Studi Kualitatif Sunat Perempuan pada Masyarakat Alas di Kabupaten Aceh Tengggara

(1)

T E S I S

Oleh

NURDIANSYAH ALASTA 117032231/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THESIS

By

NURDIANSYAH ALASTA 117032231/IKM

POST STUDIES PROGRAM COMMUNITY HEALTH SCIENCE FACULTY OF COMMUNITY HEALTH

UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA MEDAN


(3)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NURDIANSYAH ALASTA 117032231/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Nama Mahasiswa : Nurdiansyah Alasta Nomor Induk Mahasiswa : 117032231

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Fikarwin Zuska)

Ketua Anggota

(dr. Yusniwarti Yusad, M.Si)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Fikarwin Zuska

Anggota : 1. dr. Yusniwarti Yusad, M.Si 2. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si 3. Dra. Syarifah, M.S


(6)

STUDI KUALITATIF SUNAT PEREMPUAN PADA MASYARAKAT ALAS DI KABUPATEN ACEH TENGGARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 28 Oktober 2013

Nurdiansyah Alasta 117032231/IKM


(7)

Sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Sunat perempuan di Indonesia, baru dipersoalkan setelah gencarnya perbincangan mengenai Gender, seksualitas dan kesehatan reproduksi. Ajaran agama, tradisi dan kesehatan menjadi alasan untuk melakukan sunat perempuan. Walaupun tidak ada dampak positif yang ditimbulkan, praktik ini tetap dilakukan, karena praktik ini dipercaya sebagai perintah agama dan tradisi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar pemikiran, pengetahuan dan hukum/norma yang mengendalikan masyarakat Alas melakukan sunat perempuan baik secara tradisi ataupun secara medis. Informan dalam penelitian ini adalah dukun sunat perempuan (Alas : mudim de bekhu) dan tokoh adat Alas sebagai informan kunci. Bidan, perempuan yang sudah dan belum menikah, tokoh agama. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan cara wawancara dan pengamatan .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sunat perempuan pada masyarakat Alas dilakukan untuk kepentingan agama dan tradisi. Sunat perempuan dilakukan dengan menyayat preputium klitoris menggunakan pisau silet, pada saat usia anak 1-2 tahun. Pelaksanaan ini disertai dengan simbol-simbol yang memiliki arti penting dengan pesta adat sederhana. Temuan lainnya adalah masyarakat Alas lebih percaya kepada mudim de bekhu, untuk melakukan sunat pada anak perempuan mereka.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, praktik sunat perempuan di Indonesia, dapat dijadikan sebagai model bagi negara-negara lain yang masih melakukan praktik sunat perempuan yang berbahaya. Bagi semua pihak di Aceh Tenggara disarankan dapat memberikan informasi, pelatihan dan pendekatan kepada masyarakat Alas, untuk pelaksanaan sunat perempuan yang dilakukan oleh dukun, sehingga pelaksanaan praktik ini tidak akan beresiko terhadap kesehatan dan fungsi seksualitas pada perempuan.


(8)

Female circumcision is an action of scratching the skin which covers the front part of clitoris, without wounding it. Female circumcision in Indonesia becomes a problem after the intensity of discussion about gender, sexuality, and reproduction health. Religion, tradition, and health are the reason to do circumcision. Although there is no positive impact on it, female circumcision is always done because this practice is believed to be the religious and traditional instruction.

The objective of the study was to know the basic thought, knowledge, and law/norm which caused the Alas community to conduct female circumcision, either traditionally or medically. The informants in this study were female circumciser (in Alas, it is called ‘mudim de bekhu’) and Alas adat chiefs as key informants, midwives, married and unmarried women, and religious figures. The study used qualitative by conducting interviews and observation.

The result of the study showed that female circumcision in the Alas community was done for the sake of religion and tradition. It was done by slicing preputium clitoris, using a safety razor, when the child was one to two years old. The implementation was accompanied by some symbols which had important meaning and a small party. Another finding was that the Alas community still believed in ‘mudim de bekhu’ as the circumciser for their female children.

Based on the findings, it can be said that female circumcision in Indonesia can be used as the model for other countries that practice dangerous circumcision for female children. It is recommended that all parties concerned in Aceh Tenggara give information, training, and approach to Alas community to exercise female circumcision done by ‘mudin de bekhu’ so that the implementation will not take the risk in health and in sexual function of women.


(9)

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, dengan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Studi Kualitatif Sunat Perempuan pada Masyarakat Alas di Kabupaten Aceh Tengggara.”

Penulis menyadari ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dan kerja sama dari Bapak dan Ibu Pembimbing, yaitu :Dr. Fikarwin Zuska selaku Ketua Komisi Pembimbing dan dr. Yusniwarti Yusad, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, hingga selesainya penulisan tesis ini.

Penyelesaian tesis ini juga tidak terlepas dari bantuan ikhlas dan dukungan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DMT&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes, selaku Pembantu Dekan I Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

5. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si dan Dra. Syarifah, M.S selaku Tim Pembanding yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan guna penyempurnaan tesis ini.

6. Seluruh staf pengajar Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.

7. Orang tua, saudara-saudara (Jahyan, Areif, Rahmad dan Halki) dan keluarga tercinta (Nova dan Fakhri) yang selalu memberikan motivasi, dukungan dan do’a pada penulis dalam penyusunan tesis ini.

8. Seluruh teman-teman satu angkatan 2011, yang telah menyumbangkan masukan, saran dan kritikan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih terdapat kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang mendukung sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis menyerahkan semua kepada Allah SWT untuk memohon ridho-Nya, semoga tesis penelitian ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan kesehatan.

Medan, 28 Oktober 2013 Penulis

Nurdiansyah Alasta 117032231/IKM


(11)

Penulis bernama Nurdiansyah Alasta dilahirkan di Kisam Pasir Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh Tenggara, pada tanggal 22 Agustus 1984 beragama Islam, penulis anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan DR(HC). H. Jamidin Hamdani, S.Sos dan Neng Hayati, dengan status sudah menikah dengan drh. Cut Dwi Yulianova dan telah memiliki satu orang anak laki-laki bernama M. Deano Fakhri.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 2 Bambel tahun 1996, selanjutnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Negeri 1 Kutacane tahun 1999 dan Sekolah Menengah Atas Swasta Plus Patra Nusa – Rantau Kuala Simpang Kabupaten Aceh Timur tahun 2002, pada tahun 2009 penulis menyelesaikan pendidikan profesi Dokter Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah Banda Aceh. Selanjutnya pada tahun 2009, penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintahan Daerah Kabupaten Aceh Tenggara, pada tahun 2010 disamping sebagai Pegawai Negeri Sipil penulis adalah sebagai staf pengajar di Sekolah Tinggi Kesehatan Nurul Hasanah Kutacane dan Fakultas Keguruan Ilmu Pengetahuan Universitas Gunung Leuser Kutacane. Pada tahun 2011-2013 penulis menempuh pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(12)

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Permasalahan ... 12

1.3Tujuan Penelitian ... 14

1.4Manfaat Penelitian ... 14

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 16

2.1 Sunat ... 16

2.1.1 Sunat Perempuan ... 16

2.1.2 Asal Usul Sunat Perempuan ... 18

2.1.3 Tipe-Tipe Sunat Perempuan ... 20

2.1.4 Dampak Sunat Perempuan ... 23

2.1.5 Faktor-Faktor Praktik Sunat Perempuan ... 26

2.1.6 Prosedur dan Usia Praktik Sunat Perempuan ... 30

2.1.7 Praktik Sunat Perempuan di Indonesia ... 31

2.2 Alat Kelamin Wanita dan Fungsinya ... 34

2.2.1 Alat Kelamin Bagian Luar/ Genetalia Eksterna ... 34

2.2.2 Alat Kelamin Bagian dalam/ Genetalia Interna …… ... 39

2.3 Masyarakat Alas ... 40

2.3.1 Asal Usul Masyarakat Alas ... 41

2.3.2 Sunat pada Masyarakat Alas ... 42

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 45

3.1 Jenis Penelitian ... 45

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

3.3 Informan Penelitian ... 46

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 49


(13)

pada Masyarakat Alas... 54

4.3 Sunat Perempuan Masa Sekarang dan Masa yang Akan Datang ... 64

4.4 Dampak dan Manfaat Sunat Perempuan bagi Masyarakat Alas ... 69

BAB 5. PEMBAHASAN ... 75

5.1 Makna dari Sunat Perempuan ... 75

5.2 Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi ... 78

5.2 Pola Pelaksanaan Sunat Perempuan ... 85

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

6.1 Kesimpulan ... 88

6.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 95 LAMPIRAN


(14)

No. Judul Halaman

1. Surat Permohonan Izin Penelitian ………. 97

2. Surat Balasan Izin Penelitian ………. 98

3. Daftar Pertanyaan ……….………. 99


(15)

Sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Sunat perempuan di Indonesia, baru dipersoalkan setelah gencarnya perbincangan mengenai Gender, seksualitas dan kesehatan reproduksi. Ajaran agama, tradisi dan kesehatan menjadi alasan untuk melakukan sunat perempuan. Walaupun tidak ada dampak positif yang ditimbulkan, praktik ini tetap dilakukan, karena praktik ini dipercaya sebagai perintah agama dan tradisi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar pemikiran, pengetahuan dan hukum/norma yang mengendalikan masyarakat Alas melakukan sunat perempuan baik secara tradisi ataupun secara medis. Informan dalam penelitian ini adalah dukun sunat perempuan (Alas : mudim de bekhu) dan tokoh adat Alas sebagai informan kunci. Bidan, perempuan yang sudah dan belum menikah, tokoh agama. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan cara wawancara dan pengamatan .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sunat perempuan pada masyarakat Alas dilakukan untuk kepentingan agama dan tradisi. Sunat perempuan dilakukan dengan menyayat preputium klitoris menggunakan pisau silet, pada saat usia anak 1-2 tahun. Pelaksanaan ini disertai dengan simbol-simbol yang memiliki arti penting dengan pesta adat sederhana. Temuan lainnya adalah masyarakat Alas lebih percaya kepada mudim de bekhu, untuk melakukan sunat pada anak perempuan mereka.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, praktik sunat perempuan di Indonesia, dapat dijadikan sebagai model bagi negara-negara lain yang masih melakukan praktik sunat perempuan yang berbahaya. Bagi semua pihak di Aceh Tenggara disarankan dapat memberikan informasi, pelatihan dan pendekatan kepada masyarakat Alas, untuk pelaksanaan sunat perempuan yang dilakukan oleh dukun, sehingga pelaksanaan praktik ini tidak akan beresiko terhadap kesehatan dan fungsi seksualitas pada perempuan.


(16)

Female circumcision is an action of scratching the skin which covers the front part of clitoris, without wounding it. Female circumcision in Indonesia becomes a problem after the intensity of discussion about gender, sexuality, and reproduction health. Religion, tradition, and health are the reason to do circumcision. Although there is no positive impact on it, female circumcision is always done because this practice is believed to be the religious and traditional instruction.

