Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI

PRODUK TURUNAN MINYAK SAWIT DI INDONESIA

SINGGIH WIDHOSARI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUTE PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

ABSTRACT

Production of palm oil downstream products in Indonesia is still low compared to primary products, namely palm oil. demand for palm oil, margarine and soap increased every year. therefore, Indonesia needs to increase the production of palm oil derivative products, not only to meet consumer demand but also related to value-added. Relevant government policies in order to encourage the development of downstream palm oil industry, through the instrument of monetary policy interest rates can affect the production of palm oil derivative products are cooking oil, margarine and soap. The research objectives are (1) Analyzing the factors that influence the production of palm oil derivative products in Indonesia, cooking oil, margarine and soap. (2) Analyzing the impact of policy rate cuts on the production of cooking oil, margarine and soap in Indonesia. In order to address these objectives, a simultaneous equations model of derived from the production of palm oil in Indonesia is estimated by Two Stage Least Squares (2SLS) method. Domestic palm oil production is influenced significantly by the domestic price of cooking oil palm, palm oil price growth rate domestk, interest rate, and cooking oil production t-1. Domestic production of margarine significantly influenced by the production of margarine t-1. Production of domestic soap significantly influenced by the level of interest rates, the growth rate of industrial labor, and the production of soap domestuk t-1. in order to develop the production of palm oil derivatives suggested that the government should export oriented derivative products (cooking oil, margarine and soap) to increase foreign exchange and provision of low interest rates in order to increase investment in downstream industries.

Keywords: production of palm oil derivative products, cooking palm oil, margarine, soap,

and interest rate policy


(4)

RINGKASAN

SINGGIH WIDHOSARI. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk

Turunan Minyak Sawit di Indonesia. Dibimbing Oleh NOVINDRA.

Sri Hadisetyana, Kepala Subdit Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Nonpangan Kementerian Perindustrian dalam Gosta (2011), mengatakan kondisi Indonesia yang masih belum mampu mengembangkan industri hilir CPO, dapat merugikan perekonomian nasional karena industri hilir CPO bisa memberikan nilai tambah lebih dari 10 kali lipat dibandingkan harga minyak sawit mentah. Diversifikasi produk hilir minyak sawit dan minyak inti sawit dapat dikelompokkan menjadi produk pangan sejumlah 90 persen dan produk-produk nonpangan sejumlah 10 persen berupa produk-produk sabun dan oleokimia. Penggunaan minyak sawit terbesar di Indonesia adalah untuk minyak goreng sekitar 71 persen sedangkan bila digabung dengan shortening/margarin menjadi sekitar 75 persen. Sisanya sekitar 25 persen digunakan dalam bentuk sabun, oleokimia dan bentuk-bentuk lainnya (Affudin 2007).

Kecenderungan naiknya permintaan CPO di pasar dunia yang merupakan

bahan baku minyak goreng dan sebagai biofuel yang berperan untuk

mensubstitusikan minyak bumi membuat pengusaha ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari penjualan CPO ke luar negeri, sehingga industri hilir untuk minyak goreng, margarin, dan sabun kekurangan input CPO. Akibatnya produksi dalam negeri untuk ketiga komoditas tersebut masih rendah. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia dan Menganalisis dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga terhadap produksi minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia.

Model produksi minyak sawit Indonesia yang dibangun dalam penelitian ini merupakan sistem persamaan simultan, yang terdiri dari 3 blok yaitu blok minyak goreng sawit domestik, blok margarin domestik, dan blok sabun domestik. Pada penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 13

persamaan atau 13 variabel endogen (G), dan 44 predetermined variable terdiri

dari 32 variabel eksogen dan 12 lag endogenous variable, sehingga total variabel dalam model (K) adalah 57 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam persamaan tertentu dalam model (M)

adalah maksimum 5 variabel. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan

setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified.

Selanjutnya, metode estimasi model yang digunakan adalah 2SLS.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2010.

Sementara sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi yang terkait yaitu Biro Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian. Pengolahan data dilakukan dengan program komputer yaitu : SAS for Windows 9.0.

Hasil Penelitian menunjukan bahwa produksi minyak goreng sawit domestik dipengaruhi secara nyata oleh harga minyak goreng sawit domestik, laju pertumbuhan harga minyak sawit domestk, tingkat suku bunga, dan produksi minyak goreng t-1. Produksi margarin domestik dipengaruhi secara nyata oleh produksi margarin t-1. Produksi sabun domestik dipengaruhi secara nyata oleh


(5)

tingkat suku bunga, laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri, dan produksi sabun domestuk t-1. Penurunan suku bunga bank indonesia menyebabkan peningkatan terhadap produksi minyak goreng sawit domestik, permintaan minyak goreng sawit domestik, penawaran minyak goreng sawit domestik, produksi margarin domestik, penawaran margarin domestik, produksi sabun domestik, permintaan sabun domestik, dan penawaran sabun domestik. Penurunan suku bunga bank indoonesia menyebabkan penurunan terhadap harga minyak goreng sawit domestik dan harga sabun domestik. Harga minyak sawit domestik, permintaan margarin domestik, dan harga margarin domestik tidak mengalami perubahan.

Saran yang bisa dikemukakan berdasarkan penelitian ini adalah : (1) pemberian tingkat suku bunga rendah agar investasi bagi infustri hilir meningkat. (2) dalam jangka panjang instrumen kebijakan pemerintah hendaknya berorientasi ekspor produk turunan CPO (minyak goreng, margarin, dan sabun) dalam meningkatkan devisa negara melalui ekspor produk turunan minyak sawit dan hendaknya pemerintah memberi perhatian penuh dalam mengatur sistem tata niaga industri ini.

Kata Kunci : Produksi produk turunan minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin, sabun, kebijakan suku bunga


(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak Sawit di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Singgih Widhosari H44080007


(7)

(8)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PRODUK TURUNAN MINYAK SAWIT DI INDONESIA

SINGGIH WIDHOSARI H44080007

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAKEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(9)

(10)

Judul Skripsi : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak Sawit di Indonesia

Nama : Singgih widhosari

NIM : H44080007

Disetujui, Dosen Pembimbing

Novindra,S.P., M.Si NIP. 19811102 200701 1001

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1003 Tanggal Lulus :


(11)

(12)

UCAPAN TERIMAKASIH

Segala puji bagi kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian inidengan judul “ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak Sawit di Indonesia. Penulis mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Kedua orang tua tercinta yang senantiasa memberikan doa dan motivator, pendukung baik moril maupun materil dan pendengar yang baik atas keluh kesah penulis. Juga kakak tercinta yang selalu memberikan doa dan semangat (ka uun dan suaminya ka Pai).

2. Novindra. S.P., M.Si selaku dosen pembimbing, atas segala masukan dan bimbingan yang telah bapak berikan. Dengan kesibukan yang bapak miliki, tetap mau menyempatkan diri untuk membagikan ilmunya kepada penulis. 3. Prof Dr Ir. Bonar M. Sinaga M.a selaku penguji utama dan Hastuti. S.P., M.P.,

Msi selaku penguji wakil departemen, atas segala masukan, perbaikan serta ilmu yang dibagikan kepada penulis.

4. Teman-teman seperjuangan di Departemen ESL yang selalu memberikan doa dan dukungan ( Windi, Ionk, Ayu, Fathim, Welda, Livia, Nova, Tia, Esti, Tika, Iki, Aziz dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu) dan teman-teman sebimbingan yang selalu memberikan doa, masukan, serta dukungannya ( Ionk, Kiki, Novrika, Dian, Sandra, Pebri).

5. Halim hamdani yang senantiasa memberikan semangat, dukungan, dan cinta yang tulus kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.


(13)

6. Teman-teman di IPB yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis (ka fatmi, anggita, hikma, ikhlas, memey, rere, dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu).

7. Pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu namun telah banyak memberikan saran dan informasi selama penulisan skripsi ini.

Penulis berharap penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian khususnya industri hilir minyak sawit di Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal kebaikan dan tanda syukur penulis. Amin

Bogor, Januari 2013


(14)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan usulan penelitian dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak sawit di Indonesia. Selama proses penelitian dimulai dari hunting data, pencarian informasi, hingga proses pengolahan data, banyak hikmah yang penulis dapatkan dari kesemua proses tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia dan Menganalisis dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga terhadap produksi minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia.

Semoga karya penulis ini memberikan manfaat dalam pengembangan pendidikan. Atas perhatian serta saran dan kritik yang diberikan untuk menyempurnakan tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih.

Bogor, Januari 2013


(15)

(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL . ... xii

DAFTAR GAMBAR . ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Sawit ... 10

2.2. Kelapa Sawit di Indonesia ... 11

2.3. Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia ... 12

2.4. Industri Hilir Kelapa Sawit ... 14

2.4.1. Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesi ... 15

2.4.2. Produksi dan Konsumsi Margarin di Indonesia ... 18

2.4.3. Produksi dan Konsumsi Sabun di Indonesia ... 21

2.5. Kebijakan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah Kelapa Sawit di Indonesia ... 22

2.6. Kebijakan Tingkat Suku Bunga di Indonesia ... 23

2.7. Penelitian Terdahulu ... 24

2.8. Keterbaruan Penelitian ... 30

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Fungsi Produksi dan Penawaran Minyak Goreng, Margarin, dan Sabun ... 33

3.2. Permintaan Minyak Goreng/Margarin/Sabun ... 34

3.3. Kerangka Pemikiran Operasional ... 37

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data ... 41

4.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 41

4.3. Spesifikasi Model ... 41

4.3.1. Blok Minyak Goreng Sawit ... 42

4.3.1.1. Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit ... 42

4.3.1.2. Persamaan Permintaan Minyak Goreng Sawit ... 42

4.3.1.3. Persamaan Penawaran Minyak Goreng Sawit ... 43

4.3.1.4. Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit ... 43


(17)

4.3.1.6. Persamaan Permintaan Minyak Sawit ... 45

4.3.2. Blok Margarin Domestik ... 45

4.3.2.1. Persamaan Produksi Margarin Domestik ... 45

4.3.2.2. Persamaan Permintaan Margarin Domestik ... 46

4.3.2.3. Persamaan Penawaran Margarin Domestik ... 47

4.3.2.4. Persamaan Harga Margarin Domestik ... 47

4.3.3. Blok Sabun Domestik ... 48

4.3.3.1. Persamaan Produksi Sabun Domestik ... 48

4.3.3.2. Persamaan Permintaan Sabun Domestik ... 49

4.3.3.3. Persamaan Penawaran Sabun Domestik ... 49

4.3.3.4. Persamaan Harga Sabun Domestik ... 50

4.4. Pengujian Model ... 50

4.4.1. Identifikasi Model ... 50

4.4.2. Metode Pendugaan Model ... 52

4.4.3. Uji Statistik F ... 53

4.4.4. Uji Statistik t ... 53

4.4.5. Uji Statistik Durbin-h ... 54

4.4.6. Validasi Model ... 55

4.4.7. Simulasi Historis ... 56

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak Sawit di Indonesia ... 57

5.1.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model ... 57

5.1.1.1. Keragaan Blok Minyak Goreng Sawit Domestik ... 58

5.1.1.2. Keragaan Blok Margarin Domestik ... 67

5.1.1.3. Keragaan Blok Sabun Domestik ... 72

5.2. Dampak Kebijakan Penurunan Suku Bunga Terhadap Produksi Minyak Goreng, Margarin, dan Sabun di Indonesia... 76

VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ... 79

6.2. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80

LAMPIRAN ... 82


(18)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pangsa Produksi Minyak Nabati Dunia (1993-2012) ... 2

2. Nilai Tambah (Ribu Rp) dari Produk Turunan CPO seperti Minyak Goreng, Sabun ... 14 3. Karakteristik Tipe Kelapa Sawit Dura, Tenera, dan Pisifera . 11

4. Data 10 Pelaku Usaha Terbesar Beserta Kapasitas Produksi dan Market Share Masing – masing Perusahaan Minyak Goreng di Indonesia ... 16

5. Peningkatan Konsumsi Minyak Goreng (1999-2005) ... 16

6. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Kelapa dan Minyak Sawit di Indonesia (2001-2001) ... 17

7. Kuantitas Impor Margarin Indonesia (2001-2010) ... 18

8. Produsen Industri Margarin di Indonesia ... 19

9. Perkembangan Produksi Margarin indonesia ... 19

10. Perkembangan Konsumsi Margarin di Indonesia (2003-2010) ... 20

11. Pangsa Konsumsi Minyak Sawit di Indonesia (1991-1996) ... 21

12. Produksi dan Harga Sabun Mandi Batang di Indonesia (2003-2010) ... 22

13. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit Bank Umum di Indonesia Periode Triwulan 2006.I-Triwulan 2010.II. ... 23

14. Hasil Estimasi Produksi Minyak Goreng Sawit Domestik ... 59

15. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Goreng Sawit Doomestik 61

16. Hasil Estimasi Harga Minyak Goreng Sawit Domestik ... 62

17. Hasil Estimasi Harga Minyak Sawit Domestik ... 64

18. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Sawit Domestik ... 65

19. Hasil Estimasi Produksi Margarin Domestik ... 65

20. Hasil Estimasi Permintaan Margarin Domestik ... 68

21. Hasil Estimasi Harga Margarin Domestik ... 71

22. Hasil Estimasi Produksi Sabun Domestik ... 73

23. Hasil Estimasi Permintaan Sabun Domestik ... 74


(19)

(20)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman


(21)

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Dasar Model Persamaan Produksi Produk Turunan Minyak

Sawit di Indonesia ... 84 2. Rekapitulasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan

Minyak Sawit Indonesia ... 86 3. Program Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Produk

Turunan Minyak Sawit Indonesia ... 87 4. Hasil Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan

Minyak Sawit Indonesia ... 90 5. Program Validasi Persamaan dalam Model Produksi Produk

Turunan Minyak Sawit Indonesia ... 101 6. Hasil Validasi Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit

Indonesia ... 105 7. Program Simulasi ... 112 8. Hasil Simulasi Historis (Penurunan Tingkat Suku Bunga Sebesar


(23)

(24)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kelapa sawit adalah tanaman penting dunia yang dapat menghasilkan berbagai produk industri makanan, kimia, kosmetik, bahan bakar industri berat dan ringan, biodiesel dan lain-lain. Pengolahan kelapa sawit pada dasarnya merupakan proses pengolahan pada Tandan Buah Segar (TBS), menjadi minyak

kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan minyak inti sawit atau Palm Kernel

Oil (PKO). CPO atau PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan

(minyak goreng dan margarin), industri sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik dan sebagai bahan bakar alternatif (biodisel).

Pada tahun 2009, Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan produksi sebesar 20.6 juta ton yang menguasai hampir separuh dari pangsa pasar minyak sawit dunia. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2009) menunjukkan pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit adalah 294 000 ha pada tahun 2009 luas areal perkebunan kelapa sawit diperkirakan sudah mencapai 7.32 juta ha. Lebih dari 80 persen produksi kelapa sawit nasional merupakan komoditas ekspor dengan berbagai negara tujuan. Negara tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia adalah India dengan pangsa sebesar 33 persen, Cina sebesar 13 persen, dan Belanda 9 persen dari total ekspor kelapa sawit Indonesia (Haryana et al, 2010).

Permintaan dunia terhadap CPO terus meningkat. Pada tahun 2012 CPO diperkirakan akan mempunyai peran yang penting, konsumsinya meningkat dan menggantikan peran minyak nabati lainnya,terutama minyak kedele. Pertumbuhan


(25)

produksi minyak kelapa sawit dunia pada periode 1998 – 2002 hingga 2008 – 2012 mengalami peningkatan dari 25 340 360 ton sampai dengan 29 949 312 ton. Sejak periode 2003 – 2007 jumlah konsumsi minyak kelapa sawit mulai mengungguli minyak kedele dan diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga tahun 2020, demikian juga halnya dengan pangsa produksinya (Departemen Perindustrian, 2009). Jumlah produksi dan konsumsi minyak nabati dunia mulai tahun 1993 hingga prediksi tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Produksi Minyak Nabati Dunia Tahun 1993-2012 di Indonesia

Uraian 1993-1997 1998-2002 2003-2007 2008-2012

Produksi/ (ton)

M. sawit 15 500 382 20 752 640 25 340 360 29 949 312

M. kedele 17 765 278 19 915 840 22 376 016 25 174 784

M. kanola 10 121 254 11 966 240 15 526 744 15 517 216

M.bunga matahari 8 351 804 9 790 560 12 526 744 12 044 832

M. lainnya Total

19 039 282 70 778 000

21 254 720 83 680 000

22 854 136 95 624 000

25 825 856 108 512 000 konsumsi/(Ton)

M. sawit 15 385 170 20 021 952 25 973 420 29 752 650

M. kedele 17 828 697 20 126 233 22 313 529 25 124 460

M. kanola 10 045 611 11 783 753 13 577 015 15 471 378

M. bunga matahari 8 326 092 9 593 852 10 861 612 12 033 294

M. lainnya Total

38 915 430 90 501 000

42 755 210 104 281 000

45 335 424 118 061 000

49 852 218 132 234 000

Sumber : diolah oleh Oil World 2009 dalam Badan Koordinasi Penanaman Modal 2005

Indonesia menyadari bahwa ekspor minyak kelapa sawit dalam wujud primer kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan barang turunannya. Selain itu, akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara ekspor minyak kelapa sawit dan keperluan domestik. Bila hal ini terus dilakukan maka akan menyebabkan pengembangan industri hilir menjadi lambat. Hingga tahun 2010, peluang pasar Indonesia dari sisi konsumsi domestik diperkirakan tumbuh antara 4 persen sampai 6 persen per tahun, sedangkan dari sisi ekspor adalah sekitar 5 persen sampai 8 persen per tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa


(26)

pengembangan industri hilir minyak sawit perlu terus ditingkatkan (Departemen Perindustrian, 2009).

Sri Hadisetyana, Kepala Subdit Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Nonpangan Kementerian Perindustrian dalam Gosta (2011), mengatakan “kondisi Indonesia yang masih belum mampu mengembangkan industri hilir CPO, dapat merugikan perekonomian nasional karena industri hilir CPO bisa memberikan nilai tambah lebih dari 10 kali lipat dibandingkan harga minyak sawit mentah”. Menurut data Kementerian Perindustrian, CPO bisa memberikan nilai tambah 180 persen jika diolah menjadi margarin, 300 persen untuk fatty acid, dan 400 persen

untuk fatty alcohol. Bahkan, pengelolaan menjadi produk kosmetik mampu

memberikan nilai tambah hingga 1 200 persen dari harga minyak sawit mentah.

Data nilai tambah industri turunan minyak sawit mentah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai Tambah Industri Turunan Minyak Sawit Mentah

Produk Nilai Tambah (%)

Minyak sawit mentah 0

Minyak goring 60

RBD stearine 90

Margarine/shortening 180

Confectionaries 200

Fatty acid 300

Fatty alcohol 400

Surfaktan 800

Kosmetik 1 200

Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011 dalam Demis (2011)

Diversifikasi produk hilir minyak sawit dan minyak inti sawit dapat dikelompokkan menjadi produk pangan sejumlah 90 persen dan produk-produk nonpangan sejumlah 10 persen berupa produk-produk sabun dan oleokimia. Penggunaan minyak sawit terbesar di Indonesia adalah untuk minyak goreng sekitar 71 persen sedangkan bila digabung dengan shortening/margarin menjadi


(27)

sekitar 75 persen. Sisanya sekitar 25 persen digunakan dalam bentuk sabun, oleokimia dan bentuk-bentuk lainnya (Affudin, 2007).

Kecenderungan naiknya permintaan CPO di pasar dunia yang merupakan

bahan baku minyak goreng dan sebagai biofuel yang berperan untuk

mensubstitusikan minyak bumi membuat pengusaha ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari penjualan CPO ke luar negeri, sehingga industri hilir untuk minyak goreng, margarin, dan sabun kekurangan input CPO. Akibatnya produksi dalam negeri untuk ketiga komoditas tersebut masih rendah.

Pengembangan industri hilir CPO perlu diprioritaskan sebagai kebijakan pengolahan produk pertanian, mengingat kita tidak dapat selamanya menjadi pengekspor minyak sawit. Potensi minyak sawit yang tinggi sebaiknya dimanfaatkan untuk pengembangan industri hilirnya, karena mempunyai nilai

tambah yang tinggi dan menimbulkan efek ganda (multipler effect) yang sangat

signifikan. Apabila kegiatan mengekspor CPO dipertahankan, ini menunjukkan industri nasional tidak berkembang dan tidak mengalami kemajuan.

Kajian tentang industri turunan minyak sawit sangat strategis untuk dilakukan karena saat ini baru 10 persen produk turunan sawit yang diproduksi di Indonesia, padahal nilai tambah produk turunan berlipat ganda dibandingkan minyak sawit, khususnya untuk produk yang banyak diproduksi di Indonesia yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun.

1.2. Perumusan Masalah

Penyerapan minyak kelapa sawit oleh industri domestik masih rendah. Hal ini berhubungan dengan kapasitas produksi industri hilir berbahan baku minyak sawit. Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) dalam Nuryanti (2008) mencatat serapan minyak sawit untuk industri minyak goreng domestik


(28)

yang merupakan industri yang dominan menggunakan minyak sawit di dalam negeri hanya berkapasitas 1.9 juta ton per tahun dari rata-rata produksi minyak sawit Indonesia dari 1984-2007 yaitu 6.2 juta ton. Begitu juga, industri hilir yang lain, yang menghasilkan produk turunan minyak sawit belum banyak berkembang sehingga belum banyak menyerap minyak sawit. Hal ini disebabkan masih rendahnya investasi pada sektor hilir sebagai akibat diantaranya kurangnya dukungan pemerintah.

Produksi CPO Indonesia mencapai 43 persen dari total kebutuhan CPO pasar dunia sebasar 42 904 ton. Ekspor minyak sawit indonesia yang tinggi, merupakan hal yang harus dibatasi dalam rangka pengembangan industri hilir minyak sawit. Pemerintah hanya mengekspor CPO, sementara pengolahan tidak dilakukan. Padahal saat ini, negara-negara tujuan ekspor minyak sawit telah mengolah minyak sawit dalam berbagai bentuk produk turunan dan hasil yang jauh melebihi nilai ekspor1.

Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan komoditas ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit hingga tahun 2008 mencapai 80 persen dari total produksi minyak sawit di Indonesia. Negara utama tujuan ekspor minyak sawit sawit Indonesia adalah India dengan pangsa pasar sebesar 33 persen dimana lebih dari 90 persen minyak sawit di negara tersebut digunakan sebagai minyak goreng, dan sisanya digunakan sebagai bahan dasar makanan dan produk-produk lain seperti sabun, cokelat, es krim, kosmetik, dan juga alat pembersih. Cina sebesar 13 persen sebagian besar minyak sawit digunakan di industri katering, pengolahan makanan, produk konsumen, dan kimia. Belanda sebesar 9

       1

http://bp2t.riau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=113:mendesak-industri-hilir-kelapa-sawit&catid=25:the-project. Mendesak, Industri Hilir Kelapa Sawit. Diakses tanggal 27 Maret 2012.


(29)

persen, penggunaan minyak sawit di Belanda sebagai komplementer bagi minyak kedelei. Potensi dan peluang pembangunan kelapa sawit di Indonesia mengindikasikan bahwa minyak sawit mempunyai prospek positif kedepan, khususnya terkait nilai tambah.

Berkaitan dengan nilai tambah, maka disusun naskah kebijakan kelapa sawit oleh Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada tahun 2010. Di dalam naskah tersebut dituliskan mengenai pengembangan produk (Hilir dan Sampingan) dan peningkaan nilai tambah. Pembentukkan klaster industri kelapa sawit sesuai dengan potensi produksi kelapa sawit berkelanjutan dan berkeadilan, yang didukung dengan : (1) pengembangan jaringan infrastruktur yang terintegrasi, (2) insentif fiskal untuk pengadaan peralatan dan pengolahan mesin-mesin produk hilir, (3) prioritas alokasi kredit dan subsidi bunga untuk investasi dan modal kerja dalam rangka pengembangan industri hilir kelapa sawit, (4) insentif bea keluar untuk ekspor produk hilir dan samping, serta disinsentif bea keluar untuk ekspor bahan mentah dengan tetap memperhatikan keberadaan industri hulu, dan (5) penguatan penelitian dan pengembangan (Litbang) kelapa sawit melalui peningkatan anggaran dan investasi Litbang serta kerjasama Litbang antara pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi.

Saat ini konsumsi terhadap minyak goreng, margarin, dan sabun meningkat, karena tumbuhnya industri jasa boga yang membutuhkan minyak goreng dan margarin, serta perubahan gaya hidup masyarakat yang didukung oleh peningkatan pendapatan. Kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan gaya hidup juga menyebabkan peningkatan pada konsumsi sabun di Indonesia.


(30)

Diharapkan produksi terhadap produk turunan minyak sawit yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun dapat ditingkatkan. Pengembangan produk turunan minyak sawit penting untuk dilakukan dalam rangka memenuhi permintaan konsumen dan meningkatkan nilai tambah.

Apabila industri hilir dikembangkan maka industri hulu pun akan ikut berkembang. Dalam rangka membangun satu unit industri hilir CPO yang menghasilkan barang jadi (minyak goreng, margarin, dan sabun), dibutuhkan kebun kelapa sawit yang sudah menghasilkan TBS seluas 150 000-200 000 ha. Dapat diketahui bahwa pengembangan industri hilir akan memperbesar peluang pemanfaatan, mengkreasikan permintaan, dan memperkuat posisi industri sawit secara keseluruhan (Affudin, 2007).

Terkait kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong pengembangan industri hilir kelapa sawit, kebijakan moneter melalui instrumen tingkat suku bunga dapat mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun. Diduga penurunan tingkat suku bunga, akan meningkatkan keinginan investor dalam berinvestasi pada industri hilir kelapa sawit, khususnya industri minyak goreng, margarin, dan sabun, sehingga produksi akan meningkat. Apabila terjadi peningkatan tingkat suku bunga maka akan menurunkan investasi pada industri hilir kelapa sawit yang juga menurunkan produksinya.

Sehubungan dengan masalah yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun?


(31)

2. Bagaimana dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga terhadap produksi minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis faktor - faktor yang berpengaruh terhadap produksi produk turunan minyak sawit dan dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi produk turunan minyak sawit. Secara spesifik tujuan penelitian ini:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun.

2. Menganalisis dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga terhadap produksi minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukkan yang bermanfaat bagi semua pihak yaitu :

1. Bagi pemerintah, menjadi bahan pertimbangan dalam menentukkan kebijakan terkait dengan industri produk turunan minyak sawit.

2. Bagi para pelaku usaha dalam industri minyak sawit, menjadi informasi dalam mengembangan produk turunan minyak sawit.

3. Bagi akademisi, penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan produk turunan minyak sawit.

5. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan menjadi sarana penerapan ilmu-ilmu yang diperoleh selama kuliah.


(32)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi bagi industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit, yaitu minyak goreng, margarin (produk pangan) dan sabun (produk nonpangan). Fokus penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa minyak goreng, margarin, dan sabun merupakan kebutuhan masyarakat yang paling dominan dari produk turunan minyak sawit.

Keterbatasan penelitian ini antara lain: tidak dibedakan bentuk dan kualitas, baik pada komoditas minyak sawit maupun produk turunan minyak sawit yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun. Dalam penelitian ini tidak menganalisis ekspor dan impor bagi minyak goreng, margarin, dan sabun. Dalam menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi turunan minyak sawit hanya fokus pada kebijakan moneter dengan instrumen tingkat suku bunga.


(33)

(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensiss Jack) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa Negara. Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit (Fauzi et al. 2002).

Buah merupakan bagian tanaman kelapa sawit yang bernilai ekonomi dibanding bagian lain. Tanaman kelapa sawit mulai menghasilkan buah pada umur 30 bulan setelah tanam. Buah pertama yang keluar (buah pasir) belum dapat diolah di PKS karena kandungan minyaknya yang rendah. Buah kelapa sawit normal berukuran 12-18 g/butir yang duduk pada bulir. Setiap bulir berisi sekitar 10-18 butir tergantung kepada kesempurnaan penyerbukan. Bulir-bulir ini menyusun tandan buah yang berbobot rata-rata 20-30 kg/tandan. Setiap TBS berisi sekitar 2000 buah sawit. TBS inilah yang dipanen dan diolah di Perusahaan Kelapa Sawit (PKS) (Buana et al. 2007).

Tanaman kelapa sawit terbagi atas tipe jenis berdasarkan karakter ketebalan cangkang buahnya yaitu dura (D), tenera (T), dan pisifera (P). Kelapa


(35)

sawit dura memiliki cangkang yang tebal (2-5 mm), tenera yang memiliki

ketebalan cangkang 1-2,5 mm dan pisifera (hampir) tidak mempunyai inti dan

cangkang. Tenera adalah hibrida dari persilangan dura dan pisifera sehingga memiliki cangkang intermediate (0,5-4 mm) dan merupakan tipe umum yang digunakan diperkebunan. Ketebalan cangkang ini sangat berkaitan erat dengan persentase mesokarp/buah (berasosiasi dengan kandungan minyak) dan persentase inti/buah (berasosiasi dengan rendaman inti) (Buana et al. 2007). Karakteristik tipe kelapa sawit dura, tenera, dan pisifera dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Tipe Kelapa Sawit Dura, Tenera, dan Pisifera

Tipe Cangkang (mm) Mesokarp/buah (%) Inti/buah (%)

Dura 2-5 20-65 4-20

Tenera 1-2,5 60-90 3-15

Pisifera Tidak ada 92-97 3-8

Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2007 dalam Lalang, 2007 2.2. Kelapa Sawit di Indonesia

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam dan ditanam di kebun raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576


(36)

ton ke Negara-negara Eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton (Fauzi et al. 2002).

Awal pemerintahan orde baru, pembangunan kelapa sawit dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sebagai sektor penghasil devisa Negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai dengan tahun 1980 luas lahan mencapai 294 560 ha dengan produksi CPO sebesar 721 172 ton. Sejak saat itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat (Fauzi et al. 2002).

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusinya yang cukup besar dalam menghasilkan devisa dan penyerapan tenaga kerja. Perkembangan pengolahan industri CPO dan turunannya di Indonesia selaras dengan pertumbuhan areal perkebunan dan produksi kelapa sawit sebagai sumber bahan baku. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan buah kelapa sawit/tandan buah segar (hulu) kemudian diolah menjadi minyak sawit mentah (hilir perkebunan sawit dan hulu bagi industri yang berbasiskan CPO) .

2.3. Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia

Pengolahan kelapa sawit merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha perkebunan kelapa sawit. Hasil utama yang dapat diperoleh ialah minyak sawit,inti sawit, sabut, caking, dan tandan kosong. Pabrik kelapa sawit (PKS) dalam konteks industri kelapa sawit di Indonesia dipahami sebagai unit ekstraksi crude palm oil (CPO) dan inti sawit dari tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. PKS merupakan unit pengolahan hulu dalam industri pengolahan


(37)

kelapa sawit dan merupakan titik kritis dalam alur ekonomi buah kelapa sawit khususnya dan industri kelapa sawit umunya. Sifat yang krusial ini disebabkan beberapa faktor penting di antaranya :

1. Sifat buah kelapa sawit yang segera mengalami penurunan kualitas dan rendemen bila tidak segera diolah

2. CPO dan inti sawit merupakan bahan antara industri olahan kelapa sawit dimana kualitasnya menentukan daya gunanya untuk diolah menjadi pupuk

akhir industri dan konsumen rumah tangga seperti olein, stearin, minyak

goreng, margarin, shortening, minyak inti sawit, kosmetik, sabun dan deterjen, shampo, dll.

Pabrik kelapa sawit merupakan salah satu faktor kunci sukses pembangunan industri perkebunan kelapa sawit. PKS tersusun atas unit-unit proses yang memanfaatkan kombinasi perlakuan mekanis, fisik, dan kimia. Parameter penting produksi seperti efisien ekstraksi, rendemen, kualitas produk sangat penting peranannya dalam menjamin daya saing industri perkebunan kelapa sawit dibanding industri minyak nabati lainnya.

Menurut SK Menteri Pertanian No 107/Kpts/2000, sebuah PKS hanya dapat didirikan apabila perusahaan tersebut mempunyai kebun yang mampu memasok 50 persen dari kapasitas PKS yang akan di bangunnya. Implikasi dari peraturan ini adalah bahwa kemampuan PKS untuk mengolahkan buah milik pihak luar menjadi sangat terbatas. Oleh sebab itu, kebun-kebun yang luas akan lebih aman apabila memiliki PKS sendiri (Buana et al. 2007).


(38)

2.4. Industri Hilir Kelapa Sawit di Indonesia

Kelapa sawit dan produk turunannya memiliki nilai kompetitif yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya. Kelapa sawit memiliki produktivitas yang lebih tinggi dengan menghasillkan minyak sekitar 7 ton/ha, dibandingkan dengan kedelai yang menghasilkan minyak sekitar 3 ton/ha. Disamping itu kelapa sawit juga memiliki biaya produksi yang lebih rendah dan ramah lingkungan (Buana et al. 2007).

CPO dan PKO serta produk-produk turunannya masih merupakan dua kelompok produk industri minyak sawit utama Indonesia. CPO yang diproduksi sebagian besar digunakan sebagai produk ekspor dan hampir 90 persen konsumsi domestik digunakan sebagai bahan baku minyak goreng (Siahaan, 2006). Industri lain yang menggunakan minyak kelapa sawit ini adalah industri margarin, sabun, dan industri kimia lainnya.

Produk hilir berbasis CPO dan PKO berdasarkan kegunaannya dibedakan

atas dua jenis kelompok produk yaitu edible product dan non-edible product.

Edible product merupakan produk turunan minyak sawit yang dapat dikonsumsi

sebagai minyak goreng, minyak salad, dan berbagai lemak untuk produk bakery

seperti shotening dan margarin dan berbagai minyak dan lemak khusus seperti

cocoa butter substitute, coffee whitener, dll. Non-edible product merupakan

produk yang bukan digunakan sebagai produk teknis non pangan seperti sabun, deterjen, plasticizer, produk kimia dll (Siahaan, 2006).

Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Oil (RBDPO) dan RBD Palm

Olein yang merupakan turunan langsung dari CPO yang banyak digunakan dalam


(39)

memproduksi margarin, shortening, es krim, condensed milk, vanaspati, sabun, dan lainnya. RBD palm stearin digunakan sebagai bahan baku margarin dan

shortening juga bahan untuk pembuatan lemak untuk pelapis pada industri permen

dan coklat. RBD palm stearin digunakan juga dalam menghasilkan sabun dan industri oleokimia (Siahaan, 2006).

PKO yang dimurnikan dengan proses yang sama dengan pemurnian CPO

menghasilkan RBD PKO (refined, bleached and deodorized palm kernel oil).

Hasil fraksinasi RBD PKO kemudian menghasilkan RBD palm kernel olein. RBD

palm kernel oil digunakan secara komersial untuk menggoreng kacang, popcorn,

dan pembuatan permen setelah diubah menjadi cocoa butter substitute atau cocoa

butter equivalent (Siahaan, 2006).

2.4.1. Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia

Minyak goreng sawit merupakan salah satu komoditas yang mempunyai nilai strategis karena termasuk salah satu dari 9 kebutuhan pokok bangsa Indonesia. Kebutuhan minyak goreng terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk, berkembangnya pabrik dan industri makanan, dan meningkatnya konsumsi minyak goreng untuk memasak. Sebagai salah satu komoditas strategis yang termasuk dalam 9 bahan makanan pokok, konsumsi masyarakat Indonesia pada tahun 2008 mencapai 16.5 kg per kapita per tahun, dimana 12.7 kg merupakan konsumsi per kapita minyak goreng sawit. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang berkisar 225 juta jiwa, maka konsumsi minyak goreng diperkirakan mencapai 3.7 juta ton per tahunnya. Permintaan minyak


(40)

goreng tersebut diperkirakan akan tetap tinggi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk2.

Berdasarkan tabulasi data dapat diinformasikan bahwa pabrik minyak goreng di Indonesia telah berkembang di 13 provinsi. Wilayah terluas terdapat di Sumatera, kemudian Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Lima propinsi terluas berturut-turut adalah Sumatera utara (30.46 persen), Riau (24.83 persen), DKI Jakarta (13.01 persen), Jawa timur (9.62 persen), dan Sumatera selatan (7.18

persen). Data 10 pelaku usaha terbesar beserta kapasitas produksi dan market

share masing-masing perusahaan minyak goreng di Indonesia dapat dilihat pada

Tabel 5 (Prasetowo et al. 2008) :

Tabel 5. Data 10 Pelaku Usaha Terbesar Beserta Kapasitas Produksi dan Market Share masing-masing Perusahaan Minyak Goreng di Indonesia

No Pelaku Usaha Kapasitas Produksi (Ton/tahun)

Market Share (%)

1 Wilmar Group (5 perusahaan) 2 819 400 18.27

2 Musim Mas (6 perusahaan) 2 109 000 13.67

3 Permata HIjau Group (3 perusahaan)

932 000 6.04

4 PT Smart 713 027 4.62

5 Salim Group 654 900 4.24

6 PT Bina Karya Prima 370 000 2.40

7 PT Tunas Baru Lampung (Sungai Budi Group)

355 940 2.31

8 BEST Group 341 500 2.04

9 PT Pacifik Palmindo Industri 310 800 2.01 10 PT Asian Agro Agung Jaya

RGM Group

307 396 1.99

11 Lainnya 6.542.637 42.40

Total 15.430.000 100.00

Sumber : Bank Indonesia, 2008

Dilihat dari bahan bakunya, minyak goreng yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah minyak goreng sawit. Konsumsi minyak goreng Indonesia pada tahun 2005 meningkat hingga sekitar 1 juta ton. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.

      

2 http://www.scribd.com/doc/77898667/11/ProduksidanKonsumsiMinyakGorengSawit


(41)

Tabel 6. Peningkatan Konsumsi Minyak Goreng Tahun 1999-2005

Tahun Konsumsi Per Kapita (Ton)

1999 141.50

2000 347.00

2001 658.20

2002 962.03

2003 976.62

2004 991.22

2005 1005.82

Sumber : BPS, 2012

Menurut data Kementerian Perindustrian (2005), produksi minyak goreng Indonesia pada tahun 2005 meningkat hingga 11.6 persen atau sekitar 6.43 juta ton, sedangkan konsumsi per kapita minyak goreng Indonesia mencapai 16.5 Kg per tahun dengan konsumsi per kapita khusus untuk minyak goreng sawit sebesar 12.7 kg per tahun. Perkembangan produksi minyak goreng Indonesia hingga tahun 2005 dan peningkatan konsumsi nasional minyak goreng disajikan pada tabel 7.

Tabel 7. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Kelapa dan Minyak Sawit di Indonesia Tahun 2001-2005

Tahun Minyak Goreng

Kelapa

Minyak Goreng Sawit

Total Pertumbuhan (%)

2001 0.22 3.89 4.11 -

2002 0.23 4.20 4.43 7.8

2003 0.95 4.22 5.17 16.7

2004 0.99 4.77 5.76 11.4

2005 1.04 5.39 6.43 11.6

Sumber : Data Consult,2006 dalam Erliza,et al. 2008)

Dengan porsi hanya sekitar 30 persen dari produksi CPO, pengadaan bahan baku untuk minyak goreng sawit dalam negeri sebenarnya tidak mengalami kendala. Namun, kecenderungan naiknya permintaan CPO di pasar dunia yang

merupakan bahan baku minyak goreng dan sebagai bioeful yang berperan untuk

mensubstitusikan minyak bumi membuat pengusaha ingin mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya dari penjualan CPO ke luar negeri, dengan kata lain daya tarik pasar ekspor menjadi prioritas pengusaha, Akibatnya pasokan minyak


(42)

goreng domestik terancam langka, sebab kelangkaan minyak goreng bisa terjadi karena kekurangan salah satu komponen minyak goreng yaitu CPO.

2.4.2. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Margarin di Indonesia

Diantara subsektor industri yang perkembangannya sangat pesat adalah subsektor industri pangan. Salah satu jenis industri pangan yang dibutuhkan dan pemakaiannya terus meningkat akibat permintaan semakin banyak adalah industri margarin. Selama ini Indonesia masih mengimpor margarin dari berbagai Negara, karena produksi dalam negeri belum mencukupi. Pada tahun 2001-2006 impor margarin Indonesia terus meningkat dan pada tahun 2007-2010 mengalami penurunan. Kuantitas impor margarin selama tahun 2001-2010 dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kuantitas Impor Margarin Indonesia Tahun 2001-2010

Tahun Volume Impor (kg) Nilai (US $)

2001 2 202 490 2 045 949

2002 2 302 700 1 929 918

2003 2 863 986 2 866 048

2004 3 226 603 2 930 147

2005 3 500 842 4 432 450

2006 5 781 229 7 095 733

2007 4 315 142 7 433 683

2008 4 932 611 11 758 302

2009 3 968 565 14 542 000

2010 4 224 185 185 34 526

Sumber : Kementerian Perindustrian, 2012

Industri margarin merupakan salah satu industri yang sudah cukup lama berkembang di Indonesia dan hingga saat ini tercatat sekitar 17 perusahaan yang bergerak dalam industri ini. Kendati sudah berkembang cukup lama, ternyata untuk meningkatkan kemampuan produksi dan mendongkrak pangsa pasar tetap saja perusahaan mengalami kesulitan. Kapasitas 17 perusahaan margarin di Indonesia memiliki total kapasitas produksi 357 900 ton per tahun. Industri margarin tersebar pada enam provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa


(43)

Timur, Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Kapasitas terbanyak yaitu di provinsi DKI Jakarta sebesar 230 700 ton per tahun, dengan jumlah perusahaan industri margarin sebanyak enam perusahaan. Kapasitas produksi terkecil berada di provinsi Sumatera Barat sebesar 660 ton per tahun dengan satu perusahaan industri margarin (Anita 2011). Produsen industri margarin Indonesia dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Produsen Industri Margarin Indonesia

No Provinsi Perusahaan

Industri Margarin

Kapasitas Produksi (Ton/thn)

1 DKI Jakarta 6 230 700

2 Jawa Barat 3 31 700

3 Jawa Timur 3 85 500

4 Jawa Tengah 1 900

5 Sumatera Barat 3 8 440

6 Sumatera Utara 1 660

Total 17 357 900

Sumber : PT.CIC , 2011 dalam Fuji, 2011

Sebagai produsen terbesar ke dua untuk kelapa sawit, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan produk margarin. Kebutuhan margarin tidak hanya untuk rumah tangga tetapi juga oleh berbagai industri makanan. Perkembangan produksi margarin di Indonesia tahun 2003 – 2010 dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Perkembangan Produksi Margarin Indonesia Tahun 2003 – 2010

Tahun Produksi Margarin (000 Kg) Harga (Rp/Kg)

2003 405.40 10 124

2004 214.40 11 351

2005 23.30 10 053

2006 61.00 10 053

2007 53.00 12 073

2008 45.10 13 319

2009 275.80 13 882

2010 283.90 14 256

Sumber : BPS diolah (2012)

Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa produksi margarin Indonesia sangat berfluktuatif. Terjadi penurunan yang sangat drastis pada tahun 2004 ke 2005


(44)

yaitu dari jumlah produksi 214.40 (000 Kg) menjadi 23.30 (000 Kg), kemudian pada tahun 2009 terjadi peningkatan produksi lagi sebesar 275.80 (000 Kg). Penurunan produksi margarin di Indonesia dari tahun 2003 hingga 2010, tidak diikuti oleh penurunan harga jual margarin tersebut yang terbukti nilainya dari tahun ke tahun semakin besar, sehingga pengembangan margarin masih menjadi peluang yang besar.

Penggunaan margarin di Indonesia semakin meluas. Menurut hasil penelitian INDOCOMMERCIAL, No.417-16 Mei 2010, selain industri roti, industri biskuit serta industri snack, margarin juga dikonsumsi oleh sektor industri lainnya seperti industri cokelat, perhotelan, jasa catering, restoran, rumah tangga, industri makanan jajanan seperti martabak dan lain-lain (Anita, 2011). Dari data BPS dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan konsumsi yang cukup tinggi pada tahun 2005 dan 2006 yaitu sebesar 25 252.38 (000 Kg) dan 25 580.31 (000 Kg). Perkembangan konsumsi margarin di Indonesia sejak tahun 2003 – 2010 dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Perkembangan Konsumsi Margarin di Indonesia Tahun 2003-2010

Tahun Konsumsi Margarin (000 Kg)

2003 10 250.42

2004 15 579.48

2005 25 252.38

2006 25 580.31

2007 19 431.78

2008 13 120.08

2009 11 070.37

2010 13 683.25

Sumber : BPS diolah (2012)

Konsumsi dan produksi margarin yang cukup tinggi di Indonesia membuka peluang yang sangat besar untuk pengembangan industri hilir atau produk turunan minyak sawit. Tingginya konsumsi margarin menambah peluang produksi margarin di Indonesia.


(45)

2.4.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Sabun di Indonesia

Sabun merupakan salah satu produk turunan dari minyak sawit yang produksi dan konsumsinya cukup besar di Indonesia. Dengan gaya hidup masyarakat yang berkembangan dari waktu ke waktu, kebutuhan akan sabun mandi juga semakin meningkat, karena masyarakat saat ini sudah mulai peduli terhadap kebersihan.

Data tahun 1991-1996 dapat diketahui bahwa sabun merupakan produk turunan terbesar ke empat setelah produk oleokimia. Produk hilir minyak sawit terbagi menjadi produk pangan 90 persen dan produk non pangan sebesar 10 persen berupa produk sabundan oleokimia. Penggunaan terbesar minyak sawit adalah untuk minyak goreng yaitu sekitar 71 persen sedangkan bila digabung dengan margarin menjadi 75 persen. Sisanya sekitar 25 persen digunakan dalam bentuk sabun, oleokimia, dan bentuk lainnya (Affudin, 2007). Pangsa bentuk konsumsi minyak sawit Indonesia tahun 1991 – 1996 dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Pangsa Konsumsi Minyak Sawit Indonesia Tahun 1991 – 1996

Tahun Pangsa Bentuk Konsumsi

Minyak Goreng

Margarin Sabun Oleokimia Lainnya

1991 72.5 4.3 6.5 16.0 0.7

1992 71.0 3.5 5.4 13.7 6.4

1993 72.2 4.0 5.8 15.5 2.5

1994 70.5 3.8 5.3 16.5 3.9

1995 70.2 3.6 5.0 16.6 4.6

1996 70.0 3.5 4.7 16.6 5.2

Rata – rata 70.9 3.8 5.4 15.8 4.1

Sumber : Saragih 1998 dalam Affudin 2007

Industri sabun di Indonesia berpusat di pulau Jawa, mencapai 33 industri berkapasitas total sebesar 335 848 ton, terdiri dari 21 industri sabun mandi berkapasitas 278 230 ton dan 12 industri sabun cuci berkapasitas sebesar 57 618 ton. Di Sumatera Utara sebanyak 8 industri terdiri dari 2 industri sabun mandi dan


(46)

6 industri sabun cuci, masing-masing kapasitas produksi sebesar 11 400 dan 39 200 ton (Affudin, 2007).

Sabun mandi yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia baik diperkotaan maupun di pedesaan adalah sabun mandi batang. Produksi sabun mandi batang di Indonesia juga sangat berkembang. Perkembangan produksi dan harga sabun batang di Indonesia tahun 2003-2010 dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Produksi dan Harga Sabun Mandi Batang Indonesia Tahun 2003 – 2010

Tahun Produksi Sabun Batang

(000 Buah)

Harga Sabun Batang (Rp/buah)

2003 614.3 1281

2004 2469.9 1206

2005 3174.1 972

2006 2756.9 880

2007 2931.3 992

2008 6148.4 1055

2009 4963.9 1052

2010 3779.4 1039

Sumber : BPS diolah (2012)

Berdasarkan Tabel 13 bahwa perkembangan produksi sabun batang di Indonesia berfluktuatif dari tahun 2003 hingga tahun 2010. Produksi terbesar yang dapat dilihat pada Tabel 13 yaitu tahun 2008 sebesar 6148.4 buah, walaupun produksinya cukup tinggi namun harga sabun batang tersebut tetap tinggi yaitu 1055 (Rp/buah). Hal ini menunjukkan bahwa sabun mandi batang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan di Indonesia.

2.5. Kebijakan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah Kelapa Sawit

Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri, dan penciptaan lapangan kerja baru. Penerapan kebijakan pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui :


(47)

1. Fasilitas pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5-10 ton TBS/jam di areal yang belum terkait dengan unit pengolahan dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit (MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yangbelum ada pabrik MGS.

2. Pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra produksi.

3. Peningkatan kerjasama dibidang promosi, penelitian, dan pengembangan serta pengembangan SDM dengan Negara penghasil CPO.

4. Fasilitas pengembangan biodiesel.

5. Pengembangan market riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing.

2.6. Kebijakan Tingkat Suku Bunga di Indonesia

Perkembangan tingkat bunga uang yang tidak wajar akan secara langsung menyebabkan terganggunya lembaga keuangan bank. Dengan suku bunga uang yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya di bank sehingga bank memiliki dana yang sangat besar sehingga kemampuan bank menyalurkan kredit juga besar. Bersamaan dengan kondisi tersebut, suku bunga kredit juga akan meningkat sehingga hasrat masyarakat untuk meminjam kredit di bank menjadi menurun karena bunga kredit yang tinggi dalam suatu investasi. Tingkat suku bunga yang tinggi, investasi menurun menyebabkan jumlah produksi menurun (Sudirman, 2011).

Tingkat suku bunga kredit bank umum di Indonesia berfluktuatif. Laju perubahan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 15.01 persen. Beberapa kalangan menilai, khususnya dunia usaha dan pemerintah bahwa perbankan menerapkan suku bunga tinggi untuk mempertahankan tingkat


(48)

keuntungan.Perkembangan tingkat suku bunga umum bank Indonesia dapat dilihat pada Tabel 14.

Tebel 14. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit pada Bank Umum di Indonesia Periode Triwulan 2006.I – Triwulan 2010.I.

Tahun Triwulan Tingkat Suku

Bunga Kredit (%)

Pertumbuhan (%)

2006 I 16.34 3.55

II 16.23 -0.67

III 16.00 -1.42

IV 15.35 -4.06

2007 I 14.70 -4.23

II 14.08 -4.22

III 13.56 -3.69

IV 13.11 -3.32

2008 I 12.94 -1.30

II 12.95 0.08

III 13.50 4.25

IV 15.01 11.19

2009 I 15.10 0.60

II 14.67 -2.85

III 14.31 -2.45

IV 13.91 -2.80

2010 I 13.66 -1.80

694.69 -72.87

Rata-rata 16.16 -1.69

Sumber : Laporan Statistik Ekonomi dan Keuangan Bank BI (diolah) dalam Sofia (2011) 2.7. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai kelapa sawit sudah banyak dilakukan, baik mengenai dampak kebijakan, industri hilir, ataupun industri hulunya. Novindra (2011), meneliti dengan judul dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia, mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2003-2007, dan meramalkan dampak kebijakan domestik terhadap


(49)

kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2012-2016.

Model penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia yang dibangun dalam penelitian ini merupakan sistem persamaan simultan, yang terdiri dari 3 blok yaitu blok perkebunan kelapa sawit, blok minyak sawit, dan blok minyak goreng sawit. Model yang telah dirumuskan terdiri dari 39 persamaan atau 39

variabel endogen (G), dan 46 predetermined variable terdiri dari 28 variabel

eksogen dan 18 lag endogenous veriable, sehingga total variabel endogen dalam

model (K) adalah 85 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model

(M) adalah maksimum 8 variabel. Berdasarkan criteria order condition

disimpulkan setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over

identified. Selanjutnya, metode estimasi model yang digunakan adalah 2SLS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak sawit domestik lebih responsif terhadap perubahan jumlah permintaan minyak sawit domestik daripada permintaan ekspor minyak sawit, maka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik (seperti industri minyak goreng sawit, oleokimia, sabun, margarin, dan biodiesel) akan meningkatkan jumlah permintaan minyak sawit sehingga dapat meningkatkan harga yang diterima produsen minyak sawit domestik; kebijakan domestik berupa pembatasan ekspor minyak sawit dengan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) dan kebijakan kuota ekspor; dan peningkatan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) memberikan


(50)

dampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik belum didukung dengan perkembangan industri hilir minyak sawit selain industri minyak sawit terlebih dahulu. Hal tersebut menyebabkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik hanya akan mengakibatkan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan.

Suharyono (1996), melakukan analisis dampak kebijakan ekonomi pada komoditas minyak sawit dan hasil industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan keragaan ekonomi komoditas minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin, dan sabun, serta besarnya pengaruh perubahan faktor-faktor itu. Kemudian menganalisis dampak kebijakan ekonomi deregulasi perdagangan minyak sawit, devaluasi nilai tukar rupiah, penurunan tingkat bunga, peningkatan harga pupuk, peningkatan upah tenaga kerja,

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dalam

runtun waktu (time series), periode 1969-1993. Model analisis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah model ekonometrika persamaan simultan yang diduga

dengan metode pangkat dua terkecil tiga tahap Linier Three Stages Least Squares

(LTSLS). Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa selama kurun waktu 1969-1993 telah terjadi perkembangan yang cukup berarti dalam industri minyak sawit Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan luas areal produktif, produksi, dan permintaan minyak sawit domestik, yang masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 11.52 persen, 13.27 persen, dan 18.90 persen. Sementara itu pada kurun waktu yang sama volume ekspor minyak sawit


(51)

Indonesia rata-rata meningkat 8.33 persen pertahun yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar MEE sebesar 7.89 persen per tahun. Disisi lain selama kurun waktu 1984-1993, volume impor minyak sawit oleh Indonesia mengalami penurunan rata-rata 6.80 persen per tahun.

Luas areal produktif tidak responsif terhadap permintaan minyak sawit dunia, sedangkan produksi minyak goreng sawit domestik responsif terhadap teknologi dan permintaan minyak sawit domestik. Disamping itu produksi margarin dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap teknologi, sementara untuk produksi sabun dalam jangka panjang juga responsif terhadap permintaan sabun. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh perubahan teknologi bagi produk hasil industri ternyata lebih besar dibandingkan untuk produk hasil pertanian. Demikian juga untuk perkembangan permintaan.permintaan minyak sawit domestik responsif terhadap permintaan minyak goreng sawit domestik. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit akan besar pengaruhnya bagi permintaan minyak sawit domestik secara keseluruhan.

Permintaan minyak goreng sawit, margarin, dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap perubahan pendapatan nasional. Khusus untuk permintaan minyak goreng sawit, dalam jangka panjang juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa. Hal ini menunjukan bahwa dalam jangka panjang hubungan minyak goreng kelapa dan minyak goreng sawit dilihat dari sisi konsumen lebih bersifat subtitusi.


(52)

Peubah trend (teknologi) ternyata mampu memberikan pengaruh yang besar pada perubahan penawaran minyak goreng sawit domestik, margarin, dan sabun. Hal ini tidak terjadi pada penawaran minyak sawit domestik. Namun demikian harga minyak sawit domestik hanya memberikan dampak yang besar pada penawaran minyak sawit domestik. Perubahan harga minyak sawit dunia dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan harga ekspor minyak sawit Indonesia. Harga ekspor minyak sawit Indonesia kepasar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) ternyata memberikan pengaruh yang besar pada perubahan volume ekspor komoditas itu kepasar MEE.

Selama kurun waktu 1969-1993 ternyata tidak terjadi perkembangan teknologi yang cukup berarti. Hal ini terlihat dengan tidak resposifnya perubahan harga, baik minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin maupun sabun terhadap perubahan teknologi. Kebijakan ekonomi yang dinilai paling ideal, karena mampu meningkatkan total surplus produsen domestik, total surplus konsumen domestik dan total surplus devisa, baik dalam pasar terkendali maupun yang bebas adalah kebijakan penurunan tingkat bunga sebesar tiga persen dari tingkat bunga tertinggi, kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar lima puluh persen dari harga pupuk rata-rata dan kebijakan peningkatan pendapatan nasional.

Bona (2008), meneliti dengan judul pengaruh ekspor CPO terhadap harga minyak goreng sawit di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO dan harga minyak goreng sawit Indonesia, menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan pasar minyak goreng sawit dan mengkaji pengaruh kebijakan pajak ekspor yang dilakukan pemerintah. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan alat


(53)

analisis Two Stages Least Square (2SLS). Adapun model yang dirumuskan terdiri dari empat persamaan struktural dan satu persamaan indentitas.

Hasil analisis menunjukkan ekspor CPO Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh produksi CPO (QCPO) pada tingkat kepercayaan 85 persen, harga domestic CPO (PDCPO) 75 persen, pajak ekspor (PE) 90 persen, dan nilai tukat (ER) dengan tingkat kepercayaan 80 persen.secara ekonomi, terdapat satu variabel yang memiliki perbedaan interpretasi dengan hipotesis yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu harga CPO domestik (PDCPO). Model yang dibangun dapat menjelaskan keragaman dari ekspor CPO sebesar 9.20 persen.

Peubah produksi MGS secara signifikan dipengaruhi oleh harga MGS (PMGS), jumlah CPO yang diserap industri MGS (CCPO), dan ekspor CPO satu tahun yang lalu (XCPO1) dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Variabel produksi minyak goreng satu tahun lalu (QMGS1) pun menghasilkan nilai yang signifikan dengan tingkat kepercayaan 90 persen. Terdapat dua variabel yang tidak signifikan yaitu harga domestic CPO dan impor CPO (MCPO). Model dapat menjelaskan keragaman produksi MGS sebesar 79.4 persen dengan 20.6 persen sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model. Nilai F-hit menunjukkan signifikansi model pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Prilaku konsumen MGS domestik dipengaruhi secara signifikan oleh pendapatan nasional bruto (GNP) dengan tingkat kepercayaan 90 persen, nilai tukar (ER) sebesar 95 persen,dan konsumsi MGS sebelumnya (CMGS1) sebesar 89 persen, hanya variabel harga MGS yang memberikan hasil yang tidak signifikan. Secara umum, model dapat menjelaskan keragaman konsumsi MGS 87,89 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.


(54)

Pembentukan harga minyak goreng sawit dipengaruhi secara signifikan oleh harga domestik CPO (PDCPO) dengan tingkat kepercayaan 95 persen, harga CPO dunia (PWCPO) 80 persen, pajak ekspor (PE) 75 persen, dan harga pada tahun sebelumnya (PMGS1) dengan tingkat kepercayaan 85 persen. Hanya variabel nilai tukar (ER) yang belum memberikan hasil yang signifikan. Selain itu, model yang dibangun dapat menjelaskan keragaman dari harga MGS sebesar 56.86 persen dimana sekitar 43.14 persen dijelaskan oleh variabel-variabel diluar model dengan tingkat kepercayaan sebesar 90 persen.

Berdasarkan simulasi pada kenaikan harga CPO dunia (PWCPO) sebesar sepuluh persen, kenaikan tersebut berdampak pada peningkatanseluruh variabel. Perubahan terbesar ada pada variabel harga minyak goreng sawit, dimana kenaikan harga CPO dunia sebesar sepuluh persen akan mengakibatkan naiknya harga minyak goreng sawit sebesar 3.364 persen. Presentasi perubahan terendah ada pada variabel XCPO, dimana perubahannya sebesar 0.189 persen.

Peningkatan PE sebesar satu persen ternyata mengakibatkan semua veriabel mengalami penurunan. Perubahan terbesar terjadi pada variabel PMGS, dimana peningkatan sebesar satu persen dari PEakan mengakibatkan penurunan PMGS sebesar 0.335 persen. Hasil ini dapat menggambarkan bahwa kebijakan PE ternyata memang memilikidampak terhadap penurunan PMGS. Namun, kenaikan PE ini ternyata juga mengakibatkan penurunan dari sisi produksi dan konsumsi MGS.

2.7. Keterbaruan Penelitian

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dibandingkan dengan penelitian Suharyono (1996), Bone (2008), dan Novindra (2011). Penelitian


(55)

Novindra (2011), yaitu dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan

model ekonometrika persamaan simultan diduga dengan Two Stages Laeast

Square (2SLS).

Perbedaan penelitian Novindra (2011) dengan penelitian ini adalah pada tujuan dari penelitian ini. Penelitian Novindra (2011) memiliki tujuan untuk melihat dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia, sedangkan penelitian ini untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia dan hanya melihat dampak kebijakan suku bunga terhadap produksi produk turunan kelapa sawit.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian Suharyono (1996) adalah pada perumusan model berupa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit untuk komoditas minyak goreng sawit, margarin, dan sabun. Perbedaannya dengan penelitian Suharyono (2008) adalah pada model ekonometrika yang digunakan, pada penelitian Suharyono (2008), menggunakan model ekonometrika persamaan simultan yang diduga dengan metode pangkat dua terkecil tiga tahap Linier Three Stages Least Square (LTSLS).

Penelitian ini menggunakan model ekonometrika persamaan simultan

diduga dengan Two Stages Laeast Square (2SLS). Selain itu ruang lingkup dan

komoditas yang diteliti dalam penelitian ini juga berbeda, pada penelitian Suharyono (1996), ikut melihat dampak kebijakan ekonomi terhadap kelapa sawit dan produk turunannya, kemudian komoditas yang diteliti adalah minyak sawit,


(56)

minyak goreng sawit, margarin, dan sabun sedangkan pada penelitian ini lebih kepada industri hilir kelapa sawit yaitu minyak goreng sawit, margarin, dan sabun untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit tersebut. Dampak kebijakan yang dilihat hanya terhadap suku bunga uang.

Penelitian Bone (2008), yaitu menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO dan harga minyak goreng sawit Indonesia, menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan pasar minyak goreng sawit dan mengkaji pengaruh kebijakan pajak ekspor yang dilakukan pemerintah. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan model ekonometrika. Perbedaan penelitian Bone (2008) dengan penelitian ini adalah Komoditas yang digunakan berbeda, Bone hanya fokus pada minyak goreng sawit dan CPO sedangkan penelitian ini terhadap minyak goreng sawit, margarin, dan sabun.


(57)

(58)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Fungsi Produksi dan Penawaran Minyak Goreng, Margarin, dan Sabun

Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai hubungan secara teknis dalam

transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara

hubungan input dengan output (Debertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984 dalam Novindra, 2011). Secara umum hubungan antara input-output untuk menghasilkan produksi suatu komoditas pertanian (Y) secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :

Y = f(X1,X2,X3,X4) ………....(3.1)

Keterangan :

Y = Output: minyak goreng (kg); margarin (kg); sabun (batang)

X1 = Jumlah minyak sawit (Kg)

X2 = Jumlah modal (Unit)

X3 = Jam tenaga kerja (HOK)

X4 = Faktor produksi lainnya

Digambarkan secara sederhana fungsi produksi minyak goreng, margarin, dan sabun adalah:

Y1 = f(MS1, M1, TK1) ...(3.2)

Y2 = f(MS2, M2, TK2) ...(3.3)

Y3 = f(MS3, M3, TK3) ...(3.4)

Keterangan:

Y1 = Produksi minyak goreng (Kg)

Y2 = Produksi margarin (Kg)


(59)

MS1 = Jumlah minyak sawit untuk produksi minyak goreng (Kg)

MS2 = Jumlah minyak sawit untuk produksi margarin (Kg)

MS3 = Jumlah minyak sawit untuk produksi sabun (Kg)

M1 = Jumlah modal untuk produksi minyak goreng (Unit)

M2 = Jumlah modal untuk produksi margarin (Unit)

M3 = Jumlah modal untuk produksi sabun(Unit)

TK1 = Jam tenaga kerja untuk produksi minyak goreng (HOK)

TK2 = Jam tenaga kerja untuk produksi margarin (HOK)

TK3 = Jam tenaga kerja untuk produksi sabun (HOK)

Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa makin tinggi harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh para penjual. Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang semakin sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan (Sukirno, 2002). Dalam melengkapi analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, selanjutnya perlu juga diteliti peranan faktor-faktor lainnya dalam mempengaruhi jumlah barang yang ditawarkan. Dolan (1974) dalam Novindra (2011), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditas, yaitu harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain (sebagai kompetisi/komplementernya), biaya faktor produksi, biaya perusahaan, tujuan perusahaan, tingkat teknologi, pajak, subsidi, harapan harga dan keadaan alam.

3.2. Permintaan Minyak Goreng Sawit/Margarin/Sabun

Secara umum, fungsi permintaan konsumen terhadap suatu barang diturunkan dari fungsi utillitas konsumen. Diasumsikan fungsi utilitas konsumen adalah (Novindra, 2011) :


(60)

U = u (CA, CB) ……… (3.5)

Dimana U adalah total uttilitas konsumen dari konsumsi minyak goreng

sawit/margarin/sabun (CA) dan Produk lain (CB). Konsumen yang rasional akan

berupaya memaksimumkan utilitas pada tingkat harga yang berlaku dan sesuai dengan kendala pendapatan (I).

PA*CA + PB*CB = I ……… (3.6)

Atau PA*CA + PB*CB – I = 0

Dimana PA adalah harga minyak goreng sawit/margarin/sabun dan PB adalah

harga produk lain. Dengan pendekatan Lagrangian Multipliers, persoalan maksimisasi berkendala di atas dapat dinyatakan sebagai berikut.

Maksimum : U = u (CA, CB)

Dengan kendala : PA*CA + PB*CB = I

Fungsi komposit berupa gabungan dari kedua fungsi di atas atau disebut sebagai fungsi Lagrangian dapat ditulis sebagai berikut.

Ø = U=u(CA,CB)-λ(PA*CA+PB*CB-I) ………. (3.7)

Untuk mendapatkan utilitas maksimum, maka syarat pertama adalah turunan parsial dari fungsi Lagrangian harus sama dengan nol.

= – λ(PA) = 0 ………...(3.8)

= – λ(PB) = 0 ………... (3.9)

= (PA*CA + PB * CB – I)= 0 ……….... (3.10)

Dari persamaan (3.8), (3.9), dan (3.10) di atas diperoleh :

= λ(PA) atau λ = / ………


(61)

= λ(PB) atau λ = / ……….(3.12)

PA*CA+PB*CB = I ……….. (3.13)

Diketahui ∂U/∂CA = MUA dan ∂U/∂CB = MUB maka :

λ = MUA / PA = MUB / PB ………....(3.14)

dan MUA / MUB = PA / PB = MRSA,B ………...(3.15)

yang menyatakan bahwa kepuasan konsumen akan maksimum pada kondisi dimana rasio marjinal utilitas terhadap harga sama untuk semua komoditas, yaitu sebesar koefisien pengganda lagrangian (λ).

Penyelesaian PA dan PB pada persamaan (3.15) dan kemudian subtitusikan

ke dalam persamaan (3.13), maka dapat diperoleh fungsi permintaan terhadap minyak goreng sawit/margarin/sabun, yaitu :

CA =f(PA, PB, I) ………...(3.16)

Yang menyatakan bahwa konsumsi atau permintaan konsumen terhadap minyak goreng sawit/margarin/sabun ditentukan oleh harga minyak goreng sawit/margarin/sabun itu sendiri, harga produk lain, dan pendapatan konsumen. Dengan asumsi bahwa permintaan tersebut bersifat dinamis maka elastisitas permintaan minyak goreng sawit/margarin/sabun terhadap harga minyak goreng sawit/margarin/sabun, harga produk lain, dan terhadap pendapatan dapat dihitung, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Novindra, 2011).

Mendapatkan nilai kuantitatif dari respon suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya, dapat digunakan konsep elastisitas. Untuk model yang dinamis dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Adapun persamaan untuk mendapat nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang adalah (Novindra, 2011):


(62)

Elastisitas Jangka Pendek (ESR)

ESR = * = b ………... (3.17)

Elastisitas Jangka Panjang (ELR)

ELR= E ………... (3.18)

Keterangan :

b = Parameter dugaan dari variabel eksogen

blag = Parameter dugaan dari lag endogen

X = Rata-rata variabel eksogen

Y = Rata-rata variabel endogen

3.3. Kerangka Operasional

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting bagi perekonomian Indonesia. Kelapa sawit menghasilkan dua minyak yaitu minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit. Indonesia merupakan pengekspor CPO terbesar di dunia, dan diprediksi permintaan CPO dunia akan terus meningkat.

Indonesia harus terus meningkatkan produktivitas kelapa sawit, agar dapat memenuhi permintaan dunia terhadap CPO. Salah satunya dengan cara menambah luas areal perkebunan kelapa sawit. Hal ini tentu saja menjadi ancaman yang berarti bagi Indonesia. Indonesia tidak bisa selamanya hanya mengekspor bahan mentah dari kelapa sawit berupa CPO saja. Perlu adanya pengembangan industri hilir kelapa sawit, dimana seperti yang kita tahu produk turunan kelapa sawit seperti minyak goreng, margarin, dan sabun memberikan nilai tambah yang lebih dibanding dengan minyak mentah kelapa sawit.


(63)

Bukan hanya itu, kebutuhan domestik terhadap ke tiga jenis produk turunan minyak sawit seperti minyak goreng, margarin, dan sabun semakin meningkat. Pengembangan industri hilir minyak sawit di Indonesia masih rendah, oleh karena itu industri hilir kelapa sawit perlu di dorong agar lebih maju dan berkembang. Efek berganda yang timbul dengan keberadaan industri sawit memanfaatkan CPO sebagai bahan bakunya meliputi (Departemen Perindustrian, 2009):

1. Penguatan struktur industri agro dan kimia serta industri lainnya

2. Pertumbuhan subsektor ekonomi lainnya

3. Pengembangan wilayah industri

4. Proses alih teknologi 5. Perluasan lapangan kerja

6. Penghematan devisa

7. Penerimaan peningkatan pajak bagi pemerintah

Pengembangan produksi hilir dari kelapa sawit juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan moneter berupa tingkat suku bunga juga memberikan dampak terhadap produksi produk turunan minyak sawit. Hal ini terkait dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa dengan penurunan tingkat suku bunga akan meningkatkan investasi. Meningkatnya invetasi diharapkan dapat meningkatkan modal bagi perusahaan hilir minyak sawit sehingga dapat meningkatkan produksi.


(64)

Gambar 1. Diagram Alur Pemikiran Operasional Ekspor CPO Indonesia

Tinggi Permintaan CPO

Dunia meningkat

Pengembangan Industri Hilir

Rendah

Perlu Pengembangan Industri Hilir Rendah (Industri Hilir Dominan di Indonesia : minyak

goreng margarin dan sabun)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan minyak Sawit

di Indonesia yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun (Model Persamaan Simultan)

Mengkaji dampak kebijakan penurunan suku bunga sebesar 20 persen terhadap produksi minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia

Rekomendasi Kebijakan

Produktivitas Minyak Sawit sehingga

mendorong penambahan areal tanam kelapa sawit


(65)

Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model persamaan produksi produk turunana kelapa sawit. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan simultan. Dari model yang dibuat dilakukan analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit, untuk minyak goreng, margarin, dan sabun. Hasil analisis yang diperoleh diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pengambil kebijakan dalam pengembangan industri hilir kelapa sawit. Selain itu, hasil analisis diharapkan dapat menjadi literatur untuk penelitian berikutnya. Secara garis besar, kerangka pemikiran operasional dapat digambarkan pada Gambar 1.


(66)

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dalam bentuk data deret waktu (time series) dengan periode waktu 20 tahun, yaitu tahun 1990-2010. Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah atau lembaga-lembaga terkait lainnya yaitu Badan Pusat Statistik, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Institut Pertanian Bogor, studi literatur dan internet.

4.2. Metode Analisis dan Pengelolaan Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Metode analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit yaitu model persamaan simultan. Masing-masing persamaan dalam model persamaan simultan diduga dengan metode 2SLS menggunakan software SAS.

4.3. Spesifikasi Model

Model yang dirumuskan dalam penelitian terdiri dari 10 persamaan struktural dan 3 persamaan identitas, yaitu persamaan: produksi minyak goreng sawit; produksi margarin; produksi sabun; Persamaan permintaan dan penawaran minyak goreng; permintaan dan penawaran margarin; permintaan dan penawaran sabun; harga minyak sawit; harga minyak goreng, margarin, dan sabun. Adapun model ekonometrika pada penelitian ini dibagi menjadi 3 blok yaitu blok minyak goreng sawit, blok margarin, dan blok sabun.


(1)

118

 

 

Lampiran 8. Lanjutan

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %

Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square Label

PMGSD 4 573.5 11.6782 573.5 11.6782 605.5 12.6718 -1.302 produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton) DMGSD 4 57.8821 6.8322 69.2717 8.2185 105.0 12.4141 -.4400 permintaan minyak goreng sawit domestik (ton) SMGSD 4 573.5 20.3181 573.5 20.3181 605.5 22.0164 -6.644 penawaran minyak goreng sawit domestik (ton)


(2)

119

 

 

Lampiran 8. Lanjutan

The SAS System

The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation

Solution Range Th = 2007 To 2010

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %

Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square Label

HRMGSD 4 -91.5483 -2.2288 94.3365 2.2985 127.1 3.0629 -.5805

HRMSD 4 60.9990 2.8302 60.9990 2.8302 67.8228 3.1523 -2.051 harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton) DMSD 4 -580.5 -14.1994 580.5 14.1994 583.8 14.2628 -54.19

PMRD 4 -25.7158 45.7200 89.4838 86.9384 93.6276 101.0 0.3425 produksi margarin domestik (000 kg) DMRD 4 5732.7 46.6119 5780.2 46.8563 6753.0 55.9594 -3.734 permintaan margarin domestik (kg) SMRD 4 395097 -101.2 395097 101.2 400689 101.2 -35.43 penawaran margarin domestik (kg) HRMRD 4 -3135.0 -23.2223 3135.0 23.2223 3195.3 23.4707 -13.95

PSBD 4 -823.2 -12.6694 1158.8 21.7821 1552.9 26.9328 -.6336 produksi sabun domestik (000 buah) DSBD 4 -4660.1 -0.4953 13340.9 23.2991 15806.6 24.2377 0.3062 permintaan sabun domestik (buah) SSBD 4 151245 -104.9 151245 104.9 152019 104.9 -98.23 penawaran sabun domestik (buah) HRSBD 4 -245.2 -23.9315 245.2 23.9315 285.1 28.0872 -127.4

119

120


(3)

120

 

 

Lampiran 8. Lanjutan

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

PMGSD 4 366671 0.88 0.90 0.00 0.10 0.02 0.08 0.1198 0.0567 DMGSD 4 11016.0 0.60 0.30 0.25 0.44 0.03 0.67 0.1181 0.0571 SMGSD 4 366671 0.54 0.90 0.01 0.09 0.00 0.10 0.2088 0.0951 HRMGSD 4 16163.0 0.50 0.52 0.01 0.47 0.09 0.39 0.0315 0.0159 HRMSD 4 4599.9 0.99 0.81 0.19 0.00 0.19 0.00 0.0312 0.0154 DMSD 4 340855 0.60 0.99 0.00 0.01 0.00 0.01 0.1430 0.0770 PMRD 4 8766.1 0.93 0.08 0.73 0.20 0.88 0.05 0.4659 0.2734 DMRD 4 45602432 -0.89 0.72 0.23 0.05 0.15 0.13 0.4607 0.1945 SMRD 4 1.606E11 -0.96 0.97 0.03 0.00 0.03 0.00 1.0113 0.9999 HRMRD 4 10209810 0.91 0.96 0.03 0.01 0.03 0.00 0.2383 0.1351 PSBD 4 2411463 0.02 0.28 0.11 0.61 0.20 0.52 0.3362 0.1873 DSBD 4 2.4985E8 0.89 0.09 0.60 0.31 0.83 0.08 0.2760 0.1479 SSBD 4 2.311E10 -0.16 0.99 0.00 0.01 0.01 0.00 1.0479 0.9997 HRSBD 4 81282.5 0.74 0.74 0.26 0.00 0.23 0.03 0.2753 0.1548


(4)

121

 

 

Lampiran 8. Lanjutan

The SAS System

The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation

Solution Range Th = 2007 To 2010

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

PMGSD 4 0.0181 0.23 0.86 0.09 0.06 0.01 0.13 1.7020 0.4793 DMGSD 4 0.0106 -0.07 0.31 0.13 0.56 0.20 0.49 1.1220 0.8293 SMGSD 4 0.0546 -0.01 0.86 0.13 0.02 0.05 0.10 3.0516 0.6244 HRMGSD 4 0.00105 0.91 0.53 0.14 0.33 0.25 0.22 0.6745 0.4239 HRMSD 4 0.000963 0.78 0.81 0.03 0.16 0.00 0.19 1.3610 0.6214 DMSD 4 0.0221 0.99 0.98 0.02 0.00 0.02 0.00 2.5197 0.8340 PMRD 4 2.6083 0.79 0.02 0.24 0.74 0.62 0.36 0.6310 0.4077 DMRD 4 0.2431 0.80 0.70 0.23 0.07 0.15 0.14 1.9990 0.6594 SMRD 4 1.3625 -0.92 0.94 0.05 0.01 0.06 0.00 3.7196 0.8798 HRMRD 4 0.0639 0.99 0.99 0.01 0.00 0.01 0.00 2.1855 0.8477 PSBD 4 0.2443 0.70 0.26 0.12 0.62 0.47 0.27 0.8661 0.6305 DSBD 4 0.1493 0.71 0.04 0.01 0.95 0.26 0.70 0.6774 0.4153 SSBD 4 1.1693 -0.77 0.98 0.01 0.01 0.02 0.00 7.1073 0.8998 HRSBD 4 0.0955 -0.98 0.70 0.30 0.00 0.03 0.27 4.3074 0.9832

 

 

121

 


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Singgih widhosari lahir pada tanggal 9 September 1990

di kota Nabire. Penulis merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara dari

pasangan Tukijan dan Alm. Lestari ningsih. Penulis mulai menjalani pendidikan

formal di Yapis Kaimana, kemudian melanjutkan pendidikan di SD Inpres 109

Sorong dan lulus tahun 2002. Setelah itu melanjutkan pendidikan di SMP Negeri

2 Biak dan lulus tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan

pendidikan ke SMA Negeri 3 Sorong dan lulus tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu

Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan

Lingkungan Fakultas Ekonomi Manajemen. Penulis mengambil program minor

Pengelolaan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan.