Hubungan Imunisasi dengan Resiko ISPA pada Balita

91 yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA. Menurut Catiyas 2012 balita yang tidak mendapat ASI Eksklusif memiliki resiko 2 kali lebih besar untuk menderita ISPA daripada balita yang mendapatkan ASI Eksklusif. ASI eksklusif penting karena dapat membantu daya tahan tubuh balita, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan ASI Eksklusif pada masyarakat. Sebagian besar Ibu yang menjadi responden mengatakan bahwa tidak memberikan ASI Eksklusif kepada balitanya dan belum memahami arti dari ASI Eksklusif. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk menambah cakupan ASI Eksklusif di Desa Citeureup dengan cara sosialisasi mengenai pengertian, dampak dan manfaat ASI Eksklusif bagi balita. Kemudian cara lainnya dapat dilakukan dengan membuat kelompok peduli ASI Eksklusif pada ibu yang mempunyai balita untuk saling mengingatkan dan diskusi mengenai permasalahan ASI Eksklusif. Dukungan ayah terhadap ASI Eksklusif juga memberikan peran penting terhadap bertambahnya cakupan ASI Eksklusif.

6.3.7. Hubungan Imunisasi dengan Resiko ISPA pada Balita

Imunisasi adalah salah satu cara pencegahan atau intervensi kesehatan yang dapat diterima semua kalangan. Imunisasi dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan angka kematian balita Mbonye, 2004 dalam Sinaga 2012. 92 Balita di Desa Citeureup yang belum mendapatkan imunisasi lengkap adalah sebanyak 30,4 . Alasan balita yang belum diberikan imunisasi secara lengkap adalah pada saat akan diimunisasi tubuh balita sedang tidak sehat. Namun, sebagian besar masyarakat sudah mengetahui pentingnya imunisasi. Dari tabel 5.20 menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap dan mempunyai gejala ISPA adalah 64,3 sedangkan balita yang mendapatkan imunisasi lengkap dan mempunyai gejala ISPA adalah 82,8. Sehingga dapat disimpulkan bahwa balita yang mendapatkan imunisasi secara lengkap maupun tidak lengkap mempunyai gejala ISPA yang tinggi. Namun, peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA karena sebagian besar kematian ISPA, berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Imunisasi lengkap merupakan cara untuk mengurangi faktor yang dapat meningkatkan mortalitas ISPA. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak menjadi lebih berat Agussalim, 2012. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p value 0,093 p- value0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara imunisasi terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sinaga 2012, 93 dimana tidak terdapat hubungan antara imunisasi dengan resiko ISPA. Tidak adanya hubungan antara status imunisasi lengkap dengan resiko ISPA karena imunisasi mempunyai hubungan tidak langsung dengan ISPA. Imunisasi untuk mencegah penyakit ISPA adalah imunisasi campak karena balita dapat mengalami ISPA setelah mendapat penyakit campak. Namun tidak selamanya ISPA didahului oleh penyakit campak. Layuk, 2012. Saat ini sudah tersedia vaksin untuk pneumonia atau ISPA. Penyebab pneumonia atau ISPA yang utama di negara berkembang adalah bakteri Haemophilus influenxzae type b Hib. Vaksin Hib sudah tersedia lebih dari 10 tahun namun penggunaannya masih terbatas dan belum merata. Di beberapa negara vaksinasi Hib sudah masuk dalam program imunisasi nasional, namun di Indonesia belum menjadi program imunisasi nasional. Hal ini mungkin dikarenakan harganya yang relatif mahal dan informasi yang kurang. WHO menganjurkan agar Hib diberikan pada semua anak di negara berkembang. Selain vaksinasi Hib, terdapat juga vaksinasi pneumococcus. Vaksin pneumococcus sudah lama tersedia untuk anak usia diatas 2 tahun. Namun, saat ini vaksin pneumococcus untuk bayi dan anak di bawah 3 tahun sudah tersedia yang dikenal sebagai pneumococcal conjugate vaccineI PCV . Vaksin ini sudah banyak digunakan di negara maju dan menurut penelitian 94 membuktikan bahwa vaksin ini efektif untuk menurunkan kematian pada anak karena pneumonia Kartasasmita, 2010. Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sukmawati 2010 dan Agussalim 2012 dimana dalam penelitian tersebut terdapat hubungan antara status imunisasi dengan resiko ISPA. Menurut Sukmawati 2010 dalam penelitiannya, pemberian imunisasi lengkap menyebabkan perkembangan penyakit ISPA menjadi tidak semakin berat. Sedangkan menurut Agussalim 2012 bayi atau balita yang pernah terkena campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia. Walaupun penelitan ini tidak terdapat hubungan, namun imunisasi merupakan hal yang penting untuk menjaga kekebalan tubuh balita. Balita dapat mendapatkan imunisasi secara mudah melalui posyandu. Puskesmas Citeureup sudah mempunyai jadwal untuk bidan desa yang berkunjung ke posyandu sehingga memudahkan balita untuk mendapatkan imunisasi. Upaya yang dapat dilakukan Puskesmas Citeureup untuk meningkatkan cakupan imunisasi adalah mengingatkan kembali atau penyuluhan mengenai waktu yang tepat untuk imunisasi, sosialisasi mengenai pentingnya imunisasi dan dampaknya jika tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap. 95

6.3.8. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah BBLR dengan Resiko ISPA pada Balita