Early Warning System Krisis Utang di Indonesia: Pendekatan Business Cycle Theory
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sebagai negara sedang berkembang yang tengah menuju tahap kemapanan ekonomi, Indonesia membutuhkan anggaran belanja dalam jumlah besar untuk membiayai berbagai program pembangunan yang direncanakan. Oleh karena itu, kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget deficit, yakni kondisi dimana jumlah anggaran belanja lebih besar daripada pendapatannya. Adapun besarnya defisit anggaran yang dialami Indonesia selama kurun waktu 13 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Sumber: Bank Indonesia, 2011 diolah
Gambar 1.1. Besarnya Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara Periode 1998 hingga 2009 (dalam miliar rupiah)
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa selama periode tahun 1998 hingga 2011, besarnya defisit anggaran yang terjadi menunjukkan trend yang terus meningkat. Pada periode tahun 1999, besarnya defisit anggaran sempat mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 1998, kemudian terus mengalami kenaikan
(2)
hingga mencapai angka defisit anggaran sebesar 40.485 miliar rupiah pada tahun 2001. Defisit anggaran yang begitu besar di tahun 2001 tersebut merupakan dampak akibat krisis moneter yang terjadi di tahun 1998. Pada periode tahun 2002 hingga 2008, besarnya defisit anggaran berfluktuasi hingga mencapai angka tertinggi di tahun 2011. Defisit anggaran pada tahun tersebut mencapai angka 124.656 miliar rupiah.
Besarnya defisit anggaran yang terjadi ditutupi baik dari pembiayaan dalam negeri maupun luar negeri dengan proporsi tertentu. Adapun besarnya porsi pembiayaan dalam maupun luar negeri untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi pada tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 1.2 berikut.
Sumber : Bank Indonesia Indonesia, 2011, diolah
Gambar 1.2 Proporsi Sumber Pembiayaan Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara Periode Tahun 2011
Gambar 1.2 menunjukkan bahwa untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi selama periode tahun 2005 hingga 2010, pemerintah mengandalkan sumber pembiayaan yang berasal dari perbankan dalam negeri, privatisasi, penjualan aset
(3)
program restrukturisasi, dana penerbitan obligasi negara, dan pinjaman luar negeri.
Dari beberapa sumber pembiayaan yang ada, porsi terbesar untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi berasal dari obligasi negara yakni sebesar 74 persen. Dana penerbitan obligasi baru digunakan secara efektif dan menjadi instrumen utama pembiayaan APBN sejak tahun 2005. Hal ini menunjukan betapa pentingnya dana penerbitan obligasi pemerintah sebagai andalan demi terlaksananya kebijakan ekspansi fiskal dengan pola deficit budget yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia selama ini.
Proporsi pembiayaan defisit anggaran yang sebagian besar berasal dari dana penerbitan obligasi pada akhirnya menyebabkan pemerintah memutuskan untuk meningkatkan penawaran obligasi di pasar sekuritas secara terus menerus. Dana dari penerbitan obligasi ini kemudian digunakan untuk beberapa hal, di antaranya adalah refinancing utang lama yang jatuh tempo dan refinancing dilakukan dengan utang baru yang mempunyai term dan condition yang lebih baik.
Ditinjau dari kepemilikannya, obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah dapat dibedakan menjadi tiga, yakni obligasi yang dimiliki oleh pihak bank, non-bank, dan asing. Adapun data mengenai posisi kepemilikan asing atas obligasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.3.
(4)
Sumber : Bank Indonesia, 2011, diolah
Gambar 1.3 Posisi Surat Berharga Negara (SBN) Domestik yang Dimiliki Bukan Penduduk (Asing) Periode Tahun 2006 Hingga 2011
(dalam Juta Dollar)
Gambar 1.3 menunjukkan bahwa kepemilikan asing terhadap SBN menunjukkan trend yang terus meningkat selama periode Agustus 2004 hingga Agustus 2010. Hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan pemerintah semakin kuat terhadap pihak asing dalam hal memperoleh pendanaan yang dibutuhkan untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi. Porsi kepemilikan asing terhadap SBN yang terus meningkat perlu diwaspadai sebab hal tersebut berdampak pada jumlah utang luar negeri pemerintah yang semakin besar. Apabila penerbitan SBN dan kepemilikan asing terhadap SBN tersebut tidak dibatasi, maka kondisi ini akan memicu semakin besarnya jumlah utang luar negeri pemerintah sehingga tidak menutup kemungkinan, di masa mendatang, pemerintah akan terjerat krisis utang yang akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Defisit APBN yang terjadi menuntut adanya sumber pembiayaan untuk menutupinya, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Pembiayaan yang
(5)
berasal dari luar negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau multilateral maupun SBN yang dimiliki oleh asing. Pembiayaan dari luar negeri yang semakin meningkat berdampak pula semakin besarnya posisi utang luar negeri pemerintah. Secara keseluruhan, posisi utang luar negeri pemerintah juga mengindikasikan adanya potensi krisis utang yang mungkin melanda Indonesia di waktu mendatang. Hal ini diilustrasikan pada Gambar 1.4.
Sumber : Bank Indonesia, 2011, diolah
Gambar 1.4 Posisi Utang Luar Negeri Indonesia Pemerintah Per Triwulan Keempat Periode 1999 Hingga 2010 (dalam juta USD)
Gambar 1.4 menunjukkan bahwa selama periode tahun 1999 hingga 2010, posisi utang luar negeri pemerintah menunjukkan trend yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi keuangan pemerintah semakin menunjukkan ketergantungan yang semakin besar terhadap pembiayaan dari pihak asing, berupa pinjaman bilateral atau multilateral maupun dari dana hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang kemudian dimiliki oleh pihak asing. Kondisi ketergantungan tersebut dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada kesehatan
(6)
keuangan pemerintah apabila terjadi guncangan (shock) sebagai dampak ketidakpastian lingkungan perekonomian global yang terjadi saat ini. Jika ketergantungan yang semakin kuat tersebut terus terjadi dalam periode waktu yang lama, maka tidak menutup kemungkinan bila di masa yang akan datang pemerintah akan terjerat krisis utang seperti yang dialami negara-negara Uni Eropa saat ini.
Utang luar negeri Indonesia selain dimiliki oleh sektor publik, juga dimiliki oleh sektor swasta. Sektor swasta yang memiliki utang luar negeri ini mencakup sektor lembaga keuangan (bank dan nonbank) serta sektor bukan lembaga keuangan. Adapun posisi utang luar sektor swasta dapat dilihat pada Gambar 1.5.
Sumber : Bank Indonesia, 2011,diolah
Gambar 1.5 Posisi Utang Luar Negeri Indonesia Sektor Swasta Per Kuartal Keempat Periode 1999 hingga 2010 (dalam juta USD)
Gambar 1.5 menunjukkan bahwa posisi utang luar negeri pihak swasta menunjukkan trend yang terus meningkat selama periode tahun 1999 hingga 2010. Posisi utang luar negeri sektor swasta mencapai nilai tertinggi pada periode tahun 2011 yakni mencapai 106.114 juta USD. Utang luar negeri tersebut
(7)
mencakup pinjaman, utang dagang, serta surat utang yang diterbitkan luar negeri dan dalam negeri yang dimiliki bukan oleh penduduk. Apabila jumlah utang luar negeri sektor swasta terus meningkat dari waktu ke waktu tanpa diiringi peningkatan produktivitas sektor riil dalam negeri, maka pada jangka panjang sektor swasta akan mengalami kesulitan dalam hal pembayaran kembali utang-utang tersebut yang akan berdampak pada terjadinya guncangan perekonomian.
Secara substansi, utang luar negeri merupakan sumber pembiayaan uang digunakan untuk menutupi kebutuhan investasi di suatu negara. Kegiatan investasi sangat penting untuk dilakukan di suatu negara demi menggiatkan perekonomian sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Kegiatan tersebut membutuhkan dana dalam jumlah yang cukup besar, sehingga di beberapa negara tertentu sumber pembiayaan dalam negeri yang tersedia, misalnya dari tabungan domestik, tidak mampu mencukupi kebutuhan dana investasi yang akan dilakukan. Untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan tersebut, maka utang luar negeri dilakukan. Adanya utang luar negeri ini menimbulkan kewajiban bagi negara debitur untuk mengembalikan utang tersebut beserta bunganya di masa mendatang. Oleh karena itu, pembiayaan yang bersumber dari utang luar negeri ini harus dikelola dengan baik dan dialokasikan untuk kegiatan investasi sektor riil yang produktif sehingga dapat memberikan rate of return yang tinggi di kemudian hari. Hal ini penting untuk mendukung kemampuan likuiditas negara debitur dalam melakukan pembayaran kembali atas jumlah pokok dan bunga dari utang luar negeri tersebut, sehingga negara debitur akan terhindar dari jeratan krisis utang seperti yang melanda Uni Eropa saat ini.
(8)
Penggunaaan utang luar negeri yang dialokasikan untuk kegiatan yang tidak produktif tanpa pengawasan yang baik dapat menyebabkan terjadinya krisis utang seperti yang saat ini melanda negara-negara di kawasan Uni Eropa (European Union/EU). Krisis utang yang berdampak sistemik tersebut diawali dengan kondisi gagal bayar yang dialami negara Yunani. Hal ini disebabkan karena ketiadaan pengawasan yang ketat dalam alokasi penggunaan utang luar negeri di negara tersebut. Defisit APBN Yunani mencapai 13,6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Nilai ini melebihi batas ketentuan yang tercantum dalam Maastricht Treaty (Undang-Undang Dasar anggota Uni Eropa), yang menyatakan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa harus memiliki defisit APBN maksimum 3 persen dari PDB nya. Defisit APBN yang dialami Yunani tersebut selanjutnya dibiayai dari dari dana yang bersumber dari penerbitan obligasi oleh pemerintah sehingga menyebabkan utang luar negeri Yunani terus terakumulasi mencapai 172 persen dari PDB per Juni 2011. Nilai ini melebihi batas ketentuan yang tercantum dalam Maastricht Treaty yang menyatakan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa harus memiliki total utang luar negeri maksimum 60 persen dari PDB nya (Quéré, Bénassy dan Boone, 2010).
Dana yang bersumber dari penerbitan obligasi pemerintah sebagian besar digunakan untuk berbagai program yang sifatnya konsumtif dan pembiayaan sosial bagi masyarakat Yunani. Dana tersebut tidak digunakan untuk membiayai kegiatan investasi produktif, sehingga tidak memberikan dampak multiplier effect yang besar bagi pertumbuhan ekonomi Yunani sehingga tidak memberikan rate of return bagi pemerintah. Akibatnya, pada saat sebagian besar obligasi pemerintah
(9)
mengalami jatuh tempo pada periode bulan Mei tahun 2010, pemerintah Yunani mengalami kesulitan likuiditas sehingga terjadi kondisi gagal bayar yang dialami negara tersebut. Kondisi krisis utang yang dialami Yunani tersebut memicu terjadinya krisis perbankan di kawasan Uni Eropa. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pemegang obligasi Yunani adalah bank-bank di negara-negara Uni Eropa. Dengan demikian, krisis utang Yunani berdampak luas dan sistemik terhadap perekonomian negara-negara lain di kawasan Uni Eropa. Oleh karena itu, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memutuskan melakukan bail out dengan menggelontorkan dana sebesar 14.5 miliar Euro dalam rangka melakukan pembayaran atas obligasi-obligasi pemerintah Yunani yang jatuh tempo tersebut. Jumlah itu masih akan ditambah dengan komitmen dari IMF dan tambahan dana talangan dari Uni Eropa untuk membayar utang-utang jatuh tempo lainnya (Arghyrou dan Tsoukalas, 2010).
Selain Yunani, bank-bank di negara kawasan Uni Eropa juga banyak yang memegang obligasi-obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah negara Irlandia, Italia, Portugal, dan Spanyol. Meskipun hanya Yunani yang mengalami gagal bayar dan membutuhkan restrukturisasi untuk pembayaran obligasi-obligasi yang telah jatuh tempo tersebut, namun kondisi gagal bayar dan restrukturisasi meluas terjadi pada beberapa negara lainnya. Hal ini memicu terjadinya krisis perbankan dengan dampak lebih besar. Kondisi ini berakibat buruk pada perekonomian negara-negara Uni Eropa sehingga secara keseluruhan, kawasan tersebut mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2009 hingga saat ini.
(10)
Berdasarkan pengalaman yang dialami oleh negara-negara di kawasan Uni Eropa, maka sumber pembiayaan yang berasal dari utang luar negeri dalam jumlah yang besar perlu diantisipasi sedini mungkin. Suatu sistem deteksi dini perlu untuk dibangun agar pemerintah dapat memperkirakan periode waktu kemungkinan terjadinya krisis utang secara tepat. Hal ini penting bagi pemerintah sehingga dapat merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang bersifat antisipatif. Dengan adanya impelementasi kebijakan-kebijakan ekonomi secara tepat, maka diharapkan krisis utang dapat diantisipasi dengan baik sehingga mengurangi kemungkinan dampak sistemik yang terjadi secara meluas akibat krisis utang tersebut.
Berdasarkan data yang telah ditunjukkan sebelumnya, terlihat bahwa komposisi utang luar negeri pemerintah dan swasta menunjukkan trend yang terus meningkat pada tiap periodenya. Hal ini mengakibatkan akumulasi utang luar negeri Indonesia dalam jumlah yang besar. Kondisi tersebut dapat meningkatkan eksposur bagi perekonomi Indonesia apabila terjadi guncangan ekonomi yang dipengaruhi oleh lingkungan eksternal perekonomian global. Guncangan tersebut dapat mengarahkan perekonomian Indonesia pada kondisi krisis utang luar negeri. Hal ini disebabkan karena adanya guncangan eksternal dapat meningkatkan eksposur utang luar negeri. Eksposur utang luar negeri yang berlebihan dapat memberikan tekanan depresiatif terutama karena faktor sentimen negatif. Utang luar negeri yang tidak terkendali dan bermasalah secara berkepanjangan (misalnya harus melalui proses rescheduling berulang-ulang) akan meningkatkan premi risiko dan biaya pinjaman yang pada akhirnya akan menurunkan credit rating dan
(11)
memberi tekanan pada nilai tukar. Depresiasi rupiah akan memberikan tekanan terhadap inflasi melalui pass through effect, sehingga akan mengurangi dampak positif depresiasi rupiah terhadap transaksi berjalan (current account). Padahal, peningkatan surplus transaksi berjalan sangat diperlukan untuk menutupi kewajiban pembayaran utang luar negeri. Dengan demikian, jelas bahwa risiko yang ditimbulkan akibat ketidakmampuan pembayaran utang luar negeri akan berimplikasi negatif pada aspek moneter berupa tekanan terhadap nilai tukar dan mengancam stabilitas makroekonomi secara keseluruhan yang bahkan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dengan mempertimbangkan berbagai dampak yang dapat terjadi akibat krisis utang luar negeri, maka perlu adanya suatu sistem deteksi dini yang dapat menandai kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Terdapat dua fungsi utama dalam suatu sistem deteksi dini. Pertama adalah mengantisipasi terjadinya krisis utang luar negeri dan yang kedua adalah mengantisipasi dampak akibat krisis utang luar negeri. Fungsi pertama berperan sebagai pertimbangan pemerintah untuk melakukan kebijakan-kebijakan antisipatif agar krisis yang diprediksi akan terjadi, dapat dihindari. Fungsi kedua adalah jika kemudian krisis utang luar negeri tidak terhindarkan, maka sistem deteksi dini ini berperan sebagai dasar pertimbangan merumuskan dan melaksanakan kebijakan penanggulangan serta antisipasi penyebaran dampak krisis. Dengan demikian, pembangunan sistem deteksi dini ini menjadi sangat penting sebagai peringatan kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia.
(12)
1.2 Permasalahan
Kondisi APBN Indonesia selalu mengalami defisit sehingga membutuhkan pembiayaan untuk menutupi defisit tersebut. Sejak tahun 2005, sumber utama pembiayaan untuk menutupi defisit tersebut berasal dari penerbitan obligasi. Dari waktu ke waktu, porsi kepemilikan obligasi semakin besar dikuasai oleh pihak asing. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa salah satu sumber pembiayaan APBN utama adalah utang luar negeri. Bila kondisi ini terus berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, maka utang luar negeri pemerintah akan terakumulasi dalam jumlah yang besar.
Utang luar negeri pihak swasta juga menunjukkan trend yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan eksposur juga terjadi seiring dengan semakin kurangnya pengawasan terhadap alokasi penggunaan utang luar negeri sektor swasta tersebut. Berbagai kegiatan perekonomian yang digerakkan sektor swasta sebagian besar didanai dari pembiayaan utang luar negeri. Kondisi tersebut semakin menguatkan indikasi adanya ketergantungan Indonesia terhadap sumber pembiayaan dari pihak asing dalam bentuk utang luar negeri. Hal ini akan menyebabkan perekonomian Indonesia semakin rentan terhadap perubahan eksternal yang terjadi. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bila di masa mendatang Indonesia bisa mengalami krisis utang luar negeri. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengembangkan suatu mekanisme deteksi kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar langkah-langkah preventif dan antisipatif dapat segera diimplementasikan untuk membenahi perekonomian secara keseluruhan supaya terhindar dari krisis utang yang mungkin melanda Indonesia.
(13)
Berdasarkan uraian di atas, maka penting artinya bagi Indonesia untuk memiliki suatu sistem deteksi dini krisis utang di Indonesia. Oleh karena itu, permasalahan yang akan diteliti adalah :
1. Apa saja indikator-indikator yang dapat menjadi Coincident, Leading dan Lagging Indicators terjadinya krisis utang luar negeri di Indonesia?
2. Bagaimana rancang bangun dan mekanisme bekerjanya early warning system krisis utang di Indonesia?
3. Apa saja kebijakan yang diperlukan dalam rangka menghindari dan menanggulangi terjadinya krisis utang di Indonesia ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam skripsi ini adalah :
1. Untuk menentukan indikator-indikator yang dapat menjadi Coincident, Leading dan Lagging Indicators terjadinya krisis utang luar negeri di Indonesia
2. Untuk menentukan rancang bangun dan mekanisme bekerjanya early warning system krisis utang di Indonesia
3. Untuk mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang diperlukan dalam rangka menghindari dan menanggulangi terjadinya krisis utang di Indonesia
(14)
1.4 Manfaat
Secara khusus, manfaat yang dapat diperoleh melalui skripsi yang membahas penyusunan sistem deteksi dini krisis utang di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Manfaat bagi penulis, yakni dapat mengembangkan pemahaman dan
kemampuan dalam menganalisis fenomena ekonomi, khususnya dalam hal ini krisis utang yang mungkin melanda Indonesia pada periode waktu mendatang. 2. Manfaat bagi pengambil kebijakan, yakni dapat dengan segera merancang dan
mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang tepat dalam rangka memperkuat perekonomian dari sisi fiskal. Pemerintah diharapkan secara tepat dapat menggunakan sistem deteksi dini ini untuk memprediksi kemungkinan terjadinya krisis utang di masa mendatang. Langkah kebijakan pemerintah yang tepat waktu dan sasaran sangat penting untuk dilakukan untuk mengantisipasi krisis utang di Indonesia.
1.5 Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini, dilakukan proses seleksi terhadap berbagai macam variabel ekonomi dalam rangka penyusunan sistem deteksi dini krisis utang di Indonesia. Variabel ekonomi yang diseleksi mencakup variabel makroekonomi domestik dan variabel makroekonomi global selama periode bulan Januari 1990 hingga Desember 2011.
(15)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Konsep dan Teori
Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan sistem deteksi dini kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia pada waktu mendatang dengan didasarkan pada berbagai teori dan konsep ekonomi yang berkaitan satu sama lain. Teori dan konsep yang mendasari penelitian ini sangat terkait dengan variabel utang pemerintah dan variabel-variabel makroekonomi lainnya yang berkaitan satu dengan lainnya. Pemahaman terhadap berbagai konsep dan teori terkait dengan utang pemerintah merupakan hal yang penting karena menjadi dasar dalam penetapan masalah yang dibahas dalam penelitian. Selain itu, penggunaan konsep dan teori yang tepat juga sangat berperan dalam upaya memperoleh validitas dan reabilitas data yang tinggi dalam penelitian yang dilakukan. Adapun teori dan konsep ekonomi terkait dengan utang luar negeri yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan pada sub bab selanjutnya berikut ini.
2.1.1 Teori Siklus Bisnis
Teori Siklus Bisnis menyatakan bahwa fluktuasi dalam perekonomian dapat terjadi akibat adanya guncangan pada salah satu variabel makroekonomi tertentu. Misalnya saja bila terjadi guncangan terhadap kemampuan dalam memproduksi barang dan jasa, maka hal tersebut dapat mengubah tingkat output dan kesempatan kerja alamiah. Guncangan ini tidak diinginkan, namun tidak dapat
(16)
dihindari. Begitu guncangan terjadi, GDP, kesempatan kerja, dan variabel-variabel makroekonomi lain akan berfluktuasi.
Guncangan yang terjadi pada suatu variabel makroekonomi tertentu berdampak pula pada terjadinya perubahan dalam defisit anggaran pemerintah. Hal tersebut terjadi secara otomatis untuk menanggapi perekonomian yang berfluktuasi. Sebagai ilustrasi, ketika perekonomian mengalami resesi, pendapatan akan turun, sehingga kemampuan seseorang untuk membayar pajak menjadi berkurang. Tingkat laba yang diperoleh juga menurun, sehingga perusahaan membayar lebih sedikit pajak pendapatan. Kondisi resesi ini juga berdampak pada semakin meningkatnya jumlah masyarakat yang bergantung pada bantuan pemerintah, sehingga pengeluaran pemerintah juga mengalami peningkatan secara signifikan.
2.1.2 Model Early Warning System (EWS)
Model Early Warning System (EWS) merupakan suatu model yang digunakan untuk mengantisipasi apakah dan kapan suatu negara dipengaruhi oleh krisis dan ketidakstabilan ekonomi. Model ini dibangun terkait dengan siklus perekonomian khususnya pada saat krisis keuangan yang terjadi seperti di Eropa (1992-1993), Turki (1994), Amerika Latin (1994-1995) dan Asia (1997-1998). EWS pada siklus perekonomian sangat penting bagi pemerintah serta sektor riil dalam kerangka perencanaan dan formulasi kebijakan serta pengambilan keputusan.
Menurut Nasution (2007), pendekatan metode untuk model EWS dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
(17)
2. Business cycle analysis
Kedua pendekatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, di antaranya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1. Kelebihan Masing-Masing Model Early Warning System
Sumber : InterCafe (2007)
Macroeconometric Model &Time Series Model
Business cycle analysis (Composite Leading & Coincident Indicators) Pembentukan model didasarkan pada teori
ekonomi dan diestimasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonometrika
Data tersedia lebih cepat (timeliness) dan high frequency (monthly basis).
Berdasarkan model dapat dilakukan simulasi dengan berbagai skenario
Tidak ada hubungan fungsional antara leading dengan coincident index maupun reference series, sehingga tidak diperlukan proyeksi atau pengasumsian nilai variable bebas.
Model dapat menjelaskan hubungan antar variabel secara kuantitatif
Leading index dapat memberikan deteksi dini (early warning system) tentang arah pergerakan perekonomian secara gregat baik level maupun laju pertumbuhannya. Dengan kata lain, metode ini dapat memberikn signal tentang kemungkinan terjadinya turning-point dalam beberapa periode mendatang.
(18)
Tabel 2.2. Kekurangan Masing-Masing Model Early Warning System Macroeconometric Model &Time Series
Model
Business cycle analysis (Composite Leading & Coincident Indicators) Pembentukan model dengan frekuensi tinggi
seringkali sulit karena keterbatasan data
Komponen pembentuk indeks dipilih berdasarkan judgment, studi literatur serta statistical test. Sehingga, beberapa ahli mengatakan metode ini atheoritical.
Untuk membuat proyeksi nilai-nilai variabel eksogen harus terlebih dahulu diprediksi/diasumsikan. Kesalahan dalam prediksi ini akan terbawa secara kumulatif dalam proyeksi nilai variabel endogen.
Tidak dapat digunakan untuk mebuat simulasi dengan berbagai skenario serta tidak dapat menunjukkan variabel ekonomi dalam bentuk persamaan matematika.
Sumber : InterCafe (2007)
2.1.3 Definisi Business Cycle
Burns dan W. Mitchel dalam bukunya Business Cycle Analysis yang terbit tahun 1946 berpendapat bahwa business cycle terjadi pada orientasi pasar ekonomi dan terlibat sepanjang waktu, tapi tidak berakibat secara berkala dari ekspansi dan kontraksi dalam sebagian besar kegiatan ekonomi. Business cyle adalah suatu jenis fluktuasi ekonomi yang terjadi pada suatu kegiatan ekonomi agregat di suatu negara. Suatu siklus terdiri dari ekspansi yang terjadi pada waktu bersamaan dalam berbagai kegiatan ekonomi, demikian pula resesi dan kontraksi yang muncul ke dalam fase ekspansi pada siklus selanjutnya. Perubahan urutan ini terjadi secara berulang tetapi tidak pada waktu-waktu tertentu. Durasi dari suatu siklus bisnis bisa bervariasi, mulai lebih dari satu tahun hingga sepuluh atau dua belas tahun. Siklus bisnis ini tidak bisa dibagi ke dalam siklus-siklus dengan karakter serupa yang lebih pendek (Zhang dan Zhuang, 2002).
(19)
Menurut National Bureau of Economic Research (NBER), siklus bisnis mengacu pada kegiatan ekonomi secara agregat yang titik utamanya yaitu menyatukan pergerakan dari banyak variabel ekonomi atau proses pada banyak siklusnya tersebut. Beberapa ada yang menjadi lead dan ada yang menjadi lag. Mereka cenderung untuk selalu bergerak bersama sehingga tidak bisa dihilangkan menjadi single aggregate.
2.1.4 Tahapan Business Cycle
Definisi klasik business cycle oleh NBER memiliki dua fase, yaitu ekspansi dan kontraksi. Berakhirnya ekspansi dan dimulainya kontraksi dalam titik puncak (peak) sebagai waktu yang menandai tingkat yang tertinggi (kulminasi) dari penurunan secara umum kegiatan perekonomian. Berakhirnya kontraksi dan dimulainya ekspansi dalam titik trough (lembah) sebagai waktu yang menandai tingkat tertinggi dari peningkatannya. Dalam siklus perekonomian, terdapat empat tahapan business cycle, yaitu :
1. Masa depresi (depression), yaitu suatu periode penurunan permintaan agregat yang cepat dan diiringi rendahnya tingkat output dan pengangguran yang tinggi secara bertahap mencapai dasar yang paling rendah
2. Masa pemulihan (recovery), yaitu peningkatan permintaan agregat yang diiringi peningkatan output dan penurunan tingkat pengangguran
3. Masa kemakmuran (prosperity), yaitu permintaan agregat yang mencapai dan kemudian melewati taraf output yang terus menerus (PDB Potensial) pada saat puncak siklus telah dicapai, dimana tingkat pengangguran tenaga kerja penuh
(20)
dicapai dan adanya kelebihan permintaan mengakibatkan naiknya tingkat harga-harga umum (inflasi)
4. Masa resesi (recession), yaitu suatu masa dimana permintaan agregat menurun yang mengakibatkan penurunan kecil dari output dan tenaga kerja, seperti yang terjadi pada tahap awal.Seiring dengan hal ini, maka akan muncul masa depresi.
2.1.5 Business Cycle Indicators
Business Cycle Indicators (BCI) merupakan salah satu bentuk indikator yang biasa digunakan untuk meramalkan keadaan ekonomi di masa depan atau trend ekonomi. Indikator ekonomi mempunyai dampak besar terhadap pasar, bagaimana mengetahui, menginterpretasi dan menganalisis indikator tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi para pelaku ekonomi.
Setiap indikator harus memenuhi beberapa aturan kriteria, dimana ada tiga kategori timing indicator yang diklasifikasikan menurut tipe peramalan yang dihasilkannya, yaitu coincident, leading, dan lagging. Variabel-variabel ekonomi yang termasuk dalam setiap jenis indikator bisa berbeda-beda untuk tiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hal ini dikarenakan perbedaan sistem dan kondisi ekonomi yang dianut suatu negara, respon dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di masing-masing negara, dan lain sebagainya.
(21)
Coincident, Leading dan Lagging Indicators yang dihasilkan dari pendekatan business cycle memiliki fungsi dan karakteristik masing-masing. Adapun penjelasan mengenai ketiga indikator tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Coincident Indicators
Coincident Indicators memiliki ketepatan waktu dengan variabel reference yang menunjukkan business cycle-nya. Bila dilihat dari pergerakan siklusnya, Coincident Indicators bergerak seiring dengan variabel reference. Keduanya secara grafis bergerak bersamaan, bila siklus variabel reference berada di titik puncak, maka siklus dari Coincident Indicators berada di titik puncak pula, begitu juga sebaliknya.
2. Leading Indicators
Time series yang dipilih cenderung bergerak lebih dulu dari variabel reference dan Leading Indicators-nya juga mencapai perputaran pergantian poin terlebih dahulu terhadap posisi business cycle (puncak dan lembah). Oleh karena itu, Leading Indicators ini cikal bakal dari early warning system.
Series-nya lebih sensitif dan volatile daripada Coincident Indicators, serta banyak dari mereka yang memiliki trend yang sangat lemah. Leading Indicators jarang kehilangan banyak resesi tapi indikator tersebur memiliki lebih banyak fluktuasi daripada Coincident Indicators.
3. Lagging Indicators
Lagging Indicators menguatkan pergerakan dari Coincident dan Leading Indicators. Indikator ini dapat memeratakan dari kedua indikator lainnya. Bila dilihat dari siklus pergerakannya, Lagging Indicators bergerak mengikuti variabel
(22)
reference. Oleh karena itu, Lagging Indicators kurang berpengaruh dalam pembagunan early warning system. Hal ini disebabkan karena pergerakan indikator ini hanya memprediksi dampak penyebaran akibat terjadinya suatu fenoma ekonomi yang menjadi fokus penelitian.
Coincident, Leading dan Lagging Indicators merupakan instrumen yang penting dalam pembangunan suatu early warning system. Dalam upaya mendapatkan kemungkinan sinyal-sinyal yang benar dan lebih kuat dalam mengurangi kesalahan, maka perlu disusun suatu indeks gabungan. Composite Index lebih baik daripada Individual Index, karena dalam business cycle tidak ada pembuktian dari rantai tunggal dalam menjawab permasalahan yang terjadi , yaitu gejala-gejala resesi atau ekspansi. Dengan adanya Composite Index, maka kemampuan prediksi potensial dalam Leading Indicators akan semakin optimal.
2.1.6 Leading Economic Indicators dan Peramalan Aktivitas Ekonomi
Penyusunan Leading Economic Indicators (LEI) pertama kali dirintis pada tahun 1920-an oleh Badan Statistik Amerika, yang dikenal dengan Bureau of Economic Research (NBER). Pada saat itu, ilmu ekonometrika masih belum berkembang, sehingga metode penyusunan LEI pun lebih bersifat analisis deskriptif. Selain itu, karena keterbatasan dalam penyusunannya, LEI hanya disajikan dalam bentuk tabel angka-angka statistik. Pada masa itu, terdapat LEI saja dan belum memiliki composite index.
Pada perkembangan selanjutnya, LEI mengalami kemajuan yang begitu pesat dalam berbagai penelitian yang dilakukan. Indikator ini mulai dikaitkan dengan
(23)
berbagai teori ekonomi yang relevan untuk menyusun suatu EWS yang lebih akurat. Salah satu teori ekonomi yang kini mulai banyak dikaitkan dengan LEI untuk keperluan pembangunan EWS adalah teori siklus bisnis (business cycle).
Pembentukan LEI dengan pendekatan siklus bisnis mulai banyak dikembangkan didasarkan atas perhatian pada shock yang banyak terjadi berasal dari faktor internal maupun eksternal. Shock tersebut menyebabkan terjadinya fluktuasi (volatilitas) dalam perekonomian. Dalam jangka panjang, fluktuasi tersebut akan mengakibatkan naik atau turunnya aktivitas perekonomian. Perilaku naik turunnya (rebounds dan declines, atau recoveries dan recessions) perekonomian seringkali berulang pada masa-masa sesudahnya dan membentuk suatu siklus. Karena sifatnya yang terus berulang, maka adanya deteksi dini atau peramalan siklus perekonomian menjadi sangat penting, baik bagi pemerintah mapupun dunia usaha dalam rangka perencanaan dan formulasi kebijakan di bidang ekonomi serta pengambilan keputusan bisnis.
