Fenomena Anak-anak Pemulung di Kota Medan

mengganggu kesehatan, keselamatan, dan perkembangan moral mereka. Suara Pembaruan edisi Rabu, 23 Mei 2012. Maraknya kasus anak-anak pekerja di Indonesia menimbulkan dampak yang sangat berbahaya bagi anak. Dampak yang dirasakan oleh anak adalah perubahan psikologi dan sosial anak. Dampak anak-anak pekerja bukan terdapat pada pekerjaannya, tetapi terdapat pada pengaruh akibat terlalu dini bekerja dan kurangnya kesempatan anak-anak itu untuk memperoleh pendidikan. Dampak yang paling dominan dialami oleh anak-anak pekerja adalah rawan eksploitasi. Anak- anak dieksploitasi dalam berbagai bidang, baik mental, psikologis maupun materi, dan semua dampak akibat adanya eksploitasi tersebut merugikan anak Bagong,2003:132.

2.4 Fenomena Anak-anak Pemulung di Kota Medan

Pemulung bukanlah hal yang baru di Indonesia terkhusus kota Medan. Tidak jarang terlihat pemulung sedang mengais-ngais tempat sampah yang banyak terdapat di pinggir jalan untuk mendapatkan barang-barang yang masih bisa dijual. Pemulung bisa saja tidak memiliki pilihan lain untuk memulung karena tuntutan ekonomi dan kemampuan yang tidak memadai untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Sering kali pekerjaan tanpa membutuhkan keterampilan seperti memulung menjadi pilihan terakhir masyarakat untuk mencukupi kebutuhannya. Maka dari itu, anak-anak sekalipun tidak mebutuhkan kemampuan lebih untuk Universitas Sumatera Utara menjadi pemulung. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan munculnya pemulung- pemulung yang berusia di bawah 18 tahun. Pada akhirnya anak-anak pemulung akan menjalani kehidupan sosialnya di luar lingkungan tempat tinggal, karena waktu yang banyak dihabiskan untuk memulung. Maka komunitas sosialnya adalah pemulung di tempat ia bekerja sebagai pemulung. Kehidupan sosialnya pun terbatas pada kehidupan sebagai pemulung saja, karena keterbatasan waktu yang dimilikinya. Ia mulai kehilangan waktu untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Menjadi pemulung bagi anak-anak bisa jadi sebuah pilihan atau bahkan keharusan. Pilihan tersebut tidak jauh dari hasil interaksinya dengan kelompok sosialnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Mead, pilihan untuk menjadi pemulung oleh anak-anak pun merupakan nilai-nilai yang sudah digeneralisasi oleh kelompok sosialnya. Dikota Medan banyak kita temui anak-anak yang bekerja sebagai pemulung, bahkan untuk lokasi TPA Terjun yang ada di Medan Marelan, jumlah anak yang bekerja sebagai pemulung diperkirakan mencapai 50 orang dengan usia antara 7 – 17 tahun. Anak-anak ini bekerja sebagai pemulung pada siang hari setelah mereka pulang sekolah, namun banyak juga diantara anak-anak ini yang putus sekolah karena keterbatasan materi yang dimiliki oleh kedua orang tua anak tersebut. Menjadi pemulung di TPA Terjun menjadi alternatif pekerjaan yang mereka geluti, karena mereka beranggapan menjadi pemulung mudah dilakukan tanpa tahu Universitas Sumatera Utara sebab dan konsekuensi yang harus mereka alami. Satu hal yang mereka ketahui adalah mereka bisa mencari uang untuk membantu orang tua mereka atau bahkan untuk makan mereka sehari hari. Anak-anak ini datang ke TPA Terjun membawa karung untuk tempat hasil pulungan mereka, setelah itu mereka pilah-pilah sesuai dengan kondisi barang yang mereka pulung kemudian akhirnya mereka jual ke toke yang tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Banyaknya jumlah anak yang bekerja sebagai pemulung menunjukkan masih kurangnya kepedulian terhadap anak-anak. Diperlukan kerjasama dari pemerintah dan masyarakat serta pemahaman dari orang tua utuk tidak memberikan izin kepada anak-anak untuk bekerja secara berlebihan dan tetap memberikan kebebasan kepada anak untuk bermain. Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN