BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode dalam penentuan stasiun penelitian untuk pengambilan sampel ikan adalah
“Purposive Random Sampling” yaitu dengan menggunakan faktor ekologi
sebagai pertimbangan utama. Survey awal untuk menentukan stasiun penelitian
tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Juli 2012, dimana stasiun penelitian dibagi menjadi 5 stasiun. Pengambilan sampel ikan dilaksanakan di Perairan Sungai
Asahan pada tanggal 12-15 November 2012. Untuk identifikasi dan analisis isi lambung ikan dilaksanakan pada bulan Januari 2013 di Laboratorium Ilmu Dasar
LIDA, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
3.2 Deskripsi Area Penelitian 3.2.1 Stasiun 1 Sungai Ponot
Stasiun ini terletak di bawah air terjun Sungai Ponot, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02
33
’
17, 3” LU -
099 18
’
23, 8” BT. Banyak terdapat bebatuan, aliran air kecil serta air jernih
dengan vegetasi pohon-pohon besar dan semak di tepi sungai. Lokasi Penelitian pada stasiun 1 dapat dilihat seperti gambar dibawah ini :
Gambar 3.1 Sungai Ponot
Universitas Sumatera Utara
3.2.2 Stasiun 2 Sungai Baturangin
Stasiun ini terletak di aliran air Sungai Baturangin, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02
33
’
06, 6” LU -
099 18
’
53, 7” BT. Daerah ini merupakan bekas kawasan pertambangan batu
dengan banyaknya batuan dan vegetasi semak di tepi sungai, dangkal, aliran air deras serta air jernih. Lokasi Penelitian pada stasiun 2 dapat dilihat seperti gambar
dibawah ini :
Gambar 3.2 Sungai Baturangin
3.2.3 Stasiun 3 Sungai Tangga
Stasiun ini terletak di Sungai Tangga, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02
33
’
34, 3” LU - 099
18
’
36, 7” BT.
Daerah ini merupakan pertemuan aliran Sungai Ponot dan Sungai Baturangin dengan banyaknya batuan dan aliran air deras serta air jernih. Pada daerah ini
terdapat Power house PLTA Inalum. Vegetasi didominasi pohon-pohon besar, dan semak di tepi sungai. Lokasi Penelitian pada stasiun 3 dapat dilihat seperti
gambar dibawah ini :
Gambar 3.3 Sungai Tangga
Universitas Sumatera Utara
3.2.4 Stasiun 4 Sungai Parhitean
Stasiun ini terletak di Sungai Parhitean, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02
33
’
53, 0” LU -
099 20
’
05, 9” BT. Daerah ini merupakan sungai utama dengan banyaknya batuan
dan aliran air sangat deras, batuan di tepi sungai serta bersedimen lumpur, vegetasi pohon besar dan herba. Daerah ini dekat dengan kawasan pemukiman
penduduk. Lokasi Penelitian pada stasiun 4 dapat dilihat seperti gambar dibawah ini :
Gambar 3.4 Sungai Parhitean
3.2.5 Stasiun 5 Sungai Hula-Huli
Stasiun ini terletak di aliran air Sungai Hula-Huli, Kecamatan Aek Songsongan Kabupaten Toba Samosir, yang secara geografis terletak pada
02 33
’
42,4 ” LU - 099
21
’
32,5 ” BT. Daerah ini merupakan aliran air sungai
Parhitean dengan banyaknya batuan di tepi dan aliran air deras serta air jernih. Pada daerah ini terdapat perkebunan sawit sebelah kanan dan sebelah kiri terdapat
hutan. Lokasi Penelitian pada stasiun 5 dapat dilihat seperti gambar dibawah ini :
Gambar 3.5 Sungai Hula-Huli
Universitas Sumatera Utara
3.3 Prosedur Kerja 3.3.1 Pengambilan Sampel Ikan dengan
Electrofishing dan Jala
Sampel ikan di tangkap menggunakan electrofishing dengan energi 12 Volt dan kuat arus 18 Ampere. Electrofishing dioperasikan selama 30 menit secara
acak dari hulu ke hilir di sepanjang tepi sungai atau di sekitar batu-batuan dengan jangkauan hingga 50 meter dan menempatkan jala di bawah aliran sungai untuk
menampung sampel ikan hasil operasi electrofishing. Electrofishing dioperasikan pada pagi dan siang hari saat pengambilan sampel ikan di masing-masing stasiun
penelitian. Electrofishing bertujuan untuk mengumpulkan nekton dalam jumlah tertentu yang efektif digunakan di perairan mengalir, walaupun pada kasus
tertentu dapat juga digunakan di perairan yang tenang Lagler, 1972. Pengambilan sampel ikan juga dilakukan dengan menggunakan jala, ukuran
luas 4 m
2
selama 30 menit yaitu dengan melemparkan ke arah badan sungai atau pinggir sungai. Semua hasil tangkapan sampel ikan segera difoto dengan kamera
digital, dihitung jumlah ikan yang tertangkap, diukur panjang total dengan mistar dengan ketelitian 1 mm dimulai dari bagian ujung kepala sampai bagian paling
ujung dari sirip ekor dan ditimbang berat ikan dengan timbangan digital dengan ketelitian 1 gram.
