4.3 Pembahasan Hasil Penyusunan Early Warning System
4.3.1 Analisis Hasil Early Warning System Secara Empiris
Penyusunan hasil early warning sytem menghasilkan tiga instrumen penting, yakni Coincident, Leading, dan Lagging Debt Index. Adapun instrumen yang
digunakan untuk mendeskripsikan kondisi beban utang luar negeri Indonesia
adalah Coincident Debt Index. Sebagaimana yang terlihat pada gambar 4.58, salah
satu titik puncak Coincident Debt Index tercapai pada periode bulan September 1998. Kondisi ini terjadi tidak terlepas dari pengaruh krisis nilai tukar yang
melanda negara-negara di Asia secara luas, termasuk Indonesia. Hal ini
sebagaimana digambarkan pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Perbandingan Pergerakan Grafik Coincident Debt Index dengan Kurs Rupiah Terhadap Dollar
Gambar 4.6 bahwa rupiah mengalami depresiasi yang begitu hebat sejak periode
bulan Juni 1998. Kepercayaan terhadap mata uang rupiah semakin menurun, sehingga terjadi capital outflow secara besar-besaran pada periode waktu tersebut.
C oincide
nt De bt Inde
x
Kur s R
upiah T erh
ada p D
oll ar
Kurs Rupiah Terhadap Dollar Coincident Debt Index
Hal ini berdampak pada beban utang luar negeri Indonesia semakin besar yang digambarkan dari titik puncak grafik Coincident Debt Index pada periode bulan
September 1998. Kondisi ini semakin parah sehingga menyebabkan kurangnya likuiditas dalam perekonomian dan berakibat pada kenaikan suku bunga dalam
negeri secara signifikan. Terjadinya capital outflow dalam jumlah besar pada akhirnya berdampak pada
kurangnya likuiditas dalam perekonomian secara signifikan. Kondisi ini menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan suku bunga SBI
3 bulan sehingga berdampak pada suku bunga simpanan dalam negeri yang juga mengalami kenaikan. Kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan
untuk menarik minat investor luar negeri agar tetap menginvestasikan dana mereka di Indonesia sehingga likuiditas dalam negeri akan terjaga dan nilai rupiah
tidak akan mengalami depresiasi lebih buruk lagi. Hal ini penting bagi pemerintah agar solvabilitas Indonesia tetap dalam kondisi baik sehingga mampu membayar
cicilan pokok dan bunga utang luar negeri pada periode tersebut. Kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk menaikkan suku bunga dalam
negeri juga memiliki tujuan lainnya yakni untuk meredam tingginya lonjakan inflasi yang terjadi pada periode krisis tersebut. Meskipun demikian, kebijakan
yang dilakukan pemerintah tersebut pada akhirnya kurang efektif dan tidak berhasil menahan capital flight yang terjadi sehingga hanya menambah beban
biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah yang menaikkan suku bunga SBI 3 bulan berdampak
pada tingginya suku bunga simpanan dalam negeri melebihi suku bunga
pinjamannya. Hal ini menyebabkan interest rate spread Indonesia menunjukkan nilai negatif dan mencapai titik trough pada periode November 1998 dimana
periode tersebut bertepatan dengan tercapainya titik peak variabel reference debt to GDP yang menandakan terjadinya masalah solvabilitas Indonesia. Dengan
demikian, karena variabel interest rate spread, suku bunga simpanan, suku bunga pinjaman, dan suku bunga SBI 3 bulan merupakan komponen penyusun
Coincident Debt Index dengan bobot yang cukup besar, maka peningkatan variabel-variabel tersebut menyebabkan nilai Coincident Debt Index mencapai
puncaknya pada periode bulan September 1998. Titik puncak Coincident Debt Index pada bulan September 1998 selain
dipengaruhi oleh krisis nilai tukar yang melanda Asia, juga disebabkan karena pada periode tersebut hampir sebagian besar utang luar negeri Indonesia mencapai
jatuh tempo secara bersamaan. Kondisi ini semakin menambah beban utang luar negeri Indonesia yang semakin diperparah dengan kesulitan likuiditas
perekonomian dalam negeri akibat capital flight yang terjadi secara besar-besaran. Selain Coincident Debt Index, penyusunan early warning system ini juga
menghasilkan instrumen Leading Debt Index. Indeks ini merupakan instrumen yang penting karena pergerakannya mampu memprediksi kemungkinan terjadinya
krisis utang di Indonesia secara akurat. Berdasarkan gambar 4.59, diketahui bahwa Leading Debt Index ini memiliki
beberapa titik puncak dan lembah. Salah satu titik puncaknya terjadi pada periode bulan Juni 1997. Pergerakan Leading Debt Index yang mencapai titik puncaknya
pada periode tersebut telah memberikan sinyal yang kuat bahwa akan terjadi krisis
utang di pada selang waktu 15 bulan kemudian ditandai dengan Coincident Debt Index yang mencapai titik puncak.
Tercapainya titik puncak Leading Debt Index pada periode bulan Juni 1997 banyak dipengaruhi oleh dinamika pergerakan variabel suku bunga LIBOR 6
Bulan dan laju inflasi Jepang. Hal ini disebabkan karena kedua variabel tersebut merupakan komponen penyusun Leading Debt Index dengan bobot yang cukup
besar. Variabel suku bunga LIBOR 6 Bulan memiliki beberapa titik puncak dan
lembah. Salah satu titik puncak variabel ini tercapai pada periode bulan April 1997. Titik puncak yang terjadi pada periode tersebut menjadi sinyal kuat
terjadinya beban utang luar negeri Indonesia yang semakin besar pada selang waktu 19 bulan kemudian. Suku bunga LIBOR 6 Bulan yang mencapai titik
puncak di bulan April 1997 mengindikasikan terjadinya penurunan likuiditas sumber pendanaan di pasar uang internasional pada periode waktu tersebut. Oleh
karena suku bunga LIBOR banyak digunakan sebagai acuan dalam penentuan suku bunga utang luar negeri, maka peningkatan suku bunga LIBOR akan
berdampak pada semakin besarnya devisa yang harus dialokasikan untuk melakukan pembayaran bunga utang.
Pergerakan suku bunga LIBOR memberikan pengaruh yang besar terhadap kondisi beban utang luar negeri yang harus ditanggung oleh Indonesia. Hal ini
disebabkan karena cukup besar jumlah utang luar negeri Indonesia yang pembayaran bunganya ditetapkan berdasarkan floating interest rate. Semakin
tinggi suku bunga LIBOR, maka semakin besar pula beban pembayaran utang luar
negeri Indonesia, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, peningkatan suku bunga LIBOR 6 bulan yang mencapai titik puncaknya pada periode April 1997
berdampak pada semakin besarnya beban utang luar negeri Indonesia pada kurun waktu 19 bulan kemudian, tepatnya bulan November 1998.
Selain variabel suku bunga LIBOR 6 Bulan, pergerakan Leading Debt Index yang mencapai titik puncak di periode Juni 1997 juga dipengaruhi oleh variabel
laju inflasi Jepang. Variabel ini mencapai titik puncaknya pada periode bulan Agustus 1997 akibat krisis nilai tukar yang melanda Asia, termasuk Jepang. Pada
periode tersebut, mata uang yen juga mengalami depresiasi yang hebat sehingga berdampak pada kemunduran perekonomian di negara tersebut. Hal ini ditandai
dengan inflasi yang terus mengalami peningkatan. Dengan demikian, pergerakan laju inflasi Jepang telah memberikan sinyal yang kuat dalam memprediksi kondisi
beban utang luar negeri yang harus ditanggung Indonesia.
4.3.2 Operasionalisasi dan Pengelolaan Early Warning System Krisis Utang