Dampak Pelaksanaan Sosialisasi Perpajakan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Pada Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota)

(1)

1 SKRIPSI

DISUSUN OLEH :

HENNY UTAMI PUTRI 130921035

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Menyelesaikan Studi Pada Program Studi S1 Ekstensi Administrasi Negara

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan hikmat yang diberikan, penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Dampak Pelaksanaan Sosialisasi Perpajakan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Pada Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan di Kantor Pelayan Pajak Pratama Medan Kota)” yang sebagai salah satu syarat kelulusan di Departemen Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara.

Semoga hasil Skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang Administrasi Negara khususnya pengetahuan mengenai Evaluasi Kebijakan dan Surat Pemberitahuan tahunan.

Dalam penyusunan Skripsi ini, penulis menyadari adanya kekurangan dan ketidak sempurnaan pada Skripsi ini. Namun, penulis telah secara maksimal melakukan penyempurnaan-penyempurnaan sedemikian rupa untuk memperbaiki Skripsi ini agar dapat lebih baik lagi. Penulis juga memohon maaf apabila ada kata-kata yang salah atau kurang tepat dalam penulisan skripsi ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Saya selaku penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya. Besar harapan penulis kiranya Skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2015 Penulis


(3)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mendapatkan banyak sekali Do’a, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan Skripsi ini. Atas berbagai bantuan dan dukungan tersebut, pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si, dan Ibu Dra. Elita Dewi, M.SP selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara. 2. Bapak Drs Kariono, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang begitu tulus

dan murah hati dalam membimbing dan memotivasi penulis selama pengerjaan skripsi ini.

3. Pegawai dan staff Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak SUMUT I, yang telah membantu dan memberikan data – data yang dibutuhkan penulis selama melakukan penelitian.

4. Seluruh Bapak dan Ibu dosen dan staf pengajar di Departemen Ilmu Administrasi Negara yang menambahkan kepada penulis pengajaran dan pengalaman hidup dan Seluruh staf pegawai administrasi di Departemen Ilmu Administrasi Negara.

5. Ibu Sri Utami dan Bapak Supriadi T kedua orang tua tercinta yang telah banyak berkorban serta menjadi donatur dan motivator utama penulis demi menyelesaikan pendidikan.


(4)

6. Yang terkasih Bagus Setia Gumelar, yang selalu baik menemani penulis ketika riset kesana-kemari, selalu menjadi penyemangat tersendiri bagi penulis selama menyelesaikan skripsi, dan menjadi partner teristimewa selama ini karena tidak pernah lelah menemani penulis selama masa perkuliahan.

7. Adik ku sayang Hendri Rizaldi yang terkadang menemani setengah bergadang, serta abang Hendra Gunadi dan kakak Desy.

8. Rekan-rekan yang sudah penulis anggap sebagai keluarga, Rezki Tahir, Eki Prayudi, Windra Baren Dasdo Pinindo Saragih, Alfan Yoolanda Harahap, Wahid Restu, kita memang tidak sedarah tapi kita saudara. Atas kebersamaan, kebahagiaan, perjuangan, suka duka, serta pembelajaran yang telah kita lalui bersama. Mengenal kalian dan semua kenangan bersama kalian adalah hal yang tak akan mudah penulis lupakan. Kehadiran kalian memberikan warna di hidup penulis selama menjalani perkuliahanKepada Rajawina Handayani, Rina Febriani, Reza Oezil, Fitri Aprilia, Indira Novia Sarumpaet, Della Alvyonita, Fiqih Eria Sandi, Widya, tak lupa juga Adil Rizal dan Muhammad Syahrul Ramadhan.


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GRAFIK ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I – PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 6

C.Tujuan Penelitian... 6

D.Manfaat Penelitian... 7

E. Kerangka Teori ... 8

1. Evaluasi Kebijakan ... 8

a. Definisi Evaluasi Kebijakan Public ... 8

b. Sifat Evaluasi ... 11

c. Fungsi Dan Tujuan Evaluasi Kebijakan ... 13

d. Pendekatan Evaluasi Kebijakan ... 15

e. Tahapan Dan Kendala Evaluasi Kebijakan ... 17

f. Bentuk Analisis Kebijakan ... 19


(6)

h. Kriteria Evaluasi Kebijakan ... 22

i. Metode Evaluasi ... 29

j. Evaluasi Dampak ... 30

k. Model Evaluasi Yang Digunakan Peneliti ... 32

2. Reformasi Administrasi Perpajakan ... 33

a. Pengertian Reformasi Perpajakan ... 33

b. Reformasi Administrasi Perpajakan Indonesia ... 34

c. System Self Assessment ... 38

d. Kewajiban Wajib Pajak ... 49

3. Sosialisasi Perpajakan ... 50

a. Pengertian Sosialisasi ... 50

b. Dimensi Sosialisasi Perpajakan ... 51

c. Tugas Tim Sosialisasi ... 54

d. Bentuk Sosialisasi ... 54

4. Surat Pemberitahuan ... 55

a. Pengertian Surat Pemberitahuan ... 55

b. Fungsi Surat Pemberitahuan ... 56

c. Jenis Surat Pemberitahuan ... 57

d. Jangka Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan ... 58

e. Perpanjang Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan ... 60

f. Sanksi Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan ... 61

g. Mekanisme Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan ... 61


(7)

5. Kepatuhan Wajib Pajak ... 64

a. Definisi Kepatuhan Wajib Pajak ... 64

b. Jenis Kepatuhan Wajib Pajak ... 66

c. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak .. 66

d. Indikator Kepatuhan Wajib Pajak ... 67

F. Definisi Konsep ... 69

G.Sistematika Penulisan ... 70

BAB II – METODE PENELITIAN ... 72

A.Bentuk Penelitian ... 73

B.Lokasi Penelitian ... 73

C.Informan ... 43

D.Teknik Pengumpulan Data ... 74

E. Teknik Analisis Data ... 75

BAB III – DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 77

A.Sejarah Umum Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota ... 77

B.Visi Dan Misi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota ... 81

1. Visi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota ... 81

2. Misi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota ... 81

C.Letak Geografis Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota ... 82

D.Struktur Organisasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota .. 84

E. Uraian Tugas Dan Fungsi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota ... 90


(8)

2. Fungsi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota ... 91

F. Gambaran Data Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota ... 92

BAB IV – PENYAJIAN DATA ... 96

A.Karakteristik Informan ... 96

B.Temuan Lapangan ... 101

1. Indikator Efektifitas ... 102

2. Indikator Efisiensi ... 107

3. Indikator Kecukupan ... 105

4. Indikator Perataan ... 114

5. Indikator Responsivitas ... 116

6. Indikator Ketepatan ... 118

BAB V – ANALISIS DATA ... 119

A.Analisis Evaluasi Pelaksanaan Sosialisasi Perpajakan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak ... 119

1. Indikator Efektifitas ... 119

2. Indikator Efisiensi ... 123

3. Indikator Kecukupan ... 125

4. Indikator Perataan ... 133

5. Indikator Responsivitas ... 135

6. Indikator Ketepatan ... 137

B.Analisis Dampak Pelaksanaan Sosialisasi Perpajakan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak ... 139


(9)

BAB VI – PENUTUP ... 144 A.Kesimpulan ... 144 B.Saran ... 147 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Pendekatan Evaluasi Menurut William Dunn ... 16

Tabel 1.2 Kriteria Evaluasi Kebijakan ... 23

Tabel 1.3 Metodologi Untuk Evaluasi Program ... 30

Tabel 3.1 Gambaran Pegawai KPP Pratama Medan Kota Berdasarkan Jenis Kelamin ... 92

Tabel 3.2 Gambaran Pegawai KPP Pratama Medan Kota Berdasarkan Jabatan ... 92

Tabel 3.3 Gambaran Pegawai KPP Pratama Medan Kota Berdasarkan Seksi... 93

Tabel 3.4 Gambaran Pegawai KPP Pratama Medan Kota Berdasarkan Golongan ... 93

Tabel 3.5 Gambaran Pegawai KPP Pratama Medan Kota Berdasarkan Umur ... 94

Tabel 3.6 Gambaran Pegawai KPP Pratama Medan Kota Berdasarkan Jenjang Pendidikan .... 92

Tabel 4.1 Pengklasifikasian Informan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 97

Tabel 4.2 Pengklasifikasian Informan Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 98

Tabel 4.3 Pengklasifikasian Informan Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 99

Tabel 4.4 Pengklasifikasian Informan Berdasarkan Usia ... 100

Tabel 4.5 Target Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Tahun 2012 – 2014` ... 108

Tabel 4.6 Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan KPP Pratama Medan Kota Tahun Pajak 2010 – 2013 ... 112


(11)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1 realisasi target kegiatan sosialisasi perpajakan kpp pratama medan kota 2011-2014 ... 125

Grafik 5.2 wajib pajak terdaftar di kpp pratama medan kota tahun pajak 2010 – 2013... 128

Grafik 5.3 Penyampaian SPT Tahunan KPP Pratama Medan Kota Tahun Pajak 2010 – 2013 . 130

Grafik 5.4 wajib pajak tidak tepat waktu menyampaikan SPT Tahunan kpp pratama medan kota tahun pajak 2010 – 2013 ... 132


(12)

DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1 Struktur Organisasi KPP pratama ... 90


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Kantor pelayanan pajak pratama medan kota ... 83


(14)

ABSTRAK

DAMPAK PELAKSANAAN SOSIALISASI PERPAJAKAN TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN WAJIB PAJAK DI KANTOR

PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN KOTA

Nama : Henny Utami Putri

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Dosen Pembimbing : Drs. Kariono, M.Si

Pelaksanaan sosialisasi perpajakan walaupun realisasinya belum mencapai target yang diberikan direktorat jenderal pajak namun pelaksanaannya mengalami peningkatan. Sesuai dengan Surat Edaran Jenderal Pajak No. SE-98/PJ./2011 upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang hak kewajiban perpajakannya harus terus dilakukan karena beberapa alasan. Tujuan dari adanya pelaksanaan sosialisasi perpajakan adalah sebagai stimulus eksternal yang berperan penting untuk mendorong kesadaran Wajib Pajak untuk patuh terhadap hukum perpajakan.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian kualitatif dengan pendekatan deksriptif dan model evaluasi Single Program After-Only. Informan penelitian yaitu Kepala Seksi Ekstensifikasi KPP Pratama Medan Kota sebagai informan kunci. Sementara itu, pegawai pajak KPP Pratama Medan Kota merupakan informan utama penelitian. Dan wajib pajak sebagai informan tambahan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 2011-2014 pelaksanaan sosialisai perpajakan terlaksana dengan baik. Sosialisasi perpajakan memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas pelayanan perpajakan yaitu menyediakan wadah dan media untuk masyarakat memperoleh informasi dan pengetahuan perpajakan. Oleh karenanya, sebaiknya program ini tetap dilanjutkan dan perlu diperluas cakupannya serta harus ada peningkatan dalam realisasinya.

Akan tetapi, dalam hal kepatuhan wajib pajak yaitu penyampaian surat pemberitahuan tahunan di KPP Pratama Medan Kota dampak adanya sosialisasi perpajakan belum dirasakan besar. Hal tersebut dikarenakan masih banyak wajib pajak yang tidak memahami hak dan kewajiban perpajakannya.

