kembali pinjamannya. Selain dilihat dari sisi pendapatan, bagi peminjam yang memiliki pekerjaan atau berprofesi sebagai ahli
hukum perlu diperhatikan apakah kooperatif atau tidak karena dikhawatirkan peminjam dapat menghindari kewajibannya dengan
mencari kekurangan dari segi hukum atas perjanjian yang disepakati.
Musibah merupakan faktor penyebab terjadinya risiko yang berasal dari peminjam dan sifatnya tidak dapat diprediksi
sebelumnya, seperti bencana alam dan pemutusan hubungan kerja. Karakter peminjam yang tidak cooperative, terganggunya
kegiatan usaha, dan musibah yang dialami peminjam meningkatkan risiko pembiayaan.
c. Persaingan dengan Bank Lain
Perkembangan dunia usaha perbankan yang semakin agresif menyebabkan semakin ketatnya persaingan antar bank. Setiap bank
bersaing untuk terus menambah jumlah jaringan kantor pelayanan, menambahkan inovasi kedalam berbagai produk yang ditawarkan
dan memberikan kemudahan dalam bentuk persyaratan pembiayaan dan proses pencairan serta kompetitif dalam memberikan nisbah
bagi hasil kepada peminjam. Dengan semakin mudahnya persyaratan pembiayaan dan proses pencairan, maka semakin
banyak orang yang tertarik dengan sistem tersebut. Bank Syariah Mandiri merupakan pesaing utama BMI yang memberikan
pembiayaan tanpa jaminan bagi nasabah sehingga persyaratan pembiayaan dan proses pencairan lebih mudah dan cepat.
Persaingan ini meningkatkan risiko pembiayaan.
4.5. Manajemen Risiko Pembiayaan
Praktik manajemen risiko BMI mengacu pada peraturan Bank Indonesia PBI No. 58PBI2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum yang dijelaskan lebih lanjut di dalam ketentuan internal bank sebagai Pedoman Kebijakan Manajemen Risiko
PKMR. Proses
manajemen risiko dijalankan dengan melakukan 64
identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko
.
Untuk mendukung pelaksanaan tersebut dilakukan penilaian terhadap sistem
kontrol risiko yang meliputi peran aktif dewan direksi dan komisaris, kecukupan kebijakan dan prosedur, sistem informasi manajemen serta
pengendalian internal. Penerapan
manajemen risiko
diarahkan untuk
memperkuat infrastruktur manajemen risiko, yaitu kelengkapan organisasi dan SDM,
kecukupan kebijakan dan prosedur pembiayaan serta sistem informasi manajemen. Secara garis besar, beberapa langkah penting yang masih
akan dilakukan guna menyempurnakan ketiga elemen tersebut, diantaranya:
Sertifikasi manajemen risiko bagi pengurus dan pejabat bank. Review terhadap kebijakan dan prosedur pembiayaan, salah satunya
adalah penyesuaian limit persetujuan komite pembiayaan yang disesuaikan dengan kondisi risiko serta target pertumbuhan bisnis bank
Muamalat. Menyempurnakan Lembar Kerja Pencatatan dan Pelaporan Transaksi
Berisiko LKPPTB sehingga menjadi lebih komprehensif, efektif dan efisien.
Mengembangkan dan melengkapi instrumen pemeringkatan credit worthiness kelayakan nasabah.
Menguji metode pengukuran potensial loss berdasarkan database yang terbentuk .
Pengukuran profil risiko per posisi triwulanan. Perhatian manajemen terhadap pentingnya pengelolaan risiko
pembiayaan dijalankan oleh Financing Risk Management Unit mulai dari tingkat cabang, area, sampai pusat. Financing Risk Management Unit
berada di bawah pengawasan Risk Management Division dengan fungsi utama melakukan filterisasi awal terhadap setiap proposal pembiayaan
nasabah yang diajukan oleh cabang, sebelum diputuskan oleh komite pembiayaan
sesuai dengan
kewenangannya. Manajemen
risiko
pembiayaan BMI meliputi:
4.5.1. Identifikasi Risiko Pembiayaan
Proses pengidentifikasian risiko dilakukan oleh BMI dengan sistem yang terintegrasi dan terkomputerisasi. Hal ini menunjukkan
perhatian dan kesadaran bank terhadap pentingnya penggunaan teknologi informasi dalam pelaksanaan manajemen risiko, termasuk
identifikasi risiko. Pengidentifikasian dilakukan pada akhir bulan oleh analis pembiayaan. Semua data terkait angsuran dan sisa
pinjaman masuk ke dalam database sehingga dapat terlihat besarnya pembiayaan bermasalah yang terjadi. Proses pengidentifikasian ini
sangat penting untuk tahap selanjutnya.
4.5.2. Pengelompokan Risiko Pembiayaan
Setelah melalui tahap pengidentifikasian, selanjutnya dilakukan pengelompokan pembiayaan yang mengalami keterlambatan
pembayaran. Proses pengelompokan sesuai dengan peraturan Bank Indonesia No. 31147KEPDIR tanggal 12 november 1999 tentang
kualitas aktiva produktif yaitu pembiayaan dikelompokkan dalam 5 jenis kolektibilitas berdasarkan tingkat kelancaran pembayaran
kewajiban peminjam yang diukur dari jumlah hari tunggakan. Kelima jenis kolektibilitas itu antara lain kolektibilitas lancar, dalam
perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet. Pembiayaan dengan kualitas lancar dan dalam perhatian khusus digolongkan ke
dalam pembiayaan tidak bermasalah, sedangkan pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet digolongkan
dalam pembiayaan bermasalah. Besar masing-masing kolektibilitas pada tahun 2007-2010 terlihat pada Gambar 10 dan Tabel 10.
Gambar 10.Komposisi
Kolektibilitas Pembiayaan
periode 2007-2010
Sumber: PT BMI, Tbk data diolah 66
Tabel 10. Jumlah Kolektibilitas Pembiayaan Periode 2007-2010
dalam jutaan rupiah
Tahun Pembiayaan
Lancar Pembiayaan
Dalam Perhatian
Khusus Pembiayaan
Kurang Lancar
Pembiayaan diragukan
Pembiayaaan macet
Mar-07 5,854,865
310,617 91,772
18,755 124,569
Jun 6,541,362
385,492 166,589
64,451 144,189
Sept 7,381,220
287,149 225,136
117,585 198,520
Des 8,168,357
161,738 61,257
26,085 162,135
Mar-08 8,107,216
353,583 87,498
37,844 157,599
Jun 8,779,607
372,766 248,932
62,948 151,722
Sept 9,531,499
364,295 285,892
69,823 157,460
Des 9,658,805
365,739 290,389
28,895 135,741
Mar-09 9,254,621
718,529 391,753
59,801 231,191
Jun 9,836,709
858,470 181,713
57,315 201,327
Sept 9,317,690
958,950 617,000
55,236 326,684
Des 9,995,758
856,864 41,849
401,297 95,308
Mar-10 9,887, 240
1,266,885 470,396
32,783 281,896
Jun 10,484,572
1,682,672 256,803
39,585 306,336
Rata-rata 8,771,394
638,839 244,070
76,600 191,048
Persentase 88,40
6,44 2,46
0,77 1,93
Sumber: PT BMI, Tbk data diolah Dari Tabel 10, dapat dilihat bahwa rata-rata pembiayaan lancar
memiliki persentase yang paling besar diantara kolektibilitas lainnya yaitu sebesar 88,40 terhadap total rata-rata kolektibilitas.
Selama tiga tahun terakhir, kolektibilitas lancar paling rendah terjadi
pada periode
Maret 2007
yaitu sebesar
Rp 5.854.865.000.000 dan paling tinggi pada periode Juni 2010 yaitu sebesar Rp 10.484.572.000.000.
Pembiayaan dalam perhatian khusus merupakan kolektibilitas yang kedua dimana keterlambatan pembayaran kurang dari 90 hari,
dengan persentase rata-rata 6,44 terhadap total kolektibilitas. Jumlah pembiayaan dalam perhatian khusus paling tinggi terjadi
pada periode Juni 2010 yaitu sebesar Rp 1.682.672.000.000. Sedangkan paling rendah terjadi pada periode Desember 2007
yaitu sebesar Rp 161.738.000.000. Pembiayaan pada kolektibilitas kurang lancar, diragukan, dan
macet dikatakan bermasalah dan termasuk kedalam Non Performing Finance NPF. NPF adalah pembiayaan yang tidak
diikuti oleh pelunasan pembayaran pokok atau angsuran sebagaimana yang telah dipersyaratkan dalam perjanjian sehingga
ada kemungkinan potensial loss. Persentase dari total rata-rata pembiayaan kurang lancar, diragukan, dan macet yaitu masing-
masing sebesar 2,46, 0,77, dan 1,93. Kolektibilitas kurang lancar dimana keterlambatan pembayaran kurang dari 180 hari
paling tinggi terjadi pada periode September 2009 yaitu sebesar Rp 617.000.000.000 sedangkan paling rendah terjadi pada periode
Desember 2009 yaitu sebesar Rp 41.849.000.000. Kolektibilitas diragukan dimana keterlambatan pembayaran kurang dari 270 hari
paling tinggi terjadi pada periode Desember 2009 yaitu sebesar Rp 401.297.000.000 sedangkan paling rendah terjadi pada periode
Maret 2007 yaitu sebesar Rp 18.755.000.000. Kolektibilitas macet dimana keterlambatan pembayaran lebih dari 270 hari paling tinggi
terjadi pada
periode September
2009 yaitu
sebesar Rp 326.684.000.000 sedangkan paling rendah terjadi pada periode
Desember 2009 yaitu sebesar Rp 95.308.000.000.
4.5.3. Pengukuran Tingkat Risiko Pembiayaan
Setiap pembiayaan yang disalurkan memiliki potensi risiko. Besarnya risiko pembiayaan ditunjukkan oleh Non Performing
Finance NPF yaitu pembiayaan yang tidak diikuti oleh pelunasan pembayaran pokok atau angsuran sebagaimana yang telah
dipersyaratkan dalam perjanjian sehingga ada kemungkinan potensial loss. Kolektibilitas kurang lancar, diragukan, dan macet
termasuk ke dalam NPF. Rasio NPF diperoleh dari pembagian antara NPF dengan total pembiayaan yang disalurkan. Semakin
besar rasio NPF, semakin tinggi pula risiko yang ditanggung oleh bank. Tingginya NPF menunjukkan kegagalan bank dalam
mengelola dana yang ada. Nilai NPF akan mempengaruhi laba yang diperoleh dan menentukan posisi bank tersebut dinyatakan
sehat atau tidak. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, bank wajib memiliki NPF neto di bawah 5 persen. Bank dengan nilai
NPF neto di atas 5 persen akan masuk dalam program pengawasan intensif BI.
Tabel 11. Persentase Non Performing Finance pembiayaan
periode 2007-2010 dalam jutaan rupiah
Tahun NPF
Pembiayaan NPF
Gross PPAP
NPF net
Mar-07 253.096
6.400.578 3,67
141.126 2,70 Jun
375.229 7.302.083
5,14 174.617 3,93
Sept 541.241
8.209.610 6,59
218.113 4,96 Des
249.477 8.579.572
2,91 232.778 1,33
Mar-08 282.941
8.743.740 3,24
242.793 1,61 Jun
463.602 9.654.529
4,82 209.519 3,72
Sept 513.175
10.408.969 4,93
218.990 3,88 Des
455.025 10.479.749
4,34 165.685 3,80
Mar-09 682.745
10.655.895 6,41
180.509 5,99 Jun
440.355 11.135.534
3,95 210.517 3,23
Sept 998.920
11.275.560 8,86
308.363 7,32 Des
538.454 11.391.076
4,73 207.474 4,11
Mar-10 785.075
11.939.200 6,58
230.308 5,83 Jun
602.724 12.769.968
4,72 259.760 3,93
Sumber: PT BMI, Tbk data diolah Tabel 11 menunjukkan bahwa NPF pada BMI mengalami
fluktuasi setiap tahunnya. NPF gross terendah terjadi pada triwulan terakhir 2007 yaitu sebesar 2,91 dengan NPF net 1,33 dan
tertinggi pada triwulan ke tiga 2009 yaitu sebesar 8,86 dengan NPF net 7,32. Pada tahun 2009 terdapat dua periode dimana
tingkat NPF di atas 5, yaitu pada triwulan pertama sebesar 6,41 dan triwulan ke tiga sebesar 8,86. Hal ini terjadi karena situasi
ekonomi pada awal tahun 2009 masih diliputi ketidakpastian setelah krisis keuangan global akhir tahun 2008. Pada akhir 2009,
BMI mampu menurunkan posisi NPF ke level yang lebih rendah yaitu sebesar 4,73 melalui rencana kerja perbaikan dan
mengarahkan pembiayaan ke sektor yang relatif aman dan berisiko rendah. Meski demikian, tingkat NPF masih mengalami fluktuasi
yaitu pada triwulan pertama 2010, NPF meningkat mencapai 6,58 dan turun kembali pada triwulan berikutnya yaitu sebesar
4,72. Pergerakan NPF gross dapat dilihat pada Gambar 11. 69
Gambar 11. Grafik Perkembangan Rasio NPF Gross periode 2007-2010
Sumber: PT BMI, Tbk data diolah
4.5.4. Pengendalian dan Pengelolaan Risiko Pembiayaan
Pengendalian risiko pembiayaan adalah upaya untuk menjaga pembiayaan yang diberikan lancar dan produktif. Strategi
pengendalian dan pengelolaan pembiayaan BMI terdiri dari preventive control of credit dan repressive control of credit.
1. Preventive Control of Finance Preventive control of finance adalah pengendalian
pembiayaan yang dilakukan dengan tindakan pencegahan sebelum pembiayaan tersebut bermasalah. Upaya preventive
control of finance dilakukan dengan cara: a. Penetapan Prosedur dan Kebijakan Umum Pembiayaan.
Prosedur dan kebijakan pembiayaan merupakan acuan bank dalam melakukan pengendalian risiko mulai dari
pemberian pembiayaan sampai pada penagihan. Sehingga dalam penetapannya, menekankan pada aspek yuridis dan
kehati-hatian. Aspek yuridis, yaitu prosedur dan kebijakan sesuai dengan peraturan dan ketetapan Bank Indonesia.
Aspek kehatian-hatian, yaitu menjaga sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien. Prosedur dan kebijakan pembiayaan
yang baik dan teratur memudahkan koordinasi pusat dengan cabang dalam melakukan pengawasan terhadap berbagai
kemungkinan terjadinya risiko pembiayaan. 70
b. Asuransi Untuk mengurangi kemungkinan kerugian dari risiko
pembiayaan, bank melakukan kerjasama dengan beberapa asuransi, yaitu asuransi jiwa yang digunakan apabila
peminjam meninggal dunia dan asuransi pembiayaan untuk mengurangi kerugian akibat pembiayaan macet. Asuransi
yang digunakan BMI adalah asuransi jiwa sinarmas syariah untuk asuransi jiwa, sedangkan asuransi takaful untuk
asuransi pembiayaan. Pembayaran premi asuransi dilakukan saat realisasi
pembiayaan. Klaim pembiayaan diajukan kepada pihak asuransi jika terjadi pembiayaan macet. Klaim harus
memperhatikan waktu jatuh tempo dan masa berlakunya, karena jika melebihi jatuh tempo maka klaim tidak lagi
berlaku. Dana yang ditanggung oleh pihak asuransi yaitu sebesar 75 dan bank 25.
c. Peningkatan kualitas SDM SDM merupakan faktor yang sangat berpengaruh
terhadap timbulnya risiko pembiayaan. Oleh karenanya, manajemen mengadakan pelatihan sebagai upaya untuk terus
meningkatkan kualitas SDM, diantaranya: pelatihan analisa pembiayaan dan pembiayaan bermasalah, pelatihan aspek
legal dan akad-akad bank syariah, project finance and loan syndication training, serta personal development.
d. Penagihan Intensif. Penagihan secara intensif dilakukan dengan cara
memantau saldo di rekening tabungan peminjam dan melakukan potongan sejumlah angsuran saat jatuh tempo.
Apabila terdapat peminjam yang menunggak pada tahun pertama
maka dilakukan
beberapa langkah
untuk menghindari kerugian, yaitu:
1 Pengiriman surat pemberitahuan angsuran kedua. 2 Konfirmasi melalui telepon.
3 Pengiriman surat peringatan SP1, SP2, SP3, dan SP terakhir.
e. Manajemen Kolektibilitas Meningkatnya nilai kolektibilitas kualitas kurang lancar,
diragukan, dan macet mengakibatkan PPAP yang harus dibentuk semakin besar. Hal ini berdampak pada menurunnya
laba, dan CAR sehingga tingkat kesehatan pembiayaan memburuk. Oleh karenanya, pengelolaan kolektibilitas
penting dilakukan karena berpengaruh terhadap kelangsungan usaha suatu bank. Manajemen kolektibilitas dilakukan
dengan cara: 1 Mengevaluasi setiap pembiayaan, terutama pembiayaan
kolektibilitas 2,3,4, dan 5. 2 Membuat action plan penyelesaian pembiayaan
3 Membuat proyeksi coll untuk mengetahui sejak awal tingkat kesehatan pembiayaan.
2.Repressive Control of Finance Repressive control of finance adalah pengendalian dan
pengelolaan pembiayaan yang dilakukan melalui tindakan penyelesaian setelah pembiayaan tersebut bermasalah. Upaya
repressive control of finance dilakukan dengan cara: a. Proses Revitalisasi.
Revitalisasi dilakukan jika usaha nasabah diindikasikan masih berjalan dan hasil usaha nasabah masih mampu untuk
memenuhi kewajiban angsuran kepada bank. Proses revitalisasi meliputi:
1 Rescheduling Perubahan
ketentuan pembiayaan
yang hanya
menyangkut jadwal pembayaran atau jangka waktunya, sehingga
peminjam yang
terlambat membayar
pembiayaannya diberi jangka waktu tertentu untuk membayar dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
2 Reconditioning Perubahan sebagian atau seluruh ketentuan pembiayaan
termasuk perubahan jangka waktu sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo pembiayaan.
3 Restructuring Perubahan sebagian atau seluruh ketentuan pembiayaan,
termasuk perubahan maksimum saldo pembiayaan. b. Penyelesaian Melalui Jaminan
Penyelesaian melalui jaminan dilakukan jika nasabah sudah tidak memiliki usaha dan tidak kooperatif untuk
menyelesaikan pembiayaan. 1. Penyelesaian Melalui Jaminan Non Litigasi
a Off-Set Penyelesaian
pembiayaan melalui
penyerahan jaminan oleh peminjam kepada bank. Off-set dilakukan
bila peminjam bersedia untuk menjual jaminannya kepada bank. Langkah-langkah yang dilakukan untuk
melakukan off-set, antara lain: 1.Menganalisis kecukupan nilai jaminan untuk menutup
seluruh kewajiban dan biaya-biaya yang dikeluarkan saat proses off-set.
2.Negosiasi dengan peminjam untuk pembelian jaminan 3.Setelah mendapat persetujuan komite penyelesaian
pembiayaan, dilakukan jual beli. Bila nasabah ingin membeli kembali jaminan yang di beli
oleh bank, maka diberikan hak opsi kepada peminjam dengan jangka waktu berdasarkan persetujuan kedua
belah pihak. 73
b BAMUI Badan Arbitrase Muamalat Indonesia Sesuai dengan pasal 17 perjanjian pembiayaan, setiap
sengketa yang timbul antara peminjam dengan BMI, maka akan diselesaikan melalui BAMUI. Langkah-
langkah yang dilakukan, antara lain: 1.Membuat usulan penyelesaian ke komite pembiayaan.
2.Membuat surat dan pengajuan gugatan ke BAMUI. 3.Proses sidang dalam jangka waktu maksimal 6 bulan.
4.Keputusan BAMUI. 5.Pendaftaran putusan BAMUI ke pengadilan negeri.
2. Penyelesaian Melalui Jaminan Litigasi. a Gugatan Perdata
Kondisi dimana peminjam tidak dapat menyelesaikan kewajiban secara sukarela, cepat, dan tuntas melalui hak
tanggungan. Gugatan
perdata dilakukan
untuk mendapatkan
keputusan berkekuatan
hukum dan
mengikat yang wajib dilaksanakan oleh pihak terkait dalam perkara gugatan. Melalui cara ini, memungkinkan
bank untuk menguasai atau menjual aset nasabah yang bukan jaminan.
b Gugatan Pidana Kondisi dimana peminjam melakukan suatu tindakan
pidana sehingga menimbulkan kerugian. Gugatan pidana bertujuan untuk menekan psikologis peminjam supaya
mengakui kesalahan dan menyelesaikan kewajibannya. c Riil Eksekusi Jaminan
Kondisi dimana penyelesaian pembiayaan dapat dilakukan melalui jaminan yang telah diikat dengan hak
tanggungan. Riil eksekusi jaminan bertujuan untuk mengeksekusi
jaminan yang telah dibebani
hak tanggungan sehingga kewajiban peminjam dapat dilunasi.
Penyelesaian pembiayaan melalui riil eksekusi jaminan 74
dapat dilaksanakan dalam waktu singkat dan memiliki kepastian pengembalian.
d Permohonan Kepaillitan Kondisi dimana jaminan tidak dapat dilikuidasi
dengan cepat dan bank sulit bernegosiasi dengan peminjam.
4.6. Laba Bank Muamalat Indonesia
Laba yang diperoleh suatu perusahaan menunjukkan keberhasilan perusahaan
tersebut dalam
mengelola usahanya,
baik dalam
penghimpunan dana maupun penyaluran pembiayaan. Peningkatan laba dari periode ke periode berikutnya dapat dijadikan gambaran bagi pihak
yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan.
Tabel 12. Laba periode 2007-2010 dalam jutaan rupiah
Periode Jumlah Laba
Tingkat Pertumbuhan Mar 07
230687 Jun
208276 -9,71
Sept 238234
14,38 Des
220875 -7,29
Mar 08 304564
37,89 Jun
287172 -5,71
Sept 356156
24,02 Des
340891 -4,29
Mar 09 432384
26,84 Jun
372430 -13,87
Sept 302950
-18,66 Des
272746 -9,97
Mar 10 328733
20,53 Jun
354567 7,86
Sumber: PT BMI, Tbk data diolah Perkembangan laba per triwulan periode 2007-2010 mengalami
fluktuasi. Pertumbuhan laba terbesar terjadi pada triwulan pertama tahun 2008 yaitu sebesar 37,89. Hal ini didukung oleh tingginya pertumbuhan
pembiayaan pada periode tersebut yang mencapai 9,98, dimana rata-rata pertumbuhan pembiayaan per triwulan periode 2007-2010 sebesar 5,54
dan tingkat NPF gross yang rendah sebesar 3,24 dengan NPF net mencapai 1,61. Sedangkan pada tiga periode terakhir 2009, laba
mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena ketidakpastian usaha akibat krisis keuangan global akhir tahun 2008 sehingga berdampak pada
tingginya NPF yang berpengaruh terhadap pencapaian laba. Penurunan terbesar terjadi pada triwulan ketiga tahun 2009 yaitu sebesar 18,66. Hal
ini didukung oleh tingginya NPF pada periode tersebut sebesar 8,86 dengan NPF net 7,32, dimana tingkat NPF tersebut merupakan
persentase tertinggi selama periode 2007-2010. Pada triwulan pertama tahun 2010, laba kembali mengalami
peningkatan sebesar 20,53 dan terus meningkat pada periode berikutnya sebesar 7,86 terlihat pada Gambar 12. Hal ini terjadi karena upaya
remedial yang dilakukan bank dan situasi ekonomi yang mulai stabil.
Gambar 12. Grafik Perkembangan Laba Periode 2007-2010 Sumber: PT BMI, Tbk data diolah
4.7. Pengaruh Pembiayaan dan Rasio NPF Terhadap Laba