dimana cap menyimpang menghasilkan suatu peran sosial yang menyimpang juga. Artinya dengan adanya cap yang dilekatkan pada diri seseorang maka ia
yang telah diberi cap cenderung mengembangkan konsep diri yang menyimpang disebut juga sebagai proses reorganisasi psikologis dan kemungkinan berakibat
pada suatu karier yang menyimpang. Proses terjadinya penyimpangan sekunder membutuhkan waktu yang panjang dan tidak kentara.
2.3 Habitus dan Lingkungan habit and field
Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang
diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan
mereka dan juga menilainya. Secara dialektika habitus adalah produk internalisasi dunia sosial. Kita sebenarnya dapat membayangkan habitus sebagai struktur sosial
yang diinternalisasikan yang diwujudkan. Habitus mencerminkan pembagian objek dalam struktur kelas seperti menurut umur, jenis kelamin, kelompok, dan
kelas sosial. Habitus diperoleh dari akibat lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Jadi habitus akan berbeda-beda, tergantung pada wujud posisi seseorang
dalam kehidupan sosial. Karena tidak setiap orang sama kebiasaannya, orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial cenderung mempunyai
kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif. Habitus memungkinkan orang memahami dunia sosial, tetapi dengan
adanya banyak habitus berarti kehidupan sosial dan strukturnya tak dapat
dipaksakan seragam kepada seluruh aktor. George Ritzer Douglas J. Goodman, 2010: 522
Habitus sering dipahami sebagai hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak selalu harus disadari dan kemudian diterjemahkan menjadi
suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah, serta berkembang dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Habitus sangat menentukan keberhasilan persaingan di
arena sosial. Habitus merupakan hasil keterampilan yag menjadi tindakan praktis tidak harus selalu disadari yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu
kemampuan yang keliahatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Konsep habitus menunjukkan bahwa keterampilan seseorang
dalam menjawab tantangan dikondisikan oleh lingkungannya dan dipengaruhi oleh rutinitas tindakannya Haryatmoko, 2010 : 164
Tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Di satu pihak, habitus diciptakan melalui praktik tindakan; di pihak lain, habitus adalah
hasil tindakan yang diciptakan kehidupan sosial. Bourdieu mengungkapkan fungsi perantara tindakan ketika ia mendefinisikan habitus sebagai sistem yang tertata
dan menata kecenderungan yang ditimbulkan oleh tindakan dan terus-menerus tertuju pada fungsi praktis. Sementara tindakan cenderung membentuk habitus,
pada gilirannya berfungsi sebagai penyatu dan menghasilkan praktiktindakan. Menurut Bourdieu Ritzer, 2010 : 524 habitus semata-mata mengusulkan
apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk dilakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan
mendalam berdasarkan kesadaran, meski pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dengan prinsip
itu aktor membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam kehidupan sosial. Seperti dinyatakan Bourdieu dan Wacquant, “orang tidaklah
bodoh”. Namun, orang juga tak rasional sepenuhnya Bourdieu dengan pernyataannya ini melecehkan teori pilihan rasional. Aktor bertindak menurut
cara yang masuk akal reasonable. Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk apa orang bertindak, dan itulah logika tindakan.
Habitus berfungsi di bawah tingkat kesadaran dan bahasa, di luar jangkauan pengamatan dan pengendalian oleh kemauan. Meski kita tak menyadari
habitus dan cara bekerjanya, namun ia mewujudkan dirinya sendiri dalam aktivitas kita yang sangat praktis seperti cara kita makan, berbicara, bahkan dalam
cara berteman. Kebiasaan atau habitus ini berperan sebagai struktur, tetapi orang tidak memberikan tanggapan terhadapnya atau terhadap struktur eksternal yang
mempengaruhi secara mekanis. Jadi, dalam pendekatan Bourdieu kita menghindari keekstreman sesuatu yang baru yang tak teramalkan dan
determinisme total. Lingkungan field menurut Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang
struktural. Lingkungan adalah jaringan hubungan antarposisi objektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan
individu. Lingkungan bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubjektif antara individu. Penghuni posisi mungkin agen individual atau
lembaga, dan penghuni posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan. Bourdieu melihat lingkungan sebagai sebuah arena pertarungan: “lingkungan adalah juga
lingkungan perjuangan”. Struktur lingkunganlah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu secara individual
dan kolektif yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip perjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk
mereka sendiri. Bourdieu menyusun tiga langkah proses untuk menganalisis lingkungan. Langah pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan
politik untuk menemukan hubungan setiap khusus dengan lingkungan politik. Langkah kedua menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi
di dalam lingkungan tertentu. Ketiga, analisis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.
George Ritzer Douglas J. Goodman, 2010: 524-525 Penghuni posisi dalam lingkungan menggunakan berbagai strategi.
Gagasan ini sekali lagi menunjukkan bahwa, menurut Bourdieu, aktor mempunyai derajat kebebasan tertentu: “Habitus tak meniadakan peluang untuk membuat
perhitungan strategis di pihak agen. Tetapi, strategi tak mengacu pada “tujuan dan rencana untuk mengejar tujuan yang sudah diperhitungkan tetapi mengacu pada
perkembangan aktif garis tindakan yang diarahkan secara objektif yang menaati aturan dan membentuk pola yang koheren dan secara sosial dapat dipahami,
meskipun tak mengikuti aturan yang ditetapkan secara sadar atau tertuju pada tujuan yang diterapkan sebelumnya oleh seorang penyusun strategi. Melalui
strategi itulah penghuni posisi itu berupaya secara individual atau kolektif melindungi atau meningkatkan posisi mereka dan berupaya memaksakan prinsip
perjenjangan yang paling menguntungkan terhadap produk mereka sendiri. Strategi agen tergantung pada posisi mereka dalam lingkungan.
Habitus yang mantap hanya terbentuk, hanya berfungsi dan hanya sah dalam sebuah lingkungan, dalam hubungannya dengan suatu lingkungan. Habitus
itu sendiri adalah “lingkungan dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis di mana kekuatannya hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan
tertentu. Inilah yang menyebabkan mengapa habitus yang sama mendapat makna dan nilai yang berlawanan dalam lingkungan yang berlainan, dalam konfigurasi
yang berbeda atau dalam sektor yang berlawanan dari lingkungan yang sama. George Ritzer Douglas J. Goodman, 2010: 528
Habitus juga merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realita, sekaligus juga penghasil praktek-praktek kehidupan yang membentuk dan
menyesuaikan diri dengan struktur-struktur obyektif. Dua hal ini sama sekali tidak bisa dipisahkan. Kepribadian seseorang didasarkan pada habitusnya.
Pembentukan dan berfungsinya habitus dapat dibayangkan sebagai sebuah lingkaran, yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Di satu sisi, habitus sangat
memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku manusia, disisi lain, perkembangan dan lahirnya habitus menyandarkan dirinya pada improvisasi
struktur maupun aturan yang sudah ada. Dengan demikian, di dalam habitus, ada dua gerak timbal balik, yakni pertama adalah struktur obyektif yang dibatinkan,
kedua adalah gerakan subyektif, seperti persepsi orang, evaluasi, yang menyingkapkan hasil dari pembatinan. Dalam konteks inilah proses sosialisasi
dapat lebih jelas dipahami. Habitus disini mengandaikan seluruh proses pembatinan, dimana dengan cara itu, setiap individu membuka dan melatih diri
dalam hubungan-hubungan sosial, nilai-nilai serta keyakinan masyarakat dimana dia hidup.
2.4 Modernitas dan Identitas Pada Masyarakat Beresiko