Efektivitas pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik melalui pakan untuk pengendalian infeksi streptococcus agalactiae pada ikan nila (oreochromis niloticus)

(1)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROBIOTIK, PREBIOTIK DAN SINBIOTIK MELALUI PAKAN UNTUK PENGENDALIAN INFEKSI Streptococcus agalactiae

PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

TANBIYASKUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Pemberian Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik Melalui Pakan Untuk Pengendalian Infeksi Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Tanbiyaskur NRP C151090221


(3)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(4)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROBIOTIK, PREBIOTIK DAN

SINBIOTIK MELALUI PAKAN UNTUK PENGENDALIAN

INFEKSI

Streptococcus agalactiae

PADA IKAN NILA

(

Oreochromis niloticus

)

TANBIYASKUR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

Judul Proposal : Efektivitas Pemberian Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik Melalui Pakan Untuk Pengendalian Infeksi Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Nama : Tanbiyaskur

NIM : C151090221

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua Dr. Widanarni, M.Si

Anggota

Dr.drh. Angela Mariana L, M.Si

Diketahui

Ketua Program studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Akuakultur

Prof. Dr. Enang Harris, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(6)

PRAKATA

Penulis mempersembahkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Efektivitas Pemberian Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik Melalui Pakan Untuk Pengendalian Infeksi Streptococcus agalactiae Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada program Magister Sains di Program Studi Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Widanarni, M.Si dan Dr.drh. Angela Mariana Lusiastuti, M.Si selaku komisi

pembimbing yang telah memberikan arahan dan saran-sarannya dalam penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, masukan dan kritikan untuk perbaikan serta kesempurnaan penulisan selanjutnya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Bogor, Agustus 2011

Tanbiyaskur


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gumai pada tanggal 25 April 1986 dari ayah Zubairi, HS dan ibu Izut. Penulis merupakan putra kelima dari lima bersaudara.

Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SD Negeri 272 Palembang, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama pada tahun 2001 di SLTP Negeri 45 Palembang dan Sekolah Menengah Umum pada tahun 2004 di SMU Negeri 10 Palembang. Sejak Juli 2004 penulis tercatat sebagai mahasiswa di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Tahun 2008 penulis berhasil menyelesaikan studi S1 dan pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi di Mayor Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana IPB.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Streptococcus agalactiae ... 4

Probiotik ... 5

Prebiotik ... 7

Oligosakarida ... 8

Sinbiotik ... 9

Ikan Nila ... 10

Imunologi ikan ... 11

METODE PENELITIAN ... 14

Waktu dan Tempat ... 14

Pemilihan Ikan Uji dan Bakteri Probiotik ... 14

Perlakuan dan Rancangan Penelitian ... 14

Pelaksanaan Tahap I ... 15

Uji In Vitro Bakteri Kandidat Probiotik... 15

Aktivitas antagonistik ... 15

Peningkatan Virulensi Bakteri Streptococcus agalactiae ... 15

Pelaksanaan Tahap II ... 17

Ekstraksi Oligosakarida... ... 17

Pembuatan Tepung Ubi Jalar ... 17

Ekstraksi dengan Etanol 70% ... 17

Total Padatan Terlarut ... 18

Pelaksanaan Tahap III ... 19

Pengujian secara In Vivo ... 19

Pengujian Parameter Gambaran Darah ... 20

Total Eritrosit ... 20

Kadar Hemoglobin (Hb) ... 20

Kadar Hematokrit (He) ... 21


(9)

Diferensial Leukosit ... 21

Indeks fagositik ... 22

Jumlah Total Bakteri S. agalactiae di Organ Target... 22

Jumlah Total Bakteri di Usus ... 23

Histopatologi ... 23

Kelangsungan Hidup/Survival Rate (SR) ... 23

Laju Pertumbuhan (GR) ... 25

Analisis Statistik ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Aktivitas Antagonistik ... 26

Kelangsungan Hidup Ikan ... 28

Gambaran Darah Ikan ... 31

Total Eritrosit ... 31

Kadar Hemoglobin (Hb) ... 35

Kadar Hematokrit (He) ... 37

Total Leukosit ... 39

Diferensial Leukosit ... 40

Indeks fagositik ... 46

Jumlah Total Bakteri di Usus ... 49

Jumlah Total S. agalactiae di Organ Target ... 52

Histopatologi ... 54

Otak ... 54

Ginjal ... 56

Hati ... 58

Mata ... 59

Laju Pertumbuhan Harian dan Konversi Pakan (FCR) ... 61

Kualitas Air ... 65

Kesimpulan dan Saran... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik S. agalactiae yang menyerang sapi, bovine dan ikan ... 5

2. Aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen S. agalactiae secara in vitro ... 27

3. Perubahan patologis otak ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae ... 55

4. Perubahan patologis ginjal ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae... 56

5. Perubahan patologis hati ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae ... 58

6. Perubahan patologis mata ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae ... 60


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Diagram alir pelaksanaan penelitian ... 16 2. Tahapan pembuatan tepung ubi jalar ... 17 3. Ekstraksi Oligosakarida ubi jalar ... 18 4. Aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen S. Agalactiae

A ; Kontrol. B; Probiotik NP5 ... 26 5. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama perlakuan penambahan

probiotik, prebiotik dan sinbiotik (A) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (B); PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik; P3. Sinbiotik ... 29 6. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi bakteri S. agalactiae pada

ikan nila; a. timbul garis hitam vertical dan pupil mata mengecil; b. clear operculum; c. purulens (mata putih); d. eksoptalmia ... 30 7. Jumlah total eritrosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 32 8. Kadar hemoglobin ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang

dengan bakteri patogen S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 35 9. Kadar hematokrit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang

dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 37 10. Total leukosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 39 11. Persentase jumlah limfosit ikan nila selama perlakuan penambahan

probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 41 12. Persentase jumlah monosit ikan nila selama perlakuan penambahan

probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 43 13. Persentase jumlah neutrofil ikan nila selama perlakuan penambahan

probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 45 14. Persentase indeks fagositik ikan nila selama perlakuan penambahan

probiotik prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 46


(12)

15. Jumlah total bakteri di usus ikan nila; PO(+). kontrol positif;

PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik P3. sinbiotik ... ... 49 16. Mekanisme peningkatan respon imun oleh bakteri probiotik

setelah berinteraksi dengan sistem imun di peyer’s patches ... 51 17. Total bakteri S. agalactiae di organ target pada minggu ke-3 (A)

dan minggu ke-4 (B); PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik P3. Sinbiotik ... 53 18. Histopatologi otak ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. hyperplasia

B. hipertropi ; C. nekrosis ; D. kongesti E. vakuolisasi ... 55 19. Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. ginjal

normal; B. vakuolisasi ; C. sel radang ; D. deposisi protein hialin

E. kongesti; F. degenerasi, nekrosis ; G: hemoragi ... 57 20. Histopatologi hati ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. hati

normal; B. atropi ; C. degenerasi lemak; D. hipertropi; E. kongesti

F. hemoragi ... 59 21. Histopatologi hati ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. mata

normal; B.hipertropi ; C. vakuolisasi; D. hiperplasia; E. nekrosis ... 61 22. Laju pertumbuhan bobot harian (A) dan nilai FCR (B) ikan nila

setelah 14 hari pemeliharaan; PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Skema pembuatan blok paraffin... 72 2. Skema proses pemberiaan warna pada sampel jaringan dengan pewarnaan haematoksilin dan eosin ... 73 3. SR ikan nila setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik ... 74 4. Kelangsungan hidup ikan nila pasca uji tantang dengan bakteri patogen

S. agalactiae ... 75 5. Nilai total padatan terlarut ekstraksi oligosakarida ubi jalar ... 77 6. Gambaran Mikroskopis darah (total eritrosit, kadar hematokrit dan

kadar hemoglobin) ikan nila selama penelitian ... 78 7. Gambaran Mikroskopis darah (total Leukosit, Differensial leukosit dan indeks fagositik) ikan nila selama penelitian ... 85 8. Jumlah total bakteri di usus pada akhir pemberian probiotik, prebiotik dan

sinbiotik ... 90 9. Jumlah total bakteri S. agalactiae di organ target pasca uji tantang ... 92 10. Laju pertumbuhan (GR) yang diberi pakan dengan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik ... 93 11. Konversi pakan (FCR) ikan nila yang diberi pakan dengan penambahan


(14)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan air tawar yang sangat potensial dikembangkan di Indonesia. Ikan ini memiliki laju pertumbuhan yang cepat, mudah bereproduksi, berdaging tebal dan mudah dibudidayakan (Molina et al. 2009). Berbagai keunggulan pada ikan nila membuat permintaan terus meningkat, akibatnya penerapan intensifikasi budidaya tidak dapat dihindarkan. Namun demikian, intensifikasi budidaya yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan budidaya dapat menimbulkan berbagai dampak negatif antara lain timbulnya penyakit. Salah satu penyakit yang sedang mewabah dan menjadi salah satu masalah utama pada budidaya ikan nila saat ini yaitu Streptococcosis yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus agalactiae.

Bakteri S. agalactiae dapat menyebabkan kematian yang tinggi dan menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar dalam budidaya ikan nila. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Evans (2006), bakteri S. agalactiae

menyebabkan 90% kematian ikan 6 hari setelah injeksi. Infeksi S.agalactiae bersifat septicemia dan koloninya menyebar di beberapa organ dalam seperti pada otak, mata dan ginjal (Sheehan 2009). Menurut Conroy (2009), S. agalactiae menginfeksi dan lebih virulen pada kondisi lingkungan dengan suhu 24 oC - 29 o

Kontrol dan penanggulangan terhadap penyakit secara konvensional sering dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia seperti obat-obatan antimikroba dan desinfektan (Gomez et al. 2000). Penggunaan antibiotik yang tidak terkendali untuk pengobatan penyakit, dapat menyebabkan gangguan pada keseimbangan dinamika alami mikroorganisme dalam pemeliharaan ikan. Oleh karena itu, penggunaan bahan-bahan kimia tersebut saat ini dibatasi dan tidak dianjurkan. Berdasarkan kelemahan tersebut, maka perlu dicari alternatif untuk menanggulangi permasalahan penyakit tanpa menggunakan antibiotik dan bahan kimia lainnya (Weston 1996; Esiobu et al. 2002).

