Penerapan pola tanam sangat tergantung pada pengelolaan dan ketersediaan air pada lahan sawah tersebut. Pada desa contoh lahan sawah adalah
berpengairan teknis dengan pola tanam yang diterapkan adalah padi–padi–bera. Tabel 2. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Panaman Padi Sawah menurut
Kecamatan di Kabupaten Donggala Tahun 2006 No.
Kecamatan Luas Panen
Ha Produktivtas
TonHa Produksi Ton
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9.
10. 11.
12. 13.
14. Kulawi
Palolo Dolo
Marawola Sigi Biromaru
Banawa Tawaeli
Sinsue Sirenja
Balaesang Damsol
Sojol Rio Pakava
Pipikoro 4 926
5 697 6 014
1 593 9 281
1 729 348
1 097 1 704
2 311 4 527
7 778 375
496 3.38
5.60 4.43
2.77 4.75
4.19 4.29
4.35 4.64
4.71 4.56
4.72 3.60
4.18 17 654
31 903 26 654
4 409 44 112
7 247 1 492
4 774 7 906
10 871 20 643
36 712 1 350
2 071
Sumber : BPS Kabupaten Donggala, 2006
5.2. Karakteristik Anggota Rumahtangga Petani
Responden dalam penelitian ini berada di Kabupaten Donggala Kecamatan Sigi Biromaru. Analisis umum mengenai karakteristik rumahtangga responden
menggunakan kriteria umur kepala rumahtangga, umur isteri, umur anak, jumlah anggota rumahtangga, jumlah anak sekolah dan jumlah anak balita yang dapat
dilihat pada Tabel 3. Pada umumnya di wilayah pedesaan, kepala keluarga berusia di atas 55
tahun yang walaupun sudah tergolong tua apabila dikaitkan dengan jenis pekerjaan yaitu pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik namun masih
mampu bekerja baik di kegiatan usahatani maupun kegiatan non usahatani. Dari Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata umur anggota rumahtangga petani untuk suami
adalah 41.09 tahun. Usia kepala keluarga masih tergolong kelompok usia produktif. Umur isteri juga masih tergolong produktif untuk melakukan kegiatan
usahatani, non usahatani maupun kegiatan rumahtangga. Rata-rata umur isteri lebih muda 6 tahun dari usia kepala keluarga.
Tabel 3. Rata-rata Karakteristik Anggota Rumahtangga Petani Lahan Sawah di Kabupaten Donggala Tahun 2008.
No. Karakteristik Anggota Rumahtangga Rata - rata
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9. 10.
11. Umur suami tahun
Umur isteri tahun Umur anak sekolah tahun
Umur anak yang bekerja tahun Pendidikan suami tahun
Pendidikan isteri tahun Pendidikan anak sekolah tahun
Pendidikan anak yang bekerja tahun Jumlah anggota rumahtangga orang
Jumlah anak sekolah orang Jumlah anak balita orang
41.09 36.01
12.20 20.69
10.97 10.81
6.29 10.49
3.83 1.69
1.04 Pendidikan formal sebagai indikator kualitas tenaga kerja, secara umum
bahwa tingkat pendidikan suami rata-rata 10.97 tahun tidak jauh berbeda dengan tingkat pendidikan isteri yang rata-rata 10.81 tahun dan tingkat pendidikan suami
dan isteri dalam rumahtangga petani hanya pada tingkat pendidikan dasar. Begitu juga dengan anak yang sudah bekerja maupun anak yang masih sekolah memiliki
tingkat pendidikan 6.29 tahun sampai 10.49 tahun. Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pendidikan suami, isteri, dan
anak yang masih berada pada tingkatan pendidikan dasar, hal ini menggambarkan
bahwa kualitas sumberdaya manusia di lokasi penelitian masih rendah. Hal ini sejalan dengan laporan Badan Statistik Provinsi Sulawesi Tengah 2007
menyatakan bahwa, tingkat pendidikan sumberdaya manusia penduduk Sulawesi Tengah masih relatif rendah dengan lama sekolah dari 7.0 tahun sampai dengan
10.9 tahun. Sedangkan Hardono 2003 menyatakan bahwa tingkat pendidikan rata-rata dari sebagian besar masyarakat di Indonesia rendah disebabkan kurang
motivasi atau kemauan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, kesehatan atau kondisi jasmani dan fisik yang tidak mengizinkan, serta kesempatan tidak
ada. Rendahnya tingkat pendidikan pada umumnya lebih banyak dimiliki oleh masyarakat pedesaan, sehingga terkesan mereka bekerja hanya untuk sekedar
memperoleh pendapatan revenue, bukan keuntungan profit. Jumlah anggota rumahtangga dan jumlah anak bersekolah yang dimiliki
rumahtangga akan menentukan besar kecilnya pengeluaran rumahtangga baik konsumsi pangan, non pangan dan pendidikan. Rata-rata rumahtangga responden
memiliki jumlah anggota rumahtangga sebesar 3.83 orang. Bila dikaitkan dengan aspek pengembangan sumberdaya manusia, maka jumlah ini sudah cukup besar,
dalam arti bahwa jumlah anggota rumahtangga tersebut masih cukup potensial untuk dikembangkan keterampilannya dan ini terlihat bahwa tingkat pendidikan
anggota rumahtangga yaitu anak, telah mengikuti jenjang pendidikan sampai sekolah lanjutan tingkat atas dan ini merupakan aset produktif yaitu jika
bergabung kedalam angkatan kerja untuk pengembangan usahatani maupun bekerja pada kegiatan non usahatani. Namun juga dapat merupakan aset
konsumtif jika anggota rumahtangga tersebut bukan menjadi angkatan kerja. Makin besar jumlah anggota rumahtangga diduga makin besar pula pencurahan
tenaga kerja dan pendapatan pada kegiatan di luar usahatani. Hal ini disebabkan karena disamping potensi tenaga kerjanya makin besar, kebutuhan hidup
rumahtangga juga makin besar. Sebaliknya makin kecil jumlah anggota rumahtangga maka makin kecil pula pencurahan tenaga kerja dan pendapatan di
luar usahatani. Jumlah anak yang sekolah rata-rata 1.69 orang. Tidak semua rumahtangga
petani mempunyai anak balita dan rata-rata hanya memiliki 1.04 orang dari jumlah rumahtangga yang mempunyai balita dan ini sesuai dengan kondisi usia
kepala keluarga diatas 41 tahun dan umur isteri yang berada di atas 36 tahun. Adanya kepemilikaan anak balita dalam suatu rumahtangga petani maka akan
mempengaruhi curahan kerja isteri dalam mengaloakasikan waktunya baik untuk kegiatan pada usahatani padi, kegiatan non usahatani maupun kegiatan
tumahtangga. Dengan adanya anak balita dalam rumahtangga maka ada indikasi bahwa isteri akan lebih banyak melakukan kegiatan rumahtangga untuk mengurus
anak balita jika dibandingkan dengan melakukan kegiatan di usahatani padi maupun kegiatan non usahatani, apalagi jika dalam suatu rumahtangga tidak
memiliki tenaga kerja lain baik tenaga kerja dalam keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga untuk membantu mengasuh anak balita tersebut.
5.3. Alokasi Curahan Kerja Anggota Rumahtangga Petani