Level Teks Judul: Surban dan Jubah Haram

59 “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar di api neraka.” HR. Ibnu Majah Menurut para Ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri di mana pemakainya tinggal. Disebut pakaian syuhrah popularitas karena pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal oleh orang- orang. Pakaian syuhrah adakalanya berbeda dari pakaian umumnya penduduk suatu negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena terlalu buruk. Ketika pakaian itu berbeda dari yang lain karena terlalu bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari orang-orang pada umumnya. Akibatnya, dia merasa berbeda dari yang lain sehingga kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum ‟ah, dan lain sebagainya. Ketika pakaian itu berbeda karena sangat lebih buruk dari pakaian orang-orang pada umumnya, maka pemakainya ingin disebut sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan lain sebagainya. Berdasarkan Hadis ini, para Ulama sepakat bahwa pakaian syuhrah adalah haram dikenakan. Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan jubah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu. Pada abad lalu, surban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian Ulama . KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy‟ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai surban. Maka pada masa itu, surban sudah menjadi tradisi para Ulama. Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban. Dasarnya adalah mengikuti tradisi adat dan tradisi dapat menjadi hukum, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Memang, dalam Hadis yang sahih, Nabi saw. memakai surban karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan surban. Maka, surban penutup kepala dengan dua sampai tiga ubel-ubel adalah tradisi bangsa Arab pada saat itu. Orang Islam dan orang musyrikin juga sama-sama memakai surban. ” 22 Maksud dalam tulisan ini ialah menerangkan hukum pakaian syuhrah dalam konteks Indonesia, yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan jubbah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah, karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu. Pada abad lalu, surban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian Ulama. KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy‟ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai 22 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95-96. 60 surban. Maka pada masa itu, surban menjadi tradisi para Ulama. Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban. Dasarnya adalah mengikuti tradisi adat dan tradisi dapat menjadi hukum, sepanjang tidak bertentangan dalam syariat Islam. ” 23 Praanggapan dalam tulisan ini ialah menghukumi penampilan syuhrah sama dengan hukum pakaian syuhrah, yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Melihat makna hadis di atas, tampaknya bukan hanya pakaian syuhrah saja yang dilarang oleh Nabi saw., tetapi juga penampilan syuhrah .” 24 b Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Berdasarkan hadis ini, para Ulama sepakat pakaian syuhrah adalah haram dikenakan. ” 25 Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Para Ulama papan atas dari Saudi Arabia seperti, Mufti Besar Syeikh Bin Baz rahimahullah, Mufti Besar masa kini Syeikh Abdul Aziz Alu al-Syaikh, Syeikh Shaleh bin Muhammad al- „Utsaimin, dan lain-lain, semuanya sepakat bahwa memakai surban bukan merupakan ibadah. Tidak sunah apalagi wajib, namun hanya mengikuti tradisi bangsa Arab pada saat itu. Hal itu dikarenakan tidak ada satu hadis pun yang shahih yang menerangkan keutamaan memakai surban. Semua hadis tentang keutamaan memakai surban adalah hadis-hadis palsu. ” 26 Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan hubungan kausal sebab akibat, yaitu menjelaskan tidak adanya satu 23 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 24 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. 25 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95. 26 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 61 hadis pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan memakai surban, sehingga memakai surban tidaklah mengandung ibadah sunah apalagi wajib. Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Apabila masyarakat di mana kita tinggal tidak memelihara rambut panjang dan tidak memakai belangkon, maka berambut panjang dan memakai belangkon juga dilarang oleh Rasulullah saw. Di antara kita terkadang karena ketidaktahuannya menganggap pakaian yang dipakai adalah sebuah ibadah, sunah, dan mengikuti Nabi saw. padahal pakaian seperti itu justru dilarang oleh Rasulullah saw. ” 27 Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan demikian pembaca dapat menerima dengan mudah penjelasan beliau. c Segi Stilistik Stilistik terdapat dalam kutipan berikut: “Menurut para ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk Negeri di mana pemakainya tinggal. ” 28 “Memang, dalam hadis yang shahih, Nabi saw. memakai surban karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan surban. ” 29 Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata „syuhrah‟ unuk menjelaskan pakaian yang digunakan untuk dikenal orang lain atau pakaian yang berbeda dari budaya si pemakainya. Sedangkan kata „surban‟ untuk menjelaskan pakaian yang menjadi adat Arab yaitu penutup kepala dari kain yang dibelitkan. 27 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 97. 28 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95. 29 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 62 d Segi Retoris Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora dalam bentuk ungkapan sehari-hari seperti pada kalimat berikut: “Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban.” 30 Juga menggunakan grafis pada arti dari hadis seperti dalam kutipan berikut: “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar dalam api neraka. HR. Ibnu Majah ” 31 “Perbedaan antara surban kita dari surban orang musyrikin adalah memakai kopiah lebih dahulu.HR. Imam Abu Dawud dan Al- Tirmidzi ” 32