The objective of the study was to know the basic thought, knowledge, and law/norm which caused the Alas community to conduct female circumcision, either traditionally or medically. The informants in this study were female circumciser (in Alas, it is called ‘mudim de bekhu’) and Alas adat chiefs as key informants, midwives, married and unmarried women, and religious figures. The study used qualitative by conducting interviews and observation.

The result of the study showed that female circumcision in the Alas community was done for the sake of religion and tradition. It was done by slicing preputium clitoris, using a safety razor, when the child was one to two years old. The implementation was accompanied by some symbols which had important meaning and a small party. Another finding was that the Alas community still believed in ‘mudim de bekhu’ as the circumciser for their female children.

Based on the findings, it can be said that female circumcision in Indonesia can be used as the model for other countries that practice dangerous circumcision for female children. It is recommended that all parties concerned in Aceh Tenggara give information, training, and approach to Alas community to exercise female circumcision done by ‘mudin de bekhu’ so that the implementation will not take the risk in health and in sexual function of women.


(17)

1.1 Latar Belakang

Sunat pada perempuan sampai saat ini menjadi sebuah perdebatan dan pertanyaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Banyaknya kontroversi terhadap sunat perempuan, menyebabkan adanya perbedaan pendapat tentang praktik tersebut, sehingga menimbulkan pro-kontra di tengah-tengan masyarakat. Sunat perempuan di Indonesia pernah dilarang oleh Pemerintah melalui Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK 00.07.1.31047a, tanggal 20 April 2006 tentang Larangan Petugas Kesehatan untuk Medikalisasi Sunat Perempuan. Berdasarkan surat edaran tersebut, sunat perempuan tidak bermanfaat bagi kesehatan, bahkan merugikan dan menyakitkan bagi perempuan yang disunat.

Tentang adanya larangan sunat perempuan tersebut mengundang perhatian di kalangan Ulama Indonesia, sehingga pada tahun 2008 melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara khusus dikaji tentang sunat perempuan. Dalam kajian tersebut akhirnya MUI mengeluarkan fatwa Nomor 9A Tahun 2008, tanggal 7 Mei 2008 tentang Hukum Pelarangan Sunat terhadap Perempuan. Fatwa itu menegaskan, bahwa pelarangan sunat pada perempuan bertentangan dengan ketentuan syari'ah dan sunat perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan,


(18)

seperti memotong atau melukai klitoris yang dapat mengakibatkan dharar atau bahaya pada perempuan.

Banyaknya desakan dari berbagai elemen masyarakat dan dengan pengkajian secara bersama, akhirnya Depkes kembali mengeluarkan peraturan tentang sunat perempuan, yang memberikan otoritas kepada tenaga kesehatan tertentu seperti Dokter, Bidan dan Perawat untuk melakukan sunat pada perempuan. Ketetapan tersebut dituangkan dalam Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010, tanggal 15 November 2010 tentang Sunat Perempuan. Sampai saat ini, peraturan tentang sunat perempuan tersebut terus mendapat tantangan dari lembaga dunia, terutama World Healt Organization (WHO) dan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pembela perempuan (seperti LSM Kalyanamitra, Federasi LBH APIK, Amnesty International, dan KOMNAS Perempuan). Tuntutan mereka jelas untuk menolak praktik sunat perempuan, dan menggolongkan praktik tersebut sebagai perbuatan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan dapat menimbulkan korban (Solikhah, 2012).

Secara umum ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk menyebut sunat perempuan, yaitu: 1) Female Genitale Cutting (FGC) atau pemotongan alat kelamin wanita; 2) Female Genitale Mutilation (FGM) atau mutilasi alat kelamin wanita; 3) Female Circumcision (FC) atau sunat perempuan, namun untuk lebih menekankan dampak kekerasan pada praktik tersebut, istilah yang lebih banyak dipakai adalah Female Genitale Mutilation (FGM) oleh pihak-pihak yang menentang praktik sunat perempuan (WHO, 2008).


(19)

Menurut Anees (1989) setidaknya ada empat jenis sunat/khitan perempuan yang dikenali, yaitu : 1) Khitan biasa, irisan khitan pada kulup klitoris. Di negeri-negeri muslim tertentu biasanya dikenal sebagai khitan sunnah; 2) Penghilangan, dihilangkannya gland clitoridis atau bahkan seluruh klitoris itu dan mungkin termasuk sebagian, atau seluruh labia minora; 3) Infibulasi, dikenal juga sebagai

khitan fir’aun, yaitu penutupan sebagian mulut vagina setelah dipotongnya sejumlah jaringan kelamin. Dalam keadaan yang paling radikal, seluruh bagian dari mons veneris, bibir luar, bibir dalam dan klitoris dihilangkan dan; 4) Introsis, bentuk yang paling kejam dari perusakan alat kelamin wanita. Introsisi adalah pemotongan sampai liang vagina atau penyobekan kerampang dengan menggunakan peralatan benda tajam. Jenis khitan wanita ini dilaporkan pernah dilakukan di kalangan suku-suku di Australia.

Sadaawi (2001) menyatakan bahwa, sunat perempuan dilakukan demi kepentingan untuk menjaga keperawanan serta meminimalisir hasrat seksual wanita. Sunat perempuan memungkinkan seorang wanita pada usia anak-anak dan masa puber untuk menjaga keperawanannya, sehingga martabatnya akan terjaga dengan baik. Sunat perempuan juga merupakan tindakan untuk mendominasi wanita, dalam masyarakat yang patriarki dimana seorang laki-laki dapat memiliki lebih dari satu istri. Perempuan yang disunat, dianggap pasti akan dapat menekan nafsu seksualnya, sehingga mereka tetap dapat menjaga kehormatan dirinya sampai saatnya menikah.


(20)

Menurut Muhamad (1998) bahwa banyak laki-laki tidak dapat mencegah perempuan terhadap pengaruh luar yang mungkin dapat membangkitkan hasrat seksualnya. Maka beberapa kelompok masyarakat di Afrika mengharuskan agar bagian tubuh perempuan yang dianggap sebagai pusat hasrat seksual dan mengakibatkan ia mencari kepuasan seksual, harus dihilangkan kepekaannya dengan memotong atau mengirisnya. Itulah alasan kultural mengapa anak perempuan harus disunat, yang dilakukan dengan cara memotong klitoris/

klitoridektomi.

Banyak alasan mengapa praktik sunat perempuan dilakukan, salah satunya yang dikatakan oleh Lubis (2006) bahwa sunat perempuan bermanfaat bagi kebersihan, kesehatan dan keindahan sehingga seorang perempuan yang tidak disunat akan dianggap tidak bersih dan tidak akan memperbolehkannya menyentuh makanan dan air. Alasan ini merupakan dalih pembenaran yang dipakai oleh banyak masyarakat di dunia untuk melakukan sunat perempuan. Pemotongan klitoris sering dikaitkan dengan tindakan pensucian atau pembersihan oleh masyarakat yang mempraktikkan sunat perempuan.

Menurut Ahmad (dalam Muhamad, 1998) bahwa praktik sunat perempuan dikalangan orang Massai di Afrika, ada kepercayaan bahwa dengan memotong

klitoris dan sedikit labia minora, maka anak perempuan akan dapat dilepaskan dari fantasi seksual. Beberapa kaum moralis laki-laki Afrika berargumentasi, bahwa rangsangan seksual pada perempuan akan menyebabkan ereksi klitoris


(21)

perempuan yang homolog dengan penis laki-laki tersebut, membuat klitoris tidak akan peka lagi terhadap rangsangan erotis.

Sedangkan menurut Gordon (dalam Muhamad, 1998) seperti yang diungkapkan seorang Ulama Al-Azhar di Mesir yang mengatakan bahwa sunat pada perempuan merupakan salah satu cara untuk mencegah perempuan “berpikir kotor”, seperti yang diceritakan oleh seorang laki-laki dari Bulaq, sebuah daerah kumuh di Kairo:

“Bahwa di negeri yang panas ini kami lebih emosional dan prilaku kami lebih mudah untuk lepas dari kendali. Tanpa dikhitan seperti itu, tak dapat dibayangkan bagaimana jadinya perempuan kami. Pastilah seorang laki-laki saja tidak akan cukup untuk memuaskan mereka.”

Menurut Pinim (2009) dengan mengutip hasil deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 2003, bahwa sunat pada bayi atau anak perempuan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Selanjunya, memperhatikan sebuah keputusan Komite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Zulkarnain (2012) mengatakan bahwa, Permenkes tentang Sunat Perempuan merupakan sebuah kemunduran dalam upaya memerangi kekerasan terhadap perempuan, dan mendesak Indonesia untuk membuat kebijakan yang menghapuskan praktik sunat perempuan. Sunat perempuan merupakan praktik tradisional yang sudah menyatu dengan masyarakat Indonesia, umumnya praktik ini dilakukan di negara-negara Afrika, sekitar 2 juta perempuan remaja menjadi korban praktik sunat perempuan setiap tahunnya (Wiknjosastro dkk, 2006).


(22)

Female Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan tidak memiliki manfaat bagi kesehatan, dan itu merugikan perempuan dan anak perempuan dalam banyak hal, dan WHO menegaskan bahwa FGM adalah pelanggaran hak asasi perempuan. Paktik ini menyebabkan rusak bahkan menghilangkan jaringan sehat dan normal pada alat kelamin perempuan, sehingga mengganggu fungsi tubuh perempuan yang mengalami praktik sunat. Tindakan FGM dapat menyebabkan pendarahan parah, masalah buang air kecil, kista, infeksi, infertilitas serta komplikasi dalam persalinan meningkatkan risiko kematian bayi yang baru lahir. Ada sekitar 140 juta anak perempuan dan perempuan di seluruh dunia saat ini hidup dengan konsekuensi dari FGM (WHO, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian Sadaawi (2001), dari 160 gadis dan wanita Mesir sebagai sampel menunjukkan bahwa 97,5% dari keluarga yang tidak berpendidikan masih mempertahankan parktik FGM, persentase ini turun mencapai 66,2% pada keluarga-keluarga yang berpendidikan. Seperti kasus yang terjadi di Afrika, diperkirakan 91,5 juta anak perempuan dan wanita usia 10 tahun ke atas telah mengalami praktik FGM, 12,4 juta diantaranya adalah berusia 10-14 tahun (WHO, 2011).

Tingginya resiko yang ditimbulkan karena sunat perempuan membuat beberapa negara melakukan pelarangan terhadap praktik tersebut, misalnya Parlemen Mesir yang mengesahkan Undang-Undang tentang pelarangan sunat perempuan. Bagi yang melanggar akan dikenai sanksi denda 185 Dolar Amerika Serikat sampai dengan 900 Dolar Amerika Serikat dan kurungan penjara selama 3


(23)

bulan sampai 2 tahun (Kalyanamitra, 2012). Dan di Inggris, menurut Hedley dan Dorkenoo (1992) diperkirakan 10.000 anak perempuan beresiko mengalami

mutilasi genetalia. Sehingga pada tahun 1985, pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan Bill, yang memuat prosedur pelaksanaan ”sirkumsisi pada perempuan” tidak legal di Inggris (Andrews, 2009).

Menurut WHO (2007) praktik sunat perempuan dilakukan di 28 negara dan terbanyak di negara Afrika, Timur Tengah dan Asia. Praktik ini juga dilaporkan terjadi di India, dan praktik FGM sampai saat ini juga ditemukan di Eropa, Australia, Kanada dan beberapa Negara Bagian di Amerika. Banyak upaya bersama yang telah dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia bersama kelompok feminisme, untuk mengakhiri praktik sunat perempuan di negara-negara yang masih berlangsung FGM seperti Indonesia.

Sehingga Majelis Kesehatan Dunia pada tahun 2008, mengesahkan resolusi (WHA61.16) tentang penghapusan FGM, dan menekankan perlunya tindakan terpadu di semua sektor kesehatan, pendidikan, keuangan, keadilan dan urusan perempuan. Selanjutnya PBB menyatakan bahwa, tanggal 6 Februari ditetapkan sebagai Hari Internasional Zero Toleransi terhadap Mutilasi Alat Kelamin Perempuan atau International Day of Zero Tolerance to Female Genital Mutilation (WHO, 2012).

Praktik-praktik pemotongan klitoris (klitoridektomi) atau infibulasi yang dilaporkan di negeri-negeri Muslim (seperti Mesir, Sudan, Yaman Selatan, Nigeria, Malaysia dan Indonesia) jelas bertentangan dengan ketentuan Islam.


(24)

Tetapi ada sejumlah negeri Muslim lain (seperti Afganistan, Aljazair, Lybia, Maroko, Pakistan, Tunisia) di mana perusakan alat kelamin seperti itu tidak dikenal (Anees, 1989).

Berdasarkan riset Population Council bahwa, sunat perempuan di Indonesia dilakukan di berbagai daerah seperti Banten, Gorontalo, Makassar, Madura, Padang, Padang Pariaman, Padang Sidimpuan, Serang, Kutai Kartanegara, Sumenep, Bone, dan Bandung. Praktik sunat perempuan di Indonesia sampai saat ini menjadi perhatian dari berbagai LSM anti-kekerasan perempuan dan anak seperti Amnesti Internasional. Mereka meminta pemerintah Indonesia segera membuat aturan yang melarang segala bentuk sunat kelamin perempuan, karena ada kekhawatiran jika sunat perempuan dibenarkan maka akan mendorong mutilasi alat kelamin perempuan (Solikhah, 2012).

Wiknjosastro dkk (2006) menyatakan bahwa praktik sunat perempuan di Indonesia, biasanya dilakukan oleh Bidan dengan menggunakan gunting untuk memotong bagian alat kelamin perempuan (biasanya klitoris), sedangkan yang dilakukan oleh tenaga tradisional (Dukun) biasanya menggunakan pisau lipat yang digunakan untuk kegiatan simbolik. Menurut Budiharsana, 2003 (dalam Wiknjosastro dkk, 2006) bahwa praktik sunat perempuan secara medis ditemukan di Padang (91,7% dari 349 kasus yang diobservasi), Padang Pariaman (68,7% dari 323 kasus yang diobservasi), Kutai Kartanegara (20,9% dari 215 kasus yang diobservasi), Sumedep-Madura (18,2% dari 275 kasus yang diobservasi) dan Serang (14,5% dari 44 kasus yang diobservasi).


(25)

Praktik sunat perempuan sampai saat ini masih banyak dijalankan berbagai daerah di Indonesia. Praktik itu dilakukan dengan berbagai alasan dan pandangan tentang hal tersebut, seperti alasan perintah agama, bermanfaat bagi kesehatan dan sebuah tradisi masyarakat secara turun-temurun yang harus dijalankan. Menurut Muhamad (1998) dengan mengutip pernyataan Suparlan, bahwa orang Jawa tradisional yang beragama Islam menekankan pentingnya sunat perempuan hannya dalam bentuk upacara, dan tidak dengan melukai klitorisnya. Mereka memandang upacara tersebut sebagai simbol bahwa anak perempuan mereka sudah melewati masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

Sesungguhnya praktik sunat perempuan di Indonesia dan Malaysia sangat jarang dipraktikkan, dan biasanya praktik sunat perempuan tersebut dilakukan hanya secara simbolis tanpa mencederai alat kelamin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Feillard dan Marcoes (1998) bahwa sunat perempuan di Indonesia pada umumnya dilakukan secara rahasia, pada usia sangat muda, yaitu dengan menghilangkan sebagian kecil ujung klitoris. Sedangkan berdasarkan Permenkes Nomor 1636 pasal 5 ayat 2 menerangkan bahwa sunat perempuan dilarang dilakukan dengan cara: 1) Mengkauterisasi klitoris; 2) Memotong atau merusak

klitoris baik sebagian maupun seluruhnya; dan 3) Memotong atau merusak labia minora, labia majora, hymen dan vagina baik sebagian maupun seluruhnya.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam surat kabar harian Tempo edisi 21 Januari 2013 menjelaskan bahwa, sunat perempuan di Indonesia tidak dilarang, bahkan pihaknya mengizinkan perempuan untuk disunat asalkan


(26)

memenuhi syarat-syarat kesehatan. Menteri Kesehatan mengatakan, jika ada masyarakat yang ingin melakukan praktik sunat perempuan agar menghubungi Dinas Kesehatan setempat untuk ditangani oleh petugas kesehatan, jangan praktik dilakukan oleh Dukun yang tidak memenuhi syarat keamanan dan kesehatan. Sunat perempuan di Indonesia tambah menteri, tidaklah sama dengan sunat perempuan yang dilakukan di negara-negara yang lain, seperti Afrika dan Mesir. Segala bentuk sunat perempuan yang ada di Indonesia tidaklah akan menimbulkan resiko infeksi maupun dampak yang serius terhadap kesehatan dan psikologis anak perempuan tersebut (Antara, 2013).

Pro dan kontra akan hal sunat perempuan juga terlihat dalam pandangan para imam pada umat Islam. Seperti yang dikatakan oleh Basyarahil (2010) menjelaskan bahwa, umat Islam sepakat diisyaratkannya sunat, tetapi berselisih pendapat tentang hukumnya. Imam Syafi’i mewajibkan sunat bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan Imam Malik dan Imam Hanafi mensunnahkan sunat bagi laki-laki dan perempuan dan banyak ulama yang mewajibkan sunat untuk laki-laki saja. Namun, ada juga ulama yang mensunnahkan bagi laki-laki dan sebagai bentuk penghormatan bagi perempuan. Ulama yang lain, ada juga yang berpendapat bahwa sunat hukumnya sunnah bagi laki-laki dan zalim bagi perempuan.

Sedangkan waktu pelaksanaan sunat, dapat dilakukan sejak kelahiran anak sampai sebelum masuk usia baliq. Pelaksanaan sunat, disunnahkan 7 hari, 14 hari atau 21 hari sejak kelahiran anak. Sedangkan Baharits (2007) menjelaskan bahwa


(27)

banyak ulama yang berpendapat tentang waktu pelaksanaan sunat, sebagian ulama berpendapat bahwa makhruh hukumnya melaksanakan sunat pada hari ke 7 dari kelahiran anak, sedangkan menurut mazhab Maliki, sunat dilakukan pada saat anak mulai diperintahkan untuk mulai shalat yaitu pada usia 7-9 tahun.

Sampai saat ini, sunat perempuan terus mendapat perhatian banyak pihak, tentang tata cara pelaksanaan, apa alasan tindakan ini terus dipraktikkan dan apa manfaat dari prakrik sunat perempuan terus menjadi topik yang kontroversi. Sampai saat ini, di Kabupaten Aceh Tenggara juga melaksanakan praktik sunat perempuan, namun tindakan ini belum mendapat perhatian khusus dari kalangan ilmuan kesehatan/peneliti, bagaimana pelaksanaannya di tengah-tengah masyarakat.

Kabupaten Aceh Tenggara dengan ibukota Kutacane adalah Daerah Tingkat II dalam wilayah administrasi Pemerintah Daerah Provinsi Aceh. Menurut Sufi dkk (2008) bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002, luas wilayah Aceh Tenggara 4.231,41 km² dengan sebagian besar wilayah berada di lembah. Setelah terjadi pemekaran wilayah dengan Kabupaten Gayo Lues pada tanggal 10 April 2002, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah penduduk Aceh Tenggara tahun 2011 berjumlah 183.108 jiwa berdasarkan hasil sensus tahun 2010 (BPS, 2012).

Menurut Akbar dkk (2005) mengatakan bahwa orang Alas merupakan kelompok-etnis asli yang ada di Aceh Tenggara. Orang Alas memeluk agama Islam dan sangat memegang kuat adat dan tradisi dalam kesehariannya, seperti


(28)

adat pemamanen dan kenduri pesenatken. Menurut Lembaga Adat Kebudayaan Aceh (2003) bahwa sunat atau khitan (Alas : pesenatken) masyarakat Alas lebih mementingkan dan memperhatikan sunat pada anak laki-laki, pesenatken pada anak laki-laki dilakukan pada usia 8-12 tahun, biasanya sunat tersebut dilakukan dengan pesta adat yang meriah dan banyak melibatkan tamu, serta tahapan adat

pesenatken pada masyarakat Alas sampai 3 hari sebelum anak tersebut disunat (LAKA, 2003).

Praktik sunat pada anak perempuan masyarakat Alas umumnya dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, tidak banyak melibatkan masyarakat secara umum, berbeda halnya sunat pada anak laki-laki. Menurut keterangan masyarakat Alas, bahwa sunat anak perempuan dilakukan dengan cara yang sangat rahasia, dan tindakan ini dilakukan oleh seorang dukun sunat perempuan (Alas : mudim de bekhu). Praktik ini dilakukan pada saat anak perempuan berusia 1-2 tahun, dan parktik ini telah lama dikenal dan dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat Alas.

Sunat pada anak perempuan, merupakan kegiatan yang harus dilaksanakan oleh setiap anak perempuan, dan hal ini dilakukan dengan berbagai alasan di dalam masyarakat Alas itu sendiri. Sampai saat ini, prosedur sunat perempuan pada masyarakat Alas dilakukan dengan tradisi dan cara pelaksanaan secara tradisional. Berdasarkan latar belakang di atas, dianggap perlu dilakukan penelitian yang mendalam tentang sunat perempuan pada masyarakat Alas,


(29)

dengan judul penelitian Studi Kualitatif Sunat Perempuan pada Masyarakat Alas di Kabupaten Aceh Tenggara.

1.2 Permasalahan

Praktik sunat perempuan sampai sekarang menjadi pro dan kontra pada masyarakat dunia dan menjadi isu yang kontroversi di Indonesia. Sehingga timbul sebuah pertanyaan, mengapa praktik sunat perempuan dengan berbagai sudut pandang, metode dan alasan-alasan institusional pada masyarakat Alas, sehingga sampai saat ini praktik tersebut terus dijalankan serta bagaimana praktik ini dilakukan.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah yang dapat dirumuskan, yaitu : 1) Bagaimana praktik sunat perempuan pada masyarakat Alas dewasa ini dilaksanakan, dan; 2) Mengapa praktik sunat perempuan tetap dilaksanakan, walaupun ada resiko yang dapat ditimbulkan, dan mengapa masyarakat Alas lebih mempercayai mudim de bekhu untuk menyunat anak perempuan mereka, yang ternyata tidak sesuai dengan anjuran Pemerintah melalui Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010. Secara lebih tegas, masalah ini dapat dirumuskan “Bagaimana praktik sunat perempuan dijalankan, dan bagaimana praktik ini dilakukan pada masyarakat Alas secara tradisi maupun secara medis?”