3.3.2 Analisis Lambung
Sampel ikan dibedah dengan menggunakan gunting bedah, dimulai dari anus menuju bagian dorsal di bawah linea lateralis dan menyusuri garis tersebut
sampai ke bagian belakang operculum kemudian ke arah ventral hingga ke dasar perut. Saluran pencernaan dipisahkan dari organ dalam lainnya lalu dimasukkan
ke dalam botol film untuk kemudian diawetkan dengan larutan formalin 4. Sedangkan untuk isi lambung ikan akan diencerkan dengan aquades kemudian di
amati di bawah mikroskop dan dilakukan di Laboratorium. Metode yang akan digunakan untuk menganalisis isi lambung ikan ini
mengacu kepada Effendie 1979, yaitu Metode Volumetrik. Volume lambung dan usus ikan diambil, kemudian lambung dan usus yang berisi makanan diukur
volumenya dengan menggunakan gelas ukur yang berisi air. Isi lambung dan usus
Universitas Sumatera Utara
ikan dikeluarkan. Lambung yang kosong diukur lagi volumenya. Volume isi lambung dan usus ikan diukur dengan cara volume lambung dan usus ikan yang
berisi makanan dikurangi dengan volume lambung dan usus ikan yang kosong. Isi lambung akan dipilah-pilah berdasarkan jenisnya di bawah dissecting microscope
dan kemudian masing-masing jenis isi lambung dan usus diukur volumenya. Persentase dari tiap jenis isi lambung tersebut dihitung dengan cara volume setiap
jenis isi lambung dibagi dengan volume total isi lambung. Analisis lambung sampel ikan dilakukan di Laboratorium Ilmu Dasar
LIDA, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Saluran pencernaan sampel ikan diletakkan dan dikeringkan di atas kertas
tissue dan didiamkan selama 5 menit setelah itu dilakukan pembedahan dengan menggunakan gunting untuk mengeluarkan isi lambung ikan dan selanjutnya
dihomogenkan melalui pengenceran dengan cara mencampurkan aquades sebanyak 2 ml sampai merata, kemudian isi lambung tersebut diamati dengan
menggunakan mikroskop dengan cara mengambil 1 tetes cairan isi lambung sampel menggunakan pipet tetes lalu meletakkan di atas object glass dan ditutup
dengan cover glass. Jenis pakan alami ikan atau plankton diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi Edmonson 1963, Sachlan 1982, dan Borror
1996.
3.3.3 Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia Perairan 3.3.3.1 Temperatur Air °C
Temperatur diukur dengan menggunakan Termometer air raksa yang berskala 0-50
C dimasukkan ke dalam air sedalam kurang lebih 10 cm dan dibiarkan selama 3 menit, selanjutnya termometer tersebut diangkat dan untuk
menghindari perubahan, maka Kemudian temperatur langsung dibaca Barus, 2004.
Universitas Sumatera Utara
3.3.3.2 Kecerahan Air
Diukur dengan menggunakan keping secchi Secchi Disk yang berbentuk bulat dengan diameter 20 cm yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping
secchi tidak terlihat lagi dari permukaan, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke dalam air Barus, 2004.
