Pengecualian terhadap kepemilikan tunggal terdapat dalam ketentuan Pasal 7 Ayat 7 UUPT yang mengizinkan perseroan yang sahamnya dimiliki
oleh negara dan perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian LPP, lembaga lain
sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pasar modal untuk didirikan oleh satu orang saja, dan tentu saja prinsip piercing the corporate
veil tidak berlaku di sini.
E. Hak Pemegang Saham Atas Saham Yang Dimilikinya Dalam Hal
Pengalihan Saham Perseroan
Pemegang saham adalah seseorang atau badan hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan. Para pemegang saham adalah
pemilik dari perusahaan tersebut. Konsep pemegang saham adalah sebuah teori bahwa perusahaan yang memiliki tanggung jawab kepada para pemegang
sahamnya dan pemiliknya, dan seharusnya bekerja demi keuntungan perusahaan.
66
66
Sebagai subjek huku pemegang saham memiliki hak dan kewajiban yang timbul atas saham tersebut. Selaku pemegang hak, pemegang saham berhak
mempertahankan haknya terhadap setiap orang. Hak dan kewajiban pemegang saham baik terhadap perseroan maupun terhadap pemegang saham lainnya berada
dalam hubungan perikatan, sebagaimana diatur dalam undang-undang dan anggaran dasar perseroan.
http:id.wikipedia.orgwikiPemegang_saham, diakses pada tanggal 25 Maret 2015 pukul 20.00 WIB.
Pemegang saham diberikan hak khusus tergantung dari jenis saham, yakni dalam hal melakukan penjualan saham dan juga gadai saham. Sehubungan dengan
pengalihan hak atas saham melalui jual beli saham, sudah jelas terdapat suatu perikatan ataupun kesepakatan di antara pemegang saham baik pemegang saham
sebelum dialihkan maupun setelah terjadinya kesepatan untuk mengalihkan saham tersebut. Pemindahan hak atas saham melalui jual beli tunduk ada ketentuan Pasal
1457 KUHPerdata, yakni terdapat persetujuan antara para pihak dan pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan saham tersebut, serta pihak yang lain
untuk membayar harga yang diperjanjikan. Sebagai bentuk perjanjian, maka perjanjian tersebut mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Sehingga
keduanya tunduk pada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, khususnya yang diatur dalam Buku III,
Bab II, Pasal 1313 hingga Pasal 1351 mengenai ketentuan-ketentuan umum pembentukan perjanjian yang melahirkan perikatan bagi salah satu atau lebih
pihak yang membuat perjanjian itu dengan segala akibat hukumnya. Penjualan saham akan menyebabkan terjadinya pemindahan hak atas
saham dari penjual kepada pembeli saham. Pemindahan hak atas saham tersebut harus dilakukan berdasarkan akta pemindahan hak atas saham yang dapat dibuat
dihadapan Notaris atau secara bawah tangan Pasal 56 Ayat 1 UUPT. Para pihak diharuskan untuk menyampaikan akta tersebut atau salinannya secara
tertulis kepada perseroan Pasal 56 Ayat 2 UUPT dan kemudian direksi perseroan berkewajiban untuk melakukan pencatatan mengenai perubahan
susunan pemegang saham yang terjadi akibat pemindahan hak atas saham tersebut
serta memberitahukan pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan HAM Pasal 56 Ayat 3 UUPT. Saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 UUPT kepada pemiliknya.
67
Saham adalah benda bergerak dan karena itu dapat pula digadaikan sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 60 UUPT.
Kepemilikan hak atas saham sebagai benda bergerak memberikan hak kebendaan kepada
pemiliknya.
68
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, berdasarkan ketentuan UUPT, bahwa bentuk saham yang dapat dikeluarkan hanya dalam bentuk saham atas
nama pemiliknya op naam. Hal tersebut membawa konsekuensi pada cara Saham dapat diagunkan dengan gadai
atau dengan jaminan fidusia sepanjang tidak ditentukan lain dalam anggaran dasar. Gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang telah didaftarkan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan wajib dicatat dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 UUPT.
Agunan saham melalui gadai saham dan fidusia saham merupakan kebendaan bergerak dan saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan
fidusia sepanjang tidak ditentukan lain dalam angaran dasar. Hak suara atas saham yang diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia tetap berada pada pemegang
saham. Gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang telah didaftarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib dicatat dalam daftar pemegang saham
saham dan daftar khusus.
67
Hak pemegang saham adalah:a. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS. b. menerima pembayaran dividend an sisa kekayaan hasil likuidasi.c. menjalankan hak lainnya
berdasarkan Undang-Undang ini.
68
Hardijan Rusli, Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm. 79.
terjadinya gadai. Untuk piutang atas nama, terjadinya gadai mewajibkan adanya pemberitahuan kepada debitor dari piutang yang digadaikan.
69
Gadai saham dalam ketentuan perseroan ini, ditentukan bahwa hak suara atas saham yang diagunkan dengan gadai tetap berada pada pemegang sahan
walaupun secara fisik saham tersebut dikuasai oleh penerima gadai, hak suara dalam RUPS tetap merupakan hak dari pihak yang menggadaikan saham tersebut
pemilik saham. Gadai merupakan jaminan yang oleh undang-undang kepada pemegang gadai diberikan kewenangan yaitu hak yang didahulukan pelunasannya
barang tersebut daripada orang-orang yang berpiutang lainnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1150 KUHPerdata. Untuk hak menerima manfaat dari
saham tersebut, seperti hak untuk menerima dividen dan menerima sisa hasil pembagian dalam hal perseroan terbatas dilikuidasi dapat diberikan kepada
penerima gadai berdasarkan perjanjian. Dalam konsep
hukum gadai sebagaimana diatur dalam Bab XX Pasal 1150-1160 KUHPerdata, hak gadai dibuktikan dengan mengalihkan barang yang digadaikan kepada
penerima gadai. Selain pengalihan tersebut, penerima gadai bisa juga menikmati manfaat dan hasil dari barang yang digadaikan.
70
Perjanjian gadai saham merupakan faktor kunci dalam proses penyaluran kredit ke dunia usaha. Apabila debitur gagal membayar kredit failure debtor,
maka perjanjian tersebut adalah pelindung bagi bank bila dikemudian hari akan menjual kembali bagian saham yang dijaminkan tersebut. Digunakannya saham
sebagai jaminan gadai, maka selama debitur belum melunasi hutangnya, saham
69
http:www.hukumperseroanterbatas.com20111103gadai-saham diakse pada tanggal 25 Maret 2015 pukul 21.10 wib.
70
Binoto Nadapdap, Op. Cit., hlm. 68.
tersebut berada dalam kekuasaan debitur, namun segala hak yang timbul dari pemilikan saham tersebut tetap berada pada debitur sebagai pemilik saham.
Saham juga dapat diagunkan dengan fidusia.
71
Dalam fidusia benda yang digunkan tidak perlu diserahkan kepada penerima agunan sehingga pemilik atas
benda yang dijaminkan tersebut dapat menggunakan barang yang diagunkan pemberi fidusia. Namun, ada kewajiban untuk pendafataran jaminan untuk
pendaftaran jaminan fidusia tersebut untuk memberikan kepastian hukum.
72
71
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 42 tahun 1999.
72
Hak untuk mendaftarkan jaminan berdasarkan fidusia wajib didaftarkan berlaku sejak adanya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.
Hak kebendaan atas saham yang difidusiakan tetap ada pada pemberi fidusia pemilik saham tersebut, tetapi harus didaftarkan sebagai benda yang
diagunkan dalam daftar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dicatat dalam daftar saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 UUPT.
BAB III ASPEK HUKUM PENGALIHAN SAHAM PERSEROAN MELALUI
PERJANJIAN JUAL BELI SAHAM A.
Konsep Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
73
Mr. Dr. H.F. Vollmar, di dalam bukunya “Inleiding tot de Studie van het Nederlands Bugerlijk Recht” 1 mengatakan sebagai berikut:
Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara 2 dua orang atau lebih,
yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
74
Hubungan hukum yang menerbitkan perikatan itu, bersumber pada apa yang disebut dengan perjanjian atau sumber lainnya, yaitu undang-undang.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan sumber terpenting
yang melahirkan perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan lahir dari undang-undang dibuat
“Ditinjau dari isinya ternhyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu debitur harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat
dipaksakan terhadap kreditur kalau perlu dengan bantuan hakim”.
73
Subekti, Hukum Perjanjian Bandung: PT. Intermasa, 2001, hlm. 1 Selanjutnya disebut Subekti II.
74
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 1.
tanpa kehendak dari para pihak yang bersangkutan. Jadi, perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah hal yang konkrit atau
merupakan suatu peristiwa. Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Maksudnya yakni bahwa suatu perjanjian adalah suatu
recht handeling, artinya suatu perbuatan yang oleh orang-orang bersangkutan ditujukan agar timbul akibat hukum.
Wirjono Prodjodioro mengatakan bahwa:
75
75
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu Bandung: Sumur, 1981, hlm. 11.
“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak
berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.”
Dengan demikian, perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua orang atau lebih untuk melakukan sesuatu hal tertentu. Perjanjian
merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi. Dalam kaitannya sebagai hukum yang berfungsi melengkapi saja, ketentuan-ketentuan
perjanjian yang terdapat di dalam KUHPerdata akan dikesampingkan apabila dalam suatu perjanjian para pihak telah membuat pengaturanna sendiri.
Pasal 1338 KUHPerdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dimana hal tersebut dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan 4 empat syarat, yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
M.D. Badrulzaman menyatakan bahwa pengertian sepakat dapat dimaknai sebagai berikut: “Pernyataan kehendak yang disetujui di antara pihak
dimana pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran, sedangkan pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan
akseptasi.”
76
76
Mariam Darus Badrulzaman dkk., Op. Cit., hlm. 74.
Pemberian pernyataan kehendak baik pihak yang menawarkan maupun yang menerima penawaran dengan kehendak yang
besar artinya pernyataan itu harus diberikan secara bebas dan sempurna. Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak ada sepakat yang sah
jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Terjadi kehilafan bila satu pihak keliru tentang hal-
hal pokok yang diperjanjikan atau kekeliruan terhadap sifat penting objek perjanjian atau kekeliruan tentang orang dengan siapa dibuatnya perjanjian
itu. Penipuan terjadi jika salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang palsu kemudian disertai tipu muslihat sehingga pihak
yang diajak melakukan perjanjian menjadi terpengaruh untuk memberikan persetujuannya. Karena diancam atau ditakuti secara psikis. Dalam
perkembangannya penyalahgunaan keadaan dapat juga dijadikan alasan yang menyebabkan kesepakatan tidak sempurna atau mengandung cacat
yang mempengaruhi syarat-syarat subjektif perjanjian. Hal demikian terjadi apabila salah satu pihak dalam perjanjian berdasarkan
keunggulannya di bidang ekonomi dan keunggulan di bidang sosial
melakukan tekanan sedemikan rupa, sehingga pihak lain menyetujui perjanjian tersebut.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan untuk melakukan tindakan hukum merupakan kewenangan yang diberikan dan dijamin oleh hukum baik terhadap orang pribadi dan
juga korporasi legal entity sebagai subjek pendukung hak dan kewajiban.
77
c. Suatu hal tertentu
Menurut Pasal 1329 KUHPerdata “setiap orang dinyatakan cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak
dinyatakan tidak cakap.” Selanjutnya yang dinyatakan tidak cakap oleh Pasal 1330 KUHPerdata ditetapkan bagi orang-orang yang belum dewasa,
mereka yang di bawah pengampuan untuk mengurus dirinya sendiri dan harta kekayaannya karena jiwanya dan orang-orang perempuan dalam hal-
hal yang artinya isi perjanjian sendiri yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian.
Yaitu mengandung arti apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban- kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada ditangannya siberhutang pada
waktu perjanjian tersebut dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang, juga jumlahnya tidak perlu disebutkan asal saja kemudian dapat dihitung
atau ditetapkan.
77
Ricardo Simanjntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis Jakarta: Kontan Publishing, 2011, hlm. 196.
d. Suatu sebab yang halal
Suatu “sebab” dikatakan halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan yang dimaksud
dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Dari keempat syarat-syarat sahnya suatu perjajian, syarat pertama dan
kedua yaitu kesepakatan mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian merupakan syarat subjektif dari suatu perjanjian.. Apabila syarat
subyektif dalam suatu perjanjian tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan syarat sahnya perjanjian yang
ketiga dan keempat yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, merupakan syarat objektif dari perjanjian, dan apabila syarat obyektif ini tidak dipenuhi
dalam suatu perjanjian, maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum
Perjanjian baru dapat dikatakan sah jika telah dipenuhi semua ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang tersebut di atas. Pernyataan sepakat
mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif atau syarat mengenai orang yang
melakukan perjanjian, sedangkan tentang suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal digolongkan ke dalam syarat objektif atau benda yang dijadikan objek
perjanjian. Hal-hal tersebut merupakan unsur-unsur penting dalam mengadakan perjanjian.
1. Pengertian Perjanjian Jual-Beli
Perjanjian jual beli merupakan perjanjian yang kerap kali diadakan, yang subjeknya terdiri dari pihak penjual dan pembeli. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, perjanjian jual beli ini diatur pada Buku Ketiga Bab Kelima. Pengertian jual beli dapat dilihat pada bunyi Pasal 1457 KUHPerdata yang
berbunyi: “Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan:
78
Selanjutnya Volmar sebagaimana dikutip oleh Suryodiningrat, mengatakan bahwa:
“jual beli adalah suatu persetujuan dimana suatu pihak mengikatkan diri untuk wajib menyerahkan suatu barang dan pihak lain wajib membayar
harga yang dimufakati mereka berdua
.”
79
Menurut Hukum Adat Indonesia yang dinamakan jual beli, bukanlah persetujuan belaka yang berada di antara keua belah pihak, tetapi adalah suatu
penyerahan barang oleh si penjual kepada si pembeli dengan maksud “Jual-beli adalah pihak yang satu penjual verkopen mengikatkan dirinya
kepada pihak lainnya pembeli loper untuk memindah tangankan suatu benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran dari orang yang
disebut terakhir, sejumlah tertentu, berwujud uang”.
78
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hlm. 17.
79
R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian Bandung: Tarsito, 1996, hlm. 14.
memindahkan hak milik, atas barang itu dengan syarat pembayaran harga tertentu, berupa uang oleh pembeli kepada penjual. Dengan demikian dalam Hukum Adat
setiap hubungan jual beli tidak mengikat kepada asas atau Sistem Obligatoir, atau sistem asas yang lainnya.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa;
80
Cara dan terbentuknya perjanjian jual beli, bisa terjadi secara openbarterbuka, seperti yang terjadi pada penjualan atas dasar Eksekutorial atau
yang disebut executorial verkoop. Penjualan Eksekutorial mesti dilakukan melalui lelang di muka umum oleh pejabat lelang. Akan tetapi cara dan bentuk penjualan
Eksekutorial yang bersifat umum ini, jarang sekali terjadi. Penjualan demikian “Dalam Hukum Adat ada juga persetujuan antara kedua belah pihak yang
berupa mufakat tentang maksud untuk memindahkan hak milik dari tangan penjual ke tangan pembeli dan pembayaran harga pembeli oleh pembeli
kepada penjual, tetapi persetujuan itu hanya bersifat pendahuluan untuk suatu perbuatan hukum tertentu yaitu berupa penyerahan tadi. Selama
penyerahan barang belum terjadi, maka belum ada jual beli, dan pada hakikatnya belum ada mengingat apa-apa bagi kedua belah pihak.”
Perjanjian jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda
dan harga barang tersebut, sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan Pasal 1458 KUHPerdata. Jual beli tiada lain dari persesuaian
kehendak wis overeensteeming antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Barang dan hargalah yang menjadi essensial perjanjian jual beli.
Sebaliknya jika barang objek jual beli tidak dibayar dengan sesuatu harga, jual beli dianggap tidak ada.
80
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hlm. 17.
harus memerlukan keputusan pengadilan. Karena itu jual beli yang terjadi dalam lalu lintas kehidupan masyarakat sehari-hari, adalah jual beli antara tangan ke
tangan, yakni jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa campur tangan pihak resmi, dan tidak perlu di muka umum. Bentuk jual belinya pun
terutama jika objeknya barang-barang bergerak cukup dilakukan dengan lisan. Kecuali mengenai benda-benda tertentu, terutama mengenai objek benda-benda
tidak bergerak pada umumnya, selalu memerlukan bentuk akta jual beli. Tujuan akta ini hanya sekedar mempelajari jual beli itu dengan keperluan enyerahan yang
kadang-kadang memerlukan penyerahan yuridis di samping penyerahan nyata. 2.
Hak dan Kewajiban Dalam Suatu Perjanjian Jual beli Hal-hal yang berhubungan dengan perjanjian jual beli pada dasarnya meliputi
kewajiban-kewajiban pihak penjual maupun pihak pembeli. 2.1
Kewajiban Penjual Tentang kewajiban penjual ini, pengaturannya dimulai dari Pasal 1472
KUHPerdata, yaitu: “Jika pada saat penjualan, barang yang dijual sama sekali telah musnah
maka pembelian adalah batal”. Ketentuan penafsiran yang merugikan penjual ini seolah-olah dengan pembeli
ketentuan umum. Penjual yang dibebani kewajiban untuk menyerahkan barang ditinjau dari segi ketentuan umum hukum perjanjian, adalah berkedudukan
sebagai pihak debitur. Akan tetapi, barangkali rasionya terletak pada hakikat jual beli itu sendiri.
Umumnya pada perjanjian jual beli, pihak penjal selamanya yang mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibanding dengan kedudukan pembeli
yang lebih lemah. Jadi, penafsiran yang membebankan kerugian pada penjual tentang pengertian persetujuan yang kurang jelas atau yang mengandung
pengertian kembar, tidak bertentangan dengan ketertiban umum openbare-orde. Pada Pasal 1473 KUHPerdata tidak menyebutkan hal-hal yang menjadi
kewajiban pihak penjual. Kewajiban pihak penjual secara umum baru dapat dijumpai pada pasal berikutnya, yakni Pasal 1474 KUHPerdata yang
menyebutkan pada pokoknya kewajiban pihak penjual dalam hal perjanjian jual beli menurut pasal tersebut terdiri dari 2 dua, yaitu:
1. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada
pembeli; 2.
Kewajiban penjual memberi pertanggungan atau jaminan vrijwaring, bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkut apapun, baik yang
berupa tuntutan maupun pembedaan. Penyerahan barang dalam jual beli merupakan tindakan pemindahan
barang yang dijual ke dalam kekuasaan dan pemilikan pembeli. Kalau pada penyerahan barang tadi diperlukan penyerahan yuridis Juridische Levering di
samping penyerahan nyata Eitel Jke Levering agar pemilikan pembeli menjadi sempurna, pembeli harus menyelesaikan penyerahan tersebut Pasal 1475
KUHPerdata. Misalnya penjualan rumah dan tanah sebagai benda tidak bergerak. Penjual menyerahkan kepada pembeli, baik secara nyata maupun secara yuridis,
dengan jalan melakukan akte balik nama overschijving dari nama penjual
kepada nama pembeli, umumnya terdapat pada penyerahan benda-benda tidak bergerak.
Lain halnya dengan penyerahan kebendaan bergerak. Penyerahannya sudah cukup sempurna dengan penyerahan nyata saja Pasal 612 KUHPerdata.
Tetapi pada benda bergerak seperti saham atas nama Perseroan, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas
kebendaan itu telah dilimpahkan kepada orang lain Pasal 613 KUHPerdata. Mengenai ongkos penyerahan barang yang dijual, diatur dalam Pasal 1476
KUHperdata yang berbunyi: “biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan
dipikul oleh si pembeli jika tidak telah diperjanjikan sebelumnya: a.
Ongkos penyerahan barang ditanggung oleh si penjual; b.
Biaya untuk datang mengambil barang dipikul oleh si pembeli.” Jika para pihak tidak menentukan tempat penyerahan dalam persetujuan
jual beli, maka penyerahan dilakukan di tempat terletak barang yang dijual pada saat persetujuan jual beli terlaksana. Ketentuan ini terutama jika barang yang
dijual terdiri dari benda tertentu bepaalde zaak. Bagi jual beli barang yang di luar barang-barang tertentu, penyerahan dilakukan menurut ketentuan Pasal 1393
ayat 2 KUHPerdata, penyerahan dilakukan di tempat tinggal kreditur, dalam hal ini di tempat si penjual.
Adapun barang yang diserahkan harus dalam keadaan sebagaimana adanya pada saat persetujuan dilakukan serta mulai saat terjadinya penjualan, segala hasil
yang timbul dari barang, menjadi kepunyaan si pembeli Pasal 1481
KUHPerdata. Itu artinya sejak terjadinya persetujuan jual beli, pembeli berhak atas segala hasil dan buah yang dihasilkan barang sekalipun barang belum
diserahkan kepada pembeli. Hal ini erat sekali hubungannya yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat dibeli
adalah atas tanggung si pembeli. Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya ia sudah dilahirkan
sebagai suatu perjanjian yang sah mengikat atau mempunyai kekuatan hukum pada detik tercapainya sepakat antar penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur
yang pokok essentialia yaitu barang dan harga, biarpun jual beli itu mengenai barang yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal
1458 KUHperdata yang berbunyi, “ jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai kata sepakat tentang barang dan
harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.” 2.2
Kewajiban Pembeli Adapun yang menjadi kewajiban pembeli adalah:
Kewajiban membayar harga Pasal 1513 KUHPerdata yang berbunyi: “Kewajiban utama si pembeli adalah membayar harga pembelian, pada
waktu dan tempat yang sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan.” Kewajiban membayar harga merupakan kewajiban yang paling utama bagi
pihak pembeli. Pembeli harus menyelesaikan pelunasan harga bersamaan dengan penyerahan barang. Jual beli tidak akan ada artinya tanpa pembayaran harga.
Itulah sebabnya Pasal 1513 KUHPerdata sebagai pasal yang menentukan kewajiban pembeli dicantumkan sebagai pasal pertama, yang mengatur kewajiban
pembeli membayar harga barang yang dibeli. Oleh karena itu, sangat beralasan sekali menganggap pembeli yang menolak melakukan pembayaran, berarti ia
telah melakukan “Perbuatan Melawan Hukum” onrechtmatig. 2.2.1
Tempat Pembayaran Tempat dan saat pembayaran pada prinsipna bersamaan dengan tempat
dan saat penyerahan barang. Inilah prinsip umum mengenai tempat dan saat pembayaran. Tentu tempat dan saat pembayaran yang utama harus dilakukan di
tempat dan saat yang telah ditentukan dalam persetujuan. Jika tempat dan saat pembayaran tidak ditentukan dalam perjanjian, barulah dipedomani prinsip umum
di atas, yakni pembeli wajib melakukan pembayaran di tempat dan saat dilakukan penyerahan barang. Atas dasar aturan yang diuraikan, maka dapat dilihat:
a. Pembayaran barang generic harus dilakukan di tempat tinggal pembeli.
Hal ini sesuai dengan ketentuan, bahwa penyerahan atas barang generic dilakukan di tempat tinggalkediaman pembeli.
b. Pembayaran barang-barang tertentu dilakukan di tempat dimana barang
tertentu tadi terletak ataupun di tempat penjual. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1393 KUHPerdata, yang menentukan penyerahan atas
barang-banrang tertentu harus dilakukan di tempat dimana barang tertentu terletak ataupun di tempat kediaman penjual. Pada pasal 1514
KUHPerdata dijelaskan pula mengenai pembayaran harus dilakukan di tempat penyerahan barang, bertujuan agar pembayaran dan penyerahan
barang yang dibeli, terjadi bersamaan dalam waktu yang sama, sehingga
pembayaran dan penyerahan barang terjadi serentak pada tempat dan saat yang sama.
2.2.2 Hak Menunda Pembayaran
Hak menangguhkan menunda pembayaran terjadi sebagai akibat gangguan yang dialami oleh pembeli atas barang yang dibelinya. Hak menunda
sengaja diberikan kepada pembeli demi untuk melindungi kepentingan pembeli atas kesewenangan penjual yang tidak bertanggung jawab atas jaminan barang
yang dijualnya terbebas dari gangguan dan pembebanan. Oleh karena itu, hak menangguhkan pembayaran akibat gangguan baru berakhir sampai ada kepastian
lenyapnya gangguan Pasal 1516 KUHPerdata. Kalau yang mengalami gangguan hanya sebagian saja, maka penyelesaiannya terdapat pada Pasal 1500
KUHPerdata yang berbunyi: “Jika yang harus diserahkan hanya sebagian dari harganya, sedangkan
bagian itu dalam hubungan dengan keseluruhannya adalah sedemikian pentingnya hingga si pembeli seandainya bagian itu tidak ada, takkan membeli barangnya
maka ia dapat meminta pembatalan pembeliannya.” Atas kebijaksanaan mempergunakan analogi Pasal 1500 KUHPerdata
tersebut, maka dengan sendirinya telah dapat diatasi permasalahan penanggulangan pembayaran atas gangguan yang terjadi atas sebagian barang.
Yakni jual beli bisa dilanjutkan dengan jalan menunda pembayaran hanya sekedar harga bahagian barang terganggu, dan selebihnya dapat dilunasi oleh pembeli.
3. Risiko dalam Perjanjian Jual Beli
Jika objek jual beli terdiri dari barang tertentu, maka risiko atas barang berada pada pihak pembeli terhitung sejak saat terjadinya persetujuan pembelian.
Sekalipun penyerahan barang belum terjadi, penjual menuntut pembayaran harga seandainya barang tersebut musnah Pasal 1460 KUHPerdata.
Dari ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata, jual beli mengenai barang tertentu, sekejap setelah penjualan berlangsung, maka risiko telah berpindah
kepada pembeli. Seandainya barang yang hendak di levering lenyap, si pembeli tetap wajib membayar. Hanya saja ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata di atas
adalah hukum yang mengatur, bukan hukum yang memaksa, karenanya ketentuan tersebut dapat dikesampingkan oleh persetujuan.
Adalah lebih baik untuk menetukan risiko dalam jual beli barang tersebut, tetap berada pada pihak penjual selama barang belum diserahkan pada pihak
pembeli. Paling tidak risiko kemusanahan barang tidak menyebabkan pembeli harus membayar harga barang yang musnah. Kurang baik rasanya jika pembeli
dibebani membayar harga barang yang musnah. Bagaimana dapat diterima akal, jika tetap ada kewajiban membayar sesuatu yang telah musnah nilainya. Apalagi
jika ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan Pasal 1237 KUHPerdata yang menentukan sejak terjadinya perjanjian, barang yang hendak
diserahkan menjadi keuntungan bagi pihak kreditur. Jika debitur melakukan kealpaan, maka debitur harus menanggung kealpaan tersebut, terhitung sejak
debitur melakukan tersebut.
Jika objek jual beli terdiri dari barang yang dijual dengan timbangan bilangan atau ukuran, risiko atas barang tetapberada di pihak penjual, sampai pada
saat barang itu ditimbang, diukur, atau dihitung Pasal 1416 KUHPerdata. Akan tetapi jika barang telah dijual dengan tumpukan, maka barang-
barang itu menjadi risiko pihak pembeli, meskipun barang-barang itu belum ditimbang, diukur, atau dihitung Pasal 1462 KUHPerdata.
Memperhatikan ketentuan Pasal 1461 KUHPerdat, risiko beli atas barang- barang nyata tetap berada pada pihak penjual sampai saat barang-barang itu
ditimbang, diukur, atau dihitung. Dengan syarat jika barang nyata tadi dijual tidak dengan tumpukan. Apabila barangnya dijual dengan tumpukan, maka barang
menjadi risiko pembeli, sekalipun belum dilakukan penimbangan, pengukuran, atau perkiraan.
4. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli
Unsur pokok terjadinya jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian dalam KUHPerdata,
perjanjian itu sudah dilahirkan pada dtik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Setelah keua belah pihak setuju atas barang dan harga maka terlahirlah jual
beli yang sah. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata, yang mengatakan:
“ Jual beli sudah dianggap terjadi antara kedua belah pihak setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum
diserahkan maupun harganya belum dibayar.”
Asas konsensualitas menetukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara dua orang atau telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah
satu atau kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atas konsensus, meskipun kesepakatan itu telah
dicapai secara lisan semata-mata.
81
Jual beli tiada lain daripada persesuaian kehendak antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Barang dan harga inilah yang menjadi
essensialia perjanjian jual beli. Sebaliknya, jika barang objek jual beli tidak dibayar dengan sesuatu harga, maka jual beli dianggap tidak sah.
Untuk sahnya perjanjian jual beli haruslah dipenuhi unsur-unsur untuk dapat tercapainya jual beli tersebut. Unsur yang berupa adanya barang, harga, dan
kesepakatan. Selain itu juga tidak dapat dipisahkan dari syarat yang tertera pada Pasal 1320 KUHPerdata.
82
81
Gunawan Widjaja I, Op.Cit., hlm. 263.
82
M. Yahya Harahap I, Op. Cit., hlm. 181.
Sifat penting lainnya dari jual beli menurut KUHPerdata adalah bahwa perjanjian jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru meletakkan hak dan
meletakkan hak menuntut diserahkan hak milik atas barangnya. Penjual berkewajiban menyerahkan hak milik atas barang yang dijalnya, sekaligus
memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujuinya.
Sifat jual beli ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata, yang menyebutkan:
“Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613, dan 616.”
Sifat obligatoir ini mempunyai konsekuensi jika terjadi jual beli atas suatu barang, tetapi belum diserahkan kemudian dijual kembali untuk kedua kalinya
oleh penjual dan dilever kepada si pembeli kedua ini, maka pembeli yang pertama tidak dapat mengatakan bahwa barang itu adalah miliknya tetapi belum dilakukan
penyerahan tegasnya. Dalam perjanjian ini terkandung maksud bahwa selama jangka waktu
tertentu tidak akan menjualnya lagi kepada orang lain, karena ia setiap waktu dapat diminta menyerahkan kembali kepada penjual. Namun kalau si embeli
menjual kepada orang lain serta barangnya adalah barang bergerak maka pembeli kedua ini aman, artinya tidak dapat dituntut untuk menyerahkan barangnya kepada
si penjual pertama. Penjual pertama hanya dapat menuntut ganti rugi kepada si pembeli pertama, lain halnya bila diperjanjikan dalam jual beli itu adalah benda
tidak bergerak untuk membeli kembali barang yang dijual, dapat menggunakan haknya itu kepada seseorang pembeli kedua, meskipun dalam perjanjian jual beli
yang kedua itu tidak disebutkan tentang adanya janji tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1523 KUHPerdata. Ini berarti jika diperjualbelikan itu adalah benda
tidak bergerak, maka janji untuk membeli kembali yang telah diadakan untuk kepentingan si penjual harus ditaati oleh pihak ketiga.
Yang menjadi objek dalam perjanjian jual beli adalah sesuatu yang berwujud benda barang zaak. Bertitik tolak dari pengertian bendabarang ialah
segala sesuatu yang dapat dijadikan objek harta benda atau harta kekayaan. Maka
yang dapat dijadikan objek harta benda atau harta kekayaan. Maka yang dapat dijadikan objek jual beli adalah segala sesuatu yang bernilai harta kekayaan
vermogen. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata, yang menyatakan “hanya barang-barang yang bisa diperniagakan saja yang boleh
dijadikan pokok perjanjian”.
83
B. Asas-Asas Hukum Perjanjian Jual Beli