11 sawit dura memiliki cangkang yang tebal 2-5 mm, tenera yang memiliki
ketebalan cangkang 1-2,5 mm dan pisifera hampir tidak mempunyai inti dan cangkang. Tenera adalah hibrida dari persilangan dura dan pisifera sehingga
memiliki cangkang intermediate 0,5-4 mm dan merupakan tipe umum yang digunakan diperkebunan. Ketebalan cangkang ini sangat berkaitan erat dengan
persentase mesokarpbuah berasosiasi dengan kandungan minyak dan persentase intibuah berasosiasi dengan rendaman inti Buana et al. 2007. Karakteristik
tipe kelapa sawit dura, tenera, dan pisifera dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik Tipe Kelapa Sawit Dura, Tenera, dan Pisifera
Tipe Cangkang mm
Mesokarpbuah Intibuah Dura
2-5 20-65
4-20 Tenera 1-2,5
60-90 3-15
Pisifera Tidak ada
92-97 3-8
Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2007 dalam Lalang, 2007
2.2. Kelapa Sawit di Indonesia
Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit
yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam dan ditanam di kebun raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial
pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di
Afrika. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa
sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera Deli dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai
5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576
12 ton ke Negara-negara Eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti
sawit sebesar 850 ton Fauzi et al. 2002. Awal pemerintahan orde baru, pembangunan kelapa sawit dalam rangka
menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sebagai sektor penghasil devisa Negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan
lahan baru untuk perkebunan. Sampai dengan tahun 1980 luas lahan mencapai 294 560 ha dengan produksi CPO sebesar 721 172 ton. Sejak saat itu lahan
perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat Fauzi et al. 2002.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusinya yang
cukup besar dalam menghasilkan devisa dan penyerapan tenaga kerja. Perkembangan pengolahan industri CPO dan turunannya di Indonesia selaras
dengan pertumbuhan areal perkebunan dan produksi kelapa sawit sebagai sumber bahan baku. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan buah kelapa sawittandan
buah segar hulu kemudian diolah menjadi minyak sawit mentah hilir perkebunan sawit dan hulu bagi industri yang berbasiskan CPO .
2.3. Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia
Pengolahan kelapa sawit merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha perkebunan kelapa sawit. Hasil utama yang dapat diperoleh
ialah minyak sawit,inti sawit, sabut, caking, dan tandan kosong. Pabrik kelapa sawit PKS dalam konteks industri kelapa sawit di Indonesia dipahami sebagai
unit ekstraksi crude palm oil CPO dan inti sawit dari tandan buah segar TBS kelapa sawit. PKS merupakan unit pengolahan hulu dalam industri pengolahan
13 kelapa sawit dan merupakan titik kritis dalam alur ekonomi buah kelapa sawit
khususnya dan industri kelapa sawit umunya. Sifat yang krusial ini disebabkan beberapa faktor penting di antaranya :
1. Sifat buah kelapa sawit yang segera mengalami penurunan kualitas dan rendemen bila tidak segera diolah
2. CPO dan inti sawit merupakan bahan antara industri olahan kelapa sawit dimana kualitasnya menentukan daya gunanya untuk diolah menjadi pupuk
akhir industri dan konsumen rumah tangga seperti olein, stearin, minyak goreng, margarin, shortening, minyak inti sawit, kosmetik, sabun dan deterjen,
shampo, dll. Pabrik kelapa sawit merupakan salah satu faktor kunci sukses
pembangunan industri perkebunan kelapa sawit. PKS tersusun atas unit-unit proses yang memanfaatkan kombinasi perlakuan mekanis, fisik, dan kimia.
Parameter penting produksi seperti efisien ekstraksi, rendemen, kualitas produk sangat penting peranannya dalam menjamin daya saing industri perkebunan
kelapa sawit dibanding industri minyak nabati lainnya. Menurut SK Menteri Pertanian No 107Kpts2000, sebuah PKS hanya
dapat didirikan apabila perusahaan tersebut mempunyai kebun yang mampu memasok 50 persen dari kapasitas PKS yang akan di bangunnya. Implikasi dari
peraturan ini adalah bahwa kemampuan PKS untuk mengolahkan buah milik pihak luar menjadi sangat terbatas. Oleh sebab itu, kebun-kebun yang luas akan
lebih aman apabila memiliki PKS sendiri Buana et al. 2007.
14
2.4. Industri Hilir Kelapa Sawit di Indonesia
Kelapa sawit dan produk turunannya memiliki nilai kompetitif yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya. Kelapa sawit
memiliki produktivitas yang lebih tinggi dengan menghasillkan minyak sekitar 7 tonha, dibandingkan dengan kedelai yang menghasilkan minyak sekitar 3 tonha.
Disamping itu kelapa sawit juga memiliki biaya produksi yang lebih rendah dan ramah lingkungan Buana et al. 2007.
CPO dan PKO serta produk-produk turunannya masih merupakan dua kelompok produk industri minyak sawit utama Indonesia. CPO yang diproduksi
sebagian besar digunakan sebagai produk ekspor dan hampir 90 persen konsumsi domestik digunakan sebagai bahan baku minyak goreng Siahaan, 2006. Industri
lain yang menggunakan minyak kelapa sawit ini adalah industri margarin, sabun, dan industri kimia lainnya.
Produk hilir berbasis CPO dan PKO berdasarkan kegunaannya dibedakan atas dua jenis kelompok produk yaitu edible product dan non-edible product.
Edible product merupakan produk turunan minyak sawit yang dapat dikonsumsi
sebagai minyak goreng, minyak salad, dan berbagai lemak untuk produk bakery seperti shotening dan margarin dan berbagai minyak dan lemak khusus seperti
cocoa butter substitute , coffee whitener, dll. Non-edible product merupakan
produk yang bukan digunakan sebagai produk teknis non pangan seperti sabun, deterjen, plasticizer, produk kimia dll Siahaan, 2006.
Refined Bleached Deodorized RBD Palm Oil RBDPO dan RBD Palm
Olein yang merupakan turunan langsung dari CPO yang banyak digunakan dalam
industri makanan sebagai minyak goreng. RBDPO juga digunakan untuk
15 memproduksi margarin, shortening, es krim, condensed milk, vanaspati, sabun,
dan lainnya. RBD palm stearin digunakan sebagai bahan baku margarin dan shortening
juga bahan untuk pembuatan lemak untuk pelapis pada industri permen dan coklat. RBD palm stearin digunakan juga dalam menghasilkan sabun dan
industri oleokimia Siahaan, 2006. PKO yang dimurnikan dengan proses yang sama dengan pemurnian CPO
menghasilkan RBD PKO refined, bleached and deodorized palm kernel oil. Hasil fraksinasi RBD PKO kemudian menghasilkan RBD palm kernel olein. RBD
palm kernel oil digunakan secara komersial untuk menggoreng kacang, popcorn,
dan pembuatan permen setelah diubah menjadi cocoa butter substitute atau cocoa butter equivalent
Siahaan, 2006.
2.4.1. Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia
Minyak goreng sawit merupakan salah satu komoditas yang mempunyai nilai strategis karena termasuk salah satu dari 9 kebutuhan pokok bangsa
Indonesia. Kebutuhan minyak goreng terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk, berkembangnya pabrik dan industri makanan, dan
meningkatnya konsumsi minyak goreng untuk memasak. Sebagai salah satu komoditas strategis yang termasuk dalam 9 bahan makanan pokok, konsumsi
masyarakat Indonesia pada tahun 2008 mencapai 16.5 kg per kapita per tahun, dimana 12.7 kg merupakan konsumsi per kapita minyak goreng sawit. Dengan
jumlah penduduk Indonesia yang berkisar 225 juta jiwa, maka konsumsi minyak goreng diperkirakan mencapai 3.7 juta ton per tahunnya. Permintaan minyak