Tomat Perkembangan Ekspor Hortikultura Indonesia di ASEAN

Berdasarkan data UNComtrade, Indonesia menjadi produsen terbesar untuk komoditi temulawak di pasar ASEAN. Indonesia memiliki nilai RCA tertinggi pada tahun 2007, 2009 dan 2011, sebab pangsa ekspor temulawak Indonesia mencapai 50 persen dari ekspor temulawak ASEAN di tahun-tahun tersebut. Hal ini disebabkan permintaan pasar terhadap temulawak terus meningkat karena adanya tren baru di masyarakat untuk menggunakan bahan alami sebagai pengganti bahan-bahan sintetik untuk bahan baku obat Cahyono et al 2011. Temulawak selalu menjadi bahan baku jamu-jamu yang ada di Indonesia. Sementara itu temulawak Malaysia hanya memiliki daya saing yang lemah pada tahun 2007, 2009, dan 2010. Sedangkan temulawak Singapura kurang memiliki daya saing pada periode tahun 2007 sampai 2012. Tabel 29 Nilai AR Temulawak Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012. No. Negara Produsen Nilai AR 1 Indonesia 0.519 2 Malaysia 0.453 3 Singapura 0.267 Sumber : UNComtrade diolah, 2013 Hasil estimasi nilai AR menunjukkan bahwa Indonesia, Malaysia dan Singapura memiliki kesempatan yang sama untuk merebut pasar temulawak di ASEAN. Ketiga negara tersebut memiliki nilai AR yang positif. Indonesia memiliki nilai AR paling tinggi dibandingkan negara-negara pesaingnya, sehingga komoditi temulawak Indonesia lebih memiliki kekuatan untuk merebut pasar. Namun agar lebih bersaing, temulawak Indonesia perlu memenuhi standar yang diterapkan oleh negara-negara pengimpor temulawak. Para petani temulawak perlu memperbaiki mutu dan kualitas temulawak yang akan diekspor, karena Indonesia merupakan negara asal temulawak Said 2007 Tabel 30 Nilai ECI Temulawak Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012. No. Negara Produsen Rata-Rata ECI 1 Indonesia 1.337 2 Malaysia 2.148 3 Singapura 1.190 Sumber : UNComtrade diolah, 2013 Berdasarkan hasil estimasi rata-rata ECI, baik Indonesia, Malaysia, maupun Singapura sebagai negara produsen temulawak, sama-sama memiliki tren daya saing yang meningkat di pasar ASEAN karena sama-sama memiliki nilai yang lebih dari satu. Karena persaingan yang sangat ketat ini, temulawak Indonesia harus lebih dikembangkan lagi agar dapat tetap bersaing di pasar ASEAN. Nilai rata-rata ECI Indonesia lebih rendah dari Malaysia diakibatkan oleh fluktuasi nilai ekspor temulawak Indonesia di pasar ASEAN pada periode 2007 sampai 2012. Fluktuasi nilai ekspor temulawak Indonesia tidak lepas dari pengaruh kendala-kendala dalam produksi temulawak. Kendala utama yang dihadapi dalam produksi tanaman obat, khususnya temulawak adalah masih terbatasnya paket teknologi kultur teknik budidaya yang dianjurkan untuk para petani. Sekalipun teknologi tersebut sudah dihasilkan, namun belum sampai pada tingkat petani, sehingga rata-rata produksi yang diperoleh rendah dan pemasarannya tidak menentu Rukmana 1995.

6.1.8 Bunga Potong

Dalam lima tahun terakhir, Malaysia selalu memiliki nilai RCA lebih dari satu. Hal ini menunjukkan pangsa komoditi bunga potong di Malaysia lebih besar dari pangsa rata-rata ketiga komoditi tersebut di pasar ekspor ASEAN, atau dengan kata lain Malaysia lebih memiliki spesialisasi pada komoditi tersebut karena ekspor komoditi bunga potong Malaysia memiliki daya saing yang kuat di pasar ASEAN. Singapura selalu memiliki nilai RCA kurang dari satu setiap tahunnya, yang berarti Singapura tidak berspesialisasi pada komoditi bunga potong karena daya saing komoditi tersebut di pasar ASEAN lemah. Tabel 31 Nilai RCA Bunga Potong Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012. Tahun Negara Pesaing Indonesia Malaysia Singapura Thailand 2007 3.457 0.075 1.189 0.403 2008 3.408 0.143 1.173 0.285 2009 3.220 0.122 1.430 0.289 2010 3.603 0.112 1.233 0.331 2011 3.639 0.095 1.270 0.367 2012 2.850 0.073 0.932 1.506 Sumber : UNComtrade diolah, 2013 Nilai RCA Indonesia selalu kurang dari satu pada tahun 2007 hingga 2011. Ini berakibat pada tahun tersebut, komoditi bunga potong Indonesia memiliki daya saing yang lemah di pasar ASEAN. Namun pada tahun 2012, daya saing bunga potong Indonesia menjadi kuat, yang ditunjukkan dengan nilai RCA Indonesia lebih dari satu pada tahun tersebut. Hal ini diakibatkan meningkatnya nilai ekspor bunga potong Indonesia, yaitu dari US 1 214 000 pada tahun 2011 menjadi US 6 212 000 pada tahun 2012. Perkembangan daya saing bunga potong Indonesia pada tahun 2012 ini mengindikasikan bahwa komoditi ini berpeluang untuk dikembangkan di pasar ASEAN. Hasil penelitian Soekartawi 1996 menunjukkan bahwa elastisitas permintaan terhadap bunga potong mencapai 0.204. Hal ini menunjukkan bahwa usaha bunga potong masih memiliki peluang yang cukup baik untuk dikembangkan karena melihat permintaan bunga potong yang masih stabil di pasar internasional. Tabel 32 Nilai AR Bunga Potong Indonesia dan Negara Pesaing di Pasar ASEAN Tahun 2007-2012. No. Negara Produsen Nilai AR 1 Indonesia 0.360 2 Malaysia 0.504 3 Singapura 0.056 4 Thailand 0.236 Sumber : UNComtrade diolah, 2013 Nilai AR yang pada Tabel 32 menunjukkan bahwa keempat negara produsen bunga potong di ASEAN memiliki kesempatan yang sama untuk menguasai pasar bunga potong di ASEAN. Perkembangan nilai ekspor komoditi bunga potong Indonesia dari tahun 2007 sampai 2012 memang cenderung meningkat. Namun berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Hortikultura 2012, meskipun secara kuantitaif volume dan nilai ekspor bunga potong Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup berarti, tapi jika dilihat dari kontribusi kelompok komoditi tanaman hias, termasuk bunga potong, jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok buah-buahan dan sayur-sayuran. Oleh sebab itu, budidaya tanaman hias, khususnya bunga potong, harus lebih