Level Teks Judul: Kode Etik Dakwah

76 Bilal dan kawan-kawannya itu. Nabi saw. kemudian menyetujui permintaan tersebut, namun akhirnya Allah menurunkan ayat yang mengkritik perilaku Nabi saw. itu, yaitu Surah al- An‟am ayat 52.” 69 Kata „namun‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan hubungan kausal, yaitu menjelaskan sikap Nabi saw. yang menjadi alasan turunnya surat al-A n‟am ayat 52 untuk mengkritik perilaku Nabi saw. itu. Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Kode pertama ini juga diambil dari perilaku Rasulullah saw. di mana secara umum beliau tidak memerintahkan sesuatu kecuali beliau melakukannya. ” 70 Kata „beliau‟ dalam kalimat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dan berfungsi sebagai penghormatan beliau penagrang kepada Nabi Muhammad saw. c Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Para dai yang runtang-runtung, gandeng renceng dengan pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar. ” 71 “Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik Dakwah itu telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai walakedu semakin ramai” 72 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata runtang- runtung, gandeng renceng untuk menjelaskan berteman atau bergaul. Kemudian menggunakan kata walakedu jual ayat kejar duit untuk menjelaskan dai yang bertarif. 69 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 107. 70 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 71 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 108. 72 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 109. 77 d Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan bentuk grafis terutama pada arti ayat Al- Qur‟an dan hadis yang disampaikan dalam tulisan ini, terdapat dalam kutipan di bawah ini: “Para dai yang runtang-runtung, gandeng renceng dengan pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar. ” 73 “Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik Dakwah itu telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai walakedu semakin ramai” 74 “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.QS. Ash-Shaff: 2-3 ” 75 “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku. QS. Al- Kafirun ” 76 “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dari Kabilah Bani „Auf adalah satu bangsa dengan umat Islam. Bagi orang-orang Yahudi, agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka. HR. Ibnu Hisyam ” 77

6. Judul: Dakwah dan Kearifan Lokal

a. Level Teks

1 Struktur Makro a Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan cara berdakwah yang harus menggunakan 73 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 108. 74 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 109. 75 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 76 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 106. 77 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 106. 78 pendekatan budaya masyarakat Indonesia, bukan malah memaksakan budaya lain dan melarang budaya lokal yang digunakan. 78 2 Superstruktur a Segi Skematik Tulisan ini berjudul “Dakwah dan Kearifan Lokal.” Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut: “Bulan Agusuts 1982, Almarhum Bapak Mr. Sarjana Hukum H. Muhammad Roem memberikan ceramah di hadapan anggota Young Muslim Association in Europe YMAE yang akrab di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan PPME Persatuan Pemuda Muslim Eropa di Kediaman Bapak H. Hambali Ma‟sum di Den Haag, Negeri Belanda. Pak Roem mengatakan bahwa Buya Hamka pernah ditanya oleh Dr. Syauqi Futaki Ketua Japan Islamic Congress, “Apa penyebab orang Indonesia khususnya orang Jawa begitu mudah masuk Islam dengan serentak dalam jumlah yang ba nyak tanpa ada konflik sedikit pun?” Menurut Pak Roem, Buya Hamka saat itu menjawab, “Itulah yang sedang saya pelajari.” 79 Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan pidatonya H. Muhammad Roem dalam pertemuan PPME. Inti dari tulisan ini berada dalam: “Para ahli berbeda pendapat tentang kapan Islam masuk ke Indonesia, khususnya di Tanah Jawa. Sebagian berpendapat bahwa Islam sudah masuk di Kepulauan Indonesia pada abad pertama Hijriyah sekitar abad ke-7 atau 8 Masehi. Sebagian berpendapat Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 Masehi. Kendati begitu, para ahli sependapat bahwa Islam masuk ke Indonesia tidak melalui cara-cara kekerasan dan lain sebagainya, melainkan dengan cara yang sangat damai. ” 80 Tulisan ini ditutup dengan ungkapan kekecewaan beliau terhadap sikap dai zaman sekarang yang cenderung tidak memerhatikan kearifan lokal dan cenderung memaksakan budaya 78 Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. 79 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 80 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 79 Arab kepada masyarakat. Kesimpulan dari tulisan ini adalah menjelaskan alasan mayoritas masyarakat Indonesia dapat menerima Islam karena dahulu para dai dari Arab menyampaikan dakwahnya berdasarkan pendekatan kultural. Story tulisan ini ingin memberikan pelajaran kepada para dai di Indonesia bahwa dakwah seharusnya dilakukan dengan pendekatan kultural atau budaya sesuai dengan kearifan lokal dari suatu objek dakwah. Bukan dengan pemaksaan suatu budaya lain kepada masyarakat Indonesia apalagi sampai melarang budaya asli mereka dengan kekerasan. Dengan demikian, masyarakat Indonesia pun akan mudah menerima ajaran Islam dengan lapang dada. 3 Struktur Mikro a Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari pidato H. Muhammad Roem dalam pertemuan PPME tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menjelaskan bagaimana masuknya Islam ke Indonesia, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan masyarakat Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat dibenarkan. Peninggalan-peninggalan Islam yang merupakan warisan para dai yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa. Kendati mereka banyak berasal dari negeri Arab, namun mereka tidak serta merta mengubah secara radikal budaya lokal dengan budaya Arab. Mereka justru membaur dan meleburkan diri dengan budaya lokal alias budaya Jawa. Arsitektur masjid-masjid yang mereka tinggalkan, semisal Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya, Mesjid Agung Demak, Mesjid Menara Kudus, dan lain-lain menunjukkan bahwa para dai itu sangat arif dengan budaya-budaya lokal sehingga mereka tidak 80 menggantinya dengan budaya Arab. Arsitek masjid-masjid tersebut sampai sekarang menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam berdakwah sehingga bangunan-bangunan tersebut masih kental dengan budaya Jawa. Bahkan Masjid Menara Kudus, juga kental dengan arsitektur Hindu.” 81 Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan alasan para dai menggunakan pendekatan kultural untuk menyebarkan Islam di Indonesia. Terlihat dalam kutipan berikut: “Bagi para dai, bangunan adalah bukan akidah dan bukan ibadah, melainkan bagian dari muamalah. Maka sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam, budaya-budauya tersebut tetap mereka lestarikan. Hasilnya, orang Jawa tidak merasa kaget untuk memasuki masjid karena mereka merasa masuk ke rumah adat mereka sendiri. Menurut catatan para ahli, para dai di samping melestarikan budaya fisik seperti arsitektur Jawa dalam bangunan masjid, mereka juga melakukan pendekatan kultural dalam menyampaikan pesan- pesan keislaman kepada masyakat Jawa.” 82 Praanggapan dalam tulisan ini ialah memberitahu bahwa dai Indonesia sekarang ini, kurang memerhatikan kearifan lokal rakyat Indonesia. Bahkan ia cenderung memaksakan corak Arab kepada objek dakwahnya. Terlihat dalam kutipan berikut: “Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal seperti tersebut di atas. Dalam masalah sosial budaya, tampak ada sebuah pemaksaan harus bercorak Arab. Pakaian harus dengan jubah dan ubel-ubel surban yang membungkus kepala. Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah, kendati sebenarnya kubah bukan dari Arab melainkan dari gereja Byzantium.” 83 81 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 82 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 83 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112.