Level Teks Judul: Dakwah dan Kearifan Lokal

80 menggantinya dengan budaya Arab. Arsitek masjid-masjid tersebut sampai sekarang menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam berdakwah sehingga bangunan-bangunan tersebut masih kental dengan budaya Jawa. Bahkan Masjid Menara Kudus, juga kental dengan arsitektur Hindu.” 81 Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan alasan para dai menggunakan pendekatan kultural untuk menyebarkan Islam di Indonesia. Terlihat dalam kutipan berikut: “Bagi para dai, bangunan adalah bukan akidah dan bukan ibadah, melainkan bagian dari muamalah. Maka sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam, budaya-budauya tersebut tetap mereka lestarikan. Hasilnya, orang Jawa tidak merasa kaget untuk memasuki masjid karena mereka merasa masuk ke rumah adat mereka sendiri. Menurut catatan para ahli, para dai di samping melestarikan budaya fisik seperti arsitektur Jawa dalam bangunan masjid, mereka juga melakukan pendekatan kultural dalam menyampaikan pesan- pesan keislaman kepada masyakat Jawa.” 82 Praanggapan dalam tulisan ini ialah memberitahu bahwa dai Indonesia sekarang ini, kurang memerhatikan kearifan lokal rakyat Indonesia. Bahkan ia cenderung memaksakan corak Arab kepada objek dakwahnya. Terlihat dalam kutipan berikut: “Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal seperti tersebut di atas. Dalam masalah sosial budaya, tampak ada sebuah pemaksaan harus bercorak Arab. Pakaian harus dengan jubah dan ubel-ubel surban yang membungkus kepala. Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah, kendati sebenarnya kubah bukan dari Arab melainkan dari gereja Byzantium.” 83 81 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 82 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 83 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. 81 b Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dan imbuhan me- -kan, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Maka dalam rangka dakwah, para dai melakukan pendekatan sosial dengan tidak mengonsumsi daging sapi.” 84 “Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal seperti tersebut di atas. ” 85 Tulisan ini juga menggunakan kalimat pasif dengan imbuhan di- -kan, seperti berikut: “Pendekatan dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang dari Jazirah Arab khususnya dari Hadhramaut adalah pendekatan kultural.” 86 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „sehingga‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Para ahli juga tampaknya sependapat bahwa pendekatan dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang dari Jazirah Arab khususnya dari Hadhramaut adalah pendekatan kultural. Sehingga masyarakat khususnya di tanah Jawa tidak merasa terusik sedikitpun dalam masalah sosial budaya, sementara mereka sudah menjadi orang Islam.” 87 Kata „sehingga‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat, yaitu menjelaskan alasan masyarakat mudah menerima ajaran Islam yang diajarkan oleh para dai kepada mereka. 84 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. 85 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. 86 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 87 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 82 Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan masyarakat Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat dibenarkan. Peninggalan-peninggalan Islam yang merupakan warisan para dai yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa. ” 88 Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan demikian pembaca dapat menerima dengan mudah penjelasan beliau. c Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Kami mengatakan sekiranya masjid di Bali memasukkan ornamen-ornamen Bali, dan masjid di Kalimantan Utara memasukkan ornamen-ornamen Dayak, maka orang Bali dan orang Dayak akan mudah dan tidak merasa terkejut saat memasuki masjid karena mereka merasa memasuki rumah adat mereka sendiri .” 89 “Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat yaitu kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat perjalanan hidup manusia.” 90 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata ornamen untuk menjelaskan arsitektur bangunan. Kemudian menggunakan kata tembang untuk menjelaskan syair atau lagu. d Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora ungkapan sehari-hari, terdapat dalam kutipan di bawah ini: “Arsitek masjid-masjid tersebut sampai sekarang menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam berdakwah sehingga bangunan-bangunan tersebut masih kental dengan budaya Jawa. 88 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 89 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112-113. 90 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 83 Bahkan Masjid Menara Kudus, juga kental dengan arsitektur Hindu. ” 91 Dan juga menggunakan grafis pada nama-nama tembang karya Sunan Kalijaga, terdapat dalam kutipan di bawah ini: “Dr. Purwadi M. Hum, Rektor Institut Kesenian Jawa di Jogjakarta, dalam bukunya Dakwah Sunan Kalijaga, menyebutkan bahwa para wali khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga dalam mentransformasikan ajaran-ajaran Islam, beliau menciptakan tembang-tembang lagu-lagu seperti tembang Dhandang Gulo dan lain sebagainya. Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat yaitu kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat perjalanan hidup manusia. Tembang-tembang itu antara lain adalah Mijil , yang mengisahkan tentang kelahiran seorang manusia ke dunia, kemudian Sinom yang menceritakan tentang manusia yang muda, kemudian Asmoro Dono yang menceritakan tentang manusia yang sudah menginjak remaja yang sudah mencintai lawan jenisnya, Megatruh putus nyawa yang menceritakan tentang kematian manusia, Pucung alias menjadi pocong yang dibungkus kain kafan dan masuk liang lahat, dan lain-lain. ” 92

7. Judul: Keteladanan Buya Hamka

a. Level Teks

1 Struktur Makro a Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan kiprah keislaman Buya Hamka yang sampai akhir hayatnya masih tetap memegang ajaran Rasulullah saw. tanpa memikirkan kepentingan duniawi. 93 91 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 92 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111-112. 93 Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. 84 2 Superstruktur a Segi Skematik Tulisan ini berjudul “Keteladanan Buya Hamka.” Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut: “Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik pemikiran moderat almarhum Buya Hamka. Ceramah itu akan disampaikan dalam pertemuan berkala institut Wasatiyyah Malaysia IWM yang dijadwalkan pada bulan Juni 2014 mendatang.” 94 Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan latar belakang untuk menceritakan tentang permintaan Perdana Menteri Malaysia kepada beliau. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut: “Sekurang-kurangnya, ada dua sikap Buya Hamka yang patut diteladani. Pertama, pada tahun 1982, ketika Buya Hamka masih menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia MUI pusat. Waktu itu MUI mengeluarkan fatwa bahwa umat Indonesia tidak boleh menghadiri perayaan Natal bersama. Fatwa ini menimbulkan polemik antara pro dan kontra. Konon, Buya Hamka didesak untuk mencabut fatwa itu atau mengundurkan diri. Buya Hamka akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum MUI Pusat. Beliau lebih berprinsip pada penegakkkan yang hak sesuai tuntutan Al- Qur‟an dan Hadis.” 95 “Kedua, pada akhir tahun 1970-an, Buya Hamka juga melakukan kejutan besar yang dinilai bersebrangan dengan kelompoknya. Selama itu, dalam menetakan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal, ada kelompok yang bersikukuh menggunakan metode hisab. Pada waktu itu, tampaknya Buya Hamka juga mengikuti metode kelompok tersebut. Namun, setelah mengetahui petunjuk Nabi saw. bahwa dalam menetapkan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal haruslah menggunakan rukyat melihat bulan, Buya Hamka kemudian mengeluarkan pernyataan yang sangat mengejutkan, di mana beliau berkata “Saya kembali ke rukyat.” Pernyataan Buya Hamka ini, juga menimbulkan kegoncangan di kalangan umat Islam Indonesia. Tidak sedikit orang yang mencemoohkan, melecehkan dan mengolok-olokkan Buya Hamka 94 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 95 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 85 karena sikap dan perilakunya itu. Namun Buya Hamka tetap memgang prinsip rukyat itu sampai beliau wafat pada tahun 1984.” 96 Tulisan ini ditutup dengan doa beliau terhadap almarhum Hamka dan harapan beliau kepada muslim Indonesia agar bisa meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka. Kesimpulan dari tulisan ini adalah menjelaskan bahwa Buya Hamka tidak merasa gengsinya akan jatuh dengan sikapnya yang moderat, justru dengan sikap itulah Buya Hamka merasa yakin atas kebenaran yang dipegangnya. Strory tulisan ini ingin memberikan kisah keteladanan Buya Hamka dalam melaksanakan dakwah Islam dengan ikhlas dan benar sesuai sumber yang terpercaya yaitu berasal dari ajaran Rasulullah saw. dan tidak mendahulukan kepentingan pribadi apalagi kepentingan duniawi sampai akhir hayatnya. 3 Struktur Mikro a Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari permintaan staf kantor perdana menteri Malaysia yang meminta kepada beliau untuk mencarikan salah satu murid Buya Humka untuk menyapaikan pemikiran moderat Buya Hamka. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menampilkan latar belakang penulisan dengan jelas, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik pemikiran moderat almarhum Buya Hamka. Ceramah itu akan disampaikan dalam pertemuan berkala Institut Wasatiyyah Malaysia 96 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 86 IWM yang dijadwalkan pada bulan Juni 2014 mendatang. Dan melalui bantuan seorang kawan, akhirnya kami mendapatkan murid Buya Hamka yang dimaksud. Kami kemudian ternostalgia dengan kiprah keislaman Buya Hamka yang patut diteladani oleh tokoh dan umat Islam Indonesia. ” 97 Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan prinsip Buya Hamka dalam berdakwah. Terlihat dalam kutipan berikut: “Buya Hamka bukanlah tipologi seorang yang disebut ulama “ulama” alias “usia lanjut makin ambisi”, namun beliau lebih berprinsip pada penegakan yang hak sesuai tuntutan al- Qur‟an dan Hadis. Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan berpegang kepada prinsip al- Qur‟an dan Hadis.” 98 Praanggapan dalam tulisan ini terlihat dalam kutipan berikut: “Sikap dan perilaku Buya Hamka ini barangkali sulit ditemukan di negeri kita ini. Umumnya, orang justru mempertahankan jabatannya mati-matian. Seandainya ada tokoh yang mundur dari jabatannya, itu pun karena dia berambisi untuk mendapatkan jabatan lain yang lebih tinggi tingkatannya.” 99 “Bandingkan dengan ustaz-ustaz bawahan yang apabila memiliki pendapat, mereka pertahankan mati-matian pendapat itu kendati bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw.” 100 b Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Buya Hamka juga melakukan sebuah kejutan besar.” 101 “Semoga Allah swt. menerima amal ibadah Buya Hamka.” 102 Juga menggunakan awalan ber-, dan imbuhan me- -kan, dalam kalimat berikut: 97 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 98 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 99 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 100 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 101 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 102 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 116.