xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan sektor informal diperkotaan selain diakibatkan oleh krisis ekonomi berkepanjangan dan mengakibatkan
pengangguran juga akibat kegagalan pemerintah dalam penyediaan lapangan kerja formal, yang pada umumnya berpusat dikota. Kota menjadi pusat pembangunan
sektor formal, sehingga kota dipandang lebih menjanjikan bagi masyarakat desa. Kota bagai memiliki kekuatan magis yang mampu menyedot warga desa,
sehingga terjadi migrasi penduduk dari desa ke kota. Kondisi tersebut di atas dikenal dengan teori faktor pendorong push factor dan faktor penarik pull
factor dalam urbanisasi. Akan tetapi kota tidak seperti apa yang diharapkan kaum migran. Tenaga kerja yang banyak tidak bisa sepenuhnya ditampung sektor
formal. Lapangan kerja formal yang tersedia mensyaratkan kemampuan dan latar belakang pendidikan tertentu yang sifatnya formal, sehingga tenaga kerja yang
tidak tertampung dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya memilih sektor informal.
Pilihan untuk bekerja pada sektor informal mempunyai banyak hambatan karena pemerintah memperlakuan sektor informal berbeda dengan sektor formal.
Sektor informal yang tidak diakomodir dalam rencana tata ruang kota dalam aktivitasnya hampir selalu menempati ruang publik kota dengan segala
ketidakteraturannya dan pemerintah kabupatenkota cenderung menggunakan
xviii pendekatan kekuasaan pola usir dan gusur untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Namun demikian keberadaan sektor informal bagaikan buah simalakama, karena dari sisi ekonomi mampu mengurangi pengangguran dan
mencukupi kebutuhan masyarakat kelas menengah dan bawah serta memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah, namun disisi lain sifatnya yang sukar
diatur, seenaknya sendiri sehingga menimbulkan permasalahan tata ruang dan sosial seperti kawasan kumuh slummy, squatter, kriminalitas dan kemacetan
lalulintas sehingga fungsi ruang publik menjadi menurun. Salah satu sektor informal yaitu Pedagang Kaki Lima PKL yang tidak
diakomodir dalam rencana tata ruang kota sehingga dalam aktivitasnya selalu ”menyerbu” ruang publik kota. Ruang publik yang menjadi lokasi aktivitas PKL
diantaranya trotoar dan bahu jalan di kawasan perdagangan, dan mengakibatkan gangguan bagi pengguna yang lain seperti pembeli, pemilik toko dan pejalan kaki
yang sekedar ingin menikmati kawasan tersebut. Kawasan Perdagangan Banjaran di Kecamatan Adiwerna, Kabupaten
Tegal dengan Pasar Banjaran sebagai focal point kawasan yang terletak di Jalan Raya Selatan jalur utama Tegal-Purwokerto berlangsung aktivitas PKL yang
menempati trotoar dan bahu jalan yang menyambung sekitar 500 meter di Jalan Raya Barat ke arah Pasar Bawang.
Toko-toko di kawasan tersebut tertutup sebagian atau seluruhnya oleh tenda dan lapak-lapak PKL, sehingga menimbulkan kesan kumuh. Etalase-etalase
berisi barang dagangan yang diharapkan menjadi daya tarik pembeli untuk mendatangi toko tersebut menjadi tidak kelihatan.
xix Belum diketahui bagaimana bentuk interaksi antara pertokoan dan PKL
apakah saling menguntungkan karena kawasan menjadi ramai oleh pengunjung sehingga barang dagangan akan semakin laku atau merugikan salah satu pihak
atau keduanya karena kawasan menjadi kumuh dan semrawut sehingga pengunjung jarang melewati trotoar di kawasan perdagangan tersebut.
Lokasi aktivitas PKL yang menempati trotoar dan bahu jalan yang berhadapan dengan pertokoan dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat
bahkan menjurus konflik terbuka karena menempati trotoar atau bahu jalan tanpa ijin atau mengganggu aktivitas toko yang sudah dahulu ada.
Pemerintah Kabupaten Tegal sudah berusaha menertibkan PKL berdasarkan perda yang mengatur larangan berjualan di trotoar dan bahu jalan,
namun masih sebatas operasi penertiban. Pemerintah kabupaten belum menemukan solusi yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan PKL,
pertimbangan kemanusiaan masih menjadi kendala untuk menata kawasan kota menjadi asri, nyaman, aman dan sehat.
Penataan dan pengelolaan kawasan perdagangan harus dimulai dengan melibatkan semua stakeholder antara lain pemilik toko dan PKL sebagai pelaku
utama kawasan yang ruang aktivitasnya saling berhadapan di trotoar dan bahu jalan, bentuk interaksi aktivitas keduanya perlu dikenali dan diarahkan pada
bentuk hubungan yang saling menguntungkan dan tidak merugikan masyarakat, terutama dalam pemanfaatan trotoar dan bahu jalan.
xx
1.2 Rumusan Masalah