(30)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui dasar pemikiran, pengetahuan dan hukum/norma-norma yang mengendalikan masyarakat Alas, sehingga melakukan praktik sunat perempuan, yang ternyata sangat beranekaragam.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui alasan-alasan yang mengharuskan masyarakat Alas melakukan sunat pada perempuan sampai saat ini, baik secara tradisi maupun secara medis.

2. Untuk mengetahui manfaat dan dampak dari praktik sunat perempuan menurut masyarakat Alas.

3. Untuk mengetahui bagaimana tata cara pelaksanaan praktik sunat perempuan pada masyarakat Alas di Kabupaten Aceh Tenggara.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Setelah dilakukan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan dan kontribusi bagi ilmu pengetahuan, terhadap teori-teori yang ada mengenai kesehatan reproduksi wanita.


(31)

1.4.2 Manfaat Praktis

Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Instansi terkait khususnya Dinas Kesehatan setempat. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi masyarakat Alas dan Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara, dalam menyikapi masalah tentang sunat perempuan dan kesehatan reproduksi wanita pada masyarakat Alas. Selain manfaat tersebut, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman dan kesadaran masyarakat bahwa, isu tentang sunat perempuan bukanlah hanya sekedar isu yang sederhana, sehingga tradisi dan pelaksanaan praktik ini mendapat perhatian khusus dari semua pihak.


(32)

2.1 Sunat

Sunat menurut kamus besar bahasa Indonesia artinya memotong. Banyak konsep yang digunakan untuk menjelaskan tentang sunat perempuan, selain istilah sunat kata lain yang sering digunakan adalah khitan dan istilah lain yang kurang dikenal yaitu khifad yang berasal dari kata khafd, istilah ini khusus untuk khitan

perempuan, kata khitan berasal dari akar kata Arab, yaitu khatana-yakhtanu-khatnan artinya memotong (Muhammad, 2011).

Makna asli kata khitan dalam bahasa Arab adalah bahagian yang dipotong dari kemaluan laki-laki atau perempuan. Khitan laki-laki disebut juga dengan

i’zar, sedangkan khitan perempuan disebut juga dengan khafdh (merendahkan). Secara istilah, khitan adalah memotong kulit yang menutupi penis laki-laki atau memotong kulit yang terdapat di atas farji wanita yang seperti jengger kepala ayam jantan (Munir, 2007).

2.1.1 Sunat Perempuan

Sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sunat perempuan adalah semua prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh dari bagian luar genital perempuan atau mengores genital perempuan dengan alasan budaya atau yang lainnya (WHO,


(33)

2001). Sedangkan menurut Permenkes Nomor 1636 sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai

klitoris.

Secara internasional sunat perempuan dikenal dengan beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut sunat perempuan, diantaranya adalah Female Genital Cutting (FGC), Female Genital Mutilation (FGM) dan Female Circumcision (FC) (WHO, 2008). Menurut al-Mawardi, seperti dikutip Ibnu Hajar al-Asqallani, mendefinisikan khitan perempuan sebagai praktik pemotongan kulit yang berada di bagian atas kemaluan perempuan, di atas pintu masuknya penis, semacam “biji” atau “jengger ayam jago” (Muhammad, 2011).

Sunat perempuan dalam Rekomendasi CEDAW Nomor 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan, Deklarasi Wina dan Program Aksi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tentang Konvensi Wanita, pasal 1 menjelaskan bahwa sikap-sikap tradisional dimana perempuan dianggap sebagai sub-ordinasi laki-laki atau seperti pembakuan peran-peran sterotip yang mengekalkan praktik kekerasan atau paksaan yang meluas, seperti misalnya kekerasan dan penganiayaan dalam keluarga, kawin paksa, mas kawin, kematian, penyerangan dengan air raksa, dan penyunatan perempuan (Luhulima, 2006).

Pemahaman terhadap sunat perempuan oleh pemikir non-muslim berbeda dengan pandangan dalam Islam atau dalam budaya Islam. Khitan untuk perempuan sudah diperaktekkan oleh masyarakat Afrika Utara, jauh sebelum kelahiran nabi Muhammad SAW. Ramali Ahmad (dalam Muhamad, 1998)


(34)

mengatakan bahwa, memang ada hadist yang berkaitan dengan khitan pada perempuan yang menyatakan bahwa :

“Rasulullah SAW, memerintahkan kepada wanita-wanita juru khitan : Bila engkau mengkhitan, maka khitanlah dengan baik (jangan merusak) karena

khitan yang baik itu akan membuat wajah lebih berseri dan memberikan kenikmatan bagi suami.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Ahmad dari Ummi Athiyah).

Namun dalam hadist tersebut tidak tersirat atau tersurat ada perintah untuk mengkhitan anak perempuan. Yang ada hanyalah peringatan kepada juru khitan

perempuan agar mengkhitan dengan cara yang baik. Berarti khitan ketika itu sudah ada dan Nabi Muhammad SWA hanyalah memperingatkan terhadap tata caranya. Dengan hadis tersebut dapat dipahami bahwa sunat perempuan dalam pandangan Islam tidak dilarang, namun tata cara melakukannya harus diperhatikan, agar tidak merusak atau berbahaya bagi perempuan.

2.1.2 Asal Usul Sunat Perempuan

Berdasarkan perspektif sejarah, sunat perempuan sudah dilakukan secara rutin sejak 6000 tahun yang lalu di bagian selatan Afrika, mulai dari Lybia, Mesir, Timur Tengah, Amerika Selatan, Australia dan Asia Tenggara (Sumarni, 2005). Tidak mudah untuk menetapkan kapan pemotongan klitoris (klitoridektomi) dan tradisi-tradisi lainnya berasal. Tetapi, data etnografi dan antropologi menunjuk pada perpaduan antara mitologi dan keyakinan agama (Anees, 1989).

Menurut Muhamad (1998) menjelaskan bahwa, sunat perempuan bukan ajaran Islam, dapat dilihat dari tulisan Bryk, seorang etnolog berkebangsaan Jerman pada tahun 1992. Dalam buku itu ia mengungkapkan bahwa dikepala


(35)

orang Massai di Afrika ada kepercayaan bahwa dengan memotong klitoris dan sedikit labia minora, maka anak perempuan akan dapat dilepaskan dari fantasi seksual. Perlu diingat bahwa suku Massai bukanlah suku Afrika yang mayoritas beragama Islam. Pengaruh budaya ini demikian mendalamnya, sehingga orang-orang perempuan yang dikhitan secara simbolis sewaktu masih bayi akan merasa bahwa dirinya masih belum benar-benar bersih, apalagi ia tidak ingat lagi apakah ia sudah dikhitan atau belum.

Berbagai pendapat tentang asal mula dipraktikkannya sunat perempuan, menurut WHO (2001) bahwa ada beberapa pendapat asal usul sunat perempuan, antara lain:

1. Female Genital Mutilation atau sunat perempuan tidak dikenal kapan atau dimana tradisi sunat perempuan dimulai.

2. Beberapa orang percaya FGM dimulai dari zaman dahulu kala.

3. Beberapa orang percaya ini dimulai selama perdagangan Budak ketika budak hitam yang dimasukkan masyarakat Arab.

4. Beberapa percaya sunat perempuan dimulai dengan kedatangan Islam di beberapa bagian sub-sahara Afrika.

5. Yang lain percaya bahwa sunat perempuan dimulai pada saat kemerdekaan di Afrika, terlebih dahulu kunjungan Islam, orang-orang berpengaruh diantara serdadu-serdadu.


(36)

6. Beberapa percaya sunat perempuan berawal dari dilontarkan kemerdekaan diantara grup etnik di Afrika sebagai upacara kedewasaan.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa asal usul sunat perempuan tidak dapat diketahui secara pasti, hal ini sangat bergantung terhadap budaya dan kepercayaan sekelompok masyarakat yang melakukan praktik sunat perempuan. Sedangkan untuk laporan penyebaran sunat perempuan sampai saat ini belum tersedia dengan lengkap, hal ini disebabkan karena lemahnya pencatatan data, jumlah yang sebenarnya perempuan yang disunat lebih besar daripada yang tercatat dan masih ada data yang belum terungkap.

2.1.3 Tipe-Tipe Sunat Perempuan

Menurut WHO (2012) melalui Fact Sheet No. 241 June 2000

menggolongkan tipe-tipe FGM dalam 6 tipe yaitu :

1. Tipe I : Menghilangkan bagian permukaan, dengan atau tanpa diikuti pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari klitoris.

2. Tipe II :Pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari labia minora.

3. Tipe III : Pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ

genetalia luar diikuti dengan menjahit atau menyempitkan lubang


(37)

4. Tipe IV : Menusuk, melubangi klitoris dan/atau labia, merenggangkan

klitoris dan/atau labia, tindakan memelarkan dengan jalan membakar

klitoris atau jaringan di sekitarnya.

5. Tipe V : Merusakkan jaringan disekitar lubang vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cuts).

6. Tipe VI : Memasukkan bahan-bahan yang bersifat merusak atau tumbuhan ke dalam vagina dengan tujuan menimbulkan pendarahan, menyempitkan vagina, dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat digolongkan dalam definisi di atas.

Dari semua tipe FGM di atas, menurut WHO (dalam Irianto, 2006) mengatakan bahwa, tidak semua tipe dikenal dan dipraktikkan secara umum. Hanya ada 4 tipe FGM yang dikenal dan dipraktikkan secara umum, yaitu :

1. Sirkumsisi atau “sunna” : Pengangkatan bagian permukaan dan bagian ujung klitoris. Sunna ini sangat mirip dengan tipe I dari tipe-tipe FGM, tetapi dalam bentuk yang lebih halus dan tidak merusak.

2. Excission atau yang diberikan WHO Clitoridectomy : Pengangkatan

klitoris dan sering diikuti dengan pengangkatan labia minora. Excission sama dengan Tipe II yang diberikan WHO.

3. Infabulation atau Pharaonic circumcision : Excission yang diikuti dengan pengangkatan labia minora serta menempelkan kedua sisi


(38)

yang terluka dengan mempergunakan media berupa duri, sutera, atau benang dari usus kucing.

4. Introcission : Jenis FGM yang diperaktikkan oleh suku Pitta-Patta aborigin di Australia, dimana pada saat seorang gadis mencapai usia puber, maka seluruh akan berkumpul dan seorang yang dituakan dalam masyarakat akan bertindak sebagai pemimpin prosedur. Lubang vagina

wanita tersebut akan diperlebar dengan jalan merobek dengan mempergunakan tiga jari tangan yang diikat dengan tali dan sisi lain dari perineum akan dipotong dengan mempergunakan pisau batu. Ritual ini biasanya akan diikuti dengan aktivitas seksual secara paksa dengan beberapa lelaki muda. Selain di Australia Introcission juga dipraktikkan di Meksiko Timur, Brazil, Peru, Suku Conibus serta sebagian dari suku Pano Indian di bagian tenggara.

