Berangkat dari kondisi latar belakang seperti yang telah diuraikan, peneliti tertarik melakukan kajian sosiologis untuk dijadikan sebuah skripsi dengan judul
“Disharmonis Antar Penghuni Pada Rumah Susun Sederhana Sewa RUSUNAWA di Kota Tebing Tinggi”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka peneliti membuat rumusan masalah berdasarkan fokus penelitian. Adapun yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana ketidakharmonisan antar penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa RUSUNAWA di Kota Tebing Tinggi ?
2. Bagaimana ketidakharmonisan antar penghuni dan pengelola Rumah
Susun Sederhana Sewa RUSUNAWA di Kota Tebing Tinggi ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui ketidakharmonisan antar penghuni Rumah Susun
Sederhana Sewa RUSUNAWA di Kota Tebing Tinggi. 2.
Untuk mengetahui ketidakharmonisan antar penghuni dan pengelola Rumah Susun Sederhana Sewa RUSUNAWA di Kota Tebing Tinggi.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah wawasan kajian ilmiah yang berkaitan dengan interaksi sosial sosial antar penghuni
rumah susun sederhana sewa RUSUNAWA di Kota Tebing Tinggi serta dapat memberikan data pendukung bagi kajian ilmu pengetahuan sosial
khususnya dalam sosiologi perkotaan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk memahami permasalahan-permasalahan sosiologis yang muncul di masyarakat dan
diharapkan menjadi referensi penunjang bagi instansi-instansi terkait perihal pengambilan kebijakan oleh pemerintah dalam penanganan
masalah yang timbul sebagai dampak dari perkembangan kota.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Interaksi Sosial
Dalam kehidupan bersama, antar individu satu dengan individu lainnya terjadi hubungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui
hubungan itu individu ingin menyampaikan maksud, tujuan dan keinginannya masing-masing. Gillin Gillin 1954:489 interaksi sosial merupakan hubungan
sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Interaksi terjadi apabila seorang
individu melakukan tindakan, sehingga menimbulkan reaksi dari individu- individu yang lain, karena itu interaksi terjadi dalam suatu kehidupan sosial.
Hubungan-hubungan sosial itu pada awalnya merupakan proses penyesuaian nilai-nilai sosial dalam kehidupan sosial, kemudian meningkat
menjadi semacam pergaulan yang tidak hanya sekedar pertemuan secara fisik, melainkan merupakan pergaulan yang ditandai adanya saling mengerti tentang
maksud dan tujuan masing-masing pihak yang terjadi dalam hubungan sosial tersebut.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, setiap individu terikat dalam struktur- struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya. Setiap struktur sosial mengatur
kedudukan masing-masing individu dalam kaitannya kedudukan-kedudukan dari individu yang lain yang secara keseluruhan memperhatikan corak-corak tertentu
yang berada dari struktur sosial yang lain.
Kebutuhan individu akan individu lain mendorong dirinya untuk belajar pola-pola, rencana-rencana dan strategi untuk bergaul dengan individu yang lain.
Individu pun mulai belajar memainkan peranan sesuai dengan status yang diakui oleh lingkungan sosialnya. Status dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu
status yang diperoleh dengan sendirinya ascribed status dan status yang diperoleh dengan kerja keras atau diusahakan achieved status. Status otomatis
ascribed status merupakan status yang diterima individu secara otomatis sejak individu itu dilahirkan, hal ini bisasanya terjadi karena kedudukan orang tuanya
sebagai orang yang terpandang atau bangsawan. Status disengaja achieved status merupakan status yang dicapai individu melalui usaha-usaha yang disengaja, hal
ini tampak dalam usaha pencapaian cita-cita atau profesi sebagai guru, dokter dan banyak lainnya Sunarto:2000.
Sebagai mahluk sosial manusia membutuhkan individu lain ntuk memenuhi segala kebutuhannya, dari sinilah terbentuk kelompok-kelompok yaitu
suatu kehidupan bersama individu dalam suatu ikatan, dimana dalam suatu ikatan tersebut terdapat interaksi sosial dan ikatan organisasi antar masing-masing
anggotanya Soekanto,2001:128. Dalam proses sosial, interaksi sosial merupakan sarana dalam melakukan hubungan dengan lingkungan sekitarnya.
Ciri-ciri hubungan sosial pada masyarakat khususnya masyarakat kota memiliki hubungan sosial yang longgar, hal ini karena kota merupakan
pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya, selain hubungan sosial yang longgar ciri-ciri
hubungan sosial yang lain adalah solidaritas organik rasa bersatu atas dasar
kontrak atau perjanjian, pembagian kerja komplek, dan sanksi sosial berdasarkan hukum.
Dalam hal ini interaksi menurut pendapat Young Gunawan, 2000:31 adalah kontak timbal balik antara dua orang atau lebih. Sedangkan menurut
psikologi tingkahlaku Behavioristic Psychology, interaksi sosial berisikan saling perangsangan dan pereaksian antara kedua belah pihak individu.
Hubungan sosial masyarakat juga tidak terlepas dari corak hubungan kerjasama, hubungan persaingan, dan corak hubungan konflik. Ketiga corak
hubungan itu akan mewarnai kehidupan masyarakat kota yang cenderung tidak saling mengenal satu dengan yang lain karena kepentingan-kepentingan yang
berbeda. Individu hanya mempunyai hubungan sosial dengan individu-individu
tertentu karena individu tersebut mempunyai kepentingan yang sama. Dalam kehidupan sosial yang terkecil, seorang individu berhubungan sosial antara warga
penghuni rumah susun sederhana sewa di mana ia berada pada lingkungan sosial tersebut. Pada tingkat berikutnya, hubungan sosial diperluas menjadi hubungan
bertetangga yang tinggal berdekatan dengan ruangnya ataupun bersebrangan dengan bangunan yang dihuni. Hubungan bertetangga di kota tidak seintim
hubungan sosial pada masyarakat desa yang cenderung saling mengenal satu dengan yang lain, serta mempunyai rasa bersatu yang biasanya dikuatkan dengan
sentimen-sentimen kelompok. Dalam hal ini, hubungan sosial bertetangga diartikan sebagai kesatuan tempat tinggal yang menempati suatu wilayah tertentu
yang batas-batasnya ditentukan luasnya jaringan sosial di lingkungan tempat tinggal yang berdekatan yang dalam hal ini ialah hunian rumah susun sederhana
sewa. Pola-pola hubungan interaksi sosial yang teratur dapat terbentuk apabila ada tata kelakuan atau perilaku dan hubungan yang sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat. Sistem itu merupakan pranata sosial yang didalamnya terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani serta ada lembaga sosial
yang mengurus pemenuhan kebutuhan masyarakat sehingga interaksi sosial dalam masyarakat dapat berjalan secara teratur. Menurut Bales dan Homans dalam
Santoso 2004:10, pada hakekatnya manusia memiliki sifat yang dapat digolongkan ke dalam :
a. Manusia sebagai makhluk individual, b. Manusia sebagai makhluk sosial, dan
c. Manusia sebagai makhluk berkebutuhan. Menurut Kimbal Young dan Raymond dalam Soekanto 1970:192
mengatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena itu tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama.
Bertemunya orang perorang secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru
akan terjadi apabila orang-orang, perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerjasama, saling berbicara dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan
bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan lain sebagainya. Selanjutnya dalam penelitian skripsi ini yang dimaksud dengan interaksi
sosial adalah suatu proses hubungan sosial yang dinamis baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok manusia sehingga terjadi hubungan yang timbal
balik antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lain agar terjadi perubahan di dalam lingkungan masyarakat.
2.1.1 Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Interaksi Sosial
Dalam interaksi sosial terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi tersebut, yaitu faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya interaksi tersebut
Santoso, 2004:12. Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial sebagai berikut:
a. Situasi sosial, memberi bentuk tingkah laku terhadap individu yang berada
dalam situasi tersebut. Misalnya, apabila berinteraksi dengan individu lainnya yang sedang dalam keadaan berduka, pola interaksi yang
dilakukan apabila dalam keadaan yang riang atau gembira, dalam hal ini tampak pada tingkah laku individu yang harus dapat menyesuaikan diri
terhadap situasi yang dihadapi, b.
Kekuasaan norma-norma kelompok, sangat berpengaruh terhadap terjadinya interaksi sosial antar individu. Misalnya, individu yang menaati
norma-norma yang ada dalam setiap berinteraksi individu tersebut tak akan pernah berbuat suatu kekacauan, berbeda dengan individu yang tidak
menaati norma-norma yang berlaku, individu itu pasti akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan sosialnya, dan kekuasaan norma itu berlaku
untuk semua individu dalam kehidupan sosialnya. c.
Tujuan pribadi masing-masing individu. Misalnya setiap individu tentunya punya tujuan yang dicapai dalam berinteraksi, seseorang penghuni
melaporkan suatu permasalahan huniannya kepada pihak pengolala dengan tujuan agar masalah cepat teratasi.
d. Setiap individu berinteraksi sesuai dengan kedudukan dan kondisinya yang
bersifat sementara. Pada dasarnya status atau kedudukan yang dimiliki
oleh setiap individu adalah bersifat sementara, misalnya seorang warga yang biasa berinteraksi dengan ketua RT, maka dalam hubungan itu
terlihat adanya jarak antara seorang yang tidak memiliki kedudukan yang menghormati orang yang memiliki kedudukan dalam kelompok sosialnya.
e. Ada penafsiran situasi, dimana setiap situasi mengandung arti bagi setiap
individu sehingga mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi tersebut. Misalnya, apabila ada teman yang terlihat murung atau
suntuk, individu lain harus bisa membaca situasi yang sedang dihadapainya, dan tidak seharusnya individu lain tersebut terlihat bahagia
dan cerita dihadapannya. Bagaimanapun individu harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dengan keadaan yang sedang dihadapi dan berusaha
untuk membantu menafsirkan situasi yang tak diharapkan menjadi situasi yang diharapkan.
2.1.2 Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah bentuk utama dari proses sosial, yaitu pengaruh timbal-balik antara berbagai bidang kehidupan bersama. Menurut Soekanto
2001:76-107 interaksi sosial merupakan bentuk yang tampak apabila orang saling mengadakan hubungan, baik secara individu maupun secara kelompok.
Bentuk interaksi sosial memiliki dua jenis yaitu: interaksi sosial yang bersifat asosiatif dan interaksi sosial yang bersifat disosiatif.
Interaksi sosial asosiatif merupakan hubungan yang bersifat positif, artinya hubungan ini dapat mempererat atau memperkuat jalinan atau solidaritas
kelompok sedangkan interaksi sosial disosiatif merupakan hubungan yang bersifat
negatif, artinya hubungan ini dapat merenggangkan atau menggoyahkan jalinan atau solidaritas kelompok yang telah terbangun. Adapun bentuk-bentuk interaksi
sosial yang sifatnya asosiatif meliputi: kerja sama cooperation, akomodasi accomodation, asimilasi assimilition, dan akulturasi acculturation. Bentuk
interaksi yang sifatnya disosiatif meliputi: persaingan competition, kontravensi contravention dan pertentangan conflict.
Beberapa bentuk interaksi sosial asosiatif meliputi : 1.
Kerjasama cooperation Kerjasama adalah suatu usaha bersama antar individu atau kelompok
untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama timbul apabila seseorang menyadari memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, serta menyadari bahwa hal tersebut
bermanfaat bagi dirinya atau orang lain. Kerja sama timbul karena orientasi individu terhadap kelompoknya in group dan orientasi individu terhadap
kelompok lainnya out group.
2. Akomodasi accomodation
Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses Young dan Raymond,
1959:146. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan equilibrium dalam interaksi antara orang perorangan atau
kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi
menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kesetabilan.
3. Asimilasi Assimilition
Asimilasi merupakan bentuk proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan di antara orang-orang atau
kelompok manusia. Mereka tidak lagi merasa sebagai kelompok yang berbeda sebab mereka lebih mengutamakan kepentingan dan tujuan yang akan dicapai
bersama. Bila kedua kelompok masyarakat telah mengadakan asimilasi, batas antara kedua kelompok masyarakat itu dapat hilang dan keduanya berbaur
menjadi satu kelompok.
4. Akulturasi acculturation
Akulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila terjadi percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi. Dalam
akulturasi, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, sebagian berusaha menolak pengaruh itu.
Beberapa bentuk interaksi sosial disosiatif meliputi : 1.
Persaingan competition Persaingan adalah suatu perjuangan struggle dari pihak-pihak untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu ciri dari persaingan adalah perjuangan menyingkirkan pihak lawan itu dilakukan secara damai atau secara fair Play,
artinya selalu menjunjung tinggi batas-batas yang diharuskan. Persaingan dapat terjadi dalam segala bidang kehidupan, misalnya bidang ekonomi, bidang
kekuasaan, bidang percintaan, dan sebagainya. Persaingan dalam mana meliputi
beberapa pihak yang melakukan persaingan, pihak-pihak yang berkompetisi bersaing disebut saingan rivalry Taneko 1990:121.