3. Judul: Dai Berbulu Musang

a. Level Teks

1 Struktur Makro a Segi Tematik Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya adalah menjelaskan tentang hukum dai yang bertarif menurut kajian fikih. 33 2 Superstruktur a Segi Skematik Tulisan ini berjudul “Dai Berbulu Musang.” Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut: “Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran 30 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 31 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 32 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 33 Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau, Jakarta, 18 Mei 2015. 63 nasional berjudul Dai Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang perilaku kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia sampaikan.” 34 Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan tulisan Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim dalam koran nasional. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut: “Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballighin, sebuah organisasi para dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH. Syukron Ma‟mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah Nasional Munas ke-4, yang dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta yang terdiri dari para Ulama dan dai seluruh Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik dakwah itu, dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi objek dakwah. ” 35 Tulisan ini ditutup dengan wasiat dan nasihat kepada para dai, agar menjadi orang yang memecahkan masalah umat, bukan menambah masalah umat dengan memasang tarif tinggi ketika di undang berdakwah oleh umat. Kesimpulan dari tulisan ini menjelaskan semakin maraknya fenomena dai yang bertarif. Story tulisan ini memberikan pandangan kepada orang-orang bahwa zaman sekarang ini sedang marak muncul fenomena dai bertarif yang menyusahkan masyarakat sebagai objek dakwah mereka. Seharusnya dai itu adalah orang yang menenangkan masyarakat dengan nasihat-nasihatnya, bukan malah meresahkan mereka dengan tarifnya. Sudah seharusnya para dai kembali bertaubat untuk tidak memasang tarif lagi dalam dakwahnya, jika pun nanti diberi hadiah 34 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 35 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 64 atau bahkan uang oleh masyarakat yang mengundang, hal itu tidak mengapa asalkan tidak ada perjanjian dari awalnya. 3 Struktur Mikro a Segi Semantik Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari tulisan Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim tahun 1980-an dan Musyawarah Nasional ke-4 tanggal 25-28 Juni 1996 yang menjelaskan fenomena dai bertarif. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menceritakan secara naratif tentang tulisan Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim tahun 1980-an dan hasil Musyawarah Nasional ke-4, juga tentang hukum dai bertarif, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang perilaku kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia sampaikan. Sebagai sebuah nasehat, semoga Allah swt telah memberikan pahala kepada beliau. Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah daripada sekedar dai berbulu musang, karena muncul oknum dai yang berani memungut imbalan bahkan pasang tarif dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut dai walakedu jual ayat kejar duit. Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballigin, sebuah organisasi para dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH. Syukron Ma‟mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah Nasional Munas ke-4, yang dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta yang terdiri dari para Ulama dan dai seluruh Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik dakwah itu, dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi objek dakwah. Apa yang dirumuskan oleh Munas Ittihadul Muballigin itu mendapat apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu Bapak Dr. H. Tarmizi Taher. Kendati demikian, fenomena dai berbulu musang maupun dai yang memungut imbalan tidaklah surut jumlahnya, bahkan belakangan 65 jauh lebih parah, karena berkembangnya dai-dai yang memasang tarif dalam berdakwah. ” 36 Maksud dalam tulisan ini ialah menjelaskan hukum dai bertarif, yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Masyarakat juga banyak yang bertanya kepada kami, apa hukumnya memasang tarif dalam berdakwah dan memberikan uang sebesar itu kepada dari bertarif. Dalam kajian fikih memang ada tiga pendapat yang berkembang: pertama, pendapat yang mengharamkannya secara mutlak, baik ada perjanjian sebelumnya maupun tidak. Pendapat ini memiliki dalil-dalil yang kuat, baik dari Al- Qur‟an maupun Hadis. Pendapat kedua, yang membolehkan berdakwah dengan memungut imbalan. ” “Sementara pendapat ketiga, dan inilah yang diambil oleh Munas ke-4 Ittihadul Muballigin tahun 1996 adalah pendapat yang mengatakan bahwa apabila ada perjanjian sebelumnya, bahwa seorang dai akan menerima upah dalam dakwahnya, maka hal itu tidak dibolehkan. Sedangkan apabila tidak ada perjanjian apa-apa kemudian dai diberi uang saku maka hal itu dibolehkan.” 37 Praanggapan dalam tulisan ini ialah menyamakan kewajiban dakwah dengan salat dan puasa, yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut: “Dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya salat dan puasa, kendati ia tidak menjadi rukun Islam.” 38 b Sintaksis Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang. ” 39 “Banyak masyarakat yang gagal untuk mendatangkan seorang dai. ” 40 36 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98-99. 37 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 38 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. 39 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 40 Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99.