Level Teks Judul: Setan Berkalung Surban

52 3 Struktur Mikro a Segi Semantik Semantik adalah studi linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. 6 Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari Abu Hurairah yang diamanati untuk menjaga zakat Ramadhan yaitu di Bait al-Mal. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menceritakan secara naratif tentang kejadian yang dialami Abu Hurairah selama 3 hari untuk menjaga harta zakat dari awal sampai akhir. Berikut detail dalam tulisan ini: “Abu Hurairah ra. bercerita, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menugaskan saya untuk menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan. Tiba-tiba datanglah seseorang melihat- lihat makanan dan langsung mengambilnya. Dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.” Orang itu menjawab: „Saya orang yang sudah berkeluarga dan sangat membutuhkan makanan untuk keluarga saya.” Mendengar itu saya pun melepaskannya. Ketika pagi tiba, Rasulullah bertanya: “Wahai Abu Hurairah apa yang dilakukan oleh orang yang kamu tangkap tadi malam?” Saya menjawab: “Wahai Rasulullah, orang itu mengadukan kesusahan keluarganya dan dia memohon harta zakat saat itu juga, lalu saya bebaskan.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Dia telah mengelabui kamu wahai Abu Hurairah dan nanti malam dia akan kembali lagi”. Dari sabda Nabi ini, saya tahu bahwa dia akan kembali lagi. Malam harinya saya mengawasinya secara teliti dan ternyata betul apa yang disampaikan Rasulullah, ia telah berada di ruang harta zakat sambil memilih-milih harta zakat yang terkumpul lalu ia mengambilnya. Melihat itu, dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.” Orang itu menjawab: “Saya betul-betul sangat membutuhkan makanan itu sekarang, keluarga saya kini sedang menunggu sambil menahan lapar. Saya berjanji tidak akan kembali lagi esok hari”. Mendengar itu, saya merasa kasihan dan akhirnya saya lepaskan kembali. Keesokan harinya Rasulullah bertanya kembali: “Apa yang dilakukan oleh orang yang kamu tangkap tadi malam, wahai Abu Hurairah?” Saya menjawab: “Orang kemarin datang kembali dan mengambil harta zakat. Karena keluarganya sudah lama kelaparan, akhirnya 6 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, cet. Ke-3, h. 2. 53 saya melepaskannya”. Mendengar itu, Rasulullah bersabda: “Dia telah membohongi kamu dan nanti malam ia akan kembali untuk yang ketiga kalinya”. Malamnya ternyata orang itu kembali lagi dan seperti biasa dia mengambil harta zakat yang sudah terkumpul di dalam gudang. Melihat itu, dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah. Bukankah kamu kemarin berjanji tidak akan kembali lagi tapi mengapa kini kembali juga?” Orang itu menjawab: “Ijinkanlah. Saya akan ajarkan kepada kamu sebuah kalimat yang apabila kamu membacanya Allah akan selalu menjaga kamu serta kamu tidak akan disentuh dan didekati oleh setan hingga pagi hari. Saya merasa tertarik dengan ucapannya lalu saya menanyakan kalimat apa itu. Dia menjawab: “Apabila kamu hendak tidur, jangan lupa membaca ayat Kursi, maka Allah akan menjaga kamu dan kamu t idak akan didekati oleh setan sehingga pagi tiba”. Para Sahabat Nabi saw. memang suka dengan amalan-amalan. Keesokan harinya Rasulullah kembali menanyakan apa yang telah saya lakukan tadi malam dan saya katakan: “Ya Rasulullah, dia mengajarkan saya kalima t yang sangat bermanfaat dan berfaidah.” Rasulullah lalu bertanya kembali: “Kalimat apa yang diajarkannya?” Saya menjawab, “Dia mengajarkan ayat Kursi dari awal sampai akhir dan dia katakan bahwa kalau saya membacanya sebelum tidur, maka Allah akan menjaga saya sampai pagi hari.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Yang dia sampaikan itu betul namun dia sudah berhasil mengelabui kamu dengan mengambil harta zakat. Tahukah kamu siapa orang yang mendatangi kamu tiga malam itu?” Saya menjawab: “Tidak, saya tidak tahu”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan.”HR. Al-Bukhari” 7 Sedangkan maksud dalam tulisan ini menjelaskan jika ibadah bukan karena Allah swt., maka ibadah itu untuk setan, disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Ketika sebuah ibadah dilakukan tidak dalam rangka menjalankan perintah Allah dan atau Rasul-Nya, apalagi dalam rangka memenuhi keinginan selera alias hawa nafsu yang dibisiki oleh setan, maka di sinilah ibadah itu bukan untuk Allah tetapi untuk setan. ” 8 Praanggapan tulisan ini berada dalam kutipan berikut: “Di sinilah, banyak orang terkecoh dengan penampilan setan. Apabila yang digoda seorang yang senang beribadah, setan tidak akan menyuruhnya untuk bermain judi, mencuri, korupsi, dan sebagainya, 7 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 92-94. 8 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 54 tetapi setan menyerunya untuk melakukan perbuatan yang lahiriahnya adalah sebuah ibadah.” 9 b Sintaksis Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antar kata dalam tuturan atau kalimat. 10 Maksudnya adalah bagaimana sebuah kata atau kalimat disusun menjadi kesatuan yang memilki arti. Elemen yang diamati dalam sintaksis adalah bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti. Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dan kalimat pasif awalan di- dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Pertama, bahwa setan dapat menjelma menjadi manusia. Kedua, dalam rangka mengecoh dan mencari korban, setan dapat menjelma menjadi seorang ustaz atau ustazah dengan segala atribut dan nasehat-nasehatnya. ” 11 “Untung, Abu Hurairah diberitahu Nabi saw. bahwa wiridan tersebut adalah benar. ” 12 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „tetapi‟ yang bermakna pengingkaran, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Di sinilah, banyak orang terkecoh dengan penampilan setan. Apabila yang digoda seorang yang senang beribadah, setan tidak akan menyuruhnya untuk bermain judi, mencuri, korupsi, dan sebagainya, tetapi setan menyerunya untuk melakukan perbuatan yang lahiriahnya adalah sebuah ibadah. Ketika sebuah ibadah dilakukan tidak dalam rangka menjalankan perintah Allah dan atau Rasul-Nya, apalagi dalam rangka memenuhi keinginan selera alias hawa nafsu yang dibisik oleh setan, maka di sinilah ibadah itu bukan untuk Allah tetapi untuk setan. ” 13 9 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 10 W. M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, Jogjakarta: Universitas Gajah Mada Press, 2001 cet. Ke-3, h. 161. 11 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 12 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 13 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 55 Kata „tetapi‟ yang pertama berfungsi untuk menjelaskan situasi orang yang beriman dan suka beribadah justru akan digoda dengan sesuatu yang lahirnya adalah ibadah akan tetapi hakikatnya mengikuti setan. Sedangkan pemahaman yang beredar adalah bahwa setan akan menggoda seseorang yang beriman dengan sesuatu yang mungkar atau buruk. Kemudian kata „tetapi‟ yang kedua berfungsi untuk menjelaskan seorang dai yang berdakwah bukan karena Allah, maka dakwahnya itu tidak lain adalah untuk mengikuti kehendak setan. Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Yang dia sampaikan itu betul namun dia sudah berhasil mengelabui kamu dengan mengambil harta zakat. Tahukah kamu siapa orang yang mendatangi kamu tiga malam itu?” Saya menjawab: “Tidak, saya tidak tahu”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan.” 14 Penggunaan kata „dia‟ dalam kalimat ini menggambarkan ketidaksukaan Rasul saw. terhadap apa yang dilakukan setan. Sedangkan kata „kamu‟ dalam kalimat ini menggambarkan kedekatan Rasul saw. dengan Abu Hurairah. “Hadis ini juga memberikan peringatan kepada kita agar hati- hati menghadapi rayuan setan karena boleh jadi setan betina tampil dengan jilbab dan busana muslimah dan setan jantan tampil dengan berkalung surban. ” 15 Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan demikian pembaca dapat menerima dengan mudah ajakan beliau. 14 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 93-94. 15 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 56 c Segi Stilistik Stilistik adalah cara yang digunakan beliau untuk menyatakan maksud melalui pilihan kata yang digunakan. Seperti terdapat dalam kutipan berikut: “Untung, Abu Hurairah diberitahu Nabi saw. bahwa wiridan tersebut adalah benar, sehingga ia mengamalkannya bukan karena mengikuti perintah setan tapi mengikuti perintah Nabi saw. ” 16 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata wiridan untuk menjelaskan ayat kursi yang dimaksud di dalam ceritanya. d Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan bentuk ekspresi berupa peringatan tentang gangguan setan dan metafora dalam bentuk kiasan tentang setan, untuk menyampaikan pesannya kepada pembaca. Hal ini terlihat dari kutipan: “Hadis ini juga memberikan peringatan kepada kita agar hati-hati menghadapi rayuan setan karena boleh jadi setan betina tampil dengan jilbab dan busana muslimah dan setan jantan tampil dengan berkalung surban. ” 17

2. Judul: Surban dan Jubah Haram

a. Level Teks

1 Struktur Makro a Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan tentang hukum pakaian syuhrah yaitu pakaian 16 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 17 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 57 yang dipakai karena ingin tenar atau dikenal orang lain, dalam hal ini ingin dikenal sebagai seorang dai atau kiai. 18 2 Superstruktur a Segi Skematik Tulisan ini berjudul “Surban dan Jubah Haram”. Pendahuluan tulisan ini diawali dengan sebuah hadis sebagai berikut: َي ٌْ اًراٍَ ُِيِف َبَّ ْ َأ لىُث ،ِثَياَيِقْها َمَْْي مثلهَذَي َبَْْث ُها َُُسَبْهَأ اَيْنُدا ِِ مةَرُّْش َبَْْث َسِبَه هاور ُجاي ٌةا 19 “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar dalam api neraka. HR. Ibnu Majah ” 20 Pendahuluan dalam tulisan ini menyampaikan sebuah hadis yang mengharamkan memakai pakaian syuhrah. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut: “Menurut para Ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri di mana pemakainya tinggal. Disebut pakaian syuhrah popularitas, karena pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal oleh orang- orang. Pakaian syuhrah adakalanya berebda dari pakaian umumnya penduduk suatu negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena terlalu buruk. Ketika pakaian itu berbeda dari yang lain karena terlalu bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari yang lain sehingga kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum‟ah, dan lain sebagainya. Ketika pakaian itu berbeda karena sangat lebih buruk dari pakaian orang-orang pada umumnya, maka pemakainya ingin disebut sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan lain sebagainya. ” 21 Tulisan ini ditutup dengan ajakan kepada kita untuk berpenampilan sesuai apa yang ada di budaya kita sendiri. Kesimpulan 18 Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. 19 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Mesir: Dar ibn Haytsam, 2005, juz 4, h. 84. 20 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 21 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95. 58 dari tulisan ini adalah menegaskan keharaman memakai pakaian syuhrah sesuai yang telah disepakati oleh para Ulama dan menganjurkan memakai pakaian sesuai budaya masing-masing seperti yang dicontohkan oleh Rasul saw. Story tulisan ini adalah memberikan penjelasan kepada orang- orang bahwa memakai pakian syuhrah adalah haram hukumnya, karena berbeda dari adat pemakainya berada dan terdapat niat yang buruk dalam memakainya, seperti ria, somobong, dan bahkan ingin dianggap zuhud. Dalam hal ini larangan bagi para dai untuk menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, karena ingin dikenal sebagai dai. 3 Struktur Mikro a Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari sebuah hadis yang melarang memakai pakaian syuhrah, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Detail tulisan ini sangat bagus, karena beliau menjelaskan secara naratif tentang hukum memakai pakaian syuhrah, dari mulai mendatangkan hadisnya, menjelaskan maknanya, sampai menyimpulkannya, yang terdapat dalam kutipan berikut: “Dalam kitab Sunan Ibn Majah, ada Hadis bahwa Rasulullah saw. mengatakan: اًراٍَ ُِيِف َبَّ ْ َأ لىُث ،ِثَياَيِقْها َمَْْي مثلهَذَي َبَْْث ُها َُُسَبْهَأ اَيْنُدا ِِ مةَرُّْش َبَْْث َسِبَه ٌَْي هاور ُجاي ٌةا 59 “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar di api neraka.” HR. Ibnu Majah Menurut para Ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri di mana pemakainya tinggal. Disebut pakaian syuhrah popularitas karena pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal oleh orang- orang. Pakaian syuhrah adakalanya berbeda dari pakaian umumnya penduduk suatu negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena terlalu buruk. Ketika pakaian itu berbeda dari yang lain karena terlalu bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari orang-orang pada umumnya. Akibatnya, dia merasa berbeda dari yang lain sehingga kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum ‟ah, dan lain sebagainya. Ketika pakaian itu berbeda karena sangat lebih buruk dari pakaian orang-orang pada umumnya, maka pemakainya ingin disebut sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan lain sebagainya. Berdasarkan Hadis ini, para Ulama sepakat bahwa pakaian syuhrah adalah haram dikenakan. Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan jubah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu. Pada abad lalu, surban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian Ulama . KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy‟ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai surban. Maka pada masa itu, surban sudah menjadi tradisi para Ulama. Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban. Dasarnya adalah mengikuti tradisi adat dan tradisi dapat menjadi hukum, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Memang, dalam Hadis yang sahih, Nabi saw. memakai surban karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan surban. Maka, surban penutup kepala dengan dua sampai tiga ubel-ubel adalah tradisi bangsa Arab pada saat itu. Orang Islam dan orang musyrikin juga sama-sama memakai surban. ” 22 Maksud dalam tulisan ini ialah menerangkan hukum pakaian syuhrah dalam konteks Indonesia, yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan jubbah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah, karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu. Pada abad lalu, surban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian Ulama. KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy‟ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai 22 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95-96.