yang dapat dijadikan objek harta benda atau harta kekayaan. Maka yang dapat dijadikan objek jual beli adalah segala sesuatu yang bernilai harta kekayaan
vermogen. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata, yang menyatakan “hanya barang-barang yang bisa diperniagakan saja yang boleh
dijadikan pokok perjanjian”.
83
B. Asas-Asas Hukum Perjanjian Jual Beli
Di samping benda barang, harga merupakan salah satu essensialia perjanjian jual beli. Harga berarti sesuatu jumlah yang harus dibayarkan dalam
bentuk uang. Pembayaran harga dengan uanglah yang bisa dikategorikan ke dalam jual beli. Harga barang itu harus benar-benar sepadan dengan nilai yang
sesungguhnya. Kesepadanan antara harga dengan barang sangat perlu untukdapat melihat hakikat persetujuan yang dibuat dalam konkreto. Sebab kalau harga
barang yang dijual sangat murah atau sama sekali tidak ada, maka jelas perjanjian yang terjadi bukan merupakan perjanjian jual beli, melainkan hibah.
Suatu asas adalah suatu alam pikiran atau cita-cita ideal yang melatarbelakangi pembentukan norma hukum, yang konkret dan bersifat umum
atau abstrak. Agar supaya asas hukum berlaku dalam praktek maka isi asas hukum itu harus dibentuk yang lebih konkret.
84
83
Ibid., hlm. 182.
84
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 37.
Jika asas hukum telah dirumuskan secara konkret dalam bentuk peraturan norma hukum maka ia sudah dapat diterapkan
secara langsung pada peristiwanya. Sedangkan asas hukum yang belum konkret
dirumuskan dalam ketentuan hukum maka ia belum dapat dipergunakan secara langsung dalam peristiwanya.
85
“Pengertian asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau
merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umu dalam peraturan
konkrit tersebut”. Menurut Sudikno Mertokusumo, yang memberikan penjelasan mengenai asas
hukum sebagai berikut:
86
Begitu pula dalam suatu perjanjian harus diperhatikan beberapa macam asas yang dapat diterapkan, antara lain:
87
1. Asas Konsensualisme
Dalam hukum perjanjian berlaku asas yang dinamakan asas konsensualisme. Perikatan ini berasal dari Bahasa Latin “consensus” yang berarti sepakat. Arti
konsensualisme ialah dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan, mengenai
hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas tertentu, kecuali untuk perjanjian yang memang oleh undang-undang dipersyaratkan suatu formalitas
85
Ibid., hlm. 38.
86
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar Yogyakarta: Liberty, 1986, hlm. 33.
87
R. Subekti I, Op. Cit., hlm. 5.
tertentu. Hal ini berarti selain kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak, perjanjian harus pula diwujudkan dalam bentuk tertulis atau akta.
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan secara tegas, sedangkan
dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dengan istilah “semua”. Kata “semua” menunjukkan setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginan, yang dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
88
2. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk:
89
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem terbuka dalam hukum perjanjian apapun baik yang telah diatur secara khusus
dalam KUHPerdata maupun yang belum diatur dalam KUHPerdata atau peraturan-peraturan lainnya. Sebagai konsekuensi lain dari sistem terbuka
88
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis Bandung: Alumni, 1994, hlm. 42.
89
Salim H.S., Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 9 Selanjutnya disebut Salim H.S. II.
maka hukum perjanjian mempunyai sifat sebagai “hukum pelengkap”. Hal ini berarti bahwa masyarakat selain bebas membuat isi perjanjian apapun,
mereka pada umumnya juga diperbolehkan untuk mengesampingkan atau tidak mempergunakan peraturan-peraturan yang terdapat dalam bagian
khusus Buku III KUHPerdata. Dengan kata lain, para pihak dapat membuat ketentuan-ketentuan yang akan berlaku di antara mereka. Undang-undang
hanya melengkapi saja apabila terdapat hal-hal yang belum diatur di antara mereka.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
90
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang.”
91
90
R. Subekti I, Op. Cit., hlm. 8.
91
Salim H.S. II, Op. Cit., hlm. 10.
Pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata yang menyatakan, “Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu.”
Dari Pasal tersebut di atas terkandung makna para pihak harus mentaati apa yang telah mereka sepakati bersama. Pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh
salah satu pihak menyebabkan pihak lain dapat mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi atau pun perbuatan melawan hukum dari pihak lawan. Asas
ini berarti siapa saja berjanji harus menepatinya atau siapa yang berhutang harus membayarnya.
4. Asas itikad baik
Hukum perjanjian mengenal pula asas itikad baik seperti yang terdapat pada Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menentukan bahwa:
“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi subjektif
dan itikad baik mutlak objektif. Itikad baik dalam segi subjektif, berarti kejujuran. Hal ini berhubungan erat dengan sikap bathin seseorang pada saat
membuat perjanjian. Artinya sikap bathin seseorang dapat dimulainya suatu perjanjian itu seharusnya dapat membayangkan telah dipenuhinya syarat-
syarat yang diperlukan dalam perjanjian itu. Sedangkan itikad baik dalam segi objektif, berarti kepatuhan, yang
berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma
kepatuhan dan kesusilaan. 5.
Asas Kepribadian Personalitas Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 berbunyi:’’pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk
kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: ”Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Ini berarti bahwa perjanjian
yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimna yang diintrodusir
dalam pasal 1317 KUHPerdata,yang berbunyi: ”Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat
untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seorang dapat
mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan.
6. Asas kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di
antara mereka di belakang hari. 7.
Asas persamaan hukum Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum adalah bahwa subjek hukum
yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama lain,
walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
8. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan
untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban
untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. 9.
Asas kepastian hukum Perjanjian sebagai fitur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkapdari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
10. Asas moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang idak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi
dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela moral. Yang bersangkutan
mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang
bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan moral sebagai panggilan hati nuraninya.
11. Asas kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dngan ketentuan mengenai isi perjanjian.
12. Asas kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal
yang menurut kebiasaan lazim diikuti. 13.
Asas perlindungan protection Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur
harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah.
92
C. Syarat dan Tata Cara Pengalihan Saham Perseroan