3.3.3.3 Intensitas Cahaya
Diukur dengan menggunakan Flux meter yang diarahkan ke posisi cahaya matahari dengan posisi tegak lurus selama 5 menit dan selanjutnya membaca
pada display nilai besarnya intensitas cahaya matahari pada Flux meter.
3.3.3.4 Kecepatan Arus
Pengukuran arus air dengan menggunakan bola pingpong dengan menghanyutkan bola pingpong pada jarak tertentu 10 m di permukaan air,
dengan menggunakan stopwatch dihitung waktu yang ditempuh oleh bola pingpong pada jarak yang sudah ditentukan tersebut Barus, 2004.
3.3.3.5 pH derajat Keasaman
Nilai pH diukur dengan menggunakan pH-meter dengan cara memasukkan pH-meter ke dalam sampel air yang diukur, selanjutnya angka yang tertera pada
display stabil, langsung dibaca dan angka tersebut menunjukkan nilai pH air yang diukur pada pH-meter tersebut Barus, 2004.
3.3.3.6 Disolved Oxygen DO
DO diukur dengan menggunakan metode winkler dengan prosedur sebagai berikut: botol winkler diisi dengan air sampel yang hendak diukur nilai oksigen
terlarutnya hingga penuh, ke dalam botol winkler kemudian ditambahkan 1 ml mangan sulfat diikuti dengan 1 ml larutan KOH-KI. Botol winkler ditutup dan
dihomogenkan secara perlahan-lahan, sampai terbentuk endapan berwarna putih, kemudian diberi larutan 1 ml asam sulfat pekat lalu botol winkler kembali
dihomogenkan secara perlahan-lahan sehingga didapatkan larutan warna coklat.
Universitas Sumatera Utara
Larutan dari botol winkler tersebut selanjutnya diambil 100 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, selanjutnya dititrasi dengan menggunakan larutan 0,0125 N
natrium thiosulfat sampai warna larutan berwarna kuning pucat, lalu ditambahkan sebanyak 3 tetes amilum sehingga larutan berwarna biru. Larutan tersebut dititrasi
kembali dengan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat hingga warna biru hilang secara sempurna atau berwarna bening. Volume natrium thiosulfat yang terpakai
selanjutnya dihitung, volume tersebut adalah nilai DO awal dimana setiap 1 ml larutan titrasi yang digunakan setara dengan 1 ml O
2
dalam 1 liter air sampel Suin, 2002 ; Barus, 2004. Lampiran A
3.3.3.7 Biochemical Oxygen Demand BOD
5
Pengukuran BOD
5
dilakukan dengan mengambil sampel air yang akan diukur nilai BOD
5
dimasukkan kedalam botol winkler dan disimpan selama 5 hari pada temperatur konstan 20
C, kemudian setelah 5 hari dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: botol winkler diisi dengan air sampel yang hendak
diukur nilai oksigen terlarutnya hingga penuh, ke dalam botol winkler kemudian ditambahkan 1 ml mangan sulfat diikuti dengan 1 ml larutan KOH-KI. Botol
winkler ditutup dan dihomogenkan secara perlahan-lahan, sampai terbentuk endapan berwarna putih, kemudian diberi larutan 1 ml asam sulfat pekat lalu botol
winkler kembali dihomogenkan secara perlahan-lahan sehingga didapatkan larutan warna coklat. Larutan dari botol winkler tersebut selanjutnya diambil 100
ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, selanjutnya dititrasi dengan menggunakan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat sampai warna larutan berwarna
kuning pucat, lalu ditambahkan sebanyak 3 tetes amilum sehingga larutan berwarna biru, kemudian dilakukan titrasi kembali menggunakan larutan 0,0125 N
natrium thiosulfat hingga warna biru hilang secara sempurna atau berwarna bening. Volume natrium thiosulfat yang terpakai selanjutnya dihitung, volume
tersebut adalah nilai DO akhir dimana setiap 1 ml larutan titrasi yang digunakan setara dengan 1 ml O
2
dalam 1 liter air sampel. Selisih nilai DO awal dan akhir adalah merupakan nilai BOD
5
dari sampel air tersebut Suin, 2002 ; Barus, 2004. Lampiran B
Universitas Sumatera Utara
3.3.3.8 Nitrat
Nitrat diukur dengan cara mengambil sampel air sebanyak 5 ml pada masing-masing stasiun penelitian, kemudian ditetesi dengan 1 ml NaCl
selanjutnya ditambahkan 5 ml H
2
SO
4
75 dan 4 tetes asam Brucine Sulfat Sulfanik. Larutan ini dipanaskan selama 25 menit pada suhu 95
C kemudian didinginkan selanjutnya kandungan nitrat dapat diukur dengan spektrofotometri
pada γ = 410 nm Suin, 2002. Lampiran C
3.3.3.9 Fospat
Fospat diukur dengan cara mengambil sampel air sebanyak 5 ml pada masing-masing stasiun penelitian, kemudian ditetesi dengan reagen Amstrong
sebanyak 1 ml selanjutnya ditambahkan 1 ml asam askorbat. Larutan didiamkan selama 20 menit kemudian konsentrasi Fospat dapat diukur dengan
spektrofotometri pada γ = 880 nm Suin, 2002. Lampiran D.
Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik, Kimia, dan Biologi Perairan
No Parameter
Alat Satuan
Keterangan 01
Fisik :
- Temperatur Air Termometer Air Raksa
C In-situ
- Kecerahan Air Keping Secchi
cm In-situ
- Intensitas Cahaya - Kecepatan Arus
Flux Meter Bola Pingpong
candella ms
In-situ In-situ
02 Kimia :
- pH pH meter
- In-situ
- DO DO meter
mgl In-situ
- BOD
5
Botol Winkler mgl
Ek-situ - Nitrat
Spektrofotometri mgl
Ek-situ - Fospat
Spektrofotometri mgl
Ek-situ 03
Biologi :
- Ikan Mistar
Panjang ikan mm
In-situ Timbangan Digital
Berat ikan g
In-situ
Universitas Sumatera Utara
3.4 Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk mengetahui hubungan panjang-berat, faktor kondisi dan kebiasaan makanan ikan batak Tor douronensis terhadap faktor fisik
kimia Perairan Sungai Asahan. Analisis data mencakup tentang hubungan panjang berat, serta kebiasaan makanan analisis lambung.
3.4.1 Analisis Korelasi Hubungan Panjang-Berat
Analisis panjang dan berat ikan bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Untuk mencari hubungan antar panjang total ikan
dengan beratnya digunakan persamaan sebagai berikut : W = a L
b
atau : Log W = Log a + b Log L Effendie, 1992
dimana : W = berat ikan g
L = panjang total ikan dari ujung rahang depan ke ekor belakang mm a dan b = konstanta
Arti Nilai b adalah : bila b = 3 berarti pertumbuhan bersifat isometrik atau baik, karena antara pertumbuhan berat dan panjang sebanding atau kondisi ikan
ideal, bila b lebih besar atau lebih kecil dari 3 berarti pertumbuhan ikan bersifat alometrik atau kurang baik karena pertumbuhan berat dan panjang tidak
sebanding, artinya kondisi ikan kurang baik. Alometrik ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu : bila b 3 berarti pertumbuhan panjang lebih cepat dibanding
pertumbuhan berat sehingga ikan tampak kurus atau tidak normal karena terlihat terlalu panjang alometrik negatif. Bila b 3 berarti pertumbuhan berat lebih
cepat dibanding pertumbuhan panjang sehingga ikan tampak tidak normal karena terlalu gemuk alometrik positif.
Universitas Sumatera Utara
3.4.2 Faktor Kondisi
Faktor kondisi K dihitung berdasarkan pada panjang dan berat ikan sampel. Apabila pertumbuhan ikan isometrik b=3, maka faktor kondisi
menggunakan rumus Effendie, 1997 :
Keterangan : K = Faktor kondisi
W = Berat rata-rata ikan dalam satu stasiun g L = Panjang rata-rata ikan dalam satu stasiun mm
Ikan yang mempunyai pertumbuhan bersifat alometrik apabila b ≠ 3, maka
persamaan yang digunakan adalah :
Keterangan : K
= Faktor kondisi W
= Berat rata-rata ikan dalam satu stasiun g L
= Panjang rata-rata ikan dalam satu stasiun mm a dan b = Konstanta dari regresi
Apabila nilai K berkisar antara 2 - 4, maka tubuh ikan tergolong agak pipih dan apabila nilai K 2 menyatakan tubuh ikan tergolong kurang pipih. Variasi
nilai K salah satunya bergantung kepada makanan. Semakin besar nilai K maka dapat dikatakan faktor kondisinya baik Effendie, 1997.
3.4.3 Kebiasaan Makanan
Analisis kebiasaan makanan menggunakan metode Indeks Bagian Terbesar atau Index of Preponderance IP yang merupakan gabungan dari metode
frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Persentase frekuensi kejadian suatu
Universitas Sumatera Utara
jenis makanan dihitung berdasarkan jumlah kejadian ditemukannya suatu jenis organisme makanan pada lambung ikan. Rumus Index of Preponderance IP oleh
Natarajan dan Jhingran dalam Effendie 1979 adalah:
Keterangan : IP
= Index of PreponderanceIndeks Bagian Terbesar Vi
= Persentase volume satu macam makanan Oi
= Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan ∑Vi x Oi = Jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan
Berdasarkan nilai IP, Nikolsky 1963 membedakan makanan ikan ada tiga golongan, yaitu :
a. Makanan utama, jika nilai IP 40 b. Makanan pelengkap, jika nilai IP 4 - 40
c. Makanan tambahan, jika nilai IP 4
3.4.4 Analisis Hubungan Antara Faktor Fisik-Kimia Lingkungan Perairan Sungai Asahan dengan Jenis Makanan Ikan Batak
Tor douronensis
Analisis Korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan antara sifat fisik-kimia perairan Sungai Asahan dengan jenis makanan yang dimakan
ikan batak Tor douronensis. Analisis dilakukan dengan metode komputerisasi SPSS Vers.16.00 Santoso, 2008.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak Tor douronensis
Hubungan panjang dan berat dapat dilihat
dari nilai konstanta b. Perolehan nilai konstanta b = 3, hubungan yang terbentuk adalah isometrik pertambahan
panjang seimbang dengan pertambahan berat. Nilai konstanta b 3, dinamakan pertumbuhan alometrik positif ikan montok, pertambahan berat lebih cepat dari
pertambahan panjang. Nilai konstanta b 3, dinamakan pertumbuhan alometrik negatif ikan kurus, pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan berat
Effendie, 1997. Hasil analisis data hubungan panjang berat ikan batak Tor douronensis disajikan pada Tabel 4.1 berikut ini :
Tabel 4.1 Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak Tor douronensis Stasiun
n ekor a
b Pola Pertumbuhan
Sungai Ponot 12
1,3561 x 10
-5
2,9179 Alometrik Negatif
Sungai Baturangin 11
1,0205 x 10
-5
3,1855 Alometrik Positif
Sungai Tangga 24
1,2761 x 10
-5
2,9342 Alometrik Negatif
Sungai Parhitean 11
1,9284 x 10
-4
2,2589 Alometrik Negatif
Sungai Hula-Huli 11
3,1456 x 10
-5
2,8029 Alometrik Negatif
Dari hasil analisis hubungan panjang berat ikan batak Tor douronensis di Perairan Sungai Asahan Tabel 4.1 menunjukkan pola pertumbuhan Alometrik,
terlihat dari perolehan nilai konstanta b. Nilai b yang menunjukkan pola pertumbuhan Alometrik Positif diperoleh pada stasiun 2 Sungai Baturangin
yaitu b = 3,1855 b3 artinya ikan batak pada stasiun ini termasuk ikan-ikan yang montok karena pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjang, dan nilai
b yang menunjukkan pola pertumbuhan Alometrik Negatif b3 diperoleh pada stasiun 1 Sungai Ponot, stasiun 3 Sungai Tangga, stasiun 4 Sungai
Parhitean, dan stasiun 5 Sungai Hula-Huli, artinya ikan batak pada stasiun
Universitas Sumatera Utara
tersebut termasuk ikan-ikan yang kurus karena pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan berat.