Menurut Andrews (2009) menyebutkan bahwa, bentuk mutilasi genetalia

yang paling sederhana adalah sirkumsisi, yang dilakukan dengan memotong tudung atau bagian kepala klitoris (preputium klitoris). Di Indonesia praktik ini digolongkan dalam tindakan yang tidak berbahaya, karena sirkumsisi dilakukan hanya secara simbolis dan penggoresan pada preputium klitoris. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada (dalam Irianto, 2006) dengan judul laporan akhir Male and Female Genital Cutting Konteks, Makna, dan Keberlangsungan


(39)

Praktik dalam Masyarakat Yogyakarta dan Madura, ada 2 prosedur praktik sunat perempuan di Indonesia, yaitu:

1. Tindakan pemotongan atau penggoresan pada bagian alat kelamin perempuan.

2. Tindakan simbolis tanpa melukai alat kelamin.

Sunat pada perempuan adalah suatu tindakan yang paling ringan dari tipe yang disebut WHO, sunat pada perempuan ini mencakup perlakuan seperti penusukan dan penggoresan pada kulit klitoris sampai pemotongan sebagian

preputium sampai mengeluarkan darah. Tindakan ini dikenal dibeberapa negara muslim, seperti Indonesia sebagai tindakan yang bersifat sunnah,dan praktik ini secara fisik tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap fungsi-fungsi seksual kelamin perempuan. Dapat disimpulkan bahwa sunat perempuan dipraktikkan dengan berbagai tipe atau cara menurut kebiasaan daerah masing-masing di Indonesia, hal ini sangat berhubungan dengan kepercayaan, adat dan agama daerah tersebut.

2.1.4 Dampak Sunat Perempuan

Menurut Wiknjosastro dkk (2006) beberapa bentuk FGM dapat menyebabkan rasa sakit kronis setiap kali melakukan hubungan seks, infeksi radang panggul yang berulang-ulang dan persalinan lama maupun macet.


(40)

Ada beberapa dampak yang dapat ditimbulkan dari FGM, yaitu: 1. Dampak Jangka Pendek

Menurut Irianto (2006) bahwa dampak jangka panjang dan jangka panjang dari sunat perempuan, yaitu:

1. Dampak jangka panjang

a. Infeksi saluran kencing, karena terdapatnya penyakit oleh mikroorganisme.

b. Dapat mengakibatkan infeksi berulang-ulang pada saluran reproduksi.

c. Menyebabkan terganggunya saluran menstruasi yang menyebabkan sakit serta penumpukan residu pada vagina.

d. Infeksi seviks yang menyebabkan tersumbatnya tuba fallopi yang berakibat pada kemandulan.

2. Dampak jangka pendek

a. Pembengkakan pada jaringan sekitar vagina yang akan menghalangi proses pembuangan cairan.

b. Infeksi akibat pemakaian alat yang tidak steril, serta kontaminasi luka karena air seni.

c. Pendarahan parah dan shock.

d. Pembuluh darah dari klitoris dapat mengalami pendarahan. e. Terjadi infeksi.


(41)

g. Dan kerusakan pada jaringan disekitar klitoris serta labia yang setelah beberapa waktu akan menyebabkan tersumbatnya urine

yang berimplikasi pada infeksi serius.

Dampak jangka pendek yang dapat ditimbulkan akibat sunat perempuan sangat mungkin dapat terjadi pada setiap anak perempua. Namun banyak tempat yang beranggapan bahwa, praktik sunat perempuan tidak berpengaruh besar terhadap alat kelamin perempuan dan dianggap sebuah kejadian yang biasa-biasa saja.

Sedangkan menurut Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan (PKIP) bahwa dampak jangka panjang dari sunat pada perempuan, yaitu :

1. Rasa sakit yang berkepanjangan pada saat berhubungan seks.

2. Penis tidak dapat masuk dalam vagina sehingga memerlukan tindakan operasi.

3. Disfungsi seksual (tidak dapat mencapai orgasme pada saat berhubungan seks).

4. Disfungsi haid yang mengakibatkan hematocolpos (akumulasi darah haid dalam vagina), hematometra (akumulasi darah haid dalam rahim), dan hematosalpinx (akumulasi darah haid dalam saluran tuba). 5. Infeksi saluran kemih kronis.

6. Inkontinensiurine (tidak dapat menahan kencing).

7. Dapat terjadi abses, kista dermoid, dan keloid atau jaringan parut mengeras (Kalyanamitra, 2012).


(42)

Menurut Andrews (2009) menjelaskan bahwa, mutilasi genetalia

perempuan merusak kesehatan perempuan dan mengganggu seksualitas mereka, merupakan masalah kesehatan seksual. Selama persalinan dan kelahiran, sensitivitas yang tinggi serta kesadaran akan budaya sangat penting dalam memberikan perawatan yang sesuai dengan dukungan psikologis bagi wanita yang mengalami berbagai bentuk mutilasi genetalia, terutama infibulasi. Terdapat kekurangan literatur penelitian mengenai dampak seksual dan psikologis akibat berbagai bentuk mutilasi genetalia yang parah jika dibandingkan dengan penelitian dan laporan kasus mengenai komplikasi fisik selama pelahiran.

Dispareunia dan kurangnya kepuasan pada hubungan seksual sering dilaporkan pada literatur yang ada.

2.1.5 Faktor-Faktor Praktik Sunat Perempuan

Menurut WHO (2012) bahwa penyebab FGM mencakup campuran faktor budaya, agama dan sosial dalam keluarga dan masyarakat, diantaranya:

1. Female Genital Mutilation adalah konvensi sosial, tekanan sosial untuk menyesuaikan diri dengan apa yang orang lain lakukan dan untuk melakukannya ada sebuah motivasi yang kuat untuk mengabadikan resiko praktik.

2. Female Genital Mutilation seringkali dianggap sebagai bagian penting dari membesarkan seorang gadis baik, dan cara untuk mempersiapkan dirinya sampai dewasa dan menikah.


(43)

3. Female Genital Mutilation sering termotivasi oleh keyakinan tentang apa yang dianggap prilaku seksual yang tepat, prosedur untuk menghubungkan keperawanan pranikah dan kesetiaan perkawinan.

Female Genital Mutilation di banyak masyarakat diyakini mengurangi libido seks perempuan, karena itu diyakini membantunya melawan godaan tindakan seksual yang berlebihan.

4. Female Genital Mutilation dikaitkan dengan cita-cita budaya

feminitas dan kerendahan hati, yang mencakup gagasan bahwa anak perempuan "bersih" dan "indah" setelah pengangkatan bagian tubuh yang dianggap laki-laki sebagai bagian yang tidak baik.

5. Meskipun tidak ada aturan agama tentang praktik sunat perempuan, namun masyarakat sering percaya bahwa praktik sunat perempuan merupakan perintah agama.

6. Para pemimpin agama mengambil posisi yang berbeda-beda berkaitan dengan FGM, beberapa memperbolehkan praktik tersebut, sedangkan yang lain beranggapan bahwa sunat perempuan tidak relevan dengan agama, dan yang lainnya berperan terhadap penghapusannya.

7. Struktur kekuasaan lokal dan otoritas, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, penyunatan, dan bahkan beberapa tenaga medis dapat berkontribusi untuk menegakkan praktik.

8. Sebagian besar masyarakat, FGM dianggap sebagai tradisi budaya, yang sering digunakan sebagai alasan untuk kelanjutannya.


(44)

9. Pada beberapa masyarakat, mula-mulanya praktik ini terkait dengan menyambung tradisi pada masyarakat sebelumnya.

10. Pada beberapa masyarakat, FGM dilakukan oleh kelompok-kelompok baru ketika mereka pindah ke daerah di mana penduduk setempat melakukan praktik FGM.

Sedangkan menurut Irianto (2006) bahwa alasan-alasan dilakukannya FGM dapat dikelompokkan ke dalam 4 alasan utama, yaitu:

1. Identitas Budaya

Budaya dan tradisi merupakan alasan utama dilakukannya FGM, karena FGM menentukan siapa sajakah yang dapat dianggap sebagai bagian dari masyarakat, sehingga dianggap sebagai tahap inisiasi bagi seorang wanita untuk memasuki tahap kedewasaan. Masyarakat yang mempraktikkan FGM, hal ini dianggap sebagai sebuah kejadian yang biasa dan seorang wanita tidak akan dianggap dewasa sebelum melakukan FGM.

2. Identitas Gender

Female Genital Mutilation (FGM) dianggap penting bagi seorang gadis bila ia ingin menjadi wanita seutuhnya, praktik ini memberikan suatu perbedaan jenis kelamin dikaitkan dengan peran mereka di masa depan dalam kehidupan perkawinan. Pengangkatan bagian klitoris

dianggap sebagai penghilangan organ pria di tubuh wanita sehingga


(45)

disamakan dengan kelemahan dan kepatuhan seorang wanita, karena trauma yang didapatkan setelah proses ini berlangsung akan mempengaruhi wanita. Female Genital Mutilation (FGM) juga dianggap sebagai pemberi pembelajaran kepada wanita mengenai perannya dalam masyarakat.

3. Mengontrol Seksualitas Wanita serta Fungsi Reproduksinya

Female Genital Mutilation (FGM) dipercaya dapat mengurangi hasrat seksual wanita akan seks, sehingga dapat mengurai terjadinya praktik seks di luar nikah. Kesetiaan seorang wanita yang tidak dimutilasi terhadap pasangannya akan sangat diragukan oleh masyarakat. Bagi masyarakat yang memperaktikkan FGM, seorang wanita yang tidak dimutilasi tidak akan mungkin mendapatkan jodoh.

4. Alasan Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan

Alasan ini merupakan alasan pembenar yang dipakai oleh masyarakat dunia untuk melakukan FGM. Praktik Mutilasi sering dikaitkan dengan penyucian atau pembersihan dalam masyarakat yang memperaktikkan FGM. Female Genital Mutilation (FGM) sering sekali dipromosikan dapat meningkatkan kesehatan wanita serta anak yang dilahirkannya, dikatakan bahwa wanita yang melakukan FGM akan lebih subur dan mudah melahirkan.


(46)

2.1.6 Prosedur dan Usia Praktik Sunat Perempuan

Tidak ada prosedur standard dalam melakukan sunat perempuan, karena prosedur yang dipraktikkan oleh masyarakat dunia sangatlah bervariasi tergantung pada daerah, kebiasaan masyarakat dan adat-istiadat dimana wanita tersebut tinggal. Bagi orang Jawa tradisional yang beragama Islam menekankan pentingnya sunat perempuan hanya dalam bentuk upacara, dan tidak dengan melukai klitorisnya (Suparlan dalam Muhamad, 1998), sedangkan masyarakat di Afrika mengharuskan memotong atau mengiris bagian klitoris.

Dengan melihat dan membandingkan beberapa kebiasaan masyarakat dunia dalam memperaktikkan sunat perempuan, dapat disimpulkan bahwa prosedur sunat perempuan secara umum dilakukan dengan cara, yaitu : Seorang wanita yang akan melaksanakan sunat perempuan atau FGM akan disuruh duduk di air dingin untuk mematikan rasa di vulva dan mengurangi kemungkinan pendarahan. Pada umumnya wanita tersebut tidak akan diberikan anastesi, wanita tersebut akan dipegang oleh wanita-wanita yang lebih tua, agar tidak dapat bergerak, kedua kaki wanita tersebut akan dibuka selebar mungkin sehingga bagian vagina akan terlihat jelas.

Pemotongan akan dilakukan dengan mempergunakan alat pemotong seperti pecahan kaca, besi tipis, gunting, silet atau benda-benda tajam lainnya. Pelaksanaan dari prosedur sunat perempuan ini dapat dilakukan di rumah pribadi, tetangga, kerabat, pusat kesehatan, atau bila sunat perempuan sebagai proses


(47)

oleh wanita lebih tua, Dukun, tukang cukur, atau Bidan dan Dokter yang professional.

Seperti halnya prosedur sunat perempuan, usia seorang perempuan disunat juga sangat bervariasi, tergantung pada adat dan kebudayaan nasyarakat tersebut. Sunat dapat dilakukan pada seorang wanita pada saat ia masih bayi, anak-anak usia 7-10 tahun, remaja maupun wanita dewasa. Pada beberapa masyarakat seperti di Somalia disunat pada usia berkisar antara 18-68 tahun, di Ethiopia dan Eritrean usia sunat perempuan berkisar antara 30-52 tahun, tetapi usia paling umum sunat perempuan dilaksanakan adalah 4-8 tahun (Irianto, 2006).

2.1.7 Praktik Sunat Perempuan di Indonesia

Sunat perempuan dapat dikatakan juga terjadi di Indonesia secara luas, namun sunat perempuan di Indonesia pada umumnya dipraktikkan pada taraf yang ringan bahkan hanya secara simbolis. Menurut Putranti (2003) yang mengutip pendapat Feillard dan Marcoes bahwa di Indonesia, sunat perempuan baru mulai dipersoalkan setelah gencarnya perbincangan mengenai Gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi yang disuarakan aktivis perempuan kira-kira sejak 5 tahun terakhir ini. Sebelumnya, isu ini kurang mendapat perhatian karena prevalensinya tidak diketahui secara pasti, dan prosedur pelaksanaannya dipandang tidak cukup membahayakan kesehatan.

Satu-satunya informasi mengenai sunat perempuan di Indonesia yang cukup lengkap adalah studi Schrieke pada tahun 1921 yang mengindikasikan dilakukannya praktik sunat perempuan di sebagian besar tanah Jawa, beberapa


(48)

daerah di Sulawesi (Makasar, Gorontalo), Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin), Sumatera (Lampung, Riau, Padang, Aceh), pulau Kei di Ambon, pulau Alor, dan suku Sasak di Lombok. Studi tersebut juga melaporkan bahwa sunat perempuan pada umumnya dilakukan secara rahasia, pada usia sangat muda, dan dengan cara menghilangkan sebagian kecil ujung klitoris.

Berdasarkan hasil penelitian Astuti dkk (2011) melaporkan bahwa penerimaan wanita dewasa terhadap praktik sunat perempuan yang dieksplorasi melalui diskusi kelompok terarah dengan ibu-ibu yang dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikannya, didapatkan respon yang cukup berbeda. Pada ibu-ibu berpendidikan SMA ke atas penerimaan terhadap sunat perempuan lebih terbuka dan bisa melihatnya dari sudut pandang kepentingan kesehatan, isu agama dan adat, dipandang tidak akan menjadi kendala sejauh pemahaman yang baik diberikan. Ibu-ibu dari pendidikan SMP ke bawah masih ada yang memandang sunat perempuan erat kaitannya dengan isu bukan tradisi dan budaya. Demikian juga halnya tentang penerimaan terhadap sunat perempuan pada kelompok ini menyatakan akan bisa menerima untuk alasan kesehatan walaupun lebih menyerahkan keputusan pada suami baik untuk sunat perempuan pada suami maupun anak laki-laki mereka.

Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada dengan judul laporan akhir “Male and Female Genital Cutting Konteks, Makna, dan Keberlangsungan Praktik dalam Masyarakat Yogyakarta dan Madura”, bahwa praktik sunat


(49)

perempuan yang melibatkan tindakan untuk melukai alat kelamin perempuan dilakukan dengan cara memotong atau menggores pada ujung klitoris, atau pada bagian labia. Yang terpenting dari penggoresan ini adalah keluarnya sedikit darah yang menandakan bahwa prosedur tersebut telah sah menurut agama. Dasar diparktikkannya sunat perempuan di Indonesia masih sangat bercampur antara kepercayaan, adat, dan agama. Tindakan sunat perempuan di Indonesia biasanya dipraktikkan oleh Dukun wanita, yang secara turun-temurun telah mewarisi kemampuan ini, namun pada masa sekarang tidak sediktit peran dari Dukun tersebut yang telah digantikan oleh petugas kesehatan seperti Bidan (Irianto, 2006).

Praktik sunat perempuan yang dilakukan oleh petugas kesehatan, bertindak berdasarkan Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010 pasal 4 Ayat 2 yaitu, menetapkan pelaksanaan sunat perempuan dilakukan dengan prosedur tindakan sebagai berikut :

a. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir selama 10 (sepuluh) menit.

b. Gunakan sarung tangan steril.

c. Pasien terbaring terlentang, kaki direntangkan secara hati-hati. d. Fiksasi lutut dengan tangan, vulva ditampakkan.

e. Cuci vulva dengan povidon iodine 10%, menggunakan kain kasa. f. Bersihkan kotoran (smegma) yang ada diantara frenulum klitoris dan


(50)

g. Lakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris

(frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai berukuran 20G-22G dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris.

h. Cuci ulang daerah tindakan dengan povidon iodine 10%. i. Lepas sarung tangan. dan

j. Cuci tangan dengan sabun dengan air bersih yang mengalir.

2.2 Alat Kelamin Wanita dan Fungsinya

Menurut Makarau (2009) menyebutkan bahwa, pengertian seks atau jenis kelamin berhubungan dengan perbedaan biologi antara perempuan dan laki-laki. Seks merupakan anugerah yang melekat pada manusia sejak lahir yang tidak mungkin kita ubah. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui.

2.2.1 Alat Kelamin Bagian Luar/ Genetalia Eksterna

Menurut Maryunani (2010) bahwa alat kelamin luar atau organ genetalia eksterna atau organ reproduksi luar, yang juga disebut pudenda merupakan bagian organ reproduksi wanita yang berada di luar tubuh. Istilah anatominya untuk alat kelamin wanita bagian luar adalah vulva.


(51)

Organ reproduksi luar wanita terdiri dari, yaitu: 1. Mons pubis (mons veneris)

Disebut juga sebagai tundun atau gunung venus, merupakan bagian yang menonjol di bagian depan simfisis, terdiri dari jaringan lemak dan sedikit jaringan ikat. Mons pubis adalah bukit bulat di sebelah

anterior terhadap simfisis pubis, yang dibentuk oleh masa jaringan lemak sub-kutis dan ditumbuhi oleh rambut pubis. Fungsi mons pubis

yaitu berperan dalam sensualitas dan melindungi simfisis pubis selama

koitus (Gunardi, 2005). 2. Labia mayora (bibir besar)

Disebut juga sebagai labium mayus, terletak di bawah atau kelanjutan dari mons pubis dan berbentuk bibir dan lonjong. Menurut Hamilton (1999) labia mayora adalah lipatan kulit yang besar dan jaringan lemak yang memanjang ke arah belakang dan ke bawah dari mons

sampai sekitar 1 inchi dari rektum. Labia mayora homolog embriologik dengan skrotum pada laki-laki dan memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap sentuhan nyeri, dan suhu yang tinggi (Maryunani, 2010).

3. Labia minora (bibir kecil)

Disebut juga labia minus, merupakan lipatan jaringan tipis dibalik


(52)

kiri). Labia minora adalah lipatan dibagian dalam bibir besar tanpa rambut (Sibagariang dkk, 2010).

Labia minora terletak di atas klitoris bibir ini bertemu dan membentuk

prepusium klitoris dan di bawahnya bertemu membentuk prenulum klitoridis. Bibir ini mengelilingi orifisium vagina. Kulit bibir kecil mengandung banyak kelenjar-kelenjar sebasea (kelenjar lemak), yang melumasi kulit vulva dan waterproof atau tahan air pada kulit vulva

dan memberikan sekresi antibakteri (Maryunani, 2010). 4. Klitoris

Klitoris merupakan struktur erektil yang terletak postero-inferior

terhadap komisura anterior, sebagian tertutup oleh ujung bifurkasi bagian anterior labia minora (Gunardi, 2005). Klitoris disebut juga sebagai kelentit yang berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “kunci” karena klitoris dianggap sebagai kunci seksualitas pada wanita,

klitoris adalah homolog dengan penis laki-laki. Letaknya anterior

dalam vestibula. Mengandung banyak urat-urat saraf sensoris, dan pembuluh-pembuluh darah. Kira-kira sebesar kacang hijau sampai cabai rawit dan ditutupi Frenulum klitoridis. Glans klitoris berisi jaringan yang dapat berereksi, sifatnya amat sensitif karena memiliki serabut saraf dan hal ini tidak sama pada setiap wanita (Maryunani, 2010).


(53)

5. Prepusium klitoris

Prepusium klitoris merupakan penutup klitoris, berupa lipatan kulit, yang berbentuk seperti kait. Kadang-kadang prepusium menutupi

klitoris, sehingga area ini terlihat seperti lubang atau muara (Maryunani, 2010).

6. Vestibulum

Vestibulum disebut juga sebagai serambi atau beranda (ruangan tempat masuk ke saluran), yaitu celah antara kedua labia minora, berisi orifisium vagina, orifisium uretra eksternum dan muara-muara

gastrointestinal (Gunardi, 2005).

Menurut Maryunani (2010) vestibulum merupakan alat reproduksi luar yang dibatasi oleh:

1. Kanan dan kiri oleh kedua labia minora

2. Batas atas: Klitoris

3. Batas bawah: Fourchett

Vestibulum terdiri dari 6 lubang/ orifisium, yaitu:

1. Orifisium uretra ekternum (lubang kemih/ lubang kencing).

2. Dua duktus skene, untuk penghasil sejumlah lendir yang berfungsi sebagai pelumas melalui ostium pada masing-masing meatus urinaria. 3. Dua kelenjar barholini, yaitu kelenjar paravagina atau vestibulum

mayus atau vestibulum mayora atau vulvovagina. Pada saat koitus,


(54)

kecil lendir yang jernih dan lengket. Keasaman lendir yang rendah (pH tinggi) baik untuk sperma.

4. Introitus vagina, yaitu terletak di bagian bawah vestibulum. Jika bibir kecil dibuka, maka introitus vagina dapat dilihat ditutupi oleh hymen. Hymen disebut juga selaput dara, yang merupakan lapisan tipis dan menutupi sebagian besar dari pintu introitus vagina, bersifat rapuh dan mudah robek. Hymen adalah lipatan mukosa yang tipis, tepat di sebelah dalam orifisium vagina (Gunardi, 2005). Ada 4 macam bentuk

hymen yaitu :

1. Hymen anullaris (melingkar seperti cincin) 2. Hymen seminullaris (seperti bulan sabit) 3. Hymen cribriformis (seperti saringan tahu) 4. Hymen imperforata (tertutup / tidak berlubang)

Penyakit yang bisa timbul dari Organ ini adalah Hematocolpos yaitu Sebuah penyakit yang timbul karena darah menstruasi tidak dapat mengalir ke luar karena tertahan oleh hymen yang tidak berlubang. Lubang-lubang pada hymen berfungsi sebagai tempat keluarnya sekret dan darah haid.

7. Fourchette

Maryunani (2010) menjelaskan bahwa fourchette adalah lipatan jaringan transversal yang pipih dan tipis terletak pada pertemuan ujung bawah labia mayora dan minora di garis tengah di bawah orifisium vagina. Ujung atas


(55)

(depan) labia minora terbelah menjadi 2, sebelah lewat melengkung di atas klitoris, dan sebelah lagi di bawahnya, ujung bawah (belakang) labia minora kiri dan kanan bergabung membentuk fourchette dan fourchette ini akan selalu robek sewaktu wanita melahirkan.

8. Perineum

Perineum adalah daerah muskular yang ditutupi kulit antara orifisium vagina dan anus (Hamilton, 1999).

2.2.2 Alat Kelamin Bagian Dalam/ Genetalia Interna

Menurut Maryunani (2010) menjelaskan bahwa organ reproduksi wanita bagian dalam, yang tidak dapat dilihat kecuali dengan pembedahan, yaitu:

1. Vagina

Suatu saluran musculo-membranosa yang menggambungkan uterus

dengan vulva. Terletak antara vesika uterina dan rektum ke dalam puncak vagina menonjol ujung dari cervix. Bagian dari cervix yang menonjol dalam vagina disebut portio. Oleh portio ini puncak vagina

di bagi menjadi 4 bagian adalah fornix anterior, fornix posterior, dan

fornix lateral dextra dan sinistra. Vagina mempunyai manfaat penting, yaitu:

a. Sebagai saluran keluar dari uterus yang dapat mengalirkan darah waktu haid dan sekret dari uterus.

b. Sebagai alat persetubuhan.


(56)

2. Uterus

Uterus adalah organ otot yang berdinding tebal yang berfungsi sebagai tempat implantasi ovum yang telah dibuahi dan juga sebagai tempat perkembangan dan pemberian makanan kepada Janin yang berada di dalamnya.

3. Tuba fallopii

Tuba fallopii adalah struktur muskular dengan panjang hampir mencapai 5 inchi, yang diletakkan pada salah satu sisi corpus atas

uterus dan terdapat dua saluran, yaitu saluran kanan dan kiri. 4. Ovarium

Disebut dengan indung telur, ovarium adalah organ endokrin berbentuk oval, terletak di dalam rongga peritoneum, sepasang kiri dan kanan, yang dilapisi mesoovarium sebagai jaringan ikat dan jalan pembuluh darah dan syaraf, serta terdiri dari korteks dan medula.

2.3 Masyarakat Alas

Kata Alas berasal dari keadaan alamnya yang terbentang indah seperti ”tikar”. Menurut Muhammad Umar, bahwa kata Alas dapat diartikan ”dasar” serta dasar juga dapat diartikan ”pertama”, sehingga kata Alas menjadi dasar dan pertama, maka dapat dimaknai bahwa suku yang pertama yang mendiami daerah tersebut dinamakan ”ALAS” (Ridwan, 2005). Menurut LAKA (2003) suku Alas di Kabupaten Aceh Tenggara memiliki 26 marga, yaitu : Bangko, Deski, Keling,


(57)

Kepale Dese, Keruas, Pagan, Selian, Acih, Beruh, Gale, Karo-karo, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe, Pase, Pelis, Pinim, Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang dan marga Tarigan.

2.3.1 Asal Usul Masyarakat Alas

Menurut Ridwan (2005) yang mengutip dari beberapa sumber, menjelaskan bahwa asal usul masyarakat Alas berasal dari beberapa unsur, yaitu:

1. Berasal dari Aceh dan membentuk kerajaan, yang pertama dan bermukim di Batu Boguh (Kerajaan Raja Dewa).

2. Berasal dari pesisir Aceh Utara dan berpindah kebagian pegunungan di sekitar danau Laut Tawar, sebagian lagi berpindah ke Gayo Lues (Gumpang) dan sebagian lagi bermungkim di Lembah Alas. Penduduk tersebut membentuk kerajaan ke 2, yaitu Kerajaan Bambel dan bermukim di Desa Perapat Tinggi.

3. Perpindahan penduduk dari Pak-Pak (Dairi) dan membentuk Kerajaan Pulonas.

4. Dari Singkil (orang Melayu/ suku Singkil) melalui Sungai Simpang Kanan ke Kutacane dengan menggunakan perahu melalui Sungai Alas (Lawe Alas).

5. Tapanuli, Kabanjahe (suku Karo dan Pak-Pak/ Dairi) melalui jalan setapak menuju ke Kutacane, dan suku Karo mendiami desa Pulo Sepang merupakan asal usul penduduk Perapat Hilir.


(58)

6. Dibawa dari Medan oleh Belanda yang bernama Letnan. De Boer, 600 orang pemikul yang terdiri dari orang-orang Cina, Melayu, dan Batak pada tanggal 26 Juni 1904.

7. Perpindahan penduduk yang disebabkan perdagangan yaitu dari Singkil (orang Melayu dan orang Singkil) melalui Sungai Simpang Kanan ke Kutacane menggunakan perahu melalui Sungai Alas (Lawe Alas).

8. Pengungsian, yang berasal dari Sumatera Utara, yaitu suku Karo dan Tapanuli pada Ageresi I Belanda tahun 1947 dan II tahun 1948.

9. Penduduk Takengon lalu ke Belang Kejeren melalui jalan setapak dan menggunakan transportasi hewan (kuda atau kerbau) menuju ke Kutacane.

Penduduk yang datang dari berbagai daerah tersebut di atas memasuki daerah pedalaman dan di sekitar pinggiran sungai alas di Kutacane. Dapat disimpulkan bahwa asal masyarakat Alas sangat beragam dan berpariasi menjadi sebuah suku yaitu ”SUKU ALAS” dengan bermacam-macam marga.

2.3.2 Sunat pada Masyarakat Alas

Hasil Musyawarah Adat Alas dan Gayo (2003) menjelaskan bahwa menurut adat istiadat masyarakat suku Alas apabila hendak menyunat (Alas :

pesenatken) anaknya maka kedua orang tua bermusyawarah apakah dalam pelaksanaan sunat tersebut mampu dilaksanakan secara besar-besaran atau sekedarnya saja, bila sudah sepakat antara kedua orang tua si anak maka terlebih


(59)

dahulu sekedar pemberitahuan kepada keluarga terdekat dari Bapak orang tua, saudara-saudara dari Bapak si anak selanjutnya akan melaksanakan beberapa tahapan adat, yaitu:

1) Ngateken tebekhas; yaitu merupakan acara adat dimana pihak keluarga si anak datang ke rumah wali/ pihak pemamanen pihak paman dari si anak untuk memberitahukan bahwa bere/ kemenakan atau cucu kalian akan dilaksanakan acara pesenatken.

2) Acara titah perintah; setelah dilaksanakan ngateken tebekhas maka pihak keluarga yang melaksanakan sunat mengundang semua keluarga terdekat dan masyarakat kampung datang ke rumah sambil memberitahukan bahwa pekerjaan/ acara sunatan dimulai pada hari yang ditetapkan, njagai sekian malam, kedatangan tamu pemamanen dan sebagainya yang dianggap penting untuk disampaikan. Setelah disampaikan oleh keluarga tersebut, kita diserahkan untuk bersama-sama bertanggungjawab pelaksanaanya sambil langsung membentuk panitia pelaksanaanya, hal ini disebut dengan

titah perintah.

3) Mbagah (mengundang); pada hari yang telah ditentukan diteruskan dengan

mbagah jika pekerjaan tersebut besar maka di dalam acara mbagah ada beberapa cara, yaitu:

a. Mbagah pemamanen (mengundang kembali pihak wali) kepastian hari puncak acara (hari H).


(60)

b. Mbagah te beken anak malu (mengundang saudara-saudara dari pihak suami yang telah menikah dengan orang luar desa (saudara perempuan) mereka datang pada saat njagai yang dilaksanakannya. c. Mbagah persaudaraan (mengundang saudara terdekat atau kerabat). d. Mbagah te beken sukut atau sade buet.

4) Persiapan menyambut pemamanen

5) Persiapan bagi pemamanen yang datang; dan 6) Acara sunat dan njagai pada malam harinya.


(61)

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat etnografis dengan penggambaran analitis yang dilakukan secara kualitatif, penelitian fokus kepada pola pikir dan pengetahuan masyarakat Alas tentang sunat perempuan. Pendekatan kualitatif yang dimaksud, seperti yang dijelaskan Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2001) bahwa, mengartikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati, yang diarahkan pada latar individu tersebut secara menyeluruh (holistic) dan utuh.

Sedangkan tipe pendekatan deskriptif yang dimaksud adalah, untuk memberikan gambaran yang terperinci dari pengetahuan masyarakat tentang permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Sehingga dengan tipe deskriptif ini peneliti dapat memberikan gambaran secara benar dan cermat tentang masing-masing subjek penelitian baik berupa pengetahuan, pandangan, pelaksanaan dan harapan masyarakat apa yang menjadi tradisi bagi etnis mereka

Data kualitatif dikumpulkan dengan wawancara mendalam (indepth interview), dengan cara mengajukan pertanyaan kepada informan secara menyeluruh untuk mendapatkan informasi dari informan. Selain secara indepth


(62)

interview, pengumpulan data kualitatif juga dilakukan dengan observasional

yaitu, dengan melakukan pengamatan secara menyeluruh terhadap prilaku dan kebiasaan masyarakat Alas dalam hal pelaksanaan sunat perempuan. Pengamatan dilakukan bagaimana sunat perempuan dilakukan secara tradisi maupun secara medis pada masyarakat Alas. Dengan demikian, observasional ini dilakukan dengan mengamati pelaksanaan praktik sunat perempuan oleh dukun sunat perempuan (Alas : mudim de bekhu) dan Bidan yang melakukan sunat perempuan. Oleh karena itu, jenis data yang digunakan adalah data kualitatif, maka proses selanjutnya mengkualitatifkan data tersebut.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Kabupaten Aceh Tenggara Propinsi Aceh. Alasan peneliti memilih lokasi tersebut, karena di lokasi penelitian masih berlangsung praktik sunat perempuan sampai saat ini.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan Mei sampai dengan Juni tahun 2013.

3.3 Informan Penelitian

Adapun informan dalam penelitian ini adalah dukun sunat perempuan (Alas : mudim de bekhu), Bidan, perempuan yang sudah dan belum menikah, tokoh adat Alas dan tokoh agama serta masyarakat Alas secara umum yang


(63)

mengetahui informasi tentang sunat perempuan. Adapun informan kunci dalam penelitian ini adalah mudim de bekhu dan tokoh adat Alas.

3.3.1 Syarat Informan

Untuk menentukan atau menetapkan informan diperlukan syarat dari informan penelitian. Syarat informan dalam penelitian ini adalah masyarakat Alas, baik yang berdomisili di Kabupaten Aceh Tenggara atau di luar Aceh Tenggara. Selain bersedia menjadi informan, seorang informan juga harus bersedia diwawancarai serta memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menceritakan tentang praktik sunat perempuan pada masyarakat Alas, semua informasi yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

3.3.2 Proses Penelusuran Informan

Proses penelusuran informan dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan. Untuk informan mudim de bekhu, dari 8 orang mudim yang sudah ditemui, hanya 1 orang mudim yang bersedia menjadi informan. Hal ini disebabkan karena mudim lainnya tidak bersedia untuk diwawancarai, sulitnya mendapatkan informan ini karena, mudim merasa sangat tidak pantas bicara masalah sunat perempuan kepada anak laki-laki, sehingga peneliti merasa kesulitan. Namun dengan pendekatan melalui anak mudim tersebut, yang secara kebetulan teman bergaul peneliti sehari-hari, akhirnya informan dari mudim de bekhu dapat dijadikan informan yang baik, walaupun jadwal peneliti untuk bertemu dengan informan ditentukan oleh informan, yaitu pada malam hari di rumah anaknya di Desa Biakmuli Kecamatan Bambel Kabupaten Aceh Tenggara.


(64)

Hal ini dikarenakan, informan tidak merasa nyaman membicarakan masalah penelitian ini didengar oleh orang lain seperti anak, cucunya dan tetangganya.

Hal yang sama juga terjadi pada penelusuran informan dari anak perempuan yang sudah menikah dan anak perempuan yang belum menikah namun sudah disunat. Peneliti awalnya melakukan penelusuran informan pada orang yang peneliti kenal dan dekat dengan tempat tinggal peneliti. Ternyata hal ini tidak berhasil, karena dalam kebiasaan suku Alas, sangat mengenal rasa sungkan terhadap orang yang dikenal (Alas : tahat ate). Sehingga peneliti memilih informan dari teman kerja atau orang yang baru dikenal, karena mereka lebih menerima alasan yang dijelaskan peneliti, mengapa peneliti melakukan wawancara tentang sunat perempuan.

Sedangkan informan dari tokoh agama dan tokoh adat lebih mudah menemukannya, karena tokoh masyarakat ini, peneliti dapat menemui informan di sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Tenggara dan sekretariat Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Tenggara, atau di rumah informan dengan jadwal yang telah disepakati. Informan tidak menolak untuk diwawancara, karena peneliti membawa Surat Rekomendasi Penelitian secara resmi dari bapak Bupati Aceh Tenggara, karena surat ini diangap sebagai perintah dari pemerintah untuk memberikan informasi yang dibutuhkan dalam peneliti ini. Sulitnya dalam proses penelusuran informan dalam penelitian ini, sehingga peneliti menyarankan untuk peneliti yang mau mengangkat tentang


(65)

sunat perempuan, sebaiknya dilakukan oleh seorang perempuan dan dari suku lain, sehingga segala kendala yang ada dalam penelitian ini tidak kan terjadi.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder. Data primer yang diperoleh melalui indepth interview dan observasi

pada informan, sedangkan data sekunder adalah literatur antara lain dapat berupa: jurnal, hasil-hasil penelitian terdahulu, dokumen, dan makalah. Metode pengumpulan data yang paling mewakili karakteristik penelitian kualitatif adalah

indepth interview dan observasi. Pengumpulan data dengan wawancara dilakukan di rumah informan, warung kopi, kantor tempat kerja informan dan tempat umum seperti Bus Umum, Masjid dan Balai Desa. Dalam proses wawancara peneliti berupaya mengkondisikan keadaan dengan santai, rileks, tidak formal dan seperti halnya percakapan biasa antara 2 orang teman.

Wawancara terus dilakukan sampai informasi yang dibutuhkan oleh peneliti dirasa sudah cukup, dan memperhatikan waktu penelitian yang telah ditetapkan peneliti sebelumnya. Setelah hal tersebut di atas, maka peneliti dapat menghentikan proses wawancara. Untuk melengkapi data wawancara dengan informan, peneliti harus mencari orang tua atau keluarga yang akan menyunat anak perempuannya. Dengan demikian peneliti dapat melakukan pengamatan, bagaimana pelaksanaan praktik sunat perempuan pada masyarakat Alas


(1)

Kalyanamitra., 2012. Sunat Perempuan: Dampak yang Ditimbulkan, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, diakses Juli 2012;

Lembaga Adat Kebudayaan Aceh (LAKA)., 2003. Musyawarah Adat Alas dan Gayo Ke-1, Kutacane.

Luhulima, A.S., 2006. Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bntuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Anggota IKAPI DKI Jaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lubis, D.B., 2006. Female Genital Mutilation: Penghilangan Hak Wanita Atas Tubuhnya dalam Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Makarau, R.N., 2009. Gender Dalam Bidang Kesehatan, Bandung: Alfa Beta. Maryunani, A., 2010. Biologi Reproduksi Dalam Kebidanan, Cetakan Pertama,

Jakarta: Trans Info Media.

Manuaba, G.B.I., 1999. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, Jakarta: Arcan.

Muhamad, K., 1998. Kontradiksi Dalam Kesehatan Reproduksi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Muhammad, H., 2011. Khitan Perempuan: Untuk Apa? diakses April; http://www.komnasperempuan.or.id/2011/04/khitan-perempuan-untuk-apa/ Munir, A.A., 2007. Hukum dan Hikmah Khitan Wanita Menurut Hukum Islam,

Makalah;

Moleong, L.J., 2001. Metode Penelitian Kualitataif, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Moleong, L.J., 2007. Metode Penelitian Kualitataif, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.


(2)

Nasution, F., 2009. Sunat Perempuan (Rekontruksi Pengetahuan dari Praktik Khitan Perempuan pada Keluarga Jawa Medan, Studi Kasus di Marelan), Skripsi, Departemen Antropologi, Medan: Universitas Sumatera Utara. Pinim, S., 2009. Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi, Jakarta: Trans Info

Media.

Putranti, B.D., 2003. Sunat Perempuan: Cermin bangunan sosial seksualitas masyarakat Yogyakarta dan Madura, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gajah Mada.

Ridwan, S.Sos., 2005. Sejarah Perjuangan Masyarakat Alas, Cetakan ke-dua. Kutacane.

Saadawi, N.E., 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki, Jogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sibagariang, E.E., Pusmaika, R., dan Rismalinda., 2010. Kesehatan Reproduksi Wanita, Jakarta: Trans Info Media.

Solikhah, A., 2012. Khitan Perempuan Bukanlah Kekerasan, diakses 27 Desember;

Sufi, R., Wibowo., A.B., dan Waryanti, S., 2008. Sejarah dan Adat Istiadat Masyarakat Alas di Aceh Tenggara, Banda Aceh: Badan Arsip dan Perpustakaan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Sumarni, W.D., 2005. Sunat Perempuan Dalam Bayang-bayang Tradisi, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Tempo., 2013. Menkes: Sunat Perempuan Tak Dilarang, tanggal 21 Januari; http://www.tempo.co/read/news/2013/01/21/078455979/Menkes-Sunat-Perempuan-Tak-Dilarang


(3)

WHO., 2001. Female Genital Mutilation, Geneva: Student Manual.

______,2007. Eliminating Femele Genital Mutilation, A Joint WHO/UNICEF UNFPA Statement, Geneva.

______,2008. Eliminating Femele Genital Mutilation, an Interagency Statement UNAIDS, UNDP, UNECA, UNESCO, UNFPA, UNHCR, UNICEF, UNIFEM, WHO, Geneva.

______,2011. An update on WHO’s Work on Female Genital Mutilation (FGM), Geneva: Progress Report.

________., 2012. Female Genital Mutilation. WHO information Fact Sheet No. 241, June 2000, diakses Februari;

Wiknjosastro, G.H., Sumapraja, S., Santoso, S.S.I., Musbir, W., Koesno, H., dan Lesari, H., 2006. Kesehatan Reproduksi: Modul Mahasiswa, Jakarta: Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan Bekerja Sama dengan Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI dan Ikatan Bidan Indonesia. Zulkarnain, S., 2012. Perempuan Dilarang Sunat, diakses 18 Maret;


(4)

Lampiran 3 : Daftar Pertanyaan

1. Dapatkah anda ceritakan kepada saya tentang sunat perempuan ? 2. Apa makna sunat perempuan bagi masyarakat Alas ?

3. Bagaimana kedudukan sunat perempuan dalam budaya suku Alas, sehingga praktik ini terus dijalankan ?

4. Apa alasan atau yang melatar belakangi sehingga sunat pada perempuan dilakukan oleh masyarakat Alas ?

5. Bagaimana menururt anda dampak yang dapat ditimbulkan akibat sunat pada anak perempuan ?

6. Apakah ada manfaat kesehatan bagi perempuan sehingga harus disunat ? 7. Bisakah anda ceritakan kepada saya, bagaimana pelaksanaan sunat

perempuan yang anda lakukan (untuk mudim) ? dan makna-maknanya dalam pelaksanaan tersebut ?

8. Alat apa yang anda gunakan untuk melakukan praktik sunat tersebut ? 9. Bisakah anda ceritakan kepada saya, bagaimana pelaksanaan sunat

perempuan yang anda lakukan secara medis ?


(5)

12.Apakah sunat perempuan dapat menggangu fungsi seksualitas yang anda rasakan ? terutama kepuasan dalam berhubungan dengan suami anda ? 13.Mengapa anda mau menyunat anak perempuan anda ?

14.Pada saat kapan anak perempuan anda disunat ?

15.Mengapa anda lebih percaya kepada dukun sunat perempuan / mudim de bekhu, mengapa tidak dilakukan oleh Dokter, Bidan atau Perawat untuk menyunat anak perempuan anda ?

16.Apakah anda tidak takut pada saat disunat ?

17.Apa yang anda rasakan, setelah anda tau anda sudah disunat ? 18.Apa ada hukuman bila anak perempuan tidak disunat ?

19.Apakah anda tau sunat perempuan masih menjadi masalah pro-kontra ? bagaimana pandangan anda sendiri ?

20.Apakah anda nantinnya akan menyunat anak perempuan anda ?

21.Bisa anda ceritakan kepada saya, mengapa anda percaya dengan mitos-mitos tentang sunat perempuan ?

22.Jika suatu hari pemerintah melarang sunat perempuan di Indoneisia, apa yang akan anda lakukan ?


(6)