Andy menanti kesediaan Iwan Fals untuk hadir dikursi tamu program ini. Untuk anda semua, secara khusus episode
istimewa ini dikemas dalam durasi lebih lama, yakni dua jam.
45
7. Peradilan Sesat, adagium yang berkata lebih baik melepaskan 1000 orang
bersalah, daripada menahan atau memenjarakan satu orang tidak bersalah, sepertinya tidak terlalu laku di dunia peradilan Indonesia. Berbagai
kasus salah tangkap hingga salah vonis masih terus terjadi. Masih ingat kasus Sengkon-Karta pada era 1970-an? Kasus ini adalah salah satu
contoh berlakunya peradilan sesat di Indonesia yang cukup fenomenal. Apakah sejarah kelam seperti ini masih akan terus terulang? Sepertinya
iya. Pada tahun 2007, Kick Andy pernah mengangkat kisah peradilan sesat atas pasangan suami istri Risman Lakoro dan Rostin Mahaji di Gorontalo,
serta Budi Harjono di Bekasi. Risman dan Rostin harus mendekam di penjara selama kurang lebih 3 tahun, atas dakwaan membunuh anak
kandungnya sendiri, sementara Budi harus merasakan dinginnya kurungan besi selama enam bulan. Belakangan, terbukti tuduhan dan vonis terhadap
mereka salah besar. Namun mereka telah terlanjur merasakan pedihnya hukuman atas sesuatu yang tak pernah mereka lakukan. Namun pasca
sejumlah peristiwa tersebut, idealisme penegakan hukum dan kenyataan yang terjadi, ternyata masih njomplang . Terutama kasus yang menimpa
pada kalangan rakyat kecil dan awam hukum. Di Bandung, peradilan sesat
45
http:kickandy.comtheshow111782readAKHIRNYA-IWAN-FALS-BICARA
terjadi pada seorang Iwan Setiawan. Iwan harus menerima kenyataan pahit, diciduk polisi dan diadili atas tuduhan melakukan pembunuhan
terencana terhadap mantan majikannya pada 31 Juli 2006. Padahal, pada hari terjadinya pembunuhan Iwan sedang berada di rumah sakit
menunggui sang bibi yang sedang dirawat. Iwan yang mengaku mengalami pembinaan saat interogasi penyidik, divonis penjara seumur
hidup pada 2007. Iwan mendekam di lapas Sukamiskin Bandung selama 1 tahun 9 bulan, sebelum akhirnya kasasi tim kuasa hukumnya diterima
Mahkamah Agung dan memutuskan ia tidak bersalah. Sementara di Singkawang Kalimantan Barat, pasangan suami istri Cu Kin Sun alias A
Sun, dan Fu Jan Lie, serta putra kedua mereka Cu Jiu Liong atau A Liong, juga harus merasakan perihnya hidup di penjara selama satu setengah
tahun di LP Singkawang dari vonis 10 tahun penjara. Mereka bertiga divonis melakukan pembunuhan terencana pada tetangga mereka Bun Lie
Ngo pada April 1995 silam. Tragis, karena Fu Jan Lie saat itu tengah mengandung, dan akhirnya harus melahirkan bayinya di penjara. Padahal
keluarga petani miskin itu tak tahu apa-apa soal kasus dan tuduhan yang ditimpakan pada mereka. Belakangan diketahui, ada permainan hukum
di dalam kasus ini. Berkat perjuangan tak kenal lelah pengacara pro bono mereka, upaya banding mereka dikabulkan Mahkamah Agung. Mereka
diputus tidak bersalah dan bebas murni. Namun ironis, 13 tahun pasca kebebasan mereka sejak Januari 1997, proses rehabilitasi nama baik
mereka dari MA, belum pernah terealisasi hingga kini. Sementara kasus peradilan sesat yang cukup mengemuka dari Jombang Jawa Timur, adalah
kasus pembunuhan Mr.X, pada 2007 silam. Kasus ini melibatkan Imam Khambali alias Kemat, David Eko Priyanto serta Maman Sugiyanto alias
Sugik sebagai tiga tersangka utama. Kasus yang selanjutnya berkembang rumit ini, juga sempat bersinggungan dengan kasus pembunuhan berantai
oleh Very Idham Henyansyah alis Ryan si Jagal Jombang, yang belakangan justru menjadi pintu terkuaknya peradilan sesat yang menimpa
ketiganya. Kemat dan David sempat menjalani masa penahanan selama lebih dari setahun, dari vonis 17 tahun dan 12 tahun yang dikenakan pada
keduanya. Sementara Sugik, harus merasakan proses penyidikan dan persidangan lebih dari lima belas bulan atas tuduhan padanya. Di luar
negeri, seorang warga Negara Indonesia juga harus merasakan pedihnya peradilan sesat. Doli Syarief Pulungan, pengusaha jual beli alat berat yang
ke Amerika untuk mengecek proses pengiriman peralatan yang dipesannya, terpaksa harus merasakan hidup di balik terali besi lima
penjara negara bagian yang berbeda-beda di Amerika Serikat selama dua tahun. Ia dituduh terlibat usaha perdagangan senjata secara ilegal dan
memberikan keterangan palsu pada Pemerintah Amerika Serikat, dan akhirnya tervonis 4 tahun penjara. Di sini pulalah ia akhirnya merasakan,
betapa negaranya sendiri kurang peduli dalam hal perlindungan hukum terhadap warga negaranya sendiri di luar negeri. Ia harus berjuang sendiri
tanpa bantuan hukum dari pemerintah Indonesia sedikitpun, untuk membuktikan bahwasanya ia tidak bersalah, dan hanya menjadi korban
paranoid berlebihan pemerintah Amerika Serikat terhadap terorisme. Kasus terbaru dan hingga saat ini masih dalam proses persidangan, terjadi