19 Gambar 8. Skema proses fiksasi nitrogen Sitaresmi 2000
2. Ukuran Partikel
Menurut Isroi 2008 aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan
dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan porositas. Meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan
dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut. Menurut Dalzell et al. 1987 ukuran partikel yang berukuran kurang dari 10 mm
perlu dilakukan aerasi buatan, sedangkan ukuran partikel yang berukuran lebih besar dari 50 mm hanya diperlukan aerasi alami untuk suplai oksigen. Menurut Murbandono 1983
sampai batas tertentu semakin kecil ukuran potongan bahan, maka semakin cepat pula waktu pembusukannya. Hal ini karena semakin banyak permukaan yang tersedia bagi
bakteri untuk menyerang dan menghancurkan material-material tersebut. Walaupun demikian, jika pencincangan bahan terlalu kecil akan mengakibatkan timbunan mampat dan
tidak terkena udara. Indrasti 2007 menambahkan bahwa proses pengomposan akan berjalan apabila bahan baku yang digunakan memiliki ukuran diameter yang seragam, yaitu
antara 20 mm sampai dengan 50 mm. Ukuran partikel yang terlalu besar menyebabkan proses pengomposan berjalan lambat, sedangkan ukuran partikel yang terlalu kecil tidak
sesuai untuk proses aerasi.
3. Aerasi Sirkulasi Udara
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen aerob. Aerasi secara alami akan terjadi pada saat adanya peningkatan suhu yang menyebabkan
udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan kelembaban. Apabila aerasi
terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di
dalam tumpukan kompos Isroi 2008. Menurut Dalzell et al. 1987 menyatakan bahwa dalam proses pengomposan
diperlukan udara yang cukup ke semua bagian tumpukan untuk memasok oksigen pada mikroorganisme dan mengeluarkan karbon dioksida yang dihasilkan. Tidak adanya udara
atau kondisi anaerobik akan menimbulkan perkembangbiakan berbagai macam
20 mikroorganisme yang menyebabkan keasaman dan pembusukan tumpukan dan
menimbulkan bau busuk. Indrasti 2007 menambahkan bahwa bau yang ditimbulkan dari beberapa tahap pengomposan, meliputi ketidakcukupan proses aerasi, nilai CN yang
rendah, dan suhu yang terlalu tinggi. Apabila proses tidak mendapatkan suplai oksigen yang sesuai akan terjadi proses anaerobik yang menghasilkan campuran senyawa berbau
tidak sedap. Hal ini berbeda dengan proses pengomposan yang hanya menghasilkan karbon dioksida. Aerasi merupakan proses pemenuhan kebutuhan udara pada sistem
pengomposan. Aerasi dilakukan dengan beberapa cara yang berbeda tergantung dari sistem pengomposan yang digunakan, yaitu sistem pengadukan agitation di dalam wadah
windrow, tumpukan tetap yang teraerasi force aeration, dan kombinasi pengadukan dengan tenaga misalnya aeratedagitated by system. Melalui ketiga sistem aerasi tersebut
kebutuhan udara dalam sistem akan terpenuhi. Pereira-Neto et al. 1991 menyatakan bahwa forced aeration adalah proses aerasi
atau suplai oksigen ke dalam tumpukan kompos melalui udara yag ditekan ke dalam sistem. Sistem ini lebih efektif dibandingkan sistem pembalikan. Forced aeration dilakukan
melalui fan berkapasitas tinggi dan head yang rendah 150 mm. Sistem aerasi ini terdiri atas 3 model, yaitu :
1. Blowing atau meniupkan udara ke dalam tumpukan bahan kompos tekanan positif
2. Sucking atau pengisapan oleh tumpukan bahan kompos tekanan negatif 3. Hybrid atau kombinasi antara peniupan dan pengisapan
Indrasti 2004 menambahkan
bahwa mikroorganisme dalam tumpukan
membutuhkan oksigen untuk melakukan proses dekomposisi. Jika tumpukan kekurangan oksigen, biasanya akan mengeluarkan bau. Jika ini terjadi maka sebaiknya dilakukan
pembongkaran kembali tumpukan untuk memberikan oksigen pada tumpukan kompos. Sistem aerasi kompos dapat berupa aerasi aktif atau aerasi pasif. Proses aerasi pasif
kompos tidak menggunakan langkah pemberian suplai udara melalui pipa atau pori-pori bahan kompos. Aerasi aktif pada kompos memberikan aliran udara ke dalam bahan kompos
melalui pipa. Keuntungan sistem aerasi aktif ini adalah waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan aerasi pasif AESA 2001.
Kebutuhan udara oleh mikroorganisme ditentukan oleh tipe limbah yang diolah bahan nutrisi atau ukuran partikel, suhu proses, tahapan proses, dan kondisi proses kadar
kelembaban dan strukturnya. Kebutuhan udara tersebut dapat diukur dengan alat laboratorium menggunakan respirometer. Sistem pengomposan menggunakan forced
aeration dengan suhu udara dikendalikan melalui sistem umpan balik, membutuhkan udara yang lebih rendah dari kebutuhan udara yang disediakan. Pada tahap awal pengomposan
menunjukkan kebutuhan udara yang lebih tinggi terdapat pada proses pendinginan dengan nilai kebutuhan udara mencapai 90 dari total kebutuhan udara yang diperlukan. Selain itu,
pada beberapa kasus pengendalian temperatur ditentukan oleh suplai oksigen yang digunakan. Proses pemanasan dan pendinginan tetap menjadi perhatian utama. Hal ini
disebabkan keberhasilan kedua proses tersebut menjadi indikator rata-rata oksigen yang masih terdapat dalam tumpukan kompos Indrasti 2007.
AESA 2001 menambahkan bahwa aerasi pasif merupakan tumpukan bahan organik yang didekomposisi dengan sedikit pengaturan dan pembalikan bahan. Secara
umum metode ini digunakan untuk bahan yang memiliki porositas tinggi seperti dedaunan, karena suplai oksigen tergantung pada difusi pasif. Aerasi pasif masih perlu pembalikan
21 secara berkala untuk meningkatkan aliran aerasi dan membangun porositas bahan. Proses
pengomposan menggunakan aerasi pasif ini cenderung lambat dan memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mendapatkan kompos matang dan
dimungkinkan akan menimbulkan bau karena laju aerasi rendah.
4. Porositas Susunan Bahan