Dalam analisis business cycle, dikenal tiga indikator komposit, yaitu Leading, Coincident, dan Lagging Indicators. Selain ketiga indikator komposit tersebut, dalam analisis business cycle terdapat pula reference series yang merupakan variabel untuk menggambarkan kondisi perekonomian secara keseluruhan seperti Debt to GDP, PDB, inflasi, nilai tukar, saham, indeks produksi industri, dan sebagainya. Coincident Indicators merupakan variabel yang menggambarkan kondisi perekonomian saat ini dan bergerak seiring dengan reference series. Leading Indicators merupakan variabel yang menggambarkan keadaan ekonomi dalam beberapa bulan ke depan dan bergerak mendahului coincident indicators
(24)
maupun reference series. Lagging Indicators adalah variabel yang mengikuti (lag) pergerakan Coincident maupun Leading Indicators. Dari ketiga indikator tersebut, Leading Indicators mendapatkan perhatian khusus karena fungsinya yang mampu memberikan deteksi dini (early warning system) tentang arah pergerakan perekonomian secara keseluruhan.
Sejak awal perkembangannya, analisis business cycle ini terutama penyusunan Leading Indicators sangat populer dalam mendeteksi siklus perekonomian. Penyusunan Leading Indicators memerlukan data dengan frekuensi yang tinggi, umumnya berupa data bulanan dengan frekuensi dan time series yang panjang. Oleh karena itu, penggunaannya masih sangat terbatas untuk penelitian yang dilakukan di negara berkembang. Hal ini disebabkan karena ketersediaan data di negara berkembang pada umumnya masih belum terdokumentasi dengan baik.
2.2 Penelitian Terdahulu
Terdapat begitu banyak penelitian yang dilakukan dari waktu ke waktu untuk memberikan penilaian terhadap suatu negara mengenai kemungkinan terjadinya krisis utang. Lembaga pemeringkat utang internasional menilai kemungkinan terjadinya krisis utang di suatu negara tertentu melalui kemampuannya dalam membayar kembali obligasi. Namun, dalam studi-studi selanjutnya, penilaian terhadap kemungkinan terjadinya krisis utang di suatu negara dapat dikaitkan dengan GDP per kapita, inflasi, utang eksternal,
(25)
pembangunan ekonomi dan sejarah negara tersebut (Cantor& Packer, 1996; Lee, 1993).
Pada penelitian lebih lanjut, mulai dikembangkan early warning system (EWS) yang bertujuan untuk menghasilkan suatu sinyal yang dapat mendeteksi kesulitan pembayaran kembali utang suatu negara (debt repayment). Hampir semua literatur studi menyatakan bahwa EWS yang dibentuk pada suatu penelitian tertentu dapat digunakan untuk mendeteksi krisis utang pada suatu negara dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Waktu yang lebih panjang memang berdampak pada lebih sedikit kegagalan, karena semakin panjang waktu signaling, semakin panjang pula waktu untuk mengambil langkah-langkah antisipatif untuk menghindari terjadinya krisis utang (Berg & Pattillo 1999; Kamin, 1999; Kumar et al., 2003).
Bussière and Fratzscher (2002) menunjukkan metode penentuan panjang waktu yang optimal dalam sinyal peringatan dini. Dalam upaya untuk menaksir kecukupan dari suatu EWS, kemungkinan prakiraan biasanya ditransformasikan ke dalam peramalan dan dibandingkan denan indikator EWS yit. Untuk tujuan tersebut, pembuat keputusan harus menggunakan suatu cut-off atau probabilitas threshold λ yang konsisten dengan besarnya kehilangan fungsi yang terjadi.
A.-M. Fuertes, E. Kalotychou (2007) berupaya menyusun suatu model EWS yang optimal dalam upaya mendeteksi kemungkinan terjadinya krisis utang di negara-negara OECD dengan cara mengeksplorasi hubungan antara EWS dengan fungsi objektif pembuat keputusan. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan tersebut memiliki dua komponen utama. Pertama, adanya unsur preferensi
(26)
pembuat keputusan (dirumuskan dalam bentuk loss function dan risk-aversion parameter) yang digabungkan ke dalam pengujian optimal dari classifier dan penilaian dari peramalan sampel. Kedua, penelitian ini berupaya menginvestigasi kombinasi peramalan yang dilakukan. Adapun pendekatan yang dilakukan adalah logit M dan logit R, K-Clustering, serta pendekatan ketiga menggunakan kombinasi keduanya (menginvestigasi tentang forecast combining). Pokok permasalahan pada fungsi objektif dan kombinasi peramalan masih kurang dibahas dalam berbagai literatur, sehingga penelitian ini lebih menekankan pada kedua hal tersebut.
Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa preferensi pembuat keputusan mempengaruhi pemilihan dari metodologi peramalan dan pengujian optimalnya. LOGIT-M menunjukkan non-parametric (clustering) dan judgmental (LOGIT-R) classifier dengan menghasilkan false alarms yang lebih sedikit. Lebih lanjut, ditemukan bahwa dua classifier menguasai LOGIT-M dalam kehilangan kegagalan yang lebih sedikit.
Untuk keperluan pembentukan early warning system yang akurat, maka dalam penelitian ini dilakukan pemilihan variabel-variabel yang dianggap sesuai. Pemilihan variabel-variabel tersebut didasarkan pada pendekatan LOGIT-M dan K-clustering sehingga diperoleh sepuluh variabel terpilih. Adapun variabel yang terpilih tersebut adalah sebagai berikut.
1. volatilitas pertumbuhan ekspor dan rasio neraca perdagangan terhadap GDP (menjadi sinyal bagi aktivitas ekonomi eksternal);
(27)
2. rasio total utang luar negeri terhadap GDP, rasio official debt terhadap total debt, dan rasio kredit IMF terhadap ekspor (menjadi sinyal bagi aktivitas external credit exposure)
3. credit to private sector/GDP, pertumbuhan GDP, volatilitas pertumbuhan GDP, dan nilai tukar riil (menjadi sinyal untuk menggambarkan kondisi domestik)
4. trade/GDP (menjadi sinyal mata rantai perekonomian global)
Goldstein, Kaminsky, dan Reinhart (2000) juga telah mengupayakan pembentukan suatu early warning system dengan pendekatan leading indicators. Adapun perbedaannya dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian tersebut dilakukan untuk membangun alat deteksi dini kemungkinan terjadinya krisis nilai tukar. Dalam penelitian tersebut, telah ditetapkan beberapa leading indicator baku yang digunakan sebagai acuan utama dalam pembuatan model EWS sebagaimana terlihat pada Tabel 2.3.
(28)
Tabel 2.3 Leading Indicators Krisis Nilai Tukar dan Alasan Ekonomi
Leading Indicators Alasan Ekonomi
NERACA PERDAGANGAN Keseimbangan neraca perdagangan / Investasi lokal kotor
-Ekspor -Impor
Nilai tukar efektif riil
Nilai tukar terhadap US Dollar Keseimbangan Neraca Perdagangan/ Pendapatan Regional Bruto
Ekspor yang melemah dan pertumbuhan impor yang berlebihan dan nilai tukar yang terlampau kuat dapat memperburuk neraca perdagangan, dan dalam sejarah sangat berkaitan dengan terjadinya krisis keuangan dibanyak negara. Kelemahan eksternal dan nilai tukar yang terlampau kuat dapat juga menyebabkan kerawanan sektor perbankan seperti kehilangan daya kompetisi di pasar eksternal yang dapat menimbulkan krisis keuangan, kegagalan bisnis, dan penurunan kualitas pinjaman. Akhirnya, krisis perbankan dapat menyebabkan krisis keuangan.
NERACA KEUANGAN
Simpanan di BIS/cadangan devisa Perbedaan tingkat suku bunga di dalam negeri dengan Amerika
Kewajiban asing atau harta pihak asing di sektor perbankan
Cadangan Devisa -M2/cadangan devisa
-Aliran modal jangka pendek/GDP -Hutang luar negeri jangka pendek/cadangan devisa
Dengan terjadinya globalisasi dan integrasi sektor keuangan, masalah neraca keuangan dapat membuat suatu negara menjadi mudah terkena guncangan. Perwujudan masalah neraca keuangan dapat berupa penurunan cadangan devisa, hutang luar negeri jangka pendek yang berlebihan, jatuh tempo pinjaman dan keridakseimbangan nilai tukar, pelarian modal ke luar negeri
SEKTOR KEUANGAN -Deposito/M2
-Kredit dalam negeri/GDP
-Perbedaan tingkat suku bunga deposito
-Pinjaman/deposito -M1/PDB
-Pengganda M2
-Deposito di bank-bank komersial -Tingkat suku bunga domestik
Krisis keuangan dan perbankan berkaitan erat dengan terjadinya pertumbuhan kredit yang sangat cepat terkait dengan kebijakan ekspansi moneter di banyak negara, sementara terjadinya penyusutan deposito perbankan, tingginya tingkat suku bunga dalam negeri, dan besarnya tingkat suku bunga deposito sering merupakan suatu gambaran terjadinya kesulitan dan masalah di sektor perbankan
SEKTOR RIIL
-Indeks Harga Konsumen -Indeks Pembangunan Industri
Terjadinya resesi dan kenaikan harga yang drastis sering mendahului terjadinya krisis perbankan dan krisis
(29)
-Indeks Harga Saham Gabungan keuangan. SEKTOR FISKAL
-Kredit BI kepada sektor pemerintahan -APBN terhadap PDB
-Pengeluaran pemerintah/GDP -Kredit bersih ke sektor publik/GDP
Terjadinya defisit yang besar pada APBN, dapat memicu memburuknya posisi neraca keuangan yang akhirnya dapat menekan nilai tukar.
EKONOMI GLOBAL -Harga minyak dunia
-Nilai tukar riil antara US Dollar $ dengan Yen Jepang
-Tigkat suku bunga federal -Pertumbuhan ekonomi Amerika
Krisis ekonomi yang terjadi di luar negeri dapat menyebar pada perekonomian dalam negeri. Tingginya harga minyak dunia merupakan suatu pertanda bahaya bagi neraca keuangan dan dapat menyebabkan terjadinya krisis di dalam negeri. Tingginya tingkat suku bunga dunia sering menjadi penyebab terjadinya pelarian modal ke luar negeri. Untuk beberapa negara Asia Timur, terjadinya penurunan nilai tukar Yen Jepang terhadap Dollar Amerika dapat menyebabkan nilai tukar mata uang domestik terhadap Dollar Amerika juga tertekan.
Sumber : Juzhong Zhuang.
BIS= Bank International Settlement M1=Narrow Money M2=Broad Mone CPI=Consumer Price Index GDI=Gross Domestic Investment GDP=Gross Domestic Product
Berbagai penelitian juga telah banyak dilakukan untuk menganalisis indikator-indikator variabel makroekonomi yang mungkin dapat menjadi sinyal kemungkinan terjadinya krisis finansial. Dalam berbagai penelitian tersebut, pengukuran kemungkinan terjadinya krisis finansial didasarkan pada analisis terhadap krisis nilai tukar, krisis perbankan, dan krisis utang. Adapun hasil dari penelitian tersebut disajikan pada dalam Tabel 2.4.
(30)
Tabel 2.4 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu
Indikator Interpretasi CC BC DC Referensi
External Sector (Current Account)
Nilai tukar riil Ukuran untuk perubahan daya saing internasional dan proksi untuk lebih dari (bawah) penilaian.Nilai tukar riil yang overvalued adalah diduga dapat memperbesar probabilitas terjadinya krisis financial.
+ + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo
(1999); Kamin et al. (2001); Edison (2003); Dermirg¨uc¸- Kunt and Detragiache (2000); Eichengreen and Arteta (2000) Pertumbuhan
ekspor
Indikator yang menunjukkan terjadinya kehilangan daya saing pada pasar dunia internasional market. pasar. Penurunan pertumbuhan ekspor dapat disebabkan oleh terlalu tinggi mata uang domestik dan
karenanya indicator ini menjadi proxy untuk terjadinya mata uang yang overvalue. Di sisi lain, jika pertumbuhan ekspor melambat karena alasan yang tidak terkait untuk nilai tukar, ini dapat
menyebabkan tekanan devaluasi.
- - Kaminsky et al.
(1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003); Marchesi (2003) Pertumbuhan Impor
Lemahnya sektor eksternal adalah bagian dari krisis mata uang. Besar pertumbuhan impor dapat mengakibatkan memburuknya transaksi berjalan sudah sering berhubungan dengan krisis mata uang
+ Kaminsky et al.
(1998); Berg and Pattillo
(1999); Edison (2003)
(31)
Terms of Trade
Peningkatan dalam Terms of Trade (ToT) harus memperkuat posisi dari neraca pembayaran suatu negara dan karenanya menurunkan probabilitas krisis. Kemunduran dari ToT
dapat mendahului terjadinya krisis mata uang.
- - - Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo
(1999); Kamin et al. (2001); Dermirg ¨uc¸-Kunt and Detragiache (2000); Lanoie and Lemarbre (1996) Rasio Current Account terhadap GDP
Kenaikan rasio ini umumnya dikaitkan dengan aliran modal masuk secara besar-besaran yang diintermediasi oleh sistem
finansial domestik dan dapat memfasilitasi harga asset dan credit boom. Peningkatan surplus pada current diperkirakan akan menunjukkan kemampuan untuk mendevaluasi dan dengan demikian untuk menurunkan kemungkinan krisis.
- - - Berg and Pattillo (1999); Kamin et al.
(2001); Eichengreen and Arteta (2000); Lanoie and Lemarbre (1996); Marchesi (2003) External Sector (Capital Account) Rasio M2 terhadap cadangan devisa Menangkap sejauh mana kewajiban sistem perbankan didukung oleh cadangan devisa. Dalam hal krisis mata uang, tiap individu mungkin terburu-buru untuk mengkonversi deposito mereka dari mata uang domestik ke mata uang asing, sehingga rasio ini menangkap kemampuan pusat bank untuk memenuhi tuntutan mereka.
+ + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo
(1999); Kamin et al. (2001); Edison (2003); Dermirg¨uc¸- Kunt and Detragiache (2000); Eichengreen and Arteta (2000)
(32)
Pertumbuhan Cadangan Devisa
Penurunan cadangan devisa merupakan indikator yang handal sebuah mata uang
di bawah tekanan devaluasi. Penurunan cadangan belum tentu diikuti oleh devaluasi, bank sentral mungkin bisa berhasil dalam mempertahankan- pasak, menghabiskan jumlah besar cadangan dalam proses. Pada sisi lain, runtuh mata uang yang paling didahului oleh periode meningkatkan upaya-upaya untuk mempertahankan nilai tukar, yang ditandai dengan penurunan cadangan devisa. Total nilai cadangan devisa juga
digunakan sebagai indikator kesulitan keuangan negara berurusan dengan
pembayaran kembali utang
- - Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003); Marchesi (2003) Financial Sector Pertumbuhan M1 dan M2
Indikator-indikator ini merupakan ukuran likuiditas. Tingginya tingkat pertumbuhan ini mungkin menunjukkan kelebihan likuiditas yang mungkin menjadi alasan untuk melakukan serangan spekulatif terhadap mata uang sehingga mengarah ke krisis mata uang.
+ Kamin et al. (2001)
M2 money multiplier
Sebuah indikator yang terkait dengan liberalisasi finansial. Peningkatan yang besar pada money multiplier dapat dijelaskan oleh adanya penurunan besarnya persyaratan cadangan.
+ Kaminsky et al.
(1998); Berg and Pattillo
(1999); Edison (2003)
(33)
Rasio utang domestik terhadap GDP
Pertumbuhan kredit domestik yang sangat tinggi dapat
berfungsi sebagai indikator kasar dari kerapuhan sistem perbankan. Rasio ini biasanya terbit di tahap awal krisis perbankan. Ini mungkin bahwa krisis
terungkap, bank sentral dapat menyuntik uang ke bank untuk memperbaiki situasi keuangan mereka.
+ + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003); Dermirg¨uc¸- Kunt and Detragiache (2000); Eichengreen and Arteta (2000) Excess real
M1 Balance
Kebijakan moneter yang longgar dapat menyebabkan krisis mata uang.
+ Kaminsky et al.
(1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) Tingkat bunga riil dalam negeri (domestik)
Tingkat bunga riil dapat dianggap sebagai proksi dari liberalisasi keuangan
di mana proses liberalisasi itu sendiri cenderung mengarah pada tingginya
tingkat bunga riil domestik. Tingginya suku bunga
menandakan bahwa likuiditas ditingkatkan untuk
mengantisipasi terjadinya serangan spekulatif.
+ + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003); Dermirg¨uc¸- Kunt and Detragiache (2000) Lending and deposit rate spread
Kenaikan indikator ini atas beberapa tingkat ambang mungkin mencerminkan penurunan risiko kredit
+ Kaminsky et al.
(1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) Simpanan Bank Komersial
Penurunan dalam hal kualitas kredit
Bank domestik melakukan tindakan pengambilan uang simpanannya secara bersama-sama dan pelarian modal terjadi sebagai awal terjadinya krisis
- Kaminsky et al.
(1998); Berg and Pattillo
(1999); Edison (2003)
(34)
Rasio Cadangan Bank terhadap Aset Bank
Guncangan makroekonomi yang merugikan kemungkinan besar sedikit mengarah pada terjadinya krisis di negara dimana system perbankan nya bersifat likuid.
- Dermirg¨uc¸-Kunt and Detragiache (1997) Domestic real and public sector Rasio Keseimbangan Fiskal Terhadap GDP
Defisit yang lebih tinggi diprediksi dapat meningkatkan probabilitas krisis, karena terjadinya defisit meningkatkan kerentanan terhadap guncangan dan kepercayaan investor
+ Dermirg¨uc¸-Kunt and Detragiache (2000); Eichengreen and Arteta (2000) Rasio Utang Publik Terhadap GDP
Tingginya utang diprediksi dapat meningkatkan kerentanan
terhadap pembalikan
dalam arus masuk modal dan maka untuk meningkatkan kemungkinan krisis.
+ + + Kamin et al., (2001); Lanoie and Lemarbre (1996); Eichengreen and Arteta (2000) Pertumbuhan
Produksi Industri
Resesi sering mendahului terjadinya krisis keuangan
- Kaminsky et al.
(1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) Perubahan Dalam Harga Saham
Ledakan harga aset yang gelembung sering mendahului krisis keuangan.
- Kaminsky et al.
(1998); Berg and Pattillo
(1999); Edison (2003)
Tingkat Inflasi Tingkat inflasi mungkin terkait dengan tingkat bunga nominal yang tinggi
dan mungkin menjadi sautu proksi terhadap terjadinya
kesalahahan penanganan ekonomi sehingga berpengaruh negative terhadap ekonomi dan sistem perbankan
+ + Dermirg¨uc¸-Kunt and Detragiache (1997); Lanoie and Lemarbre (1996); Marchesi (2003)
(35)
GDP Per Kapita
Negara berpendapatan tinggi kemungkinannya kecil untuk melakukan penjadwalan ulang utang mereka dibandingkan dengan negara-negara miskin karena biaya penjadwalan ulang akan cenderung lebih berat bagi ekonomi yang lebih maju. Kemerosotan kegiatan ekonomi domestik diprediksi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya krisis perbankan.
- - Dermirg¨uc¸-Kunt and Detragiache (1997); Eichengreen and Arteta (2000); Lanoie and Lemarbre (1996); Marchesi (2003) Pertumbuhan Tabungan Nasional
Tabungan nasional yang tinggi diprediksi dapat menurunkan kemungkinan dilakukannya penjadwalan hutang
- Lanoie and Lemarbre (1996) Global Economy Pertumbuhan Harga Minyak Dunia
Harga minyak yang tinggi terkait dengan terjadinya resesi
+ Edison (2003)
Tingkat Bunga Amerika Serikat
Peningkatan suku bunga Internasional sering dikaitkan dengan terjadinya aliran modal keluar
+ + Edison (2003); Kamin
et al. (2001); Eichengreen and Arteta (2000) Pertumbuhan
PDB OECD
Pertumbuhan output yang lebih tinggi asing harus memperkuat ekspor dan dengan demikian mengurangi kemungkinan krisis.
- - Edison (2003); Kamin
et al. (2001); Eichengreen and Arteta (2000)
Catatan: CC, BC dan DC merupakan krisis mata uang, krisis perbankan, dan krisis utang, masing-masing. Positif (negatif) diharapkan tanda berarti bahwa nilai (rendah) yang tinggi indikator menyebabkan probabilitas yang lebih tinggi dari krisis.
(36)
Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan berbagai pendefinisian berbeda atas interpretasi kondisi krisis utang yang melanda suatu negara. Secara khusus, suatu negara dikategorikan sedang mengalami krisis utang bila negara tersebut melakukan perjanjan penjadwalan ulang pembayaran utang atau negosiasi (debt rescheduling agreement or negotiation). Ada beberapa penelitian yang menggunakan kombinasi dari beberapa definisi krisis utang, dan ada juga penelitian yang menggunakan suatu peristiwa atau pengukuran tertentu dari debt rescheduling yang dilakukan suatu negara. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Berg and Sachs (1988), Lee (1991), Balkan (1992), Lanoie and Lemarbre (1996), and Marchesi (2003), mendefinisikan krisis utang hanya menggunakan konsep debt rescheduling yang dilakukan suatu negara. Penggunaan konsep debt rescheduling ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi secara tepat kapan periode waktu suatu negara tertentu melakukan penjadwalan ulang atas pembayaran utang luar negerinya.
Dengan menggunakan klasifikasi tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa Indonesia pernah mengalami krisis utang. Hal ini didasarkan pada terjadinya debt rescheduling yang dilakukan Indonesia pada periode waktu tertentu sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.5.
(37)
Tabel 2.5 Periode Waktu Pelaksanaan Debt Rescheduling Atas Pembayaran Utang Luar Negeri Indonesia
Periode Waktu Debt Rescheduling
Desember 1966 Pembayaran utang publik dan
non-publik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi
Oktober 1967 Pembayaran utang publik dan
non-publik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi
Oktober 1968 Pembayaran utang publik dan
non-publik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi
April 1970 Pembayaran utang publik dan
non-publik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi
Juni 1998 Kerangka kesepakatan untuk
melakukan restrukturisasi atas utang swasta sebesar 80,23 miliar USD.
September 1998 Jatuh Tempo Utang dari 6Agustus 1998
hingga 31 Maret 2000
April 2000 Pembayaran utang non-publik dan
publik dijadwal ulang kembali pada tingkat pasar yang sesuai
April 2002 Pembayaran utang non-publik dan
publik dijadwal ulang kembali pada tingkat pasar yang sesuai
(38)
2.3 Kerangka Pemikiran
Berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia menimbulkan adanya kekhawatiran mengenai kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Fenomena-fenomena tersebut di antaranya adalah adanya kecenderungan
Penelitian ini menekankan pada upaya pembentukan suatu sistem deteksi dini yang dapat mengukur kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia secara tepat. Dalam upaya pembentukan alat deteksi dini tersebut, digunakan pendekatan leading economic indicators (LEI). Pendekatan tersebut digunakan berdasarkan suatu pemikiran bahwa pada suatu perekonomian global, variabel-variabel ekonomi saling trekait satu sama lain. Dengan demikian, bila terjadi suatu shock (guncangan) pada salah satu variabel, maka hal tersebut akan berpengaruh pada variabel lain. Shock tersebut dapat berupa guncangan internal maupun eksternal.yang berdampak pada fluktuasi ekonomi. Adanya fluktuasi yang terjadi kemungkinan memiliki pola berulang sehingga dapat membentuk suatu siklus yang disebut dengan siklus bisnis (business cycle).
Berdasarkan alur pemikiran seperti yang diuraikan sebelumnya, maka kerangka pemikiran dalam pelaksanaan penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut.
(39)
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran Fenomena yang terjadi :
•Kecenderungan peningkatan sumber pembiayaan eksternal (utang luar negeri) untuk menutupi defisit anggaran
•Kecenderungan peningkatan posisi utang luar negeri sektor publik (pemerintah) • Kecenderungan peningkatan posisi utang luar negeri sektor swasta
MENIMBULKAN KEKHAWATIRAN TERJADINYA KRISIS UTANG DI INDONESIA PADA PERIODE WAKTU MENDATANG
Pembangunan early warning system (EWS) dengan pendekatan business cycle analysis
•trade/GDP
•nilai tukar •tingkat inflasi •cadangan devisa •dan lain-lain
•Tabungan Masyarakat
•TabunganNasional
•Konsumsi Rumah Tangga
Dapat dibentuk Coincident Debt Index, Leading Debt Index dan Lagging Debt Index Teori Ricardian
Tentang Utang Teori Siklus
Bisnis
(40)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan deret waktu bulanan. Data tersebut akan dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, IMF dan sumber-sumber publikasi lainnya. Adapun jumlah variabel makroekonomi yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 111 variabel, sebagaimana yang terlampir pada Lampiran 1.
3.2 Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan metode analisis siklus bisnis (business cycle analysis). Dalam prosesnya, pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan Eviews 6.
Penyusunan leading indicator merupakan adopsi dari analisis business cycle yang dibangun untuk mendeteksi siklus perekonomian. Hal yang mendasari analisis business cycle adalah bahwa shock (guncangan) yang berasal dari internal maupun eksternal menyebabkan volatilitas (fluktuasi) aktifitas perekonomian. Dalam jangka panjang, fluktuasi tersebut akan membentuk suatu siklus (business cycle) perekonomian dimana pergerakan naik dan turunnya aktivitas perekonomian tersebut berada dalam level absolut.
Untuk menjelaskan turning point dari terjadinya fenomena krisis utang di Indonesia, maka penelitian ini menggunakan variabel ekonomi rasio utang luar
(41)
negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (debt to GDP ratio). Varibel ekonomi ini digunakan sebagai reference series karena mampu memberikan penilaian tepat atas tingkat solvabilitas suatu negara, sehingga dapat menggambarkan tingkat indebtness suatu negara.
Adapun nilai threshold variabel ekonomi debt to GDP ratio yang digunakan untuk menggambarkan terjadinya krisis utang mengacu pada ketentuan dari salah satu lembaga keuangan internasional, yaitu IMF (International Monetary Fund). IMF menetapkan bahwa suatu negara dikategorikan menghadapi beban utang yang tinggi bila variabel ekonomi debt to GDP ratio mencapai nilai yang lebih tinggi dari 60 persen.
Dengan mengamati pergerakan variabel makroekonomi terhadap reference series, maka dapat ditentukan apakah variabel tersebut termasuk Coincident, Leading atau Lagging Indicators. Suatu variabel makroekonomi dikategorikan sebagai Leading Indicator bila memiliki pergerakan yang mendahului reference series, sehingga variabel tersebut dapat menggambarkan kondisi perekonomian apakah berpotensi mengalami krisis utang dalam beberapa bulan ke depan. Sementara itu, suatu variabel dikategorikan sebagai Lagging Indicator apabila pergerakannya (lag) mengikuti reference series. Apabila suatu variabel makroekonomi bergerak seiring dengan reference series sehingga mampu menggambarkan kondisi perekonomian saat ini, maka variabel tersebut dikategorikan sebagai Coincident Indicator.
(42)
3.2.1 Tahapan Penyusunan Leading Economic Indicators
Secara umum, tahapan-tahapan untuk membangun Leading Indicators dengan analisis business cycle adalah sebagai berikut.
1. Pengumpulan Data Sekunder
Adapun tahap pertama yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan data-data sekunder yang dipelukan dari berbagai sumber. Idealnya, jumlah data-data yang diperlukan dapat mencapai ratusan variabel. Variabel-variabel tersebut diperkirakan dapat menjadi kandidat komponen leading, coincident dan lagging index. Data yang dikumpulkan sebaiknya memiliki periode yang panjang dengan frekuensi tinggi (data bulanan) agar dapat diperoleh hasil yang baik. Kriteria pemilihan variabel harus dilihat dari aspek ekonomi dan perilaku data secara statistika.
2. Disagregasi Data
Tahap kedua adalah melakukan disagregasi data dengan menggunakan metode Qubic Splines atau dapat pula digunakan metode interpolasi lainnya. Hal ini dilakukan apabila data yang tersedia memiliki frekuensi observasi tahunan atau kuartalan untuk disesuaikan menjadi data bulanan.
3. Mengisolir Pengaruh Musiman
Tahap ketiga adalah membersihkan data dengan mengisolir pengaruh musim sehingga tidak menyebabkan misleading dan indeks yang diperoleh tidak volatile. Pada banyak negara, faktor musim biasanya bersifat fix (tetap) seperti pada peristiwa hari raya (lebaran, natal, tahun baru atau lainnya) maupun musim yang ekstrem (musim hujan, kemarau, dingin, dan panas). Untuk kasus Indonesia,
(43)
selain faktor musim yang tetap, juga ada faktor yang bergerak seperti Idul Fitri dan Tahun Baru Imlek.
4. Pemilihan Kandidat Variabel Coincident , Leading dan LaggingIndicators Tahap keempat adalah pemilihan kandidat variabel Coincident, Leading dan Lagging Indicators. Ada beberapa metode yang digunakan untuk memilih suat variabel menjadi kandidat Leading Indicators, yaitu dengan pendekatan grafis, uji granger causality, dan uji cross-correlation. Oleh karena Leading Indicators bergerak mendahului reference series, maka kandidat Leading Indicators secara visual melalui grafis seharusnya bergerak mendahului reference series.
Adapun kriteria penentuan Leading Indicators berdasarkan uji cross correlation dapat dilihat dari adanya korelasi yang cukup tinggi dengan lag yang cukup jauh. Pada uji granger causality, dapat dilihat dari adanya hubungan kausalitas yang sifatnya satu arah pada lag yang cukup jauh pula. Pengujian koefisien korelasi antara reference series dengan variabel-variabel yang diperkirakan akan menjadi Leading Indicators dilakukan secara terpisah-pisah untuk masing-masing periode leading yang ingin kita bentuk. Untuk mencari kandidat Leading Indicators 3 bulan maka kita harus mencari korelasi antara reference series dengan seluruh variabel pada tiga bulan berikutnya. Begitu pula halnya jika kita ingin mencari kandidat Leading Indicators 6 dan 12 bulan. Sebaliknya, karena sifatnya yang bergerak sejalan kandidat Coincident Indicators secara grafis haruslah berjalan sejalan dengan variabel reference dengan korelasi tinggi di sekitar lag nol. Causality antara Coincident Indicators dan variabel reference haruslah bersifat dua arah dengan lag yang pendek.
(44)
5. Penyusunan Composite Coincident Debt Index (CDI) dan Leading Debt Index (LDI)
Tahap kelima adalah penyusunan Composite Coincident Debt Index (CDI) dan Leading Debt Index (LDI) dengan basis indicators yang diperoleh dari tahap keempat dengan cara menggabungkan (compose) variabel-variabel kandidat. Akan tetapi, karena amplitudo dari masing-masing variabel atau series bisa jadi berbeda-beda, maka penyusunan indeks tanpa terlebih dahulu dilakukan standardisasi data bisa mengakibatkan terjadinya distorsi pada index yang terbentuk. Untuk menghindari distorsi tersebut, perlu dilakukan normalisasi terhadap semua komponen siklikal yang diturunkan dari variabel-variabel kandidat serta reference series. Pada prinsipnya, proses standardisasi diarahkan agar semua variabel kandidat memiliki mean 100 serta varian yang sama.
Proses penggabungan (compose) variabel-variabel kandidat untuk mendapatkan Coincident Debt Index (CDI) dan Leading Debt Index (LDI) terbaik dilakukan dengan cara trial-error. Indikator baiknya Coincident Debt Index didasarkan pada persamaan pergerakannya dengan variabel reference, sementara untuk LDI didasarkan pada kemampuannya untuk memprediksi CI dan Reference Series.
Setiap indikator atau variabel untuk pembentuk CDI dan LDI terbaik tersebut memilki bobot tertentu yang mencerminkan tingkat kemiripan pola antara variabel tersebut dengan indeks yang terbentuk. Dari ketiga indeks tersebut, Leading Debt Index lebih menarik perhatian, karena dapat memberikan deteksi dini (early warning system) tentang kemungkinan terjadinya krisis utang di
(45)
Indonesia secara agregat. Sementara Coincident Debt Index dapat memberikan gambaran tentang kondisi beban utang Indonesia yang terjadi saat ini.
3.2.2 Metode Penyusunan Early Warning Indicators
Metode-metode yang digunakan dalam proses penyusunan Early Warning Indicators dapat dijelaskan seperti berikut ini.
1. Metode Cubic-Spline
Data sekunder yang dipublikasi umumnya memiliki frekuensi release yang tahunan. Dalam penyusunan Leading Indicator, data yang digunakan umumnya berupa data bulanan. Apabila data yang tersedia memiliki frekuensi kuartalan, maka perlu dilakukan disagregasi menjadi bulanan, sehingga diperlukan metode khusus yang dapat memberikan hasil optimal, salah satunya adalah metode Cubic-Spline.
2. X12-ARIMA
Fluktuasi data yang bersifat musiman dan periodik sepanjang waktu seringkali mengganggu pergerakan siklikal. Oleh karena itu, hal tersebut perlu dihilangkan terlebih dahulu. Metode X-12 ARIMA adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk de-seasonality data. Penelitian ini menggunakan X-12 ARIMA karena sifatnya yang lebih sesuai dengan kondisi di Indonesia.
Menurut pandangan Jackson dan Leonard (2001), penyesuaian musiman (seasonal adjustment) dari sebuah series didasarkan pada asumsi bahwa fluktuasi-fluktuasi musiman dapat diukur dari series awal (xt, t=1,2,...,n) dan dipisahkan dari trend cycle component (Ct), trading day component(Dt), dan flukutuasi
(46)
irregular (It). Komponen musiman atau seasonal (St) dapat didefinisikan sebagai
variasi dalam setahun yang berulang secara konstan dari tahun ke tahun. Ct
mengukur variasi variabel menuju faktor siklus jangka panjang, siklus bisnis, dan faktor-faktor jangka panjang lainnya. Dt adalah variasi yang ditunjukkan pada
komposisi dari kalender. Sebagai tambahan, It adalah variasi residual. Banyak
variabel makroekonomi yang time series mempunyai bentuk hubungn multiplicative (xt=CtDtSt) dan lainnya berbentuk additivr (xt=Ct+Dt+St+It).
Sebuah time series yang disesuaikan secara musiman hanya terdiri atas trend cycle dan komposisi irregular.
X-12 ARIMA merupakan sebuah model yang dapat digunakan untuk mendekomposisi sebuah time series baik dengan asumsi additive ataupun multiplicative untuk memperoleh komponen-komponen Ct, Dt, St, ataupun It.
Model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) umumnya digunakan untuk seasonal time series. Model ARIMA dengan asumsi multiplicative seasonal times series, xt dapat dituliskan menjadi :
ø(B)Φ(Bs)(1-B)d (1-Bs)D xt= θ (B)Ө (Bs)a t
dimana :
B adalah operator lag (Bxt=xt-1)
s adalah periode musiman,
ø(B) = (1 - ø1B -...- øpBp) adalah operator non seasonal autoregressive (AR),
Φ(B) = (1 - Φ1Bs -...- ΦPBPs) adalah operator seasonal AR,
θ(B) = (1 - ø1B -...- øqBq) adalah operator non seasonal moving average (MA), Φ(Bs) = (1 - Φ1Bs -...- ΦQBQs) adalah opeartor seasonal moving average
(1)
Jan-00 -2.1542 -2.9699 0.3472 0.0292 -4.7478 195.2522 204.7478 96.1392 Feb-00 -0.0085 -0.0300 -0.0841 -0.4058 -0.5284 199.4716 200.5284 95.6325 Mar-00 -0.3223 0.8113 0.0219 -0.1601 0.3509 200.3509 199.6491 95.9687 Apr-00 -0.0551 -0.0351 0.2712 -0.2971 -0.1161 199.8839 200.1161 95.8573 May-00 -0.2502 0.0851 0.0665 -0.4821 -0.5807 199.4193 200.5807 95.3023 Jun-00 -0.2756 -0.4307 0.1456 -0.4101 -0.9709 199.0291 200.9709 94.3815 Jul-00 0.2968 0.0050 0.2935 -0.0545 0.5409 200.5409 199.4591 94.8934 Aug-00 -0.4877 0.5609 0.6655 0.1390 0.8778 200.8778 199.1222 95.7300 Sep-00 0.0339 0.0000 0.0994 -0.4103 -0.2769 199.7231 200.2769 95.4653 Oct-00 0.0212 -0.0451 0.0571 -0.3382 -0.3050 199.6950 200.3050 95.1746 Nov-00 -0.0042 0.0050 0.0912 -0.1436 -0.0516 199.9484 200.0516 95.1255 Dec-00 0.5046 0.0100 -0.0255 -0.1555 0.3337 200.3337 199.6663 95.4434 Jan-01 -0.5810 0.8814 -0.1677 -0.0387 0.0941 200.0941 199.9059 95.5332 Feb-01 -0.0170 0.1202 0.3080 0.2588 0.6700 200.6700 199.3300 96.1755 Mar-01 0.0127 0.0451 -0.1836 -0.5784 -0.7043 199.2957 200.7043 95.5005 Apr-01 0.0212 -0.0100 -0.2577 -0.5830 -0.8295 199.1705 200.8295 94.7116 May-01 0.0424 -0.0050 0.0223 0.1466 0.2063 200.2063 199.7937 94.9072 Jun-01 0.0085 -0.0050 -0.2118 0.3328 0.1244 200.1244 199.8756 95.0254 Jul-01 0.0382 -0.2003 -0.5059 0.3444 -0.3236 199.6764 200.3236 94.7183 Aug-01 0.0382 0.7112 -0.3591 0.4954 0.8857 200.8857 199.1143 95.5609 Sep-01 0.0382 0.0601 -0.4496 -0.1865 -0.5378 199.4622 200.5378 95.0484 Oct-01 0.0806 0.2554 0.0774 -0.6659 -0.2525 199.7475 200.2525 94.8086 Nov-01 0.0212 0.0401 0.1747 -0.2341 0.0019 200.0019 199.9981 94.8105 Dec-01 0.0000 -0.0250 -0.0314 0.0325 -0.0239 199.9761 200.0239 94.7878 Jan-02 -0.0297 0.0701 0.2547 0.4021 0.6973 200.6973 199.3027 95.4511 Feb-02 -0.0127 -0.0050 0.1019 0.3569 0.4411 200.4411 199.5589 95.8731 Mar-02 -0.0254 0.0150 0.0872 0.2877 0.3644 200.3644 199.6356 96.2231 Apr-02 0.0000 -0.0150 0.0117 0.5617 0.5584 200.5584 199.4416 96.7619 May-02 0.0127 -0.0250 0.2483 0.1048 0.3408 200.3408 199.6592 97.0923 Jun-02 0.0424 -0.0150 0.0238 0.1136 0.1648 200.1648 199.8352 97.2524 Jul-02 -0.0212 0.0050 0.1266 -0.3749 -0.2645 199.7355 200.2645 96.9955 Aug-02 -0.0212 -0.0901 0.1121 -0.1378 -0.1371 199.8629 200.1371 96.8626 Sep-02 -0.0042 0.0651 -0.0514 -0.2793 -0.2698 199.7302 200.2698 96.6016 Oct-02 -0.0170 -0.0100 0.4163 -0.5376 -0.1482 199.8518 200.1482 96.4585 Nov-02 0.0042 0.0000 -0.0740 0.0961 0.0264 200.0264 199.9736 96.4840 Dec-02 -0.0551 -0.0100 -0.1374 0.4024 0.1999 200.1999 199.8001 96.6770 Jan-03 0.0085 -0.0250 -0.3400 -0.0966 -0.4532 199.5468 200.4532 96.2399 Feb-03 -0.0254 0.0000 -0.0731 -0.0758 -0.1744 199.8256 200.1744 96.0722 Mar-03 -0.0042 0.0050 -0.0317 -0.0293 -0.0602 199.9398 200.0602 96.0144 Apr-03 -0.0297 0.0000 -0.1031 0.4396 0.3068 200.3068 199.6932 96.3094 May-03 -0.0254 -0.0100 -0.0830 0.4395 0.3210 200.3210 199.6790 96.6191
(2)
187
Jun-03 -0.1018 -0.0050 -0.1803 0.3154 0.0283 200.0283 199.9717 96.6464 Jul-03 -0.1696 -0.4808 0.0785 -0.0204 -0.5923 199.4077 200.5923 96.0757 Aug-03 -0.2799 0.1252 0.0076 -0.1775 -0.3245 199.6755 200.3245 95.7644 Sep-03 -0.0891 0.0150 0.1513 0.4012 0.4784 200.4784 199.5216 96.2237 Oct-03 -0.1272 -1.9432 0.0625 0.3252 -1.6827 198.3173 201.6827 94.6180 Nov-03 -0.1442 0.7713 -0.0077 -0.1229 0.4965 200.4965 199.5035 95.0889 Dec-03 -0.1442 0.6010 0.0940 0.1918 0.7425 200.7425 199.2575 95.7976 Jan-04 -0.0636 -0.0801 0.6489 0.4988 1.0039 201.0039 198.9961 96.7642 Feb-04 -0.0382 -0.3005 -0.0309 0.0114 -0.3582 199.6418 200.3582 96.4182 Mar-04 -0.0636 -0.4407 -0.2101 -0.1536 -0.8680 199.1320 200.8680 95.5849 Apr-04 -0.0594 -1.0567 0.1337 0.2330 -0.7493 199.2507 200.7493 94.8713 May-04 -0.1145 -0.1553 -0.2870 -0.3197 -0.8765 199.1235 200.8765 94.0434 Jun-04 -0.1484 -1.3823 0.6432 -0.2348 -1.1223 198.8777 201.1223 92.9939 Jul-04 -0.0466 -0.1502 0.2139 0.3679 0.3849 200.3849 199.6151 93.3526 Aug-04 -0.0636 -0.1753 -0.3017 -0.1130 -0.6536 199.3464 200.6536 92.7444 Sep-04 -0.0509 0.1402 0.2129 0.2826 0.5848 200.5848 199.4152 93.2884 Oct-04 -0.0254 -0.3155 -0.0807 0.2245 -0.1971 199.8029 200.1971 93.1046 Nov-04 -0.0339 -0.0150 -0.2018 0.3235 0.0728 200.0728 199.9272 93.1724 Dec-04 -0.0806 -0.0801 1.1591 0.1177 1.1161 201.1161 198.8839 94.2182 Jan-05 0.0000 -0.0851 -0.8008 0.1579 -0.7280 199.2720 200.7280 93.5348 Feb-05 -0.0170 0.0050 0.1159 0.0780 0.1819 200.1819 199.8181 93.7051 Mar-05 -0.0254 0.7312 0.4790 0.0672 1.2520 201.2520 198.7480 94.8856 Apr-05 0.0170 -0.7663 -0.0477 -0.1231 -0.9200 199.0800 200.9200 94.0166 May-05 -0.0212 -0.0050 -0.1270 -0.0146 -0.1678 199.8322 200.1678 93.8590 Jun-05 0.0127 0.0851 -0.1379 0.1652 0.1252 200.1252 199.8748 93.9766 Jul-05 -0.0127 -0.0050 -0.1018 0.0455 -0.0740 199.9260 200.0740 93.9071 Aug-05 -0.0042 0.1002 0.1616 -0.1403 0.1172 200.1172 199.8828 94.0172 Sep-05 0.4113 0.2905 -0.4064 -0.2384 0.0571 200.0571 199.9429 94.0709 Oct-05 0.1230 0.5860 0.2454 0.0604 1.0147 201.0147 198.9853 95.0303 Nov-05 0.0551 0.4908 -0.7975 -0.0592 -0.3108 199.6892 200.3108 94.7354 Dec-05 0.0509 0.9816 0.7714 0.3797 2.1836 202.1836 197.8164 96.8269 Jan-06 0.0339 -0.1502 -0.4828 0.3196 -0.2794 199.7206 200.2794 96.5567 Feb-06 0.0297 -0.0351 0.2777 0.0950 0.3673 200.3673 199.6327 96.9119 Mar-06 0.0127 0.0401 -0.3837 0.1665 -0.1645 199.8355 200.1645 96.7527 Apr-06 -0.0466 0.0100 0.1614 0.3901 0.5149 200.5149 199.4851 97.2521 May-06 -0.0085 0.0050 0.1750 -0.0057 0.1659 200.1659 199.8341 97.4136 Jun-06 -0.0212 -0.0300 0.7003 -0.4352 0.2138 200.2138 199.7862 97.6221 Jul-06 -0.0042 -0.0300 -0.5450 0.1619 -0.4174 199.5826 200.4174 97.2155 Aug-06 -0.0042 0.0100 0.0615 0.2359 0.3032 200.3032 199.6968 97.5106 Sep-06 -0.0212 -0.0501 0.3414 0.1106 0.3807 200.3807 199.6193 97.8825 Oct-06 -0.0466 -0.0601 -0.6062 0.1094 -0.6035 199.3965 200.6035 97.2936
(3)
Nov-06 -0.0085 -0.0751 0.8994 0.2432 1.0590 201.0590 198.9410 98.3294 Dec-06 -0.0636 -0.1803 -0.7392 0.1805 -0.8027 199.1973 200.8027 97.5433 Jan-07 -0.0678 0.0050 0.5356 -0.0218 0.4509 200.4509 199.5491 97.9841 Feb-07 -0.0382 -0.0451 -0.5232 -0.0622 -0.6686 199.3314 200.6686 97.3311 Mar-07 -0.0933 -0.0150 0.5264 -0.0323 0.3858 200.3858 199.6142 97.7074 Apr-07 -0.0551 -0.0100 -0.1650 0.3115 0.0813 200.0813 199.9187 97.7868 May-07 -0.0678 -0.0050 0.4660 0.1612 0.5544 200.5544 199.4456 98.3304 Jun-07 -0.1442 0.0150 -0.2418 0.0225 -0.3485 199.6515 200.3485 97.9884 Jul-07 0.0000 -0.0050 -0.0950 0.2679 0.1679 200.1679 199.8321 98.1531 Aug-07 0.1187 -0.2103 0.2569 -0.2612 -0.0960 199.9040 200.0960 98.0589 Sep-07 -0.2714 -0.0300 -0.0568 0.2541 -0.1041 199.8959 200.1041 97.9569 Oct-07 -0.0933 -0.0401 -0.2933 0.5407 0.1141 200.1141 199.8859 98.0687 Nov-07 -0.0170 -0.0200 0.4691 0.0674 0.4995 200.4995 199.5005 98.5597 Dec-07 -0.0721 -0.1452 -0.3899 0.0788 -0.5284 199.4716 200.5284 98.0404 Jan-08 0.0212 -0.1703 1.5594 -0.1294 1.2809 201.2809 198.7191 99.3042 Feb-08 -0.0254 -0.1502 0.1988 0.2169 0.2400 200.2400 199.7600 99.5429 Mar-08 -0.0509 -0.0651 -0.3359 -0.2890 -0.7408 199.2592 200.7408 98.8081 Apr-08 -0.0254 -0.0501 0.4106 -0.2331 0.1019 200.1019 199.8981 98.9089 May-08 -0.0254 -0.0300 -0.3879 0.1830 -0.2604 199.7396 200.2604 98.6517 Jun-08 -0.0254 0.0050 0.1138 -0.1244 -0.0311 199.9689 200.0311 98.6211 Jul-08 0.0127 0.0200 0.0143 -0.1550 -0.1079 199.8921 200.1079 98.5147 Aug-08 0.0594 -0.0100 -0.0385 -0.1911 -0.1802 199.8198 200.1802 98.3373 Sep-08 0.1187 -0.0501 0.1570 -0.4362 -0.2106 199.7894 200.2106 98.1305 Oct-08 0.2248 -0.1052 0.4525 -1.0251 -0.4530 199.5470 200.4530 97.6870 Nov-08 0.1611 -0.1052 -0.4165 -0.9386 -1.2992 198.7008 201.2992 96.4260 Dec-08 0.0382 -0.3956 -0.3575 0.2886 -0.4264 199.5736 200.4264 96.0157 Jan-09 -0.0085 -0.0150 -0.2844 0.1403 -0.1677 199.8323 200.1677 95.8549 Feb-09 -0.0466 -0.1502 -0.1781 -0.3324 -0.7074 199.2926 200.7074 95.1792 Mar-09 -0.0127 0.0200 0.0022 0.1380 0.1475 200.1475 199.8525 95.3197 Apr-09 -0.0297 0.0050 -0.0097 0.6915 0.6571 200.6571 199.3429 95.9482 May-09 -0.0424 0.2304 0.2200 0.6367 1.0446 201.0446 198.9554 96.9557 Jun-09 -0.0509 0.1152 0.0020 0.3152 0.3814 200.3814 199.6186 97.3263 Jul-09 0.0042 0.0000 0.2505 0.2059 0.4606 200.4606 199.5394 97.7756 Aug-09 -0.0382 0.0551 0.2864 0.4154 0.7187 200.7187 199.2813 98.4808 Sep-09 -0.0212 0.0000 -0.2443 0.1281 -0.1373 199.8627 200.1373 98.3457 Oct-09 -0.0127 -0.0501 0.3250 0.2098 0.4720 200.4720 199.5280 98.8109 Nov-09 -0.0424 0.0100 -0.4332 -0.0621 -0.5277 199.4723 200.5277 98.2909 Dec-09 -0.1145 0.0200 0.7194 0.0976 0.7226 200.7226 199.2774 99.0037 Jan-10 -0.2460 -0.7112 -0.0783 0.1706 -0.8648 199.1352 200.8648 98.1512 Feb-10 -0.0127 -0.0952 0.3170 -0.1580 0.0512 200.0512 199.9488 98.2014 Mar-10 0.2587 0.4958 0.1299 0.2236 1.1080 201.1080 198.8920 99.2955
(4)
189
Apr-10 -0.0466 -0.0751 -0.0422 0.2213 0.0573 200.0573 199.9427 99.3525 May-10 -0.0806 -0.3005 -0.4975 -0.2154 -1.0940 198.9060 201.0940 98.2714 Jun-10 -0.0212 0.1903 0.7899 0.0921 1.0511 201.0511 198.9489 99.3099 Jul-10 0.0339 -0.0451 0.0231 0.1638 0.1758 200.1758 199.8242 99.4846 Aug-10 0.1187 0.2855 -0.2136 0.0443 0.2349 200.2349 199.7651 99.7185 Sep-10 -0.1866 -0.3355 -0.8164 0.2146 -1.1239 198.8761 201.1239 98.6040 Oct-10 0.0127 0.2805 0.7696 0.2140 1.2768 201.2768 198.7232 99.8710 Nov-10 -0.0254 -0.0601 0.2553 0.0156 0.1853 200.1853 199.8147 100.0563 Dec-10 -0.0466 -0.1252 -0.1852 -0.1209 -0.4779 199.5221 200.4779 99.5792 Jan-11 -0.0170 -0.1102 0.0459 -0.1687 -0.2499 199.7501 200.2499 99.3306 Feb-11 -0.0127 0.0801 -0.1959 -0.0334 -0.1619 199.8381 200.1619 99.1699 Mar-11 -0.5555 -0.0501 0.3186 0.2039 -0.0832 199.9168 200.0832 99.0875 Apr-11 -0.0127 -0.0952 -0.0325 0.2209 0.0806 200.0806 199.9194 99.1674 May-11 -0.0254 -0.1853 0.0295 0.0749 -0.1064 199.8936 200.1064 99.0619 Jun-11 -0.0297 -0.0601 0.1178 -0.0299 -0.0019 199.9981 200.0019 99.0600 Jul-11 0.4665 -0.0050 -0.0039 0.1992 0.6568 200.6568 199.3432 99.7128 Aug-11 -0.0042 -0.2704 -0.1454 -0.0885 -0.5086 199.4914 200.5086 99.2069 Sep-11 -0.0424 -0.0451 0.3077 -0.2522 -0.0320 199.9680 200.0320 99.1752 Oct-11 -0.0170 -0.0100 0.0248 -0.1045 -0.1067 199.8933 200.1067 99.0695 Nov-11 -0.0254 -0.0250 -0.0434 0.0966 0.0027 200.0027 199.9973 99.0722 Dec-11 -0.0170 -0.1152 0.2353 -0.0085 0.0946 200.0946 199.9054 99.1660
(5)
PURWANTO
).
Sejak tahun 1998 hingga 2009, kondisi anggaran pendapatan belanja
negara (APBN) Indonesia selalu mengalami
budget deficit
dalam rangka
membiayai program pembangunan. Untuk menutupi defisit anggaran tersebut,
pemerintah mengandalkan berbagai sumber pembiayaan sumber yang berasal dari
perbankan dalam negeri, privatisasi, penjualan aset program restrukturisasi, dana
penerbitan obligasi negara, dan pinjaman luar negeri.
Dari beberapa sumber pembiayaan yang ada, porsi terbesar untuk
menutupi defisit anggaran yang terjadi berasal dari obligasi negara. Proporsi
pembiayaan defisit anggaran yang sebagian besar berasal dari dana penerbitan
obligasi pada akhirnya menyebabkan pemerintah memutuskan untuk
meningkatkan penawaran obligasi di pasar sekuritas secara terus menerus. Selama
periode Agustus 2004 hingga Agustus 2010, kepemilikan asing terhadap SBN
menunjukkan
trend
yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa
ketergantungan pemerintah semakin kuat terhadap pihak asing dalam hal
memperoleh pendanaan yang dibutuhkan untuk menutupi defisit anggaran yang
terjadi. Dengan demikian, akumulasi utang luar negeri Indonesia terus meningkat
dari tahun ke tahun.
Secara substansi, utang luar negeri merupakan sumber pembiayaan uang
digunakan untuk menutupi kebutuhan investasi di suatu negara. Pembiayaan yang
bersumber dari utang luar negeri ini harus dikelola dengan baik dan dialokasikan
untuk kegiatan investasi sektor riil yang produktif sehingga dapat memberikan
rate of return
yang tinggi di kemudian hari. Alokasi penggunaan utang luar negeri
untuk kegiatan yang tidak produktif tanpa pengawasan yang baik dapat
menyebabkan terjadinya krisis utang seperti yang saat ini melanda negara-negara
di kawasan Uni Eropa (
European Union
/EU).
Berdasarkan pengalaman yang dialami oleh negara-negara di kawasan Uni
Eropa, maka sumber pembiayaan yang berasal dari utang luar negeri dalam
jumlah yang besar perlu diwaspadai sedini mungkin. Suatu sistem deteksi dini
perlu untuk dibangun agar pemerintah dapat memperkirakan periode waktu
kemungkinan terjadinya krisis utang secara tepat. Hal ini penting bagi pemerintah
sehingga dapat merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang
bersifat antisipastif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
dapat menjadi
Coincident, Leading, dan Lagging Indicators
dalam rangka
menyusun instrumen deteksi dini terjadinya krisis utang di Indonesia. Selain itu,
akan diidentifikasi sistem bekerjanya faktor-faktor tersebut sebagai instrument
sistem suatu deteksi dini.
(6)