Level Teks Judul: Memberdayakan Imam Masjid

91 maka ICIM berkantor pusat di Pekanbaru, Provinsi Riau. Deklarasi pembentukan ICIM yang tertuang dalam Piagam Pekanbaru ditandantangani oleh wakil-wakil dari 12 negara peserta, yaitu Malaysia, Kuwait, Palestina, Perancis, Irak, Sinegal, Singapura, Afrika Selatan, Tunisia, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Indonesia. Sebagai ketua ICIM terpilih wakil dari Kuwait, sementara Indonesia diamanati menjadi Sekretaris Jenderal. Beberapa negara yang siap hadir namun berhalangan adalah Mesir, Rusia, Jepang, dan Australia.” 114 Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan peran Imam Masjid dalam berdakwah. Terlihat dalam kutipan berikut: “Di banyak negara, peran imam masjid juga lebih dominan karena ia tidak hanya mengimami shalat berjamah tetapi juga menjadi khatib, baik untuk Shalat Jumat, Hari Raya, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, konferensi, baik IPIM maupun ICIM, menyepakati untuk meningkatkan kualitas sumber daya imam masjid sehingga imam masjid tidak menjadi sebatas seorang tukang yang menjalankan tugas menjadi imam, tetapi juga menjadi pembina umat sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Maka imam masjid haruslah seorang yang memiliki kreatifitas dan inovatif dalam membina umat. Imam masjid juga bukan sebatas memimpin shalat berjamaah, tetapi juga memimpin masyarakat.” 115 Praanggapan dalam tulisan ini terlihat dalam kutipan berikut: “Di sisi lain, peran yang demikian penting bagi imam, tentu tidak dapat terlaksana secara maksimal manakala imam harus juga sibuk memikirkan asap dapur.” 116 b Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat pasif dengan awalan di-, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Karenanya, dalam konferensi pertama IPIM kemarin, muncul wacana bahwa seyogianya imam masjid diangkat oleh pejabat tinggi negara. Untuk mesjid negara, imam masjid diangkat oleh Presiden; untuk masjid raya tingkat provinsi, imam masjid diangkat oleh Gubernur; untuk masjid agung tingkat kabupatenkota, imam masjid 114 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 117. 115 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 116 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 92 diangkat oleh BupatiWalikota; untuk masjid jami‟ tingkat kecamatan, imam masjid diangkat oleh Camat; dan untuk masjid tingkat desa, imam masjid diangkat oleh Kepala Desa .” 117 Juga menggunakan imbuhan meng- -i, dalam kalimat berikut: “Di banyak negara, peran imam masjid juga lebih dominan karena ia tidak hanya mengimami shalat berjamah. ” 118 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Di banyak negara, peran imam masjid juga lebih dominan karena ia tidak hanya mengimami shalat berjamah tetapi juga menjadi khatib, baik untuk Shalat Jumat, Hari Raya, dan lain- lain.” 119 Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan hubungan kausal di dalamnya, yaitu menjelaskan bahwa imam masjid memiliki peran yang dominan dalam berdakwah karena ia tidak hanya mengimami salat berjamaah tetapi juga sering berinteraksi dengan masyarakat. Kata ganti dalam tulisan ini adalah: “Apabila imam memiliki kapasitas ilmiah yang memadai, maka diharapkan ia dapat mencerahkan umat .” 120 Kata „ia‟ dalam kalimat ini digunakan untuk menjelaskan imam yang memiliki kapasitas ilmiah yang memadai. c Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Dalam konteks inilah beberapa negara, seperti Saudi Arabia misalnya, imam masjid menjadi sebuah icon pemimpin umat, sebut 117 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118-119. 118 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 119 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 120 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 119. 93 saja misalnya imam-imam Masjid al-Haram di Makkah dan imam Masjid Nabawi di Madinah .” 121 “sehingga dengan demikian imam memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah munculnya faham-faham radikalisme, apatisme , liberalisme, dan faham- faham sesat lainnya.” 122 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata icon untuk menjelaskan seorang figure dan tokoh. Kemudian menggunakan kata radikalisme untuk menjelaskan sebuah paham ekstrem atau keras. Juga menggunakan kata apatisme untuk menjelaskan paham yang acuh tak peduli terhadap sesuatu. Lalu menggunakan kata liberalisme untuk menjelaskan paham yang selalu ingin bebas dan mendambakan kebebasan mutlak. d Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora berupa idiom disampaikan seperti kalimat di bawah ini: “Di sisi lain, peran yang demikian penting bagi imam, tentu tidak dapat terlaksana secara maksimal manakala imam harus juga sibuk memikirkan asap dapur .” 123 Juga menggunakan bentuk grafis dalam kalimat berikut: “Konferensi imam masjid yang pertama se-Dunia ini kemudian melahirkan organisasi imam masjid internasional yang disebut al- Majlis al- „Alami li „Aimmat al-Masajid atau ICIM International Council of Imam Masjid. ” 124

B. Analisis Wacana Berdasarkan Kognisi Sosial

Penelitian mengenai kognisi sosial ini menyangkut kesadaran mental penulis dalam membentuk teks tersebut. Pendekatan ini berdasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh si 121 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 122 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 119. 123 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 124 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 117. 94 pemakai bahasa, dengan kata lain, teks merupakan representasi dari si penulis. 125 Oleh karena itu dibutuhkan penelitian terhadap representasi kognisi dan strategi beliau dalam memproduksi teksnya. Buku Setan Berkalung Surban ini, merupakan salah satu karya yang mencerminkan kepribadian beliau sebagai Ulama yang kritis dalam menegakkan kebenaran sesuai ajaran agama Islam yang diperintahkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. 126 Kehidupan beliau sebagai Ulama Besar di dunia, membuat beliau memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah sosial umat Islam se-Dunia, terkhusus di Indonesia sebagai tanah kelahiran beliau. Tugas mulianya ini pun, membuat beliau sangat produktif dalam membuat karya-karya bertema Islam, yang isinya kebanyakan membahas tentang fenomena sosial yang muncul di Indonesia. Setiap Tulisan beliau dalam buku ini, didasarkan pada analisis yang mendalam tentang pengetahuan agama Islam yang murni sesuai dengan Al- Qur‟an dan Hadis, yang juga tetap menggunakan pendekatan disiplin ilmu pengetahuan lainnya. 127 Tulisan dalam buku ini seolah wujud dari adonan pengetahuan yang beliau racik, yang terdiri dari bahan ilmu pengetahuan agama Islam, ilmu pengetahuan umum, dan fenomena sosial. Sehingga memberi kesan bahwa beliau mampu merangkum berbagai disiplin ilmu dan berbagai fenomana lintas sektor kehidupan. Adapun representasi kognisi dari setiap tulisan ialah sebagai berikut, judul pertama “Setan Berkalung Surban” memuat banyak sekali nilai-nilai 125 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 74. 126 Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015. 127 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah Darus- Sunnah, Jakarta, 11 Mei 2015. 95 Islam di dalamnya yang beliau hubungkan dengan fenomena sosial yang ada. Kunci dari tulisan ini adalah sebuah kisah dari sebuah hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang menceritakan tentang kisah Abu Hurairah dengan Rasulullah saw. yang kemudian dihubungkan dengan fenomena yang ada di muslim Indonesia tentang para dai yang hanya bermodal surban untuk berdakwah yang mengedepankan hawa nafsu dan rayuan setan belaka. Dengan demikian, terlihatlah keabsahan representasi kognisi beliau dalam tulisan ini, karena dilandaskan dengan dalil yang kuat. J udul kedua “Surban dan Jubah Haram” memuat nilai-nilai Islam juga memuat nilai-nilai sosial dan budaya di dalamnya yang beliau hubungkan dengan fenomena sosial yang ada. Kunci dari tulisan ini adalah sebuah hadis riwayat Imam Ibnu Majah yang menjelaskan keharaman memakai baju syuhrah. Juga menjelaskan tentang bagaimana seharusnya seorang warga sebuah Negara bersikap dan berpakaian sesuai dengan budaya masing-masing, bukan justru membanggakan budaya lain apalagi sampai mengagungkan budaya itu. Kemudian dihubungkan tentang fenomena warga dan dai di Indonesia yang terkesan mengagungkan pakaian jubah dan menganggapnya sebagai syariat Islam, yang padahal pakaian itu adalah budaya dari pakaian Arab dan bukan merupakan syariat Islam. Dengan demikian terlihatlah kekayaan representasi kognisi beliau dalam tulisan ini. Judul ketiga “Dai Berbulu Musang” memuat banyak nilai Islam di dalamnya yang membahas tentang hukum memasang tarif dalam berdakwah menurut kajian fikih. Kunci dalam tulisan ini adalah ketiga kajian fikih tentang hukum memasang tarif dalam dakwah. Penjelasan beliau tentang hukum 96 memasang tarif dalam tulisan ini sangat menggambarkan kekuatan representasi kognisi beliau yang dalam akan kajian fikih yang berdasarkan pada Al-Quran dan Hadis. Judul keempat “Dai-dai Sesat” memuat banyak nilai Islam yang membahas tentang hukum dai yang meminta tarif. Tulisan dalam judul ini sangat menunjukkan representasi kognisi beliau yang Istiqamah dalam menjelaskan hukum dai yang memasang tarif, dengan hukum haram. Kunci ini adalah Qs. Yasin ayat 21. Secara implisit atau mafhum mukhalafah dari ayat ini melarang umat Islam untuk mengikuti dai yang memasang tarif kalau tidak disebut haram. Judul kelima “Kode Etik Dakwah” memuat banyak nilai Islam di dalamnya yang membahas tentang tujuh kode etik bagi seorang dai yang disahkan oleh Musyawarah Nasional Munas Organisasi Ittihadul Muballighin pada tahun 1996. Kunci dalam tulisan ini adalah ketujuh kode etik dakwah tersebut, di mana semuanya berdasarkan pada Al- Qur‟an dan Hadis. Sehingga terlihatlah kredibilitas kognisi pemikiran beliau dalam menyampaikan tulisan ini, karena makna teks dalam tulisan ini dibuat dari perkumpulan resmi para dai se-Nasional yang berlandaskan pada Al- Qur‟an dan Hadis. Judul keenam “Dakwah dan Kearifan Lokal” memuat banyak nilai Islam dan nilai budaya di dalamnya. Kunci tulisan ini adalah kata „budaya‟ yang beliau kaitkan dengan fenomena yang ada di masyarakat juga sesuai dengan ajaran Islam. Di mana beliau menjelaskan dalam tulisan ini, bahwa kiat sukses dalam berdakwah itu harus menggunakan pendekatan budaya yang dimiliki