C. Mengingat suhu di Indonesia umumnya berada pada kisaran tersebut, maka penyebaran serangan


(15)

Pada kondisi ini, pendekatan yang dapat dilakukan yaitu pengendalian

S. agalactiae pada ikan nila dengan probiotik. Probiotik tidak terakumulasi dalam tubuh ikan dan tidak menyebabkan resistensi organisme patogen seperti pada antibiotik (Guo et al. 2009). Bakteri probiotik mampu melakukan pengontrolan kondisi pemeliharaan secara biologis tanpa menimbulkan dampak buruk terhadap sistem keseimbangan ekologis mikroba baik dalam pencernaan maupun dalam sistem pemeliharaan ikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Haroun et al. (2006), bakteri probiotik telah terbukti berhasil dalam menstimulasi sistem imun dan menurunkan bakteri patogen pada budidaya ikan nila. Hal ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang et al. (2008), pemberian bakteri Enteroccus faecium sebagai probiotik dapat meningkatkan pertumbuhan dan respon imun ikan nila. Namun demikian, perlu diketahui bakteri probiotik yang tepat dan potensial untuk menekan virulensi S. agalactiae pada ikan nila.

Pemberian probiotik yang tepat dan potensial sebagai hasil dari seleksi terkadang juga memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan konsep probiotik di antaranya adalah kompetisi nutrien, kemampuan hidup dan kolonisasi bakteri probiotik dalam saluran pencernaan yang secara alami sudah mengandung ratusan spesies bakteri lainya. Jika bakteri probiotik tidak mendapatkan jumlah nutrien yang cukup untuk kehidupannya, ditambah terjadinya perubahan lingkungan yang ekstrim dalam saluran pencernaan, maka bakteri probiotik akan cepat mengalami wash out

(pencucian) (Lisal 2005).

Pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan dari aplikasi probiotik ini yaitu dengan memberikan nutrien yang dibutuhkan oleh bakteri probiotik untuk mempertahankan kondisi hidupnya dalam saluran pencernaan. Nutrien atau bahan yang dibutuhkan oleh bakteri probiotik ini dikenal dengan prebiotik (Roberfroid 2000). Pencampuran prebiotik dengan bakteri probiotik ini disebut sinbiotik. Lisal (2005), menyatakan bahwa sinbiotik adalah gabungan antara probiotik dan prebiotik dengan komposisi seimbang dalam mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan bakteri yang menguntungkan dalam saluran pencernaan mahluk hidup. Tersedianya nutrien atau substrat spesifik yang dibutuhkan bakteri probiotik diharapkan akan mampu meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik. Meningkatnya daya tahan hidup dan aktivitas bakteri probiotik diduga akan


(16)

meningkatkan fungsi probiotik dalam saluran pencernaan yang akhirnya dapat menstimulasi sistem imun ikan. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai peranan probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam meningkatkan sistem imun ikan terhadap serangan bakteri patogen S. agalactiae. 1.2. Rumusan Masalah

Penggunaan antibiotik dan bahan kimia dalam upaya untuk mengatasi penyakit pada ikan budidaya perlu dihindari dan dikurangi mengingat penggunaan bahan-bahan tersebut memiliki dampak yang merugikan. Beberapa dampak yang diakibatkan dari penggunaan bahan tersebut, diantaranya dapat memicu terjadinya resistensi yaitu meningkatnya kekebalan mikroorganisme patogen terhadap bahan kimia tersebut dan adanya residu yang dapat membahayakan konsumen. Oleh karena itu perlu dikaji studi tentang penggunaan probiotik, prebiotik dan sinbiotik untuk pengendalian penyakit. Penggunaan probiotik, prebiotik dan sinbiotik menguntungkan bagi organisme budidaya, diantaranya dapat meningkatkan sistem imun ikan, membantu proses pencernaan dan tidak bersifat patogen. Mengingat berbagai keuntungan tersebut maka perlu dikembangkan lebih lanjut.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik melalui pakan dalam menstimulasi sistem imun ikan nila (Oreochromis niloticus) untuk pengendalian infeksi S. agalactiae. Manfaat dari penelitian ini adalah dengan pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik diharapkan dapat menggantikan penggunaan bahan-bahan antibiotik dalam penanggulangan penyakit bakterial.

1.4. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pemberian probiotik,

prebiotik dan sinbiotik dalam pakan dapat meningkatkan sistem imun ikan nila (O. niloticus) untuk mengendalikan infeksi bakteri patogen yaitu S. agalactiae.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Streptococcus agalactiae

Streptococcus agalactiae dapat menyebabkan neonatal meningitis pada manusia dan mastitis pada beberapa hewan terestrial misalnya pada sapi (Lindahl et al. 2005). S. agalactiae tergolong ke dalam grup GBS (Group B Streptococcal) yang dapat menyebabkan kematian yang besar pada ikan budidaya dan ikan di perairan umum, di antaranya ikan Striped bass (Morone saxatilis) (Baya

et al. 1990) dan ikan nila (Oreochromis niloticus). Streptococcus agalactiae biasanya menyerang bagian otak, mata dan organ lain yang umumnya mengandung cairan (Evans etal. 2002).

Berdasarkan hasil pengujian oleh Evans et al. (2002), S. agalactiae termasuk dalam bakteri gram positif, oksidase negatif, katalase negatif, isolat menunjukkan hasil positif pada reaksi leucine aminopeptidase, arginin deaminase dan trehalose.

Negatif pada tes reaksi β-galactosidase, β-glucuronidase, N-acetyl- β -glucosaminidase, β-mannosidase, glycyl-tryptophane arylamidase, sorbitol, L-arabinosa , D-arabitol, glycogen , melezitos dan hidrolisis amilum.

Serangan penyakit yang disebabkan oleh S. agalactiae dapat memberikan efek kronis dan akut tergantung pada tingkat serangan. Serangan pada tingkat kronis ditandai dengan adanya luka di permukaan tubuh, bercak-bercak merah pada sirip, berenang lambat dan nafsu makan ikan menjadi menurun. Sedangkan serangan akut menyebabkan kematian yang diduga karena ikan kehilangan cairan pada saluran pencernaan bagian belakang. Sebelum mengalami kematian, ikan menunjukkan gejala klinis berenang lemah dan berada di dasar akuarium, respon terhadap pakan lemah, berenang whirling (menggelepar), tubuh membentuk huruf ”C”, perubahan pada warna tubuh, dan bukaan operkulum lebih cepat ( Evans 2006).

Karakteristik bakteri S. agalactiae yang berasal dari beberapa hewan mamalia darat dan ikan disajikan dalam Tabel 1 di bawah ini :


(18)

Tabel 1. Karakteristik S. agalactiae yang menyerang sapi, bovine dan ikan Pengujian Collins et.al.

(1995)(1)

Cowan & Steel’s (1974)(2)

Evans et.al.

(2002)(3)

SNI (4)

Pewarnaan gram + + + +

Hemolisis Β α/β Β Β

Aesculin - - -

Hippurate + + +

CAMP test + Non Non Non

Bile salt agar 40% Non + + +

Arginin hidrolisis + + + +

NaCl 6.5% - Non + +

Motilitas - - - -

Katalase - - - -

Oksidasi - - - -

Sorbitol - - - Non

Sucrose + Non Non Non

Trehalose + + + Non

β-galactosidase Non Non - Non

β-glucuronidase Non Non - Non

N-acetyl-β -glucosaminidase

Non Non - Non

β-mannosidase Non Non - Non

Glycyl-tryptophane arylamidase

Non Non - Non

L-arabinosa Non Non - Non

D-arabitol Non Non - Non

Glycogen Non Non - Non

Mannitol - - - -

Maltose + Non - Non

Starch Non Non - Non

Leucine Var Var + Non

Aminopeptidase + + + Non

Keterangan : SNI : Standar Nasional Indonesia; (1) & (2) : pada hewan sapi, pada bovine; (3) & (4) pada ikan; non : tidak dilakukan; Var : bervariasi

2.2. Probiotik

Probiotik adalah makanan tambahan (suplemen) berupa sel-sel mikroba hidup, yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi hewan yang mengkonsumsinya melalui penyeimbangan mikroflora intestinalnya. Probiotik dapat pula didefinisikan sebagai kultur hidup satu macam mikroba atau lebih yang memberikan pengaruh menguntungkan bagi hewan atau inang seperti peningkatan sistem imun, memperbaiki kualitas lingkungan media hidup inang dan memperbaiki nilai nutrisi


(19)

pakan (Verschuere et al. 2000). Bakteri probiotik sebagai suplemen pakan memiliki pengaruh menguntungkan untuk memperbaiki keseimbangan mikroflora pada saluran pencernaan larva. Menurut Fuller (1992), probiotik harus memiliki karakter-karakter sebagai berikut: (1) menguntungkan inangnya, (2) mampu hidup (tidak harus tumbuh) di intestinum, (3) dapat disiapkan sebagai produk sel hidup pada skala industri, (4) dapat terjaga stabilitas dan sintasan untuk waktu yang lama pada penyimpanan maupun di lapangan.

Secara dasar ada tiga model kerja probiotik, yaitu (a) menekan populasi mikroba melalui kompetisi dengan memproduksi senyawa-senyawa antimikrobia atau melalui kompetisi nutrisi dan tempat pelekatan di dinding usus, (b) mengubah keseimbangan metabolisme mikrobial dengan meningkatkan dan menurunkan aktivitas enzim dan (c) menstimulasi immunitas dengan meningkatkan antibodi dan aktivitas makrofag (Irianto, 2003). Menurut Verschuere et al. (2000), mekanisme kerja bakteri probiotik dapat dibagi menjadi beberapa cara yaitu: (1) produksi senyawa inhibitor; (2) kompetisi terhadap senyawa kimia atau sumber energi (nutrisi); kompetisi terhadap tempat pelekatan; (4) peningkatan respon imun (kekebalan); (5) perbaikan kualitas air dan (6) interaksi dengan fitoplankton.

Probiotik yang bekerja di dalam tubuh inang harus mampu bertahan hidup dalam mukosa usus inang dan berkembang biak dengan cepat agar tidak terbawa keluar bersama sisa metabolisme inang. Meskipun secara in vitro probiotik terbukti mampu menekan atau menghambat pertumbuhan bakteri patogen, namun apabila probiotik tersebut tidak dapat bertahan hidup dalam mukosa usus kemungkinan besar probiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri patogen tidak ditemukan pada uji

in vivo (Vine et al 2004).

Gomez dan Roque (1998) menyatakan bahwa metode seleksi bakteri probiotik terdiri atas beberapa tahapan, yaitu: (1) pengumpulan informasi dasar yang didapat dari studi pustaka maupun lapangan; (2) pengumpulan probiotik potensial meliputi kelangsungan hidup bakteri probiotik dan kemampuan bersaing dengan galur patogen; (3) evaluasi kemampuan probiotik potensial berkompetisi dengan galur patogen meliputi kemampuan hidup probiotik pada inang atau lingkungannya, kemampuan melekat pada permukaan tubuh inang, kemampuan membentuk koloni dan mencegah perkembangan bakteri patogen baik dengan memproduksi senyawa


(20)

inhibitor maupun berkompetisi tempat pelekatan dan nutrien; (4) pendugaan patogenitas probiotik potensial yang meliputi probiotik tidak boleh patogen pada inang; (5) evaluasi pengaruh probiotik potensial pada larva dengan hasil terbaik yang dilihat dari nilai kelangsungan hidup tertinggi, penambahan bobot terbesar, peningkatan daya tahan tubuh inang terhadap stress dan serangan patogen terendah; (6) analisa ekonomi biaya laba.