Perbedaan nilai b antara masing-masing stasiun terjadi karena pengaruh faktor ekologi dan biologi, dimana kondisi ekologi tersebut terkait erat dengan
ketersediaan makanan dan dinamika kualitas Perairan Sungai Asahan. Banyaknya aktifitas manusia yang terjadi di daerah aliran Sungai Asahan maupun di Sungai
Asahan itu sendiri, seperti areal pemukiman, pabrik, objek wisata, serta penangkapan yang berlebihan overfishing yang menyebabkan kondisi
lingkungan berubah. Hal ini dikarenakan faktor ekologi dan biologi sangat mempengaruhi habitat ikan batak Tor douronensis. Merta 1993 mengatakan
karena sering keadaan lingkungan berubah atau kondisi ikannya berubah, maka hubungan panjang berat ikan akan sedikit menyimpang dari hukum kubik b ≠ 3.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sulistiono et al., 2001, dimana hubungan panjang berat menunjukkan pertumbuhan yang bersifat relatif artinya dapat
berubah menurut kondisi lingkungan. Apabila terjadi perubahan terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan di perairan tersebut maka diperkirakan nilai
konstanta b juga akan berubah. Perbedaan ukuran berat dan panjang antara tiap ikan tersebut juga
dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, seperti yang telah dikemukakan oleh Djajasewaka 1985, dimana ada dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ikan yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam ini sulit untuk dilakukan pengontrolan, sedangkan faktor luar mudah untuk pengontrolannya. Adapun yang
termasuk faktor dalam adalah faktor keturunan, dimana faktor ini mungkin dapat dikontrol dalam suatu kultur, salah satunya dengan mengadakan seleksi yang baik
bagi pertumbuhannya sebagai induk. Faktor luar adalah makanan, dalam hal ini makanan adalah faktor yang paling penting karena dengan adanya makanan
berlebih dapat menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi lebih pesat. Faktor luar lain yang mempengaruhi yaitu kualitas air, misalnya suhu, oksigen terlarut dan
karbondioksida. Hasil analisa hubungan panjang berat ikan batak Tor douronensis pada masing-masing stasiun penelitian juga dapat ditunjukkan pada
Grafik berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.1 Grafik hubungan panjang berat ikan batak Tor douronensis di Stasiun 1 Sungai Ponot
Gambar 4.2 Grafik hubungan panjang berat ikan batak Tor douronensis di Stasiun 2 Sungai Baturangin
Gambar 4.3 Grafik hubungan panjang berat ikan batak Tor douronensis di Stasiun 3 Sungai Tangga
W = 1,3561 x 10-5 L
2,9179
r = 0,927 n = 12
-10 10
20 30
40 50
50 100
150 200
B er
a t
g
Panjang mm
W = 1,0205 x 10-5 L
3,1855
r = 0,989 n = 11
-10 10
20 30
40 50
50 100
150 200
B er
a t
g
Panjang mm
W = 1,2761 x 10-5 L2,9342 r = 0,956
n = 24
2 4
6 8
10
20 40
60 80
100
B er
a t
g
Panjang mm
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.4 Grafik hubungan panjang berat ikan batakTor douronensis di Stasiun 4 Sungai Parhitean
Gambar 4.5 Grafik hubungan panjang berat ikan batak Tor douronensis di Stasiun 5 Sungai Hula-Huli
Dari hasil analisis hubungan panjang berat ikan batak Tor douronensis pada masing-masing stasiun penelitian sebagaimana telihat dalam Grafik diatas
menunjukkan nilai-nilai koefisien korelasi r linear yang merupakan ukuran kesesuaian goodness of fit garis regresi terhadap data, semuanya diatas 0,90 90
, yaitu dengan perolehan nilai antara 0,90-0,98. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara panjang dan berat ikan batak Tor douronensis sangat erat pada
stasiun penelitian tersebut.
W = 1,9284 x 10-4 L
2,2589
r = 0,908 n = 11
-5 5
10 15
20 25
30 35
40
50 100
150 200
B er
a t
g
Panjang mm
W = 3,1456 x 10-5 L
2,8029
r = 0,927 n = 11
5 10
15 20
25 30
35
20 40
60 80
100 120
140
B er
a t
g
Panjang mm
Universitas Sumatera Utara
4.2 Faktor Kondisi