Gambaran Umum Utang Luar Negeri Indonesia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Utang Luar Negeri Indonesia

Dilihat dari sisi komposisi dan distribusinya, posisi utang luar negeri Indonesia secara nominal terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini perlu diwaspadai karena pertumbuhan utang luar negeri yang tidak terkendali dapat berdampak buruk dan memicu terjadinya krisis utang di Indonesia. Sejauh ini, mulai tahun 2001 hingga kini, kemampuan dalam melakukan pembayaran utang luar negeri solvabilitas Indonesia menunjukkan kondisi yang terus membaik. Hal ini dapat dilihat dari indikator debt to GDP yang menunjukkan trend terus menurun dari tahun 2001 hingga kini. Selain mengacu kepada debt to GDP, penilaian solvabilitas Indonesia juga dapat dilihat dari indikator debt to export. Ukuran ini dihitung dari rasio posisi utang luar negeri secara keseluruhan terhadap penerimaan ekspor yang diperoleh suatu negara. Dari tahun 2006 hingga 2011 saat ini, debt to export Indonesia menunjukkan trend yang mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. Sumber : Bank Indonesia, 2011 Gambar 4.1 Debt To Export Indonesia Periode Tahun 2006 Hingga 2011 Gambar 4.1 menunjukkan bahwa indikator debt to export Indonesia menunjukkan trend yang terus menurun selama periode waktu tersebut. Debt to export merupakan indikator yang merefleksikan kapasitas pembayaran kembali utang luar negeri debt repayment capacity suatu negara. Nilai debt to export Indonesia yang masih berada pada kisaran di bawah 200 persen menunjukkan bahwa profil utang luar negeri Indonesia dari tahun 2006 hingga 2011 masih dinilai aman. Meskipun demikian, nilai debt to export Indonesia sempat mencapai angka tertinggi yakni 121,8 persen pada tahun 2009. Namun, kondisi itu terjadi lebih disebabkan karena penurunan penerimaan ekspor Indonesia sebagai dampak krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika pada tahun 2008, bukan karena terjadi peningkatan utang luar negeri Indonesia secara signifikan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa sejauh ini kondisi beban utang luar negeri Indonesia masih dinilai aman dan tidak berpotensi mengalami masalah solvabilitas sehingga mampu menyelesaikan berbagai kewajiban terkait pembayaran kembali utang luar negeri Indonesia sesuai tenggat waktu grace period yang disepakati sebelumnya. Meskipun solvabilitas Indonesia dinilai baik dan tidak berpotensi mengalami krisis utang yang ditandai dengan kondisi gagal bayar, namun posisi utang luar negeri yang terus meningkat tetap saja menimbulkan beban tersendiri bagi negara akibat beban pembayaran cicilan pokok utang dan bunganya dari tahun ke tahun. Salah satu indikator yang digunakan untuk menilai beban pembayaran cicilan pokok utang luar negeri dan bunga yang harus ditanggung suatu negara adalah nilai debt service ratio DSR. Nilai ini merupakan rasio besarnya pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan ekspor suatu negara. Adapun nilai DSR Indonesia selama periode tahun 2006 hingga 2011 dapat dilihat pada Gambar 4.2. Sumber : Bank Indonesia, 2011 Gambar 4.2 Debt Service Ratio Indonesia Periode Tahun 2006 Hingga 2011 Gambar 4.2 menunjukkan bahwa nilai DSR Indonesia memiliki trend yang cenderung menurun selama periode tahun 2006 hingga 2011, meskipun nilai DSR ini sempat mengalami kenaikan di tahun 2009 menjadi 23,2 persen. Nilai DSR merefleksikan beban penerimaan ekspor yang harus dialokasikan untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Suatu negara dianggap memiliki profil utang luar negeri yang aman apabila nilai DSR nya berada di bawah 25 persen. Dengan demikian, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri sempat memberikan beban yang besar terhadap penerimaan ekspor Indonesia pada tahun 2006 karena DSR di tahun tersebut mencapai 25 persen. Kondisi DSR Indonesiadapat dikatakan cukup rawan karena nilainya yang hampir mendekati batas aman 25 persen. Hal ini terjadi sebagai dampak akumulasi total utang luar negeri Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga memberikan tekanan yang besar terhadap penerimaan ekspor Indonesia. Padahal, jika posisi utang luar negeri Indonesia terkendali, maka potensi penerimaan ekspor Indonesia dapat dialokasikan untuk mendukung pembangunan ekonomi di dalam negeri demi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara luas. Terjadinya peningkatan posisi utang luar negeri Indonesia tidak terlepas dari dilakukannya penarikan utang luar negeri baru secara terus menerus dari tahun ke tahun. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur aliran utang luar negeri debt flow adalah Net Resource Flow NRF. Nilai NRF diperoleh dengan cara menghitung selisih besarnya penarikan terhadap pembayaran utang luar negeri. Adapun nilai NRF Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.1 Nilai Net Resource Flow Indonesia Periode Tahun 2006-2011 Tahun Total Penarikan ULN Baru Dollar Pembayaran Pokok Bunga ULN Indonesia Dollar Net Resource Flow Dollar 2006 28.677.000.000 38.933.100.000 -10.256.100.000 2007 33.267.000.000 36.652.160.000 -3.385.160.000 2008 46.149.000.000 44.926.000.000 1.223.000.000 2009 47.344.000.000 41.380.000.000 5.964.000.000 2010 53.626.000.000 54.347.000.000 -721.000.000 2011 95.312.000.000 63.592.000.000 31.720.000.000 Sumber : Bank Indonesia, 2011, diolah Tabel 4.1 menunjukkan bahwa selama periode tahun 2006 hingga 2011, nilai NRF Indonesia bervariasi. Pada tahun 2008, 2009, 2011, NRF Indonesia menunjukkan nilai yang positif. Kondisi ini mengindikasikan bahwa total penarikan utang luar negeri baru lebih besar dibandingkan pembayaran cicilan pokok dan bunganya sehingga likuiditas dalam perekonomian dalam negeri cenderung positif. Hal inilah yang menyebabkan pada periode tersebut posisi utang luar negeri Indonesia mengalami trend yang terus meningkat. Sementara itu, pada periode tahun 2006, 2007, dan 2010, NRF Indonesia menunjukkan nilai yang negatif. Kondisi ini mengindikasikan bahwa total pembayaran cicilan pokok dan bunga lebih besar dibandingkan penarikan utang luar negeri baru. Secara teoritis, nilai NRF yang negatif akan berdampak pada penurunan akumulasi utang luar negeri Indonesia. Namun, fakta dan data yang ada menunjukkan bahwa pada periode tersebut, posisi utang luar negeri Indonesia terus mengalami peningkatan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa utang luar negeri baru yang ditarik Indonesia tidak digunakan untuk pembiayaan aktivitas produktif sehingga tidak memberikan rate of return yang tinggi. Nilai NRF yang negatif akibat pembayaran cicilan pokok dan bunga yang lebih besar dibandingkan penarikan utang luar negeri baru hanya menyebabkan likuiditas dalam perekonomian menjadi negatif. Hal ini perlu diwaspadai karena kurangnya likuiditas dalam negeri akan berpengaruh buruk terhadap prospek investasi sehingga penciptaan output nasional akan mengalami penurunan. Pengelolaan utang luar negeri Indonesia saat ini masih begitu buruk. Hal ini disebabkan karena pengelolaan tersebut masih belum dilakukan secara terpusat. Institusi yang mencatat pelaporan penerimaan utang luar negeri tersebut adalah Bank Indonesia. Sementara itu, alokasi penggunaan utang luar negeri tersebut direncanakan dan dilaksanakan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional BAPPENAS. Adapun institusi yang bertanggung jawab dalam melakukan pembayaran kembali cicilan pokok dan bunga utang luar negeri tersebut adalah Kementerian Keuangan. Pengelolaan utang luar negeri yang dilakukan secara tidak terpusat ini menyebabkan penilaian efisiensi atas alokasi penggunaannya tidak dapat terukur dengan baik. Besarnya imbal hasil rate of return yang diperoleh dari penggunaan sumber pembiayaan utang luar negeri iu tidak dapat diketahui secara akurat. Oleh karena itu, penyelewengan penggunaan utang luar negeri tersebut sangat berpotensi untuk terjadi sehingga hanya menimbulkan kerugian dan menambah beban pembayarannya. Pengelolaan utang luar negeri yang masih dilakukan secara terpisah menyebabkan alokasi penggunaannya tidak tercatat secara sistematis. Dalam laporan APBN, tidak terdapat rincian mengenai bidang, program, kegiatan dan jenis pengeluaran apa yang sumber pembiayaannya bersumber dari utang luar negeri. Hal ini menyebabkan semakin sulitnya penilaian untuk mengukur tingkat efisiensi dan efektivitas penggunaan utang luar negeri dalam mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia. Dari uraian di atas, diketahui bahwa sejauh ini profil utang luar negeri Indonesia masih menunjukkan kondisi yang aman. Namun, seiring dengan semakin besarnya beban pembayaran cicilan pokok dan bunganya, maka utang luar negeri tersebut berpotensi menimbulkan polemik bagi perekonomian Indonesia secara agregat. Dengan demikian, pada periode mendatang potensi terjadinya krisis utang di Indonesia sangatlah besar sehingga perlu dibangun suatu early warning system yang mampu memprediksi kemungkinan terjadinya krisis tersebut secara akurat.

4.2 Penyusunan Early Warning System