Evaluasi kemampuan probiotik potensial berkompetisi dengan galur patogen dapat dilakukan melalui tes antagonis secara in vitro. Uji in vitro dapat berupa uji tantang antara bakteri kandidat probiotik dengan bakteri patogen dalam media cair maupun padat. Pada media padat dapat berupa disk diffusion method untuk melihat kemampuan kandidat probiotik dalam menghasilkan senyawa antibakterial. Zona bening yang dihasilkan menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu mensekresikan suatu senyawa antimikroba (Chythanya et al. 2002 dalamSasanti 2008).

2.3. Prebiotik

Prebiotik adalah bahan makanan yang tidak dapat dicerna di mana makanan ini mempunyai pengaruh baik terhadap inangnya dengan memicu aktivitas metabolik dan pertumbuhan yang selektif satu atau lebih bakteri yang terdapat dalam usus (Gibson dan Fuller 2000; Roberfroid 2000; Schrezenmeir dan Vrese 2001). Definisi ini didukung oleh pendapat Lisal (2005) yang menyatakan bahwa prebiotik adalah bahan yang tidak dihidrolisa di saluran cerna dan merupakan substrat selektif bagi bakteri komensal dalam kolon yang dapat menstimulasi aktifitas bakteri. Prebiotik umumnya adalah senyawa karbohidrat yang tidak dapat dicerna serta umumnya berbentuk oligosakarida (oligofruktosa) dan serat pangan (inulin) (Reddy 1999).

Bahan makanan dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik jika memiliki syarat yaitu : (1) tidak dihidrolisa dan tidak diserap di saluran cerna bagian atas sehingga dapat mencapai usus besar secara utuh, (2) merupakan substrat yang selektif untuk satu atau sejumlah mikroflora komensal yang menguntungkan dalam kolon sehingga memicu pertumbuhan bakteri baik yang aktif melakukan metabolisme, (3) sanggup untuk mengubah keseimbangan flora usus besar ke arah komposisi yang menguntungkan kesehatan, (4) merangsang timbulnya efek-efek luminal (lokal) dan sistemik yang menguntungkan hospes (Lisal 2005).


(21)

Roberfroid (2000) menyatakan bahwa prebiotik sangat erat kaitannya dengan probiotik, karena target dari prebiotik adalah memacu pertumbuhan selektif dari bakteri probiotik. Prebiotik berperan untuk meregulasi dan memodulasi mikroekosistem populasi bakteri probiotik. Mengkonsumsi bahan prebiotik secara signifikan dapat memodulasi komposisi mikroflora kolon yang menyebabkan bakteri yang menguntungkan lebih dominan di dalam kolon dan banyak ditemukan di dalam feses (Gibson dan Roberfroid 1995). Prebiotik dalam usus besar akan difermentasi oleh bakteri probiotik dan akan menghasilkan short chain fatty acid (SCFA) dalam bentuk asam asetat, propionat, butirat, serta karbondioksida dan hidrogen (Cummings et al. 2001).

2.3.1 Oligosakarida

Oligosakarida merupakan karbohidrat sederhana yang berupa polisakarida rantai pendek dengan 3 hingga 20 unit sakarida (Manning et al. 2004). Sumber oligosakarida banyak terdapat pada umbi-umbian, biji-bijian dan kacang-kacangan.

Oligosakarida tidak dapat dicerna karena memiliki ikatan glikosidik yaitu β (1→4), α (1→4), β (1→6), α (1→4) (Wilbraham dan Matta 1992, diacu dalam Marlis 2008).

Mukosa mamalia tidak mempunyai enzim pencerna yang dapat memecah

ikatan-ikatan glikosidik oligosakarida tersebut yaitu enzim α-galaktosidase dan

β-fruktofuranosidase. Bakteri baik seperti Lactobacillus mempunyai enzim

α-galaktosidase yang mampu memutus ikatan alfa-galaktosa sehingga oligosakarida seperti Galaktooligosakrida (GOS) dapat dicerna oleh Lactobacillus. Sedangkan

Bifidobacteria memiliki enzim β-fruktofuranosidase yang dapat memutus ikatan beta-D-fruktofuranosida sehingga oligosakarida seperti Fruktooligosakarida (FOS) dapat dicerna oleh Bifidobacteria. Oligosakarida yang terdapat dalam ubi jalar yaitu rafinosa, oligofruktosa dan maltotriosa. Pada manusia, rafinosa dapat memberikan dampak yang baik bagi kesehatan diantaranya adalah menghasilkan energi metabolisme yang lebih rendah dari sukrosa, tidak memberikan efek sekresi insulin dari pankreas dan meningkatkan mikroflora usus ( Rini 2008; Marlis 2008).

Menurut Oku (1994), oligosakarida yang tidak dapat dicerna dan diserap dalam usus halus akan mencapai usus besar dan akan didegradasi atau difermentasi oleh bakteri usus. Proses fermentasi oligosakarida oleh bakteri usus akan memberikan efek positif diantaranya menghasilkan energi metabolisme dan asam


(22)

lemak rantai pendek (terutama asam asetat dan asam laktat dengan perbandingan 3:2) yang akan menyebabkan komposisi mikroflora usus berubah serta dihasilkannya zat yang bersifat antibiotik. Hampir semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat asam sebagai hasil fermentasi karbohidrat oligosakarida. Nilai pH akan turun mencapai pH asam sehingga persentase bakteri menguntungkan meningkat sedangkan persentase bakeri merugikan menurun (Tomomatsu 1994).

Oligosakarida dapat mengurangi metabolik toksik dan enzim-enzim yang merugikan di dalam pencernaan. Konsumsi oligosakarida dapat mencegah penyakit kanker dan meningkatkan kesehatan melalui beberapa mekanisme secara fisiologis. Tomomatsu (1994) menyatakan bahwa konsumsi 3-6 gram oligosakarida per hari akan mengurangi senyawa toksik yang terdapat dalam usus sebanyak 44,6% dan enzim-enzim yang merugikan sebanyak 40,9% selama tiga minggu pemberian. Lebih lanjut Tomomatsu (1994) menyatakan bahwa suplementasi oligosakarida sebanyak 4 gram per hari selama 25 hari akan mengurangi resiko terserang penyakit kanker.

2.4. Sinbiotik

Sinbiotik adalah gabungan antara probiotik dan prebiotik, yang memberikan pengaruh menguntungkan bagi inang, dengan cara memperbaiki survival dan implantasi suplemen mikroba hidup dalam saluran cerna, oleh stimulasi pertumbuhan secara selektif dan dengan aktivasi metabolisme dari satu atau sejumlah terbatas bakteri yang mempunyai efek promotif bagi kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang. Telah dibuktikan bahwa gabungan kedua bahan (probiotik dan prebiotik) dalam satu produk tunggal maka kegunaan masing-masing atau kedua komponen tersebut semakin meningkat.

Berdasarkan hasil penelitian Li et al. (2009), penambahan probiotik Bacillus

OJ (PB) dengan konsentrasi 108 CFU/g pakan dan 0.2% isomaltooligosaccharides (IMO) mampu meningkatkan resistensi udang terhadap penyakit dengan meningkatkan respon imun udang dan menyeimbangkan mikroflora usus. Gabungan inulin (FOS) dengan Bifidobakteri logum mampu menurunkan resiko kelainan pre-neoplastik kolon lebih banyak daripada hanya dengan pemberian probiotik dan prebiotik saja pada tikus percobaan. Demikian juga penambahan pati jagung yang kaya amilose (RS2) ke dalam satu preparat probiotik akan mempertahankan densitas


(23)

yang lebih tinggi dari mikroorganisme probiotik yang hidup, bila dibandingkan dengan tanpa pemberian amilose (RS2) (Lisal 2005).

Konsep sinbiotik belum banyak diaplikasikan pada kegiatan akuakultur. Sampai saat ini belum ada laporan penelitian mengenai aplikasi sinbiotik untuk meningkatkan sistem imun ikan dalam pengendalian terhadap bakteri patogen. Berhubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini perlu dilakukan.

2.5. Ikan Nila

Ikan nila termasuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata, sub filum

Vertebrata, kelas Pisces, sub kelas Acanthopterigii, ordo Percomorphi, sub ordo

Percaidae, famili Cichlidae, genus Oreochromis, spesies Oreochromis niloticus. Pada awalnya ikan nila bernama Tilapia nilotica, kemudian diganti dengan

Sarotherodon niloticus dan sekarang dikenal dengan Oreochromis niloticus. Ikan nila berasal dari sungai Nil di Uganda yang telah bermigrasi ke selatan melewati danau Raft dan Tanganyika. Ikan nila pertama kali diintroduksikan ke Indonesia sekitar Juli 1969 dari Taiwan dan disebarkan ke setiap provinsi pada tahun 1971. Nila merupakan ikan sungai atau danau yang sangat cocok dipelihara diperairan tenang, kolam maupun reservoir. Di California, spesies Tilapia zillii yang merupakan herbivora, dipelihara pada saluran irigasi sebagai pengontrol tumbuh-tumbuhan air. Ikan nila juga digunakan untuk membersihkan kotoran pada danau dengan memakan tanaman airnya (Anonimous 1991).

Ikan nila memiliki bentuk badan pipih kesamping memanjang dengan letak mulut terminal. Pada sirip punggung terdapat garis-garis miring. Mata ikan nila kelihatan menonjol dan relatif besar dengan bagian tepi mata berwarna putih. Linea lateralis (gurat sisi ditengah tubuh) terputus dan dilanjutkan dengan garis yang terletak lebih bawah. Ikan nila hidup di perairan tawar, seperti sungai, danau, waduk, dan rawa, tetapi karena toleransinya yang luas terhadap salinitas, ikan ini dapat pula hidup dan berkembang biak di perairan payau. Nilai pH air tempat hidup ikan nila berkisar antara 6 - 8,5 akan tetapi pertumbuhan optimal ikan nila terjadi pada pH 7-8. Ikan nila dapat hidup di kolam yang dalam dan luas maupun di kolam yang sempit dan dangkal. Ikan nila juga dapat hidup di sungai yang tidak terlalu deras alirannya atau di perairan tergenang sekalipun. Suhu optimal untuk ikan nila yaitu


(24)

antara 25-30 o

Makanan ikan nila secara alami berupa plankton, perifiton dan tumbuh-tumbuhan lunak seperti hydrilla, ganggang sutera dan klekap. Ikan nila tergolong ke dalam ikan omnivora yang lebih cenderung herbivora. Ikan nila juga memakan jenis-jenis makanan tambahan yang biasa diberikan seperti dedak halus, ampas kelapa dan sebagainya. Pencernaan ikan nila memiliki kemampuan untuk menghancurkan ikatan hidrogen pada unit selulosa pakan nabati dengan enzim dalam pencernaannya, sehingga dinding sel rumput mudah pecah dan dapat dihidrolisis cairan selnya. Akan tetapi kuantitas dan kualitas enzim ini jumlahnya masih terbatas. Untuk budidaya, ikan nila tumbuh lebih cepat hanya dengan pakan yang mengandung protein sebanyak 20-25%. Dari hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan yang dilakukan secara terpadu (integrated) terhadap pemberian pakan ikan nila, ransum harian yang diberikan kepada benih ikan nila sebanyak 3% dari berat biomassa ikan/hari. Pakan yang diberikan berupa pelet yang berkadar protein 25-26% dan kandungan lemak sebesar 6-8% pada pemeliharaan di keramba Jaring Apung (Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6495. 1-2000). Menurut Webster dan Lim (2002), kadar protein berkisar antara 28-40% mampu menunjang pertumbuhan optimal ikan nila yang dipelihara di kolam. Nilai ini akan menjadi lebih rendah dengan mempertimbangkan kehadiran pakan alami yang dapat memberikan kontribusi protein dalam jumlah tertentu.

C, oleh karena itu ikan nila cocok dipelihara di daratan rendah dan dataran agak tinggi (500 m di atas permukaan laut) (Robert 2000).

2.6. Imunologi Ikan

Pencegahan terhadap serangan penyakit salah satunya dapat dilakukan dengan peningkatan sistem imun pada ikan. Salah satu cara untuk meningkatkan sistem imun ikan yaitu dengan pemberian bakteri probiotik. Respon imun pada ikan terdiri dari respon imun nonspesifik dan spesifik. Sistem imun nonspesifik jumlahnya dapat meningkat oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada infeksi penyakit. Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respons langsung. Sistem imun nonspesifik resistensinya tidak mengalami perubahan untuk setiap infeksi yang menyerang. Sistem pertahanan spesifik dan nonspesifik pada


(25)

ikan terdiri dari pertahanan selular dan humoral. Berbagai bahan dalam sirkulasi seperti komplemen, interferon, CRP dan kolektin berperan dalam pertahanan nonspesifik humoral. Sedangkan fagosit, makrofag dan sel NK berperan dalam sistem imun nonspesifik selular (Baratawidjaja 2006).

Sistem imun spesifik pada ikan walaupun tidak sempurna seperti pada vertebrata tetapi memiliki banyak kesamaan diantaranya mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh akan segera dikenali oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama, bila terpapar ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Mekanisme sistem imun hanya ditujukan pada organisme tertentu dan sangat efektif untuk mengatasi serangan dari mikroba yang pernah memapar sebelumnya. Respon imunitas spesifik lambat tidak siap sampai ada paparan sebelumnya. Berbagai bahan atau sel penting yang berperan yaitu limfosit B atau sel B merupakan sistem imun spesifik humoral. Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sedangkan beberapa molekul yang penting antibodi, sitokin, molekul adhesin (Baratawidjaja 2006).

Menurut Anderson (1974), mekanisme kekebalan non-spesifik merupakan kekebalan alamiah (innate immunity) pertahanan inang yang responnya tidak tergantung kontak antigen tertentu, respon kekebalan spesifik (humoral mediated immunity dan cellular mediated immunity) tergantung kontak inang dengan antigen tertentu sebelumnya (= adaptive immunity). Mekanisme sistem imun nonspesifik tidak ditujukan pada organisme tertentu dan tidak menunjukkan spesifisitas terhadap banyak patogen potensial. Respon imunitas nonspesifik cepat, selalu siap dan tidak perlu ada paparan sebelumnya. Sistem pertahanan tubuh non spesifik terdiri dari kulit dan selaput mukosa. Sistem pertahanan tubuh spesifik, kekebalan khusus yang membuat limfosit peka untuk segera menyerang patogen tertentu.

Menurut Baratawidjaja (2006), pada imunitas spesifik humoral, sel B bila dirangsang oleh benda asing akan mengalami proliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya. Sel-B juga berperan dalam produksi Ig melalui rangsangan


(26)

antigen tertentu pada limpa dan hati. Menurut Anderson (1974), pada imunitas spesifik selular, sel T akan mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel Tc untuk memusnahkan sel terinfeksi. Sistem kekebalan spesifik pada ikan meliputi sistem reticulo endothelial, limfosit, plasmosit, dan fraksi serum protein tertentu. Sistem reticulo endothelial ikan terdiri dari bagian depan ginjal, timus, limpa, dan hati (pada awal perkembangan).

Respon imunitas dibentuk oleh jaringan limfoid pada ikan, jaringan limfoid-nya melimfoid-nyatu dengan jaringan myeloid, sehingga dikenal sebagai jaringan limfomieloid. Pada ikan teleost jaringan limfomieloid adalah limpa, timus dan ginjal depan. Produk jaringan limfomieloid adalah sel-sel darah dan respon imunitas baik seluler maupun humoral. Mekanisme pertahanan tubuh yang sinergis antara pertahanan humoral dan seluler dimungkinkan oleh adanya interleukin, interferon dan sitokin. Anderson (1974) mengemukakan mengenai hubungan interleukin, interferon dan sitokin tersebut berperan sebagai komunikator dan amplikasi dalam mekanisme pertahanan humoral dan seluler ikan.


(27)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dari bulan Januari - Maret 2011.

3.2. Pemilihan Ikan Uji dan Bakteri Probiotik

Ikan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah benih ikan nila BEST dengan berat 15-20 g. Ikan nila dipelihara dalam akuarium berukuran 60x30x40 cm3

3.3. Perlakuan dan Rancangan Penelitian

dengan kepadatan 10 ekor/akuarium. Sebelum digunakan dalam perlakuan, benih ikan diadaptasikan terlebih dahulu selama 7 hari. Bakteri probiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri NP5, yaitu dari genus Bacillus. Uji-uji yang telah dilakukan terhadap bakteri probiotik ini berupa uji ketahanan terhadap pH asam, uji penempelan dan uji patogenisitas (Putra 2010). Prebiotik yang digunakan adalah ekstraksi oligosakarida ubi jalar varietas sukuh.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 kali pengulangan. Adapun perlakuannya adalah sebagai berikut :

P0 (+) : Pemberian pakan tanpa penambahan probiotik, prebiotik, sinbiotik dan diuji tantang dengan S. agalactiae

P0 (-) : Pemberian pakan tanpa penambahan probiotik, prebiotik, sinbiotik dan tanpa uji tantang dengan S. agalactiae

P1 : Pemberian pakan dengan penambahan probiotik sebesar 1 %

( 1g/100g pakan : Putra 2010) dan diuji tantang dengan S. agalactiae

P2 : Pemberian pakan dengan penambahan prebiotik sebesar 2 %

(2g/100g pakan : Mahious et al.2006) dan diuji tantang dengan S. agalactiae

P3 : Pemberian pakan dengan penambahan sinbiotik


(28)

3.4. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahapan (Gambar 1) yang akan dilaksanakan sebagai berikut :

Tahap 1. Uji in vitro bakteri kandidat Probiotik Aktivitas antagonistik

Isolat bakteri NP5, diuji daya hambatnya terhadap S. agalactiae dengan metode Kirby-Bauer (Lay 1994). Isolat S. agalactiae dan bakteri kandidat probiotik (NP5) yang telah berumur 24 jam diencerkan hingga memiliki tingkat kekeruhan

yang sama dengan konsentrasi biakan suspensi sekitar 106 CFU/ml. Selanjutnya

S. agalactiae disebar pada media Triptic Soy Agar (TSA) sebanyak 100 µl. Kertas cakram (Whatman antibiotic assay paper) berdiameter 6 mm ditetesi suspensi bakteri kandidat probiotik sebanyak 10 µl, kemudian diletakkan diatas media TSA yang telah diberi bakteri S. agalactiae. Sebagai kontrol digunakan larutan fisiologis. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 29 o

Peningkatan virulensi bakteri S. agalactiae

C selama 24 jam. Setelah itu diukur zona bening yang terbentuk menggunakan jangka sorong pada 4 posisi dari setiap kertas cakram, kemudian dirata-ratakan.

Sebelum bakteri stok digunakan untuk uji tantang, dilakukan postulat koch sebanyak 2 kali untuk meningkatkan virulensi bakteri. Stok bakteri ditumbuhkan pada media Brain Heart Infusion Broth (BHIB) 10 ml selama 24-48 jam. Ikan nila sehat sebanyak 10 ekor disuntik bakteri S. agalactiae dengan konsentrasi 0.1 ml/ekor. Sebagai kontrol ikan nila disuntik dengan larutan Phosphate Buffer Saline

(PBS) dengan dosis yang sama. Ikan yang telah disuntik diamati selama 7 hari. Ikan yang menunjukkan gejala klinis S. agalactiae seperti, warna tubuh menjadi gelap, garis-garis vertikal menjadi lebih gelap, mata menonjol, clear operculum (operculum mengalami lisis), berenang whirling dan juga kematian, diambil dan diisolasi. Bakteri diisolasi dari bagian organ target yaitu otak, mata dan ginjal ikan nila dalam

Brain Heart Infusion Agar (BHIA) dan media spesifik Kf Streptococcus untuk memperoleh isolat bakteri S. agalactiae yang virulen. Bakteri hasil postulat koch inilah yang digunakan untuk pengujian selanjutnya.


(29)

Prosedur Penelitian

Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan penelitian.

Peningkatan virulensi bakteri S. agalactiae

Probiotik (NP5)

Tahap 1. Pengujian secara In vitro

Pembuatan tepung ubi jalar

Ekstraksi Oligosakarida

Prebiotik

Tahap 2. Ekstraksi Oligosakarida

Tahap 3. Pengujian secara in vivo Sinbiotik

Ikan nila dipelihara selama 14 hari dan diberi pakan 3x sehari dengan pemberian probiotik,

prebiotik dan sinbiotik dosis perlakuan

Pengukuran parameter gambaran darah pada hari ke-0, 7, 15 serta hari ke-7

dan hari ke-14 setelah uji tantang dengan bakteri S.agalactiae

Pengukuran jumlah koloni bakteri di usus pada hari ke-15 dan histopatologi pada organ

otak, mata, hati dan ginjal pada hari ke- 7 dan 14 setelah uji tantang

Uji aktivitas antagonistik bakteri NP5 S.agalactiae secara in Vitro


(30)

Tahap 2. Ekstraksi Oligosakarida Pembuatan Tepung Ubi Jalar

Ubi jalar segar dibersihkan dan dikupas, kemudian diiris menggunakan pisau dengan ketebalan ±1 mm dan dikeringkan dalam oven suhu 550C selama 5 jam atau hingga irisan ubi jalar dapat dipatahkan dengan tangan. Irisan ubi jalar kemudian digiling dengan

willey mill dan diayak 60 mesh. Tahapan dalam pembuatan tepung segar ubi jalar dapat dilihat pada diagram berikut :

Gambar 2. Tahapan pembuatan tepung ubi jalar. Ekstraksi dengan Etanol 70% (Muchtadi 1989)

Sebanyak 500 gram tepung ubi jalar dicampur air dengan perbandingan 1:1 (w/v) dan dikukus pada suhu 1000C selama 30 menit. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 550C selama 18 jam. Selanjutnya, digiling dan disaring dengan ayakan hingga tepung kukus ubi jalar dapat terkumpul. Pada proses ekstraksi, sebanyak 100 gram tepung kukus ubi jalar disuspensikan ke dalam 1 L etanol 70% dan diaduk selama 15 jam menggunakan

magnetic stirer pada suhu ruang. Setelah itu dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring mesh 40 dan residu dicuci dengan menggunakan etanol 70%. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator vakum pada suhu 400C. Hasil pemekatan di sentrifus

Persiapan ubi jalar

Pengupasan dan pengirisan

Pengeringan pada 550C, 5 jam

Penggilingan dengan willey mill

Pengayakan dengan 60 mesh


(31)

pada 5000 rpm selama 10 menit untuk mengendapkan kotoran, sehingga ekstrak mudah disterilisasi dengan kertas saring.

Gambar 3. Ekstraksi Oligosakarida Ubi Jalar.

Total Padatan Terlarut (TPT)

Total padatan terlarut diukur berdasarkan metode Apriyantono (1989). Pengukuran TPT bertujuan untuk melihat kepekatan padatan terlarut prebiotik yang berguna pada analisa oligosakarida pada tahap pengujian secara in vitro dan in vivo. Cawan porselin dikeringkan selama 2 jam dalam oven bersuhu 1000C, kemudian didinginkan dalam desikator hingga diperoleh berat tetap. Cawan tersebut kemudian ditimbang (a gram). Sebanyak 1 ml oligosakarida yang diekstraksi dari ubi jalar ditempatkan dalam cawan porselen tersebut dan ditimbang (b gram). Kemudian dimasukan ke dalam oven selama 24 jam dengan suhu 1000C. Setelah kering, cawan didinginkan dalam desikator selama 10 menit atau hingga

Tepung kukus ubi jalar

Ekstraksi dengan etanol 70%

Pengadukan selama 15 jam

Penyaringan

Pemekatan dengan evaporator vakum

Sentrifus

Penyaringan

Ekstrak oligosakarida Tepung ubi jalar, dikukus pada


(32)

berat cawan stabil, kemudian cawan tersebut ditimbang (c gram). Total padatan terlarut dihitung dari hasil perbandingan berat ekstrak setelah dikeringkan dengan berat ekstrak sebelum dikeringkan.

TPT= a b

a c

− −

x 100%

Keterangan : a = berat cawan sebelum diisi ekstrak oligosakarida b = berat cawan setelah diisi ekstrak oligosakarida

c = berat cawan setelah diisi ekstrak oligosakarida dan dioven 24 jam. Tahap 3. Pengujian secara In Vivo

Bakteri probiotik (NP5) dengan konsentrasi 106

Pakan yang digunakan untuk pemeliharaan adalah pakan komersil dengan kandungan protein 38%. Ikan nila diberi pakan 3 kali sehari yaitu pada pukul 07.30, 12.00 dan 16.30 secara at satiation. Pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan dilakukan satu kali pada pagi hari selama 14 hari masa pemeliharaan (Aly et al. 2008). Setelah diberikan ke ikan, pakan perlakuan disimpan pada suhu 4

CFU/ml ditambahkan sebanyak 1% (1g/100g pakan) (Putra 2010). Sedangkan dosis prebiotik yang diberikan pada perlakuan P2 dan P3 adalah 2% atau 2 g/100g pakan (Mahious et al. 2006) dengan TPT 5% (Marlis 2008). Probiotik, prebiotik dan sinbiotik dicampur atau ditambahkan ke dalam pakan dengan menambahkan kuning telur sebesar 2% sebagai perekat, lalu kemudian disemprotkan secara merata menggunakan spuit (Putra 2010).

o

C di dalam lemari pendingin sampai waktu pemberian pakan berikutnya. Pada hari ke-15 ikan nila diuji tantang dengan injeksi bakteri S. agalactiae (NK1) 0,1 ml/ekor pada konsentrasi 105 CFU/ml yang merupakan dosis LD50 (Taukhid 2009). Setelah injeksi S. agalactiae, ikan dipelihara selama 14 hari dan diberi pakan kontrol serta dilakukan pengamatan mengenai kematian ikan, nafsu makan dan gejala klinis. Untuk menjaga kualitas air pada wadah pemeliharaan maka dilakukan penyiponan setiap hari sebanyak 10 % dari total volume air tiap akuarium.


(33)

3.5. Pengukuran Parameter

Pengukuran parameter dalam penelitian meliputi gambaran darah, histopatologi, jumlah bakteri pada otak, mata dan ginjal, jumlah bakteri di usus, tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan berat mutlak.

3.5.1 Gambaran Darah

Pengukuran parameter gambaran darah dilakukan sebanyak 5 kali yaitu pada hari ke-0, 7, 14, kemudian pada hari ke-7 dan hari ke-14 setelah uji tantang. Adapun parameter gambaran darah yang diukur adalah sebagai berikut :

a.Total eritrosit

Jumlah eritrosit dihitung menurut Blaxhall dan Daisley (1973). Perhitungan eritrosit dengan cara : sampel darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna merah sampai skala 1, kemudian ditambahkan larutan Hayem’s sampai skala 101, digoyang atau diayunkan membentuk angka delapan selama 3-5 menit agar bercampur homogen. Tetesan pertama dibuang, berikutnya diteteskan ke dalam hemasitometer dan ditutup dengan kaca penutup, diamati dibawah mikroskop. Perhitungan dilakukan pada kotak kecil

hemasitometer, Σ eritrosit = Σ sel eritrosit terhitung x pengencer / volume

b. Kadar hemoglobin (Hb)

Pengukuran kadar hemoglobin dilakukan dengan metode Sahli dengan sahlinometer (Wedemeyer dan Yasutake 1977). Kadar Hb diukur dengan cara mengkonversikan darah ke dalam bentuk asam hematin setelah darah ditambah dengan HCl 0,1 N. Prosedur perhitungan dilakukan dengan cara : darah dihisap dengan pipet Sahli sampai skala 20 mm3 atau skala 0,2 ml, lalu ujung pipet dibersihkan dengan kertas tissue. Setelah itu darah dalam pipet dipindahkan dalam tabung Hb-meter yang telah diisi HCl 0,1 N sampai skala 10 (merah), aduk dan biarkan selama 3 sampai 5 menit. Tambahkan akuades sampai warna darah dan HCl tersebut seperti warna larutan standar yang ada dalam Hb meter tersebut. Kemudian skala dibaca yaitu dengan melihat permukaan cairan dan dicocokkan dengan skala tabung Sahli yang dilihat pada skala jalur gr % (kuning) yang berarti banyaknya hemoglobin dalam gram per 100 ml darah.


(34)

c. Kadar hematokrit (He)

Kadar hematokrit (He) diukur menurut Anderson dan Siwicki (1993). Kadar He ditentukan dengan cara: sampel darah dimasukkan dalam tabung mikrohematokrit sampai kira-kira 3/4 bagian tabung, kemudian ujungnya disumbat dengan crytoseal sedalam 1 mm. Setelah itu disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Setelah itu dilakukan pengukuran panjang darah yang mengendap (a) serta panjang total volume darah yang terdapat didalam tabung (b). Kadar He dinyatakan sebagai % volume padatan sel darah dan dihitung dengan cara = (a/b) x 100%.

d. Total leukosit

Jumlah leukosit dihitung menurut Blaxhall dan Daisley (1973) yaitu : sampel darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk berwarna putih berskala sampai 0,5 ml. Lalu ditambahkan larutan turk’s sampai skala 11. Selanjutnya pipet digoyang membentuk angka delapan selama 5 menit agar bercampur homogen. Tetesan pertama dibuang, tetesan berikutnya dimasukkan kedalam hemasitometer ditutup dengan kaca penutup, diamati di bawah mikroskop. Perhitungan dilakukan pada kotak kecil hemasitometer, Σ leukosit = Σ sel leukosit terhitung x volume / pengencer.

e. Diferensial leukosit

Diferensial leukosit ditentukan mengikuti Amlacher (1970). Perhitungan dilakukan dengan mengamati preparat ulas darah. Darah diteteskan diatas gelas objek steril yang sudah direndam dengan metanol, kemudian ujung gelas objek kedua ditempatkan di atas gelas objek yang telah ditetesi darah hingga membentuk sudut 30 o

f. Indeks fagositik

C. Gelas objek kedua digeser kearah belakang menyentuh tetesan darah hingga menyebar. Kemudian gelas objek kedua digeser kerarah berlawanan hingga terbentuk lapisan tipis darah, dibiarkan hingga kering. Preparat difiksasi dengan metanol absolute selama 5 menit kemudian diangkat dan dibiarkan kering udara. Pewarnaan preparat dilakukan selama 10 menit dalam larutan giemsa, lalu diangkat dan dibilas dengan air mengalir dan dibiarkan kering udara. Preparat ulas diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Kemudian dihitung jenis-jenis leukosit dan dihitung persentasenya.


(35)

Aktivitas fagositik ditentukan melalui indeks fagositik yang diukur mengikuti Anderson dan Siwicki (1993). Pengukuran dilakukan dengan cara : sebanyak 50 µl darah dimasukkan kedalam eppendorf, ditambahkan 50 µl suspensi sel Staphylococcus aureus

(107

3.5.2. Jumlah total bakteri S. agalactiae di organ target

) dalam PBS, dicampurkan homogen dan diinkubasi selama 20 menit. Sebanyak 5µl dibuat sediaan ulas, dikeringkan di udara, lalu difiksasi dengan metanol 5 menit, dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Sediaan diwarnai dengan pewarna Giemsa 15 menit, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan diatas kertas tisu. Aktivitas fagositik didasarkan pada persentase dari 100 sel fagositik yang menunjukkan proses fagositosis.

Kemampuan bakteri probiotik hasil seleksi dalam menghambat perkembangan bakteri S. agalactiae juga ditentukan berdasarkan jumlah bakteri S. agalactiae yang ada di otak, mata dan ginjal. Masing-masing organ diambil lalu ditimbang dan dimasukkan ke dalam larutan PBS dengan perbandingan 1 : 9. Kemudian organ digerus sampai homogen dengan larutan PBS. Setelah homogen dengan larutan PBS, diambil sebanyak 0,1 ml kemudian dilakukan pengenceran bertingkat lalu dituang dalam cawan petri dengan metode agar tuang dan disebar merata dengan batang penyebar pada media BHIA dengan 2 ulangan dan diinkubasi selama 24-48 jam. Jumlah koloni bakteri S. agalactiae dihitung berdasarkan rumus :

PM = AxB

K

Dimana:

PM = Populasi bakteri (cfu/ml) K = Jumlah koloni

A = Volume inokulasi dalam media pengencer (ml) B = Pada pengenceran keberapa koloni bakteri dihitung

Jika jumlah koloni bakteri S. agalactiae pada perlakuan lebih kecil dibandingkan kontrol maka perlakuan tersebut berhasil menghambat S. agalactiae.

3.5.4. Jumlah total bakteri di usus

Pengukuran jumlah bakteri di usus dilakukan pada hari ke-15 setelah perlakuan. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui efektivitas pemberian prebiotik dalam menstimulir pertumbuhan koloni bakteri dalam usus. Cara kerja untuk perhitungan koloni bakteri diusus


(36)

sama dengan perhitungan koloni bakteri pada organ target S. agalactiae, akan tetapi untuk organ usus digunakan media TSA.

3.5.3. Histopatologi

Pengukuran parameter histopatologi dilakukan pada organ otak, mata, ginjal dan hati ikan nila pada hari ke 7 dan 14 setelah uji tantang. Histopatologi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan organ akibat serangan bakteri patogen. Masing-masing perlakuan diambil 1 ekor ikan sebagai sampel. Hasil preparat histopatologi dibandingkan dengan kontrol. Jika terlihat tingkat kerusakan jaringan pada perlakuan lebih kecil dari kontrol berarti perlakuan memberikan pengaruh dalam menekan virulensi dari patogen.

Prosedur pembuatan preparat histopatologi melalui empat tahapan yaitu : fiksasi atau pengawetan jaringan, perlakuan (processing) jaringan, pemotongan jaringan dan pewarnaan jaringan.

a. Fiksasi

Tahap permulaan pembuatan sediaan histopatologis adalah memotong bagian tubuh ikan yang akan dijadikan sampel, lalu kemudian dimasukkan dalam larutan fiksatif Bouin’s. Larutan Bouin’s dibuat dari campuran asam pikrat 21 g/l, formalin 40% dan acetic acid glacial, dengan perbandingan 15 : 5 : 1. Pada penelitian ini organ tubuh ikan yang diambil adalah otak, ginjal, hati dan mata. Sampel dipotong dengan ukuran kira-kira 1x1 cm. Semua sampel organ direndam dalam larutan fiksatif Bouin’s selama 24 jam. Setelah difiksasi kemudian sampel direndam dalam larutan formalin 4% selama 24 jam dan alkohol 70% selama 24 jam, dengan tujuan agar sampel jaringan tidak mengeras.

b. Perlakuan (processing) jaringan

Potongan sampel organ diberi perlakuan berupa dehidrasi (pengambilan air) dan

clearing (penjernihan), kemudian dilakukan impregnasi (penyusunan parafin) untuk kemudian jaringan siap dibuat blok (melalui proses embedding) (Lampiran 1). Proses ini bertujuan untuk membuat sediaan ada dalam blok paraffin yang merupakan penunjang yang sangat diperlukan dalam proses pemotongan. Mula-mula paraffin cair dituang kedalam wadah cetakan sebagai dasar pembuatan blok. Sediaan diambil dengan pinset dan diletakkan diatas dasar blok tersebut, kemudiaan bahan embedding dituang hingga memenuhi cetakan dengan sediaan di dalamnya. Blok kemudian ditempel pada holder atau blok kayu.


(37)

Sediaan yang sudah diblok siap dipotong dengan menggunakan mikrotom setebal 5 µm dan dibuat preparat. Sebelum proes pewarnaan, dilakukan deparafinasi dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam Xylol I dan II masing-masing 5 menit dan dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam alkohol absolut I dan II selama 2-3 menit, alkohol 95 % selama 2-3 menit, alkohol 90% selama 2-3 menit, alkohol 80% selama 2-3 menit, alkohol 70% selama 2-3 menit, alkohol 50% selama 2-3 menit (Lampiran 2). Kemudian dilakukan proses rehidrasi yaitu proses mencuci preparat jaringan dengan aquades mengalir selama 2-3 menit.

d. Pewarnaan jaringan

Proses pewarnaan preparat jaringan yaitu dengan memasukkan preparat/sediaan ke dalam larutan pewarna hematoksilin selam 3-5 menit, dicuci dalam air mengalir. Kemudian dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam larutan pewarna eosin selama 3 detik. Untuk menghilangkan kelebihan warna, preparat dicuci dalam air mengalir selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan pencelupan ke dalam alkohol 50%, 70%, 85%, 90%, alkohol absolut I dan absolut II maing-masing selama 2-3 menit. Kemudian preparat jaringan ditutup dengan

cover glass yang sudah ditetesi dengan entelan neu, dikeringkan dalam oven pada suhu 40 o

3.5.5. Kelangsungan hidup/Survival Rate (SR)

C selama 24 jam. Setelah itu preparat dapat diamati dibawah mikroskop.

Kelangsungan hidup ikan dihitung dengan rumus berdasarkan Effendie (1979) :

Dimana :

SR = Kelangsungan hidup (%) Nt

N

= Jumlah ikan yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) o = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)

3.5.6. Laju Pertumbuhan (GR)

Laju pertumbuhan harian ikan dianalisa dengan menggunakan rumus berdasarkan Huismann (1976), diacu dalam Effendie (1979):

SR = x 100% No


(38)

   

 

= t 1

Wo Wt

α x 100

Dimana: α = laju pertumbuhan bobot rerata harian (%) Wt = bobot rata-rata individu pada waktu t (g)

Wo = bobot rata-rata individu pada waktu t0 t = lama percobaan (hari)

(g)

Analisis Statistik

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik serta dilakukan analisis sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95%. Pengaruh perlakuan terhadap parameter pengamatan diuji dengan menggunakan uji F dengan program SPSS 14. Apabila berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut dengan menggunakan Uji Lanjut Duncan.


(39)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengujian Aktivitas Antagonistik

Hasil pengujian aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen

Streptococcus agalactiae secara in vitro disajikan pada Gambar 4 dan Tabel 2.

v

Gambar 4. Aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen S. agalactiae. A ; Kontrol. B; Probiotik NP5

Berdasarkan Gambar 4 diatas terlihat bahwa bakteri probiotik NP5 mampu membentuk zona hambat terhadap bakteri patogen S. agalactiae. Zona hambat yang terbentuk yaitu berupa zona bening disekitar kertas cakram. Kemampuan bakteri kandidat probiotik dalam menghasilkan zona hambat pada uji in vitro merupakan salah satu aspek penting. Diameter zona hambat yang terbentuk dari uji in vitro merupakan gambaran kepekaan mikroorganisme terhadap antibakteri. Terbentuknya zona hambat pada uji in vitro

ini dapat terjadi diduga karena bakteri probiotik NP5 mampu menghasilkan senyawa

A B

B B


(40)

antimikrobial atau senyawa yang bersifat bakterisidal (bakteriostatik) yang mampu menghambat virulensi bakteri S. agalactiae.

Tabel 2. Aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen Streptococcus agalactiae secara in vitro

Isolat bakteri NP5 Diameter zona hambat (mm)

Ulangan 1 12,5

Ulangan 2 11,0

Ulangan 3 12,0

Ulangan 4 10,5

Rata-rata 11,5 + 0,91

Dari Tabel 2 diatas terlihat bahwa bakteri probiotik (NP5) mampu menghasilkan rata-rata zona hambat sebesar 11,5 mm. Pelczar dan Chan (1988) menyatakan bahwa nilai zona hambat dari bakteri probiotik dapat berbeda-beda, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor atau keadaan yang mempengaruhi efek antimikrobial. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan dalam penelitian, dengan konsentrasi dan bakteri probiotik yang sama, ketika dilakukan uji zona hambat secara in vitro menghasilkan diameter zona hambat yang berbeda.

Selain menghambat faktor virulensi bakteri patogen, senyawa yang dihasilkan bakteri probiotik ini diperkirakan merupakan faktor penghalang terhadap proliferasi bakteri patogen, sehingga jumlah bakteri patogen di media uji dan di dalam saluran pencernaan dapat ditekan. Menurut Verschuere (2000) senyawa bakterisidal atau bakteriostatik yang dihasilkan oleh bakteri probiotik dapat berupa produksi antibiotik, senyawa asam laktat,

lysozim, protease, hidrogen peroksida dan bakteriosin. Namun demikian, dalam penelitian ini tidak diteliti senyawa bakterisidal apa yang berperan dalam aktivitas penghambatan bakteri patogen. Akan tetapi hasil yang diperoleh berupa terbentuknya zona hambat, sudah cukup membuktikan bahwa bakteri probiotik NP5 memiliki potensi untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen (S. agalactiae) secara in vitro dan selanjutnya akan diteruskan pada pengujian secara in vivo.

Kemampuan bakeri probiotik dalam menghasilkan senyawa antibakterial dan membentuk zona hambat sangat bervariasi, zona hambat dengan nilai berkisar lebih besar


(41)

atau sama dengan 20 mm, tergolong sangat kuat, zona hambat sebesar 10-20 mm tergolong kuat, zona hambat sebesar 5-10 mm tergolong sedang, dan zona hambat sebesar 5 mm tergolong lemah. Zona hambat yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 10,5-12,5 mm yang berarti tergolong kuat. Isolat bakteri yang berpotensi untuk dipakai dalam menghambat bakteri patogen adalah minimal termasuk kategori sedang sampai kuat (Hasim 2003). Selain itu, terbentuknya zona hambat dapat juga terjadi karena aktivitas bakteri probiotik dalam menghambat aktivitas bakteri patogen yang berupa kompetisi nutrien di media uji.

4.2 Kelangsungan Hidup Ikan

Tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama penelitian diamati mulai dari perlakuan pemberian probiotik (P1), prebiotik (P2) dan sinbiotik (P3) serta setelah uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama pemeliharaan dengan pemberian bakteri probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P>0,05). Akan tetapi pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae, terjadi kematian yang cukup tinggi pada perlakuan PO(+). Pasca uji tantang dengan bakteri S. agalactiae, perlakuan P3 memberikan nilai kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 83,34%. Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 80,56%, perlakuan P2 sebesar 72,23% dan perlakuan PO(+) sebesar 13,89%. Dari hasil uji statistik, kelangsungan hidup perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda nyata dengan perlakuan PO(+) (P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P1, P2 dan P3 tidak berbeda nyata. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi pada akhir pemeliharaan diperoleh pada perlakuan PO(-) yaitu sebesar 100 %, karena ikan tidak diinfeksi dengan bakteri S. agalactiae tetapi dengan PBS (Phosphat Buffer Saline). Kelangsungan hidup ikan nila selama penelitian disajikan pada Gambar 5 (A dan B) serta Lampiran 3 dan 4.


(42)

A

B

Gambar 5. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama perlakuan penambahan

probiotik, prebiotik dan sinbiotik (A) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (B); PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik P3. sinbiotik. Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05).

Dari pengamatan selama penelitian, jumlah tertinggi kematian ikan nila terjadi pada hari ke-4 dan hari ke-5 pasca uji tantang pada semua perlakuan (Lampiran 4). Hal ini terjadi karena diduga puncak faktor virulensi bakteri S. agalactiae terjadi pada hari tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Evans et al. (2004) bahwa kematian tertinggi ikan nila pasca infeksi S. agalactiae terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-7. Hasil ini juga

95 97,5 100 100 100

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

PO(+) PO(-) P1 P2 P3

Ke la ng sung a n H idup (% ) Perlakuan 13,89 100 80,56 72,23 83,34 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

PO(+) PO(-) P1 P2 P3

Ke la ng sung a n H idup (% ) Perlakuan a c b b b a


(43)

sejalan dengan hasil penelitian Taukhid et al. (2009) bahwa kematian tertinggi ikan nila pada uji LD50 terjadi pada hari ke-4 dan ke-5.

Gejala klinis yang muncul akibat serangan bakteri S. agalactiae pada ikan nila sebelum ikan mengalami kematian dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi bakteri S. agalactiae pada ikan nila; a. timbul garis hitam vertikal dan pupil mata mengecil; b. clear operculum; c. purulens (mata putih); d. eksoptalmia.

Pasca infeksi bakteri S. agalactiae, terjadi perubahan makroskopis pada anatomi organ luar dan organ dalam ikan nila. Pada anatomi organ luar terjadi perubahan pada bagian operkulum, mata dan tubuh ikan. Sedangkan pada bagian anatomi organ dalam, terjadi perubahan pada organ hati, ginjal dan otak. Pada hari pertama infeksi S. agalactiae

ikan sudah mengalami perubahan warna, ikan menjadi pucat lalu timbul garis-garis hitam vertikal pada tubuh ikan, lalu pupil mata ikan mengecil (Gambar 6a). Pada hari berikutnya gejala yang ditimbulkan akibat infeksi S. agalactiae yaitu ikan mengalami clear operculum

(Gambar 6b) dimana pada awalnya operkulum menjadi sedikit kekuningan lalu terlihat seperti menjadi jernih.

Pada tingkat kerusakan selanjutnya gejala yang timbul adalah perubahan pada organ mata ikan, mata seperti berkabut atau purulens (Gambar 6c) hingga mata membengkak (Gambar 6d) dan kemudian lepas dari cekungan mata. Selama pengamatan dalam penelitian,

a

d c


(44)

kerusakan pada organ mata ikan nila ini mulai ditemukan pada hari ke-4. Sebelum mengalami kematian, gejala khas yang ditimbulkan yaitu ikan berenang whirling lalu tubuh ikan membentuk huruf “C”. Gelaja yang ditimbulkan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Evans (2006), bahwa pada ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae, sebelum mengalami kematian ikan berenang whirling dan seperti membentuk huruf “C”.

4.3 Gambaran Darah Ikan Nila

Efektivitas pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan dapat dilihat dari nilai kelangsungan hidup ikan nila sebelum dan setelah dilakukan uji tantang dengan S. agalactiae. Namun untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai efektivitas probiotik, prebiotik dan sinbiotik tersebut dapat dijelaskan dengan gambaran sistem imun ikan nila. Untuk memperoleh gambaran mengenai sistem imun ikan nila ini, dilakukan pengukuran parameter mikroskopis darah berupa : total eritrosit, kadar hemoglobin, kadar hematokrit, total leukosit, differensial leukosit dan indeks fagositik.

4.3.1. Total Eritrosit

Sel darah merah (eritrosit) ikan mempunyai inti, umumnya berbentuk bulat dan oval tergantung jenis ikannya. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan Giemsa (Chinabut et al. 1995). Hasil pengukuran rata-rata total eritrosit ikan nila selama penelitian disajikan pada Gambar 7 dan Lampiran 5.


(45)

Gambar 7. Jumlah total eritrosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4)

Berdasarkan Gambar 7 diatas, terlihat bahwa pada minggu ke-0 jumlah total eritrosit ikan masih sama pada setiap perlakuan yaitu 10,1+ 0,29 (105 sel/mm3

Pada minggu ke-1 terjadi peningkatan jumlah total eritrosit. Jumlah total eritrosit tertinggi diperoleh pada perlakuan sinbiotik (P3) yaitu sebesar 15,16 + 0,29 (10

). Dari Gambar terlihat bahwa jumlah total eritrosit mengalami peningkatan pada minggu ke-1 (7 hari setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik) sampai minggu ke-2 (akhir pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik). Akan tetapi nilai eritrosit mengalami penurunan pada minggu ke-3 (7 hari pasca uji tantang dengan bakteri S. agalactiae) lalu kembali meningkat pada minggu ke-4 (14 hari pasca uji tantang), kecuali pada perlakuan kontrol negatif tidak terjadi penurunan jumlah eritosit karena ikan tidak diinfeksi dengan bakteri S. agalactiae

tetapi dengan PBS.

5

sel/mm3). Dari uji lanjut Duncan, perlakuan P3 berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya (Lampiran 6). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan dengan penambahan probiotik (P1) sebesar 14,33 + 0,33 (105 sel/mm3), perlakuan dengan penambahan prebiotik (P2) sebesar 13,83 + 0,34 (105 sel/mm3), perlakuan kontrol negatif (PO-) sebesar 12,08 + 0,53 (105 sel/mm3) dan perlakuan kontrol positif (PO+) sebesar 11,72

0 5 10 15 20 25 30 35

0 1 2 3 4

T o ta l E rit ro sit ( 1 0 5se l/ m m 3) Minggu ke-PO(+) PO(-) P1 P2 P3


(46)

+ 0,59 (105 sel/mm3).

Jumlah total eritrosit terus meningkat pada minggu ke-2 setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan. Jumlah total eritrosit tertinggi masih diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 27,75 + 1,40 (10

Dari hasil uji statistik, perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda nyata dengan PO+ (P<0,05).

5

sel/mm3). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 25,54 + 0,73 (105 sel/mm3), perlakuan P2 sebesar 23,80 + 0,64 (105 sel/mm3), perlakuan PO (-) sebesar 14,39 + 0,25 (105 sel/mm3) dan perlakuan PO (+) sebesar 13,99 + 0,40 (105 sel/mm3). Dari hasil uji statistik, pada minggu kedua menunjukkan pola yang sama dengan minggu ke-1 (Lampiran 6). Takashima dan Hibiya (1995), menyatakan ikan normal umumnya memiliki jumlah total eritrosit sebesar 10-30 x 105 sel/mm3

Jumlah total eritrosit ikan nila mengalami penurunan pada minggu ke-3. Pada minggu ke-3, jumlah eritrosit mencapai nilai terendah sebesar 7,69 + 0,3 (10

. Jumlah total eritrosit selama pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik masih berada pada kisaran normal. Menurut Sjafei et al. (1989), ketika nilai eritrosit berada dalam kisaran normal, hal ini menandakan bahwa penambahan bakteri probiotik pada perlakuan tidak mengganggu kesehatan ikan.

5

sel/mm3) yaitu pada perlakuan PO(+) yang merupakan nilai dibawah kisaran normal. Perlakuan P1, P2 dan P3 juga mengalami penurunan jumlah eritrosit, akan tetapi jumlah eritrosit pada ketiga perlakuan ini masih berada pada kisaran normal dan lebih tinggi serta berbeda nyata secara statistik (P<0,05) dibandingkan perlakuan PO(+). Jumlah total eritrosit tertinggi pada minggu ke-3 diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 16,40 + 0,34 (105 sel/mm3). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 15,31 + 0,35 (105 sel/mm3), perlakuan P2 sebesar 15,08 + 0,22 (105 sel/mm3), perlakuan PO(-) sebesar 15,03 + 0,29 (105 sel/mm3

Penurunan jumlah total eritrosit diperkirakan karena ikan mengalami infeksi organ ginjal sebagai akibat serangan bakteri patogen S. agalactiae. Menurut Wedemeyer dan Yasutake (1977), penurunan jumlah eritrosit menunjukkan terjadinya infeksi ginjal, serta rendahnya nilai eritrosit menandakan ikan menderita anemia, sedangkan tingginya jumlah eritrosit (diatas normal) menandakan ikan dalam keadaan stress. Terjadinya kerusakan ginjal diduga akibat toksin yang dikeluarkan oleh bakteri S. agalactiae. Menurut Palacios (2007), ). Berdasarkan uji lanjut duncan pada minggu ke-3, terlihat bahwa perlakuan P3, berbeda nyata dengan semua perlakuan dan memberikan nilai terbaik, sedangkan P1, P2, dan PO(-) tidak berbeda nyata.


(47)

salah satu toksin yang dikeluarkan oleh bakteri patogen S. agalactiae adalah hyaluronidase. Toksin ini merupakan enzim yang dapat berfungsi sebagai “spreading factor”, sehingga dapat memudahkan penyebaran zat-zat toksin lainnya di dalam tubuh inang. Segura dan Gottschalk (2004) menyatakan bahwa toksin lain dari bakteri S. agalactiae adalah

superoxide dismutase dan kapsul polisakarida. Superoxide dismutase merupakan toksin yang dapat membuat bakteri S. agalactiae mampu menembus fagosit saat tidak terjadi opsonin, sedangkan kapsul polisakarida merupakan toksin yang mampu menekan aktivitas komplemen sehingga eleminasi bakteri S. agalactiae oleh makrofag jadi terhambat. Toksin-toksin ini mempengaruhi ginjal dan menyebabkan infeksi pada ginjal ikan sehingga jumlah total eritrosit yang dihasilkan menurun.

Jumlah total eritrosit kembali mengalami peningkatan pada akhir uji tantang (14 hari pasca infeksi). Hal ini diduga karena masa inkubasi bakteri S. agalactiae dalam tubuh ikan sudah menurun. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Evans et al. (2004) bahwa pola kematian ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae 1,5 x 105 CFU/ml dapat diamati selama 13 hari. Diduga pada hari tersebut merupakan masa inkubasi bakteri S. agalactiae dalam tubuh ikan nila dan kembali mendekati kondisi normal pada hari ke-14. Pada kondisi ini ikan akan berupaya untuk mengembalikan kondisi tubuhnya pada kondisi normal. Jumlah eritrosit yang meningkat menandakan adanya upaya homeostatis pada tubuh ikan pasca infeksi bakteri patogen. Tubuh memproduksi sel darah lebih banyak untuk menggantikan eritrosit yang mengalami penurunan akibat infeksi bakteri patogen. Sama seperti pada minggu sebelumnya, pada minggu ke-4 jumlah eritrosit tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 25,98 + 1,79 (105 sel/mm3) dan jumlah terendah pada perlakuan PO (+) yaitu sebesar 11,26 + 0,25 (105 sel/mm3). Berdasarkan uji Anova dan uji lanjut duncan semua perlakuan berbeda nyata dengan PO(+) (P<0,05).


(48)

4.3.2 Hemoglobin (Hb)

Berdasarkan pengamatan terhadap parameter darah dalam penelitian, kadar hemoglobin di dalam darah cukup bervariasi. Kadar hemoglobin dalam darah selama penelitian disajikan pada Gambar 8 dan Lampiran 6.

Gambar 8. Kadar hemoglobin ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4)

Hasil pengamatan terhadap kadar hemoglobin selama penelitian menunjukkan bahwa kadar hemoglobin dalam darah berkorelasi positif dengan nilai total eritrosit. Menurut Fujaya (2004), ada korelasi yang kuat antara hemoglobin, sel darah merah dan hematokrit, semakin rendah jumlah sel-sel darah merah, maka semakin rendah pula kandungan hemoglobin dalam darah. Kadar rata-rata hemoglobin masing-masing perlakuan sama pada awal penelitian (minggu ke-0) yaitu sebesar 10,33 + 0,31 (g%). Kadar Hb mengalami kenaikan pada minggu ke-1 dan terus meningkat pada minggu ke-2 (14 hari setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik).

Pada minggu ke-1 kadar Hb tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 11 (g%). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 10,9 (g%), perlakuan P2 sebesar 10,75 (g%), perlakuan PO (+) sebesar 9,75 (g%) dan perlakuan PO (-)

0 2 4 6 8 10 12 14

0 1 2 3 4

H

em

ogl

obi

n

(g

%

)

Minggu

Ke-P0+ P0-P1 P2 P3


(49)

sebesar 9,7 (g%).

Kadar Hb terus meningkat pada minggu ke-2 setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan. Kadar Hb tertinggi masih diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 11,1 (g%). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 11,03 (g%), perlakuan P2 sebesar 11 (g%), perlakuan PO (-) sebesar 10,6 (g%) dan perlakuan PO (+) sebesar 10,3 (g%).

Dari hasil uji statistik perlakuan P1, P2 dan P3 memberikan pengaruh nyata terhadap kadar Hb ikan (P<0,05).

Pada minggu ke-3 (7 hari pasca uji tantang dengan S. agalactiae) kadar hemoglobin mengalami penurunan yang cukup drastis. Pada minggu ke-3 ini kadar hemoglobin mencapai nilai terendah selama penelitian. Kadar rata-rata hemoglobin terendah yaitu terdapat pada perlakuan PO(+) sebesar 4,2 (g%), merupakan kadar yang berada dibawah kisaran nilai hemoglobin normal ikan nila. Dari uji statistik nilai Hb pada PO(+) berbeda nyata dengan perlakuan P1, P2 dan P3 (P<0,05).

Dari hasil uji statistik perlakuan P1, P2 dan P3 memberikan pengaruh nyata terhadap kadar Hb ikan (P<0,05). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda nyata dengan perlakuan PO (+) dan PO(-). Hardi (2011), menyatakan ikan nila normal umumnya memiliki kadar Hb sebesar 10-11,1 (g%). Kadar Hb ikan selama pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik masih berada pada kisaran normal. Wedemeyer dan Yasutake (1977) menyatakan bahwa nilai hemoglobin yang berada pada kisaran normal (baik) mengindikasikan bahwa terdapat cukup oksigen yang terikat dalam darah sehingga menggambarkan kesehatan ikan berada pada kondisi yang baik pula.

Kadar Hb yang rendah menandakan bahwa ikan nila yang diinfeksi dengan

S. agalactiae mengalami gangguan dalam eritrosit darahnya. Adanya toksin S. agalactiae

mempengaruhi kestabilan Hb. Infeksi organ ginjal menyebabkan rendahnya produksi sel darah merah sehingga ikan terkena anemia dan menurunnya kadar Hb dalam darah ikan. Blaxhall (1972) mengatakan, bahwa kadar Hb yang rendah merupakan indikator bahwa ikan terkena anemia. Ikan nila yang mengalami anemia tidak mampu menyerap besi dalam jumlah yang cukup untuk membentuk hemoglobin. Pada kondisi ini maka akan terbentuk sel darah merah yang mengandung hemoglobin dalam jumlah yang sedikit. Pada minggu ke-4, kadar Hb cenderung kembali naik pada kondisi normal. Akan tetapi pada perlakuan PO (+), nilai Hb masih berada dibawah kisaran normal yaitu sebesar 5,7 + 0,6 (g%) . Hal ini diduga karena kondisi infeksi organ dan jaringan ikan pada perlakuan PO(+) sudah cukup parah sehingga mengalami kesulitan untuk melakukan recovery Hb darahnya. Sedangkan kadar


(1)

ANOVA Total leukosit

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .083 4 .021 .853 .514

Within Groups .365 15 .024

Total .448 19

Ket : Nilai Sig >0,05 = Tidak berbeda nyata (selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan

Perlakuan

Subset for alpha = 0.05

N 1

1.00 4 3.7500a

2.00 4 3.8000a

4.00 4 3.8250a

3.00 4 3.9000a

5.00 4 3.9250a

Sig. .171

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata

Uji statistik total leukosit minggu ke-2

ANOVA Total Leukosit

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2.803 4 .701 3.183 .044

Within Groups 3.303 15 .220

Total 6.105 19

Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata ( selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan

Perlakuan

Subset for alpha = 0.05

N 1 2

1.00 4 3.3750a

2.00 4 3.4000a

4.00 4 3.9000a 3.9000ab

3.00 4 4.0750a 4.0750ab

5.00 4 4.3250b

Sig. .070 .243

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata Huruf yang berbeda pada baris yang sama = tidak berbeda nyata


(2)

Uji statistik total leukosit minggu ke-3

ANOVA Total Leukosit

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 7.040 4 1.760 7.904 .001

Within Groups 3.340 15 .223

Total 10.380 19

Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata ( selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan

Perlak uan

Subset for alpha = 0.05

N 1 2 3

2.00 4 3.9250a

1.00 4 4.7500b

4.00 4 4.8750b

3.00 4 5.2250b 5.2250bc

5.00 4 5.7250c

Sig. 1.000 .196 .155

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata Huruf yang berbeda pada baris yang sama = tidak berbeda nyata

Uji statistik total leukosit minggu ke-4

ANOVA Total Leukosit

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 16.523 4 4.131 7.104 .002

Within Groups 8.722 15 .581

Total 25.245 19

Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata ( selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan

Perlakuan

Subset for alpha = 0.05

N 1 2

1.00 4 1.9250a

2.00 4 3.5500b

4.00 4 3.9500b

3.00 4 4.3250b

5.00 4 4.4250b

Sig. 1.000 .155


(3)

ANOVA Indeks Fagositik

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 52.619 4 13.155 5.773 .005

Within Groups 34.178 15 2.279

Total 86.797 19

Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata ( selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan

Subset for alpha = 0.05

Perlakuan N 1 2 3

Duncana 1.00 4 21.2350a

2.00 4 22.7225a 22.7225ab

4.00 4 23.4675a 23.4675ab 23.4675c

3.00 4 25.0100b 25.0100bc

5.00 4 25.7900c

Sig. .065 .059 .056

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata Huruf yang berbeda pada baris yang sama = tidak berbeda nyata Uji statistik indeks fagositik minggu ke-2

ANOVA Indeks Fagositik

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 547.972 4 136.993 42.812 .000

Within Groups 47.998 15 3.200

Total 595.970 19

Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata ( selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan

Subset for alpha = 0.05

Perlakuan N 1 2 3

Duncana 1.00 4 21.6125a

2.00 4 23.8525a

4.00 4 29.0600b

3.00 4 33.3450c

5.00 4 35.1500c

Sig. .097 1.000 .174

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata


(4)

Uji statistik indeks fagositik minggu ke-3

ANOVA Indeks Fagositik

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 553.988 4 138.497 22.024 .000

Within Groups 94.328 15 6.289

Total 648.316 19

Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata ( selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan

PERL AKUA N

Subset for alpha = 0.05

N 1 2 3

Duncana 2.00 4 25.0500a

1.00 4 25.7900a

4.00 4 29.8825b

3.00 4 32.9075b

5.00 4 39.4725c

Sig. .682 .109 1.000

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata Uji statistik indeks fagositik minggu ke-4

ANOVA Indeks Fagositik

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 591.892 4 147.973 8.681 .001

Within Groups 255.681 15 17.045

Total 847.573 19

Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata ( selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan

Subset for alpha = 0.05

Perlakuan N 1 2 3

Duncana 1.00 4 13.2450a

2.00 4 20.8450b

4.00 4 25.3950b 25.3950bc

3.00 4 27.3950c

5.00 4 27.8100c

Sig. 1.000 .140 .445

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata Huruf yang berbeda pada baris yang sama = tidak berbeda nyata


(5)

Uji statistik jumlah total bakteri diusus

ANOVA

Sum of

Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

.197

4

.049

15.727

.000

Within Groups

.047

15

.003

Total

.244

19

Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata ( selang kepercayaan 95%)

Uji Lanjut Duncan

Subset for alpha = 0.05

Perlakuan

N

1

2

Duncan

a

2.00

4

5.3250a

1.00

4

5.3350a

3.00

4

5.5100b

4.00

4

5.5300b

5.00

4

5.5525b

Sig.

.804

.325

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata

Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata


(6)

Uji statistik Pertambahan Bobot harian

ANOVA Bobot

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 827.722 4 206.931 6.916 .002

Within Groups 448.780 15 29.919

Total 1276.503 19

Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata ( selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan

Subset for alpha = 0.05

Perlakuan N 1 2

Duncana 1.00 4 37.3975a

2.00 4 39.7750a

4.00 4 48.8300b

3.00 4 51.0975b

5.00 4 53.7675b

Sig. .548 .244

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata

Uji statistik Nilai Konversi Pakan (FCR)

ANOVA FCR

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .960 4 .240 5.392 .007

Within Groups .668 15 .045

Total 1.628 19

Ket : Nilai Sig < 0,05 = berbeda nyata ( selang kepercayaan 95%) Uji Lanjut Duncan

Subset for alpha = 0.05

Perlakuan N 1 2

Duncana 5.00 4 1.7675a

4.00 4 1.7750a

3.00 4 1.8200a

1.00 4 2.1800b

2.00 4 2.2775b

Sig. .744 .523

Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama = tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda pada kolom yang berbeda = berbeda nyata