35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU
Tahap karakterisasi dilakukan untuk mengetahui mutu dan karakteristik bahan-bahan yang akan digunakan. Minyak sawit yang digunakan dalam
penelitian adalahNDRPO, yaitu minyak sawit yang sudah mengalami netralisasi dan deodorisasi. Proses netralisasi CPO menjadi NRPO dilakukan
oleh Widarta 2008, sedangkan deodorisasi NRPO menjadi NDRPO oleh Riyadi 2009.
Netralisasi adalah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan
basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun Ketaren, 1986. Sebelum melakukan proses netralisasi, Widarta 2008 melakukan proses
degumming terlebih dahuluterhadap CPO. Proses degumming dilakukan dengan cara memanaskan CPO hingga suhu 80 °C, kemudian menambahkan
larutan asam fosfat 85 sebanyak 0.15 dari berat CPO sambil mengaduknya perlahan-lahan 56 rpm selama 15 menit. Proses degumming tersebut ternyata
meningkatkan kadar air dan asam lemak bebas serta menurunkan karoten sebanyak
3.42. Proses
pemurnian selanjutnya
adalah netralisasi
deasidifikasi, yaitu dengan menambahkan larutan NaOH sambil diagitasi pada suhu dan waktu tertentu. Reaksi antara NaOH dengan minyak dapat
dilihat pada Gambar 17. Suhu dan waktu optimum yang diperoleh dari penelitian Widarta 2008 adalah 61±2 °C dan 26 menit. Sabun yang dihasilkan
dari proses tersebut dipisahkan dengan sentrifugasi menggunakan spiner, kemudian dilakukan pencucian dengan air panas 5-8 °C lebih hangat dari suhu
minyak yang dapat menghilangkan sabun sekitar 90. Banyaknya air yang digunakan adalah tujuh kali lebih banyak dibandingkan jumlah minyak. NRPO
yang dihasilkan melalui proses tersebut mengalami kenaikan kadar air, penurunan bilangan peroksida, namun bilangan iod dan bilangan penyabunan
relatif tetap. NRPO dari penelitian Widarta 2008 diproses lebih lanjut oleh Riyadi
2009 melalui proses deodorisasi sehingga dihasilkan NDRPO. Deodorisasi
36 merupakan suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk
menghilangkan bau dan rasa yang tidak enak dalam minyak. Prinsip proses deodorisasi yaitu penyulingan minyak dengan uap panas dalam tekanan
atmosfer atau keadaan vakum. Biasanya, proses deodorisasi dilakukan dengan memanaskan minyak pada temperatur 200°C – 250°C dengan tekanan sebesar
1-6 mmHg, dan dialiri uap selama 0.3 – 12 jam Ketaren, 1986. Deodorisasi yang dilakukan oleh Riyadi 2009 adalah dengan cara menghomogenkan
bahan baku NRPO di dalam tangki deodorizer selama 10 menit pada suhu 46 ± 2°C. Setelah itu, dilakukan pemanasan dalam kondisi vakum tekanan vakum
-74±2 cmHg sampai suhu 130, 140, atau 150 °C. Laju alir gas pelucut N
2
dijaga konstan pada 20Ljam selama proses deodorisasi 1 atau 2 jam. NDRPO yang digunakan dalam penelitian ini adalah NDRPO yang mengalami
pemanasan selama 2 jam pada suhu 140 °C. Berdasarkan karakterisasi yang telah dilakukan oleh Riyadi 2009, NDRPO dengan pemanasan 140 °C selama
2 jam dapat dilihat pada Tabel 13.
Gambar 17. Reaksi penyabunan saat proses netralisasi Portal Pendidikan
Utusan, 2002
Tabel 13. Karakteristik NDRPO dengan pemanasan 140 °C selama 2 jam
Riyadi, 2009 Parameter
NDRPO Kadar air
0.00 ± 0.00 Kadar asam lemak bebas
0.25 ± 0.04 Kadar karoten mgkg
329.52 ± 53.94 Bilangan peroksida meq O
2
kg 0.20 ± 0.13
Warna, skala Lovibond 30 Y + 9.65 R
Minyak sawit merah yang digunakan sebagai bahan baku penelitian diperoleh dengan cara melakukan fraksinasi terhadap NDRPO. Fraksinasi
37 merupakan proses pemisahan fraksi cair olein dan fraksi padat stearin dari
minyak dengan winterisasi, yaitu proses pemisahan bagian gliserida jenuh atau bertitik cair tinggi dari trigliserida bertitik cair rendah dengan cara pendinginan
chilling hingga suhu 5-7ºC Ketaren, 1986. Fraksinasi dilakukan dengan memanaskan NDRPO terlebih dahulu dalam oven pada suhu 50-55°C selama
15 menit. Menurut Ketaren 1986, dekomposisi minyak dengan adanya udara terjadi pada suhu lebih rendah 190°C daripada tanpa udara 240-260°C. Oleh
karena itu, suhu pemanasan 50-55°C yang telah dilakukan, diharapkan tidak akan merusak minyak. Pemanasan dilakukan untuk meningkatkan jumlah olein
yang dihasilkan. Setelah dipanaskan, NDRPO didiamkan pada suhu ruang ±25°C selama 24 jam sehingga fase olein dapat dipisahkan dari stearin.
Fraksinasi hanya dilakukan pada suhu ruang karena pada suhu 20°C, hampir semua bagian NDRPO membeku sehingga tidak diperoleh olein. Olein
selanjutnya dianalisis untuk diketahui kandungan karoten serta kadar airnya. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa minyak sawit merah yang
digunakan mengandung karoten sebesar 295.56 ppm dengan kadar air 0.64 bk atau 0.63 bb. Kadar air MSM lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kadar air minyak olahan seperti minyak goreng, yaitu maksimum 0.3 bb menurut SNI 01-3741-1995. Kadar karoten mengalami penurunan sekitar
10.31 jika dibandingkan dengan kadar karoten sebelum NDRPO disimpan Tabel 13. Penurunan kadar karoten tersebut disebabkan karena NDRPO
sudah cukup lama disimpan, yaitu sekitar 6-14 bulan sehingga kadar air meningkat. Adanya air dalam minyak dapat memicu reaksi hidrolisis yang
menyebabkan penurunan mutu minyak. Selain itu, karotenoid juga peka terhadap oksidasi oleh cahaya dan suhu. Hal ini disebabkan karena adanya
ikatan ganda pada struktur karoten sehingga sensitif terhadap oksidasi. Winarno dan Laksmi 1989 juga menjelaskan bahwa beberapa karoten
membentuk ester dengan asam lemak, sehingga bila terjadi kerusakan pada lemak sekaligus akan merusak karotennya. Hidrolisis yang terjadi pada
esternya menyebabkan lemak terlepas, karoten teroksidasi dan mengalami degradasi
menghasilkan crocetin
yang mempunyai
dua gugusan
karboksil.Meskipun kadar karoten MSM mengalami penurunan, sebenarnya
38 jumlahnya masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar karoten pada
MSM yang digunakan oleh Yusuf 1999, yaitu sekitar 152.52 ppm. Rendahnya kadar karoten MSM dalam penelitian Yusuf 1999 tersebut
disebabkan karena degradasi karoten selama proses pembuatan minyak sawit merah dari CPO telah melewati proses destilasi vakum. Penelitian lain yang
menganalisis kadar karoten dalam minyak olahan dilakukan oleh Rianto 1995 yang menyebutkan bahwa minyak goreng komersil hanya mengandung karoten
17 ppm. Kadar air maltodekstrin adalah 7.12 bk atau 6.65 bb. Hal ini
berarti mutu maltodekstrin yang digunakan sudah sesuai dengan standar mutu dekstrin untuk pangan menurut DSN 1992 yang menyebutkan bahwa kadar
air maksimum 11 bb. Maltodekstrin didefinisikan sebagai bahan yang mempunyai nilai DE 3-20. Oleh karena itu, analisis nilai DE dibutuhkan untuk
mengetahui jenis maltodekstrin yang digunakan.Hasil analisis menunjukkan bahwa maltodekstrin yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai nilai
dextrose equivalent DE 10,72. Nilai DE ini menunjukkan persen gula pereduksi terhadap total gula dalam maltodekstrin. Karakteristik dan fungsi
dari maltodekstrin dipengaruhi oleh nilai DE. Semakin rendah nilai DE, maka maltodekstrin akan semakin non-higroskopis. Sedangkan maltodekstrin dengan
DE yang tinggi akan cenderung mempunyai sifat yang sama dengan corn syrup. Maltodekstrin dengan DE yang rendah lebih efektif sebagai pengikat
lemak dibandingkan dengan DE yang tinggi. Nilai DE yang tinggi akan memberikan viskositas yang lebih rendah. Analisis nilai DE dilakukukan untuk
mengetahui sifat maltodekstrin yang digunakan. Semakin tinggi nilai DE maltodekstrin, maka makin tinggi konsentrasi produk bahan inti yang dapat
masuk ke dalam larutan. Oleh karena itu perlu ditambahkan bahan pengisi yang lain agar diperoleh produk mikroenkapsulasi yang baik Simanjuntak, 2007.
Analisis nilai DE dilakukan dengan cara menganalisis kadar gula pereduksi dan total gula dalam maltodekstrin Lampiran 1. Bahan penyalut lain, yaitu gum
arab digunakan untuk meningkatkan kestabilan emulsi. Gum arab yang digunakan mempunyai kadar air 12.25 bk atau 10.91 bb.
39
B. PENENTUAN KONSENTRASI PENYALUT DAN MSM