2. Kontravensi contravention
Kontravensi berasal dari kata Latin, conta dan venire, yang berarti menghalangi atau menantang. Dalam kontravensi dikandung usaha untuk
merintangi pihak lain mencapai tujuan. Yang diutamakan dalam kontravensi adalah menggagalkan tercapainya tujuan pihak lain. Hal ini didasari oleh rasa
tidak senang karena keberhasilan pihak lain yang dirasakan merugikan, walaupun demikian tidak terdapat maksud untuk menghancurkan pihak lain. Narwoko dan
Suyanto 2010:70.
3. Pertentangan atau Pertikaian conflict
Konflik adalah suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman
kekerasan Narwoko dan Suyanto, 2010:68. Konflik terjadi karena adanya perbedaan pendapat, perasaan individu, kebudayaan, kepentingan, baik
kepentingan individu maupun kelompok, dan terjadi perubahan-perubahan sosial yang cepat yang menimbulkan disorganisasi sosial. Perbedaan-perbedaan ini akan
memuncak menjadi pertentangan karena keinginan-keinginan individu tidak dapat diakomodasikan.
Berbagai macam bentuk interaksi ini sering terjadi dalam lingkungan masyarakat, sehingga di dalam berinteraksi terdapat kerjasama, persaingan
ataupun pertikaian. Dengan demikian aktivitas sosial itu terjadi karena adanya aktivitas dari individu dalam hubungannya dengan individu yang lain.
2.2 Konsep Perilaku Menyimpangan Dalam Masyarakat
Fenomena perilaku menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat memang menarik untuk dibicarakan. Perilaku menyimpang itu adalah perilaku dari para
warga masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Secara sederhana kita memang dapat mengatakan,
bahwa seseorang berperilaku menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat minimal disuatu kelompok atau komunitas tertentu perilaku
atau tindakan tersebut diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai atau norma sosial yang berlaku.Narwoko, 2010:98
Tindakan menyimpang yang dilakukan orang-orang tidak selalu berupa tindak kejahatan besar, seperti merampok, korupsi, menganiaya atau membunuh.
Melainkan bisa pula cuma berupa tindakan pelanggaran kecil-kecilan, semacam berkelahi dengan teman, suka meludah disembarang tempat, makan dengan
tangan kiri dan sebagainya. Secara umum yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang antara lain
adalah : 1.
Tindakan nonconform yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang ada. Contohnya, membuang sampah tidak pada
tempatnya, warga RuSuNaWa yang menempati hunian dilantai atas membuang sampah sembarangan ke lantai bawah tempat dimana penghuni
lain tinggal.
2. Tindakan anti sosial atau asosial yaitu tindakan yang melawan kebiasaan
masyarakat atau kepentingan umum. Bentuknya seperti menarik diri dari pergaulan sekitar lingkungan warga RuSuNaWa.
3. Tindakan-tindakan kriminal yaitu tindakan yang nyata-nyata telah
melanggar aturan-aturan hukum tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain. Contohnya, pencurian yang terjadi di lingkungan
hunian RuSuNaWa. Meskipun secara nyata kita dapat menyebtkan berbagai bentuk perilaku
menyimpang, namun mendefenisiskan arti perilaku menyimpang itu sendiri merupakan hal yang sulit karena kesepakatan umum tentang itu berbeda-beda
diantara berbagai kelompok masyarakat. Hal lain yang menyebabkan perilaku menyimpang bersifat relatif adalah karena perilaku menyimpang itu juga
dianggap seperti gaya hidup, kebiasaan-kebiasaan, fashion ayau mode yang dapat berubah dari zaman ke zaman. Pada masa lalu jika ada lelaki atau perempuan
yang memasuki usia 25 tahun tetapi belum bersedia menikah dianggap sebagai jejaka atau perawan tua yang dapat membawa aib keluarga. Tetapi, pada masa
kini usia 25 tahun adalah masa yang menyenangkan untuk kuliah, berteman, mengeksplorasi kehidupan dan mengembangkan karir.
Kualitas tindakan menyimpang yang dilakukan seorang dapat dikategorikan berdasarkan rangkaian pengalamannya dalam melakukan tindakan
tersebut. Jenis penyimpangan semacam itu disebut dengan primary deviance penyimpangan primer. Penyimpangan jenis ini dialami oleh seseorang mana
kala ia belum memiliki konsep sebagai penyimpangan atau tidak menyadari jika perilakunya menyimpang. Bentuk penyimpangan primer ini biasanya dialami oleh
seseorang yang tidak menyadari bahwa perilakunya dapat menjurus kearah penyimpangan yang lebih berat. Penyimpangan yang lebih berat akan terjadi
apabila seseorang sudah sampai pada tahap secondary deviance penyimpangan sekunder. Suatu tindakan menyimpang yang berkembang ketika perilaku dari si
penyimpang itu mendapat penguatan reinforcement melalui keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang juga menyimpang.
Tindakan menyimpang, baik primer maupun sekunder, tidak terjadi begitu saja tapi berkembang melalui suatu periode waktu dan juga sebagai hasil dari
serangkaian tahapan interaksi yang melibatkan interpretasi tentang kesempatan untuk bertindak menyimpang. Pemahaman tentang bagaimana seseorang atau
sekelompok orang dapat berperilaku menyimpang dapat dipelajari dari berbagai perspektif teoritis, paling tidak ada dua perspektif yang digunakan untuk
memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau kelompok orang berperilaku menyimpang. Pertama adalah perspektif individualistik dan yang
kedua adalah teori-teori sosiologi. Teori individualistik berusaha mencari penjelasan tentang munculny
tindakan menyimpang melalui kondisi yang secara unik mempengaruhi individu. Teori individualistik sebagian besar berdasarkan pada proses-proses yang sifatnya
individual dan mengabaikan proses sosialisasi atau belajar tentang norma-norma sosial yang meyimpang. Perspektif ini juga mengabaikan faktor-faktor kelompok
atau budaya yang dapat melatarbelakangi tindakan menyimpang pada seseorang. Rumpun teori-teori individualistik itu, antara lain adalah :
1. Penjelasan biologis.
2. Penjelasan psikiatri atau model medis.
3. Penjelasan psikoanalisis
4. Penjelasan psikologis
Berbeda dengan halnya dengan teori individualistik, teori-teori yang berperspektif sosiologis tentang penyimpangan berupaya menggali kondisi-
kondisi sosial yang mendasari penyimpangan. Berapa hal yang dianggap bersifat sosiologis dalam memahami tindakan menyimpang, misalnya proses
penyimpangan yang ditetapkan oleh masyarakat, bagaimana faktor-faktor kelompok dan subkultur berpengaruh terhadap terjadinya perilaku menyimpang
pada seseorang dan reaksi-reaksi apa yang diberikan oleh masyarakat pada orang- orang yang dianggap menyimpang dari norma-norma sosialnya.
Secara umum ada dua tipe penjelasan dalam perspektif sosiologis tentang penyimpangan, yaitu struktural dan prosesual. Pada penjelasan yang bersifat
struktural adaah sejumlah asumsi yang mendasarinya. Pertama, penyimpangan dihubungkan dengan kondisi-kondisi strukturak tertentu dalam masyarakat.
Kedua, menjelaskan penyimpangan sebagai suatu proses epidemiologi, yaitu suatu kondisi dimana distribusi atau penyebaran penyimpangan dapat terjadi dalam
waktu dan tempat tertentu, atau dari suatu kelompok ke kelompok lain. Ketiga, menjelaskan bentuk-bentuk tertentu dari penyimpangan sebagai suatu fenomena
yang terjadi diberbagai strata sosial, baik dikelas bawah maupun dikelas atas. Sedangkan pada penjelasan yang bersifat prosesual didasarkan pada :
1. Gambaran tentang proses individu sampai pada tindakan atau perilakunya
yang menyimpang. 2.
Penjelasan tentang sebab-sebab terjadinya tindakan menyimpang yang spesifik disebut sebagai penjelasan bersifat etiologi.
3. Penjelasan tentang bagaimana orang-orang tertentu sampai melakukan
tindakan menyimpang.
2.2.1 Teori Labeling Pemberian Cap
Teori labeling menjelaskan penyimpangan terutama ketika perilaku itu sudah sampai pada tahap penyimpangan sekunder secondary deviance. Definisi
menyimpang dari kaum reaktivis didasarkan pula dari teori labeling ini. Dalam penjelasannya teori labeling juga menggunakan pendekatan interaksionisme yang
tertarik pada konsekuensi-konsekuensi dari interaksi antara si penyimpang dan masyarakat biasa Konvensional. Narwoko, 2010:114
Menurut para ahli teori labeling, mendefinisikan penyimpangan merupakan suatu yang bersifat relatif dan bahkan mungkin juga membingungkan.
Karena untuk memahami apa yang dimaksud sebagai suatu tindakan menyimpang harus diuji melalui reaksi orang lain. Oleh karena itu Becker, salah seorang
pencetus teori labeling dalam Clinard Meier, 1989:92 mendefinisikan penyimpangan sebagai “suatu konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan
sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar”. Dimensi penting dari penyimpangan adalah pada adanya reaksi masyarakat, bukan pada kualiatas dari
tindakan itu sendiri. Atau dengan kata lain, penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau sanksi dari penonton sosialnya.
Konsekuensi dari pemberian label tersebut, terutama oleh aparat atau alat- alat negara polisi, jaksa, hakim mungkin akan berakibat serius pada tindakan
penyimpangan yang lebih lanjut. Inilah yang membedakan bentuk penyimpangan primer primary deviance dengan penyimpangan sekunder secondary deviance,
dimana cap menyimpang menghasilkan suatu peran sosial yang menyimpang juga. Artinya dengan adanya cap yang dilekatkan pada diri seseorang maka ia
yang telah diberi cap cenderung mengembangkan konsep diri yang menyimpang disebut juga sebagai proses reorganisasi psikologis dan kemungkinan berakibat
pada suatu karier yang menyimpang. Proses terjadinya penyimpangan sekunder membutuhkan waktu yang panjang dan tidak kentara.
2.3 Habitus dan Lingkungan habit and field
Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang
diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan
mereka dan juga menilainya. Secara dialektika habitus adalah produk internalisasi dunia sosial. Kita sebenarnya dapat membayangkan habitus sebagai struktur sosial
yang diinternalisasikan yang diwujudkan. Habitus mencerminkan pembagian objek dalam struktur kelas seperti menurut umur, jenis kelamin, kelompok, dan
kelas sosial. Habitus diperoleh dari akibat lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Jadi habitus akan berbeda-beda, tergantung pada wujud posisi seseorang
dalam kehidupan sosial. Karena tidak setiap orang sama kebiasaannya, orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial cenderung mempunyai
kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif. Habitus memungkinkan orang memahami dunia sosial, tetapi dengan
adanya banyak habitus berarti kehidupan sosial dan strukturnya tak dapat
dipaksakan seragam kepada seluruh aktor. George Ritzer Douglas J. Goodman, 2010: 522
Habitus sering dipahami sebagai hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak selalu harus disadari dan kemudian diterjemahkan menjadi
suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah, serta berkembang dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Habitus sangat menentukan keberhasilan persaingan di
arena sosial. Habitus merupakan hasil keterampilan yag menjadi tindakan praktis tidak harus selalu disadari yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu
kemampuan yang keliahatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Konsep habitus menunjukkan bahwa keterampilan seseorang
dalam menjawab tantangan dikondisikan oleh lingkungannya dan dipengaruhi oleh rutinitas tindakannya Haryatmoko, 2010 : 164
Tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Di satu pihak, habitus diciptakan melalui praktik tindakan; di pihak lain, habitus adalah
hasil tindakan yang diciptakan kehidupan sosial. Bourdieu mengungkapkan fungsi perantara tindakan ketika ia mendefinisikan habitus sebagai sistem yang tertata
dan menata kecenderungan yang ditimbulkan oleh tindakan dan terus-menerus tertuju pada fungsi praktis. Sementara tindakan cenderung membentuk habitus,
pada gilirannya berfungsi sebagai penyatu dan menghasilkan praktiktindakan. Menurut Bourdieu Ritzer, 2010 : 524 habitus semata-mata mengusulkan
apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk dilakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan
mendalam berdasarkan kesadaran, meski pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dengan prinsip
itu aktor membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam kehidupan sosial. Seperti dinyatakan Bourdieu dan Wacquant, “orang tidaklah
bodoh”. Namun, orang juga tak rasional sepenuhnya Bourdieu dengan pernyataannya ini melecehkan teori pilihan rasional. Aktor bertindak menurut
cara yang masuk akal reasonable. Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk apa orang bertindak, dan itulah logika tindakan.
Habitus berfungsi di bawah tingkat kesadaran dan bahasa, di luar jangkauan pengamatan dan pengendalian oleh kemauan. Meski kita tak menyadari
habitus dan cara bekerjanya, namun ia mewujudkan dirinya sendiri dalam aktivitas kita yang sangat praktis seperti cara kita makan, berbicara, bahkan dalam
cara berteman. Kebiasaan atau habitus ini berperan sebagai struktur, tetapi orang tidak memberikan tanggapan terhadapnya atau terhadap struktur eksternal yang
mempengaruhi secara mekanis. Jadi, dalam pendekatan Bourdieu kita menghindari keekstreman sesuatu yang baru yang tak teramalkan dan
determinisme total. Lingkungan field menurut Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang
struktural. Lingkungan adalah jaringan hubungan antarposisi objektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan
individu. Lingkungan bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubjektif antara individu. Penghuni posisi mungkin agen individual atau
lembaga, dan penghuni posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan. Bourdieu melihat lingkungan sebagai sebuah arena pertarungan: “lingkungan adalah juga
lingkungan perjuangan”. Struktur lingkunganlah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu secara individual
dan kolektif yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip perjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk
mereka sendiri. Bourdieu menyusun tiga langkah proses untuk menganalisis lingkungan. Langah pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan
politik untuk menemukan hubungan setiap khusus dengan lingkungan politik. Langkah kedua menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi
di dalam lingkungan tertentu. Ketiga, analisis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.
George Ritzer Douglas J. Goodman, 2010: 524-525 Penghuni posisi dalam lingkungan menggunakan berbagai strategi.
Gagasan ini sekali lagi menunjukkan bahwa, menurut Bourdieu, aktor mempunyai derajat kebebasan tertentu: “Habitus tak meniadakan peluang untuk membuat
perhitungan strategis di pihak agen. Tetapi, strategi tak mengacu pada “tujuan dan rencana untuk mengejar tujuan yang sudah diperhitungkan tetapi mengacu pada
perkembangan aktif garis tindakan yang diarahkan secara objektif yang menaati aturan dan membentuk pola yang koheren dan secara sosial dapat dipahami,
meskipun tak mengikuti aturan yang ditetapkan secara sadar atau tertuju pada tujuan yang diterapkan sebelumnya oleh seorang penyusun strategi. Melalui
strategi itulah penghuni posisi itu berupaya secara individual atau kolektif melindungi atau meningkatkan posisi mereka dan berupaya memaksakan prinsip
perjenjangan yang paling menguntungkan terhadap produk mereka sendiri. Strategi agen tergantung pada posisi mereka dalam lingkungan.
Habitus yang mantap hanya terbentuk, hanya berfungsi dan hanya sah dalam sebuah lingkungan, dalam hubungannya dengan suatu lingkungan. Habitus
itu sendiri adalah “lingkungan dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis di mana kekuatannya hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan
tertentu. Inilah yang menyebabkan mengapa habitus yang sama mendapat makna dan nilai yang berlawanan dalam lingkungan yang berlainan, dalam konfigurasi
yang berbeda atau dalam sektor yang berlawanan dari lingkungan yang sama. George Ritzer Douglas J. Goodman, 2010: 528
Habitus juga merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realita, sekaligus juga penghasil praktek-praktek kehidupan yang membentuk dan
menyesuaikan diri dengan struktur-struktur obyektif. Dua hal ini sama sekali tidak bisa dipisahkan. Kepribadian seseorang didasarkan pada habitusnya.
Pembentukan dan berfungsinya habitus dapat dibayangkan sebagai sebuah lingkaran, yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Di satu sisi, habitus sangat
memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku manusia, disisi lain, perkembangan dan lahirnya habitus menyandarkan dirinya pada improvisasi
struktur maupun aturan yang sudah ada. Dengan demikian, di dalam habitus, ada dua gerak timbal balik, yakni pertama adalah struktur obyektif yang dibatinkan,
kedua adalah gerakan subyektif, seperti persepsi orang, evaluasi, yang menyingkapkan hasil dari pembatinan. Dalam konteks inilah proses sosialisasi
dapat lebih jelas dipahami. Habitus disini mengandaikan seluruh proses pembatinan, dimana dengan cara itu, setiap individu membuka dan melatih diri
dalam hubungan-hubungan sosial, nilai-nilai serta keyakinan masyarakat dimana dia hidup.
2.4 Modernitas dan Identitas Pada Masyarakat Beresiko