Kata Kunci (Keywords): Evaluasi Dampak, Sosialisasi Perpajakan, Kepatuhan Wajib Pajak, SPT Tahunan, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota


(15)

ABSTRAK

DAMPAK PELAKSANAAN SOSIALISASI PERPAJAKAN TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN WAJIB PAJAK DI KANTOR

PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN KOTA

Nama : Henny Utami Putri

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Dosen Pembimbing : Drs. Kariono, M.Si

Pelaksanaan sosialisasi perpajakan walaupun realisasinya belum mencapai target yang diberikan direktorat jenderal pajak namun pelaksanaannya mengalami peningkatan. Sesuai dengan Surat Edaran Jenderal Pajak No. SE-98/PJ./2011 upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang hak kewajiban perpajakannya harus terus dilakukan karena beberapa alasan. Tujuan dari adanya pelaksanaan sosialisasi perpajakan adalah sebagai stimulus eksternal yang berperan penting untuk mendorong kesadaran Wajib Pajak untuk patuh terhadap hukum perpajakan.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian kualitatif dengan pendekatan deksriptif dan model evaluasi Single Program After-Only. Informan penelitian yaitu Kepala Seksi Ekstensifikasi KPP Pratama Medan Kota sebagai informan kunci. Sementara itu, pegawai pajak KPP Pratama Medan Kota merupakan informan utama penelitian. Dan wajib pajak sebagai informan tambahan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 2011-2014 pelaksanaan sosialisai perpajakan terlaksana dengan baik. Sosialisasi perpajakan memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas pelayanan perpajakan yaitu menyediakan wadah dan media untuk masyarakat memperoleh informasi dan pengetahuan perpajakan. Oleh karenanya, sebaiknya program ini tetap dilanjutkan dan perlu diperluas cakupannya serta harus ada peningkatan dalam realisasinya.

Akan tetapi, dalam hal kepatuhan wajib pajak yaitu penyampaian surat pemberitahuan tahunan di KPP Pratama Medan Kota dampak adanya sosialisasi perpajakan belum dirasakan besar. Hal tersebut dikarenakan masih banyak wajib pajak yang tidak memahami hak dan kewajiban perpajakannya.

Kata Kunci (Keywords): Evaluasi Dampak, Sosialisasi Perpajakan, Kepatuhan Wajib Pajak, SPT Tahunan, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota


(16)

BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG

Perwujudan tujuan pembangunan nasional adalah terciptanya suatu masyarakat yang sejahtera. Seiring dengan perkembangan jaman yang pesat, dimana sangat dibutuhkan sekali dana dan anggaran dalam menyokong pembangunan yang merata disegala sektor maupun aspek kehidupan. Oleh karena itu disusun suatu perencanaan, baik yang mencakup tahapan pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan rencana jangka pendek. Dalam mewujudkan upaya tersebut, titik berat pembangunan diletakkan dibidang ekonomi.

Untuk menunjang tercapainya sasaran dan tujuan pembangunan tersebut, diperlukan serangkaian kebijaksanaan yang saling mendukung, diantaranya adalah kebijaksanaan fiskal. Kebijaksanaan fiskal ini berkaitan erat dengan masalah Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Pajak merupakan sumber penerimaan dalam negeri terbesar yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan. Hal ini tertuang dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dimana penerimaan utamanya berasal dari pajak. Khususnya dari segi penerimaan negara, pajak merupakan sumber penerimaan terbesar saat ini dan juga tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang harus berkembang dan meningkat sesuai dengan perkembangan kemampuan rakyat dan laju pembangunan. Dengan dana yang memadai


(17)

pemerintah akan mampu membiayai berbagai proyek besar sampai ke sektor-sektor yang selama ini kurang mendapat perhatian.

Melalui pajak pemerintah dapat mengatur keseimbangan kehidupan perekonomian dan pemanfaatan dana untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rangka menunjang tekad untuk menegakkan kemandirian pembiayaan pembangunan, maka penggalian dan penggerakan sumber penerimaan dalam negeri haruslah didasarkan kepada penerimaan pajak dengan tetap memperhatikan kemampuan pembiayaan oleh masyarakat dan dunia usaha.

Untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, pemerintah melakukan berbagai upaya antara lain dengan menyederhanakan administrasi pajak dan meningkatkan penegakan hukum bagi Wajib Pajak dan petugas pajak yang melanggar ketentuan perundang - undangan perpajakan.

Target pajak yang harus dicapai Direktorat Jenderal Pajak untuk tahun

2014 mencapai Rp.1.370 Trili

target tersebut diperlukan upaya-upaya maksimal terutama dalam menyadarkan Wajib Pajak dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya. Suksesnya pencapaian target tersebut perlu didukung dengan salah satunya tingkat kepuasan dan kepatuhan Wajib Pajak. Untuk meningkatkan kepuasan dan kepatuhan Wajib Pajak dapat dilakukan dengan mengedepankan upaya pelayanan, penyuluhan dan kehumasan dibandingkan tindakan pengawasan. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, menunjukkan bahwa Wajib Pajak membutuhkan penyuluhan secara langsung, oleh sebab itu perlu disusun strategi penyuluhan


(18)

berupa kelas pajak bagi calon Wajib Pajak, Wajib Pajak baru dan Wajib Pajak terdaftar.

Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi pemerintahan di bawah Departemen Keuangan sebagai pengelola sistem perpajakan di Indonesia berusaha meningkatkan penerimaan pajak dengan mereformasi pelaksanaan sistem perpajakan yang lebih modern. Untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melakukan reformasi perpajakan. Reformasi atau perubahan sistem mendasar terjadi pada pengelolaan perpajakan Indonesia dari sistem Official Assessment ke sistem Self Assessment . Self

assessment system dimana memberikan kepercayaan penuh terhadap Wajib Pajak

(Wajib Pajak) untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakan kepada fiskus.

Tujuan reformasi perpajakan menurut Sony dan Siti (2006) adalah meningkatkan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak (Tax Payer’s Service

Quality) sebagai sumber aliran dana untuk mengisi kas Negara, menekan

terjadinya penyelundupan pajak (tax evasion) oleh Wajib Pajak, meningkatkan kepatuhan bagi Wajib Pajak dalam penyelenggaraan kewajiban perpajakannya, menerapkan konsep good governance, adanya transparansi, responsibility, keadilan, dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak. Kontribusi pajak dalam mendanai pengeluaran negara yang terus meningkat membutuhkan dukungan berupa peningkatan kesadaran masyarakat Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya secara jujur. Menurut Safri Nurmanto dalam Siti Kurnia Rahayu (2010) mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan


(19)

sebagai sutau keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.

Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung Self Assessment system, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakannya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar serta melaporkan pajaknya tersebut. Menurut Safri Nurmantu (2003), terdapat dua macam kepatuhan yaitu kepatuhan material dan kepatuhan formal. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif /hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang - undang perpajakan. Sedangkan yang dimaksud kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang - undang perpajakan. Kewajiban perpajakan formal diatur dalam Undang - undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Kewajiban pajak yang secara langsung dikenakan kepada Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan, disebut Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, karena mereka memperoleh penghasilann dalam jumlah tertentu, dan dalam jumlah itu, memenuhi syarat untuk dikenakan pajak.

Sejak reformasi perpajakan tahun 1983, Indonesia menganut sistem pemungutan self assesment system. Sistem self assesment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan


(20)

perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada ditangan Wajib Pajak . Wajib pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi,serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, melaporkan dan mempertanggungjawabkan sendiri pajak yang terutang. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada Wajib Pajak sendiri (peran domain ada pada Wajib Pajak).

Sistem self assesment menuntut Wajib Pajak agar mandiri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Salah satu contoh penerapan sistem self assesment adalah dalam hal melaporkan surat pemberitahua. Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan. SPT dapat dibedakan atas SPT Masa dan SPT tahunan. SPT tahunan, yaitu SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan yang terdiri atas SPT tahunan PPH Wajib Pajak Badan, SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi.

Pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar masyarakat menyadari bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama. Dengan diberlakukannya peraturan yang mengatur perpajakan pemerintah mengharapkan setiap Wajib Pajak harus memenuhi kewajiban perpajakannya. Namun pada kenyataannya masih banyak Wajib Pajak yang tidak menyadari atau tidak mau memenuhi


(21)

kewajiban perpajakannya. Contohnya masih banyak Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT. Untuk mengantisipasi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya selain telah mengatur sanksi dan denda perlu upaya dalam mengantisipasi karena dapat mengurangi potensi pajak yang seharusnya diterima oleh negara.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian apakah ada pengaruh sosialisasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Maka judul penelitian ini adalah

“DAMPAK PELAKSANAAN SOSIALISASI PERPAJAKAN TERHADAP

TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK (STUDI PADA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN DI KPP PRATAMA MEDAN KOTA)”.

B.RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Perumusan masalah yang menjadi fokus perhatian peneliti adalah : “Bagaimana dampak pelaksanaan sosialisasi perpajakan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak (studi pada penyampaian surat pemberitahuan tahunan di kantor pelayanan pajak pratama Medan Kota) ?”

C.TUJUAN PENELITIAN

Dari permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah : Mengetahui dampak pelaksanaan sosialisasi perpajakan


(22)

terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak (studi pada penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota).

D.MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini akan memberikan manfaat bagi berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat tersebut adalah:

1. Secara Ilmiah

Secara ilmiah sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori dan aplikasi yang diperoleh dari Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Secara praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai kontribusi terhadap pemecahan permasalahan yang terkait dengan peningkatan pemahaman mengenani perpajakan dan secara khusus terhadap kepatuhan Wajib Pajak, dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau sumbangan pemikiran bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota sebagai salah satu lembaga yang mengurus pelayanan kepada masyarakat agar kiranya mengoptimalkan pelayanan publik yang berkualitas serta dapat mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya.


(23)

3. Secara akademis

Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik langsung maupun secara tidak langsung bagi kepustakaan Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Negara.

E.KERANGKA TEORI

Studi kepustakaaan berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang terkait dengan nilai, budaya, norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2007:14).

Teori merupakan seperangkat konsep, definisi dan preposisi yang saling berhubungan yang disusun secara sistematis sebagai hasil dari penulisan ilmiah terdahulu dengan menggunakan seperangkat metodologi penulisan tertentu untuk menjelaskan gejala tertentu atau hubungan-hubungan dalam fenomena yang sedang diteliti. Berbagai teori yang dikemukakan dalam kajian teori disini merupakan sarana untuk menjawab rumusan masalah yang telah dituliskan di muka dan sebagai landasan untuk melakukan analisis dalam penelitian ini.

1. Evaluasi Kebijakan

a. Definisi Evaluasi Kebijakan

Evaluasi merupakan salah satu tahapan penting dalam proses kebijakan publik, namun seringkali tahapan ini diabaikan dan hanya berakhir pada tahap implementasi. Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan (Subarsono, 2008:119). Evaluasi kebijakan digunakan untuk menilai


(24)

sejauhmana keefektifan kebijakan publik untuk dipertanggungjawabkan kepada publiknya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Menurut Muhadjir dalam Widodo (2008:112) mengemukakan “Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat “membuahkan hasil”, yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target kebijakan publik yang ditentukan”.

Dalam bahasa yang lebih singkat Jones dalam Winarno (2007:166) mengartikan evaluasi adalah “Kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan”. Serta secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai “Kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang menyangkut substansi, implementasi, dan dampak”. Hal ini berarti bahwa proses evaluasi tidah hanya dapat dilakukan pada tahapan akhir saja, melainkan keseluruhan dari proses kebijakan dapat dievaluasi.

Dari beberapa pendapat para ahli mengenai yang dimaksud dengan evaluasi kebijakan dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan, keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu kebijakan publik dan menilai manfaat suatu kebijakan dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target kebijakan publik yang ditentukan dengan kata lain menyangkut substansi, implementasi, dan dampak suatu kebijakan publik.


(25)

Dalam Bingham dan Felbinger, Howlet dan Ramesh (1995) dalam Nugroho (2009:676-677) mengelompokan evaluasi menjadi tiga, yaitu :

1) Evaluasi administratif, yang berkenaan dengan evaluasi sisi administratif anggaran, efisiensi, biaya dari proses kebijakan di dalam pemerintah yang berkenaan dengan :

a) effort evaluation, yang menilai dari sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan

b) Performance evaluation, yang menilai keluaran dari program yang

dikembangkan oleh kebijakan.

c) adequacy of performance evaluation atau effectiveness evaluation , yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan.

d) effeciency evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan

penilaian tentang keefektifan biaya tersebut.

e) process evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh

organisasi untuk melaksanakan program.

2) Evaluasi judical, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia.

3) Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituten politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.

Sedangkan menurut Dane (Wibawa, 1994) menyebutkan ada dua tipe evaluasi kebijakan, yaitu :


(26)

1) Sumative evaluation, adalah penilaian dampak dari suatu program. Disebut juga dengan evaluasi dampak (out come evaluation).

2) Formative evaluation, adalah penilaian terhadap proses dari program, disebut pula evaluasi proses.

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup susbtansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebiajakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evalusai kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

b. Sifat Evaluasi

Gambaran utama evaluasi adalah bahwa evaluasi menghasilkan tuntutan-tuntutan yang bersifat evaluatif. Menurut Dunn (2003:608-609), evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya :

1. Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan buka sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat


(27)

selalu dipertanyakan, evaluasi mecakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri.

2. Interdependensi fakta-nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat untuk menyatakan demikian harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi. 3. Orientasi masa kini dan masa lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan

tuntutan-tuntutan advokatif, diarah pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbangan hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).

Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan-tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang


(28)

merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.

c. Fungsi dan Tujuan Evaluasi Kebijakan

Sebagai salah satu tahapan dalam proses kebijakan, evaluasi memiliki fungsi dan tujuan. Menurut Wibawa dalam Nugroho (2009 : 541-542), evaluasi kebijakan publik memilik empat fungsi, yaitu:

1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hungungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah ,kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.

2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.

3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.

4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut.

Beberapa ahli juga mengemukakan tentang tujuan-tujuan dari evaluasi, Subarsono (2008 : 120) merinci beberapa tujuan dari evaluasi antara lain sebagai berikut :


(29)

1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.

2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui derajad diketahui berapa biaya dan manfaat suatu kebijakan.

3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.

4. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.

5. Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.

6. Sebagai bahan masukan (input) unutk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.

Oleh karena itu evaluasi kebijakan, pada prinsipinya digunakan untuk mengevaluasi empat asek dalam proses kebijakan publik (Wibawa, yuyun, agus, 1994:35), yaitu :

1) proses pembuatan kebijakan 2) proses implementasi


(30)

4) efektifitas dampak kebijakan

d. Pendekatan Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan publik memiliki tipe dan pendekatan yang beragam dan berbeda, tergantung dari pada tujuan ataupun sudut pandang dari para evaluator yang akan melakukan evaluasi. Dunn (2003 : 613-620) membagi pendekatan evaluasi menjadi tiga bagian antara lain :

1. Evaluasi semu

Evaluasi semu (pseudo evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self evident) atau tidak kontroversial.

2. Evaluasi formal.

Evaluasi formal merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hal tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah dimumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuan dan target dirumuskan secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program.


(31)

Evaluasi keputusan teoritis adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan. Asumsi dari evaluasi teoritis keputusan adalah bahwa tujuan dan sasaran dari perilaku kebijakan baik yang dinyatakan secara formal maupun secara tersembunyi merupakan ukuran yang layak terhadap manfaat atau nilai kebijakan dan program.

Tabel 1.1 : Pendekatan Evaluasi Manurut William Dunn

Pendekatan Tujuan Asumsi Bentuk-Bentuk

Utama Evaluasi Semu Menggunkan metode

deskriptif untuk

menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan

Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak controversial 1. Eksperimental sosial 2. Akuntansi sistem sosial 3. Pemeriksaan sosial

4. Sintesis riset

dan praktik Evaluasi Formal Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan

Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai

1. Evaluasi perkembangan 2. Evaluasi

eksperimental 3. Evaluasi proses

retrospektif 4. Evaluasi hasil


(32)

Evaluasi Keputusan Teoritis Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan.

Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun diam-diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.

1. Penilaian

tentang dapat tidaknya

evaluasi

2. Analisis utilitas multiatribut

Sumber : Dunn (2003:612)

e. Tahapan dan Kendala Evaluasi Kebijakan

Evaluasi dalam pelaksanaanya memiliki tahapan atau langkah-langkah yang dapat dilakukan agar dapat berjalan secara sistematis. Evaluasi dengan ilmiah merupakan evaluasi yang mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk menjalankan evaluasi kebijakan dibandingkan dengan tipe evaluasi lain (Winarno, 2007 : 169). Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan tujuh langkah dalam evaluasi kebijakan (Winarno, 2007 : 169), yaitu :

1) Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi. 2) Analisis terhadap masalah.

3) Deskripsi dan standardisasi kegiatan.

4) Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi.

5) Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain.


(33)

Menurut Suchman, mendefinisikan masalah merupakan tahap paling penting dalam evaluasi kebijakan.Setelah masalah didefinisikan dengan jelas maka tujuan-tujuan dapat disusun dengan jelas pula. Oleh karena itu, ia juga mengidentifikasi beberapa pertanyaan operasional untuk menjalankan riset evaluasi seperti :

1) Apakah yang menjadi isi dari tujuan program ? 2) Siapa yang menjadi target program ?

3) Kapan perubahan yang diharapkan terjadi ?

4) Apakah tujuan yang ditetapkan satu atauan banyak (unitary or multiple) ?

5) Apakah dampak yang diharapkan besar ? 6) Bagaimanakah tujuan-tujuan tersebut dicapai ?

Langkah-langkah tersebut dibuat agar suatu evaluasi dapat efektif dengan berjalan secara sistematis. Pada pelaksanaanya sendiri, evaluasi tidak terlepas dari kemungkin timbulnya masalah atau kendala. Hal ini disebabkan evaluasi juga merupakan proses yang kompleks, sehingga kendala atau masalah tersebut dapat menghambat pelaksanaan evaluasi tersebut. Anderson dalam Winarno (2007 : 175-179) mengidentifikasi enam masalah yang akan dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan.

1) Ketidakpastian atas tujuan-tujuan kebijakan. Bila tujuan-tujuan dari suatu kebijakan tidak jelas atau tersebar, maka kesulitan yang timbul adalah menentukan sejauh mana tujuan-tujuan tersebut telah dicapai. Ketidakjelasan biasanya berangkat dari proses penetapan kebijakan.


(34)

2) Kausalitas. Terdapat kesulitan dalam melakukan penentuan kausalitas antara tindakan-tindakan yang dilakukan terutama dalam masalah-masalah yang kompleks. Seringkali ditemukan suatu perubahan terjadi, tetapi tidak disebabkan suatu tindakan atau kebijakan.

3) Dampak kebijakan yang menyebar. Tindakan-tindakan kebijakan mungkin mempengaruhi kelompok-kelompok lain selain kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kebijakan. Hal ini sebagai akibat dari eksternalitas atau dampak yang melimpah yakni suatu dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan atau kelompok selain mereka yang menjadi sasaran kebijakan. 4) Kesulitan-kesulitan dalam memperoleh data. Kekurangan data statistik dan

informasi-informasi lain yang relevan akan menghalangi para evaluator untuk melakukan evaluasi kebijakan.

5) Resistensi pejabat. Para pejabat pelaksana program mempunyai

kecenderungan untuk tidak mendorong studi-studi evaluasi, menolak memberikan data, atau tidak menyediakan dokumen yang lengkap.

6) Evaluasi mengurangi dampak. Berdasarkan alasan tertentu, suatu evaluasi kebijakan yang telah dirampungkan mungkin diabaikan atau dikritik sebagai evaluasi yang tidak meyakinkan. Hal inilah yang mendorong mengapa suatu evaluasi kebijakan yang telah dilakukan tidak mendapat perhatian yang semsetinya bahkan diabaikan, meskipun evaluasi tersebut benar.

f. Bentuk Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan


(35)

sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2003:117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu:

1) Analisis Kebijakan Prospektif. Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan tranformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan (ex ante). Analisis kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.

2) Analisis Kebijakan Retrospektif. Analisis kebijakan retrospektif adalah sebagai penciptaan dan tranformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Evaluasi proses retrospektif, yang cenderung dipusatkan pada masalah-masalah dan kendala-kendala yang terjadi selama implementasi kebijakan dan program. Evaluasi retrospektif lebih menggantungkan pada deskripsi ex post facto tentang kegiatan aktivitas program yang sedang berjalan, yang selanjutnya berhubungan dengan keluaran dan dampak.

3) Analisis kebijakan yang terintegrasi. Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil.


(36)

g. Model Evaluasi Kebijakan

Menurut Wayne Parsons (2008:549-552), ada dua macam model evaluasi kebijakan yang digunakan yaitu :

1. Evaluasi Formatif

Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau program yang sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa meningkatkan keberhasilan implementasi”. Pada fase implementasi memerlukan evaluasi “formatif” yang akan memonitor cara dimana sebuah program dikelola atau diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bisa berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi.

Rossi dan Freeman dalam buku Parsons mendeskripsikan model evaluasi ini sebagai evaluasi pada tiga persoalan :

- Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat - Apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain

program atau tidak

- Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam melakukan program

2. Evaluasi Sumatif

Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur bagaimana kebijakan atau program secara aktual berdampak pada problem yang ditanganinya. Model evaluasi ini pada dasarnya adalah model penelitian komparatif yang mengukur beberapa persoalan yaitu :


(37)

b) Membandingkan dampak intervensi terhadap satu kelompok dengan kelompok lain atau antara satu kelompok yang menjadi subjek intervensi dan kelompok lain yang tidak (kelompok kontrol)

c) Menbandingkan apa yang terjadi dengan apa yang mungkin terjadi tenpa intervensi

d) Atau membandingkan bagaimana bagian-bagian yang berbeda dalam satu wilayah mengalami dampak yang berbeda-beda akibat dari kebijakan yang sama.

h. Kriteria Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan publik, dalam tahapan pelaksanaannya menggunakan pengembangan beberapa indikator untuk menghindari timbulnya bias serta sebagai pedoman ataupun arahan bagi evaluator. Kriteria-kriteria yang ditetapkan menjadi tolak ukur dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan publik. Nugroho (2009 : 536) menjelaskan bahwasannya evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.William N. Dunn (2003 : 429-438) mengemukakan beberapa kriteria rekomendasi kebijakan yang sama dengan kriteria evaluasi kebijakan, kriteria rekomendasi kebijakan sebagai berikut :


(38)

Tabel 1.2 : Kriteria Evaluasi Kebijakan

Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi

Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?

Unit pelayanan

Efisiensi Seberapa banyak usaha yang

diperluka untuk mencapai hasil yang diinginkan?

Unit biaya Manfaat bersih Rasio biaya-manfaat

Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?

Biaya tetap (masalah tipe I) Efektivitas tetap (masalah tipe II)

Perataan

Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?

Kriteria Pareto Kriteria kaldor-Hicks

Kriteria Rawls Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan

kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu?

Konsistensi dengan survai warga negara

Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang

diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?

Program publik harus merata dan efisiensi

Sumber : William N. Dunn, 2003, Pengantar Ana

Kriteria-kriteria diatas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi kebijakan publik. Karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang dirumuskan olleh William N.Dunn untuk setiap kriterianya. Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:


(39)

1) Efektivitas

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Apabila pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar dari pada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut.

Willian N. Dunn dalam bukunya yang berjudul pengantar Analisis Kebijakan Publik : Edisi Kedua, menyatakan bahwa :

“Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan,atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya” (Dunn,2003 :429).

Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu.

Menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh Richard M. Steers dalam bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa ukuran dari pada efektivitas, yaitu :

- Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi; - Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan;


(40)

- Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan; dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik;

- Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut;

- Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah semua biaya dan kewajiban dipenuhi;

- Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang dan masa lalunya;

- Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya sepanjang waktu;

- Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada kerugian waktu;

- Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian tjuan, yaitu melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan perasaan memiliki;

- Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk mencapai tujuan;

- Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan mengkoordinasikan;

- Keluwesan adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan; (Dalam Steers,1985:46-48)


(41)

Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan diatas, maka ukuran efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yanag akan dicapai.

2) Efisiensi

Jika bicara mengenai efisiensi maka kita akan membayangkan hal penggunaan sumber daya (resources) secara optimum untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Maksudnya adalah efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber daya diberdayakan secara optimum sehingga suatu tujuan akan tercapai.

William N. Dunn berpendapat bahwa :

“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi,adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terkahir umunya diukur dari ongkos moneter. Efisieni biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisiensi.” (Dunn,2003:430)

Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.

3) Kecukupan

Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. William N. Dunn mengemukakan bahwa kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh


(42)

suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah (Dunn,2003 :430)

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kautnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.

4) Perataan

Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. Willian N.Dunn menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat (Dunn, 2003:434).

Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu mungkin dapat efektif,efisiensi, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran.

5) Responsivitas

Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan. Menurut William N.Dunn, responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok


(43)

masyarakat tertentu (Dunn, 2003:437). Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan. Dunn pun mengemukakan bahwa:

Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan

semua kriteria lainnya (efektivitas,efisiensi,kecukupan,kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan” (Dunn,2003:437)

Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas,efisiensi,kecukupan, dan kesamaan.

6) Ketepatan

Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuab tersebut. William N.Dunn menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah:

“Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut”. (Dunn, 2003:499)


(44)

Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya (bila ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau dimungkinkan alternatif lain yang dirasakan lebih baik dari suatu pelaksanaan kebijakan sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih dinamis.

i. Metode Evaluasi

Menurut Finsterbusch dan Motz dalam Subarsono (2008:128), untuk melakukan evaluasi terhadap program yang telah diimplementasikan, ada beberapa metode evaluasi yang dapat dipilih yakni :

1. Single program after-only, yaitu informasi diperoleh berdasarkan keadaan

kelompok sasaran sesudah program dijalankan

2. Single program befora-after, yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan perubahan keadaan sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.

3. Comparative after-only, yairu informasi yang diperoleh berdasarkan keadaan sasaran dan bukan sasaran program dijalankan.

4. Comparative before-after, yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan efek program terhadap kelompok sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.


(45)

Tabel 1.3 Metodologi untuk Evaluasi Program Jenis Evaluasi Pengukuran kondisi

kelompok sasaran

Kelompok Kontrol

Informasi yang diperoleh Sebelum Sesudah

Single Program After-Only

Tidak Ya Tidak Ada Keadaan

Kelompok sasaran Single Program

Before-After

Ya Ya Tidak Ada Perubahan

Kelompok sasaran

Comparative After-Only Tidak Ya Ada Keadaan

kelompok sasaran dan kelompok kontrol Comparative Before-After

Ya Ya Ada Efek program

terhadap kelompok

sasaran dan kelompok

kontrol Sumber : Subarsono (2008:130)

j. Evaluasi Dampak

Sebelumnya telah disebutkan bahwa evaluasi kebijakan adalah suatu untuk menentukan dampak dari kebijakan pada kondisi-kondisi kehidupan nyata. Dampak adalah perubahan kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari output kebijakan. Akibat dari output kebijakan ada dua macam yakni :


(46)

1. Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran (baik akibat yang diharapkan atau tidak diharapkan) dan akibat tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran (impact). 2. Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran,

baik yang sesuai dengan yang diharapkan atau tidak dan akibat tersebut tidak mampu menimbulkan perilaku baru pada kelompok sasaran (effects).

Evaluasi dampak merupakan usaha menentukan dampak atas implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok di luar sasaran atau tujuan kebijakan.

Menurut Lester dan Stewart dalam Winarno (2007:170-171), setidaknya ada tigal hal yang dapat dilakukan oleh seseorang evaluator didalam melakukan evaluasi kebijakan publik, yaitu: pertama, evaluasi kebijakan mungkin menjelaskan keluaran-keluaran kebijakan, misalnya pekerjaan, uang, materi yang diproduksi, dan pelayanan yang disediakan. Keluaran ini merupakan hasil yang nyata dari adanya kebijakan, namun tidak memberi makna sama sekali bagi seorang evaluator.

Kedua, evaluasi kebijakan barangkali mengenai kemampuan kebijakan

dalam memperbaiki masalah-masalah sosial, misalnya usaha untuk mengurangi kemacetan lalu lintas atau tingkat kriminallitas. Dan ketiga, evaluasi kebijakan barangkali menyangkut konsekuensi-konsekuensi kebijakan dalam bentuk policy feedback, termasuk didalamnya adalah reaksi dari tindakan-tindakan pemerintah atau pernyataan dalam sistem pembuatan kebijakan atau dalam beberapa pembuat keputusan.


(47)

Pada sisi yang lain, Thomas R. Dye dalam Winarno (2007:171-173) menyatakan dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semuanya harus diperhitungkan dalam membicarakan evaluasi.

1. Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat

2. Kebijakan-kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan

3. Kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada keadaan-keadaan

sekarang dan keadaan dimasa yang akan datang

4. Evaluasi juga menyangkut unsur yang lain, yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik

5. Dimensi yang terakhir dari evaluasi kebijakan adalah menyangkut biaya-biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik.

Sekalipun dampak yang sebenarnya dari suatu kebijakan mungkin sangat jauh dari yang diharapakan atau diinginkan, tetapi kebijakan tersebut pada dasarnya mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi masyarakat.

k. Model Evaluasi Yang Digunakan Peneliti

Di dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan evaluasi dampak dengan menggunakan model single program after-only. Peneliti hendak melihat keadaan kelompok sasaran sesudah program dijalankan.


(48)

2. Reformasi Administrasi Perpajakan a. Pengertian Reformasi Perpajakan

Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar pada disegala aspek perpajakan. Reformasi perpajakan yang sekarang menjadi prioritas menyangkut modernisasi administrasi perpajakan jangka menengah (tiga atau hingga enam tahun) dengan tujuan tercapainya, pertama, tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi.

Kedua, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi. Dan

ketiga, produktivitas aparat perpajakan yang tinggi. Sebagaimana kondisi

masyarakat yang selalu berubah dan tuntutan adanya reformasi diseua bidang, kondisi dan situasi yang terjadi didalam proses pemberian pelayanan maupun penerapan administrasi kepada Wajib Pajak sudah semakin kritis dalam melihat setiap perubahan kebijakan pemerintah terutama dalam bidang fiskal. Kondisi ini mau tidak mau mengharuskan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan reformasi dibdang perpajakan. Sebagaimana yang menjadi sasarn sejak tahun 2002, bahwa reformasi perpajakan secara komperhensif sebagai satu kesatuan dilakukan terhadap tiga bidang pokok atau utama secara langsung menyentuh pilar perpajakan, yaitu:

1) Bidang administrasi, yakni melallui modernisasi administasi perpajakan. 2) Bidang peraturan, dengan melakukan amandemen terhadap Undang - undang

perpajakan.


(49)

b. Reformasi Administrasi Perpajakan Indonesia

Administrasi perpajakan ialah cara-cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan perpajakan. Administrasi pajak dalam arti sempit merupakan penatausahaan dan pelayanan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban pembayaran pajak, baik penatausahaan dan pelayanan yang dilakukan di kantor pajak maupun ditempat Wajib Pajak, sedangkan administrasi pajak dalam arti luas meliputi fungsi, sistem dan organisasi atau kelembagaan. Sebagai suatu fungsi, administrasi perpajakan meliputi perencanaa, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian perpajakan.

Sebagai suatu sistem, adminisrasi perpajakan merupaka seperangkat unsur (subsistem) yaitu peraturan perundang - undangan, sarana dan prasarana, dan Wajib Pajak yang saling berkaitan yang secara bersama-sama menjalankan fungsi dan tugasnya untuk mencapai tujuan tertentu.

Sedangkan sebagai lembaga administrasi perpajakan merupakan institusi yang mengelola sistem dan mengelola proses perpajakan yang terwujud pada kantor pusat, wilayah, dan pelayanan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia juga merupakan salah satu tolak ukur kinerja administrasi pajak. Administrasi perpajakan memegang peranan yang sangat penting karena seharusnya bukan saja sebagai perangka laws enforcement, tetapi lebih penting daripada itu, sebagai service point yang memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sekaligus informasi perpajakan.

Pembaruan sistem administrasi perpajakan harus disusun dengan sebaik – baiknya sehingga menjadi instrumen yang mampu bekerja secara efektif dan


(50)

efisien. Menurut Carlos A Silvani (1992), administrasi perpajakan dikatakan efektif apabila mampu mengatasi masalah – masalah berikut :

1) Wajib Pajak yang tidak terdaftar (unregistered taxpayers)

Ini artinya, sejauh mana administrasi pajak mampu mendeteksi dan mengambil tindakan terhadap masyarakat yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak walaupun seharusnya yang bersangkutan sudah memenuhi ketentuan untuk menjadi Wajib Pajak.

2) Wajib Pajak yang tidak menyampaikan surat pemberitahuan (stopfiling

taxpayers)

Yaitu Wajib Pajak yang sudah terdaftar di administrasi kantor pajak, tetapi tidak menyampaikan surat pemberitahuan. Administrasi pajak dituntut untuk dapat mengumpulkan data sekaligus menindaklanjutinya dengan meminimalkan kasus.

3) Penyelundupan pajak (tax evaders)

Yaitu Wajib Pajak yang melaporkan pajak lebih kecil dari yang seharusnya menurut ketentua perundang – undangan perpajakan. Sistem Self Assessment yang sekarang berlaku memang rentan menyebabkan terjadinya modus kejahatan seperti ini, karena sangat tergantung dari kejujuran Wajib Pajak. 4) Penunggak pajak (delinquent taxpayers)

Dari tahun ke tahum selalu ada tunggakan pajak yang terjadi, bