Perkembangan Produksi dan Konsumsi Margarin di Indonesia
26 dampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan
penawaran minyak sawit domestik belum didukung dengan perkembangan industri hilir minyak sawit selain industri minyak sawit terlebih dahulu. Hal
tersebut menyebabkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik hanya akan mengakibatkan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik
mengalami penurunan. Suharyono 1996, melakukan analisis dampak kebijakan ekonomi pada
komoditas minyak sawit dan hasil industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap perubahan keragaan ekonomi komoditas minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin, dan sabun, serta besarnya pengaruh
perubahan faktor-faktor itu. Kemudian menganalisis dampak kebijakan ekonomi deregulasi perdagangan minyak sawit, devaluasi nilai tukar rupiah, penurunan
tingkat bunga, peningkatan harga pupuk, peningkatan upah tenaga kerja, Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dalam
runtun waktu time series, periode 1969-1993. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika persamaan simultan yang diduga
dengan metode pangkat dua terkecil tiga tahap Linier Three Stages Least Squares LTSLS. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa selama kurun waktu 1969-
1993 telah terjadi perkembangan yang cukup berarti dalam industri minyak sawit Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan luas areal produktif, produksi,
dan permintaan minyak sawit domestik, yang masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 11.52 persen, 13.27 persen, dan 18.90 persen.
Sementara itu pada kurun waktu yang sama volume ekspor minyak sawit
27 Indonesia rata-rata meningkat 8.33 persen pertahun yang sebagian besar
disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar MEE sebesar 7.89 persen per tahun. Disisi lain selama kurun waktu 1984-1993,
volume impor minyak sawit oleh Indonesia mengalami penurunan rata-rata 6.80 persen per tahun.
Luas areal produktif tidak responsif terhadap permintaan minyak sawit dunia, sedangkan produksi minyak goreng sawit domestik responsif terhadap
teknologi dan permintaan minyak sawit domestik. Disamping itu produksi margarin dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif
terhadap teknologi, sementara untuk produksi sabun dalam jangka panjang juga responsif terhadap permintaan sabun. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
perubahan teknologi bagi produk hasil industri ternyata lebih besar dibandingkan untuk produk hasil pertanian. Demikian juga untuk perkembangan
permintaan.permintaan minyak sawit domestik responsif terhadap permintaan minyak goreng sawit domestik. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit akan besar pengaruhnya bagi permintaan minyak sawit domestik secara keseluruhan.
Permintaan minyak goreng sawit, margarin, dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap perubahan pendapatan
nasional. Khusus untuk permintaan minyak goreng sawit, dalam jangka panjang juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng
kelapa. Hal ini menunjukan bahwa dalam jangka panjang hubungan minyak goreng kelapa dan minyak goreng sawit dilihat dari sisi konsumen lebih bersifat
subtitusi.
28 Peubah trend teknologi ternyata mampu memberikan pengaruh yang
besar pada perubahan penawaran minyak goreng sawit domestik, margarin, dan sabun. Hal ini tidak terjadi pada penawaran minyak sawit domestik. Namun
demikian harga minyak sawit domestik hanya memberikan dampak yang besar pada penawaran minyak sawit domestik. Perubahan harga minyak sawit dunia
dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan harga ekspor minyak sawit Indonesia. Harga ekspor minyak sawit Indonesia
kepasar Masyarakat Ekonomi Eropa MEE ternyata memberikan pengaruh yang besar pada perubahan volume ekspor komoditas itu kepasar MEE.
Selama kurun waktu 1969-1993 ternyata tidak terjadi perkembangan teknologi yang cukup berarti. Hal ini terlihat dengan tidak resposifnya perubahan
harga, baik minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin maupun sabun terhadap perubahan teknologi. Kebijakan ekonomi yang dinilai paling ideal, karena mampu
meningkatkan total surplus produsen domestik, total surplus konsumen domestik dan total surplus devisa, baik dalam pasar terkendali maupun yang bebas adalah
kebijakan penurunan tingkat bunga sebesar tiga persen dari tingkat bunga tertinggi, kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar lima puluh persen dari harga
pupuk rata-rata dan kebijakan peningkatan pendapatan nasional. Bona 2008, meneliti dengan judul pengaruh ekspor CPO terhadap harga
minyak goreng sawit di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO dan harga minyak goreng sawit
Indonesia, menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan pasar minyak goreng sawit dan mengkaji pengaruh kebijakan pajak ekspor yang dilakukan pemerintah.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan alat
29 analisis Two Stages Least Square 2SLS. Adapun model yang dirumuskan terdiri
dari empat persamaan struktural dan satu persamaan indentitas. Hasil analisis menunjukkan ekspor CPO Indonesia secara signifikan
dipengaruhi oleh produksi CPO QCPO pada tingkat kepercayaan 85 persen, harga domestic CPO PDCPO 75 persen, pajak ekspor PE 90 persen, dan nilai
tukat ER dengan tingkat kepercayaan 80 persen.secara ekonomi, terdapat satu variabel yang memiliki perbedaan interpretasi dengan hipotesis yang telah
ditetapkan sebelumnya, yaitu harga CPO domestik PDCPO. Model yang dibangun dapat menjelaskan keragaman dari ekspor CPO sebesar 9.20 persen.
Peubah produksi MGS secara signifikan dipengaruhi oleh harga MGS PMGS, jumlah CPO yang diserap industri MGS CCPO, dan ekspor CPO satu
tahun yang lalu XCPO1 dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Variabel produksi minyak goreng satu tahun lalu QMGS1 pun menghasilkan nilai yang
signifikan dengan tingkat kepercayaan 90 persen. Terdapat dua variabel yang tidak signifikan yaitu harga domestic CPO dan impor CPO MCPO. Model dapat
menjelaskan keragaman produksi MGS sebesar 79.4 persen dengan 20.6 persen sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model. Nilai F-hit menunjukkan
signifikansi model pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Prilaku konsumen MGS domestik dipengaruhi secara signifikan oleh
pendapatan nasional bruto GNP dengan tingkat kepercayaan 90 persen, nilai tukar ER sebesar 95 persen,dan konsumsi MGS sebelumnya CMGS1 sebesar
89 persen, hanya variabel harga MGS yang memberikan hasil yang tidak signifikan. Secara umum, model dapat menjelaskan keragaman konsumsi MGS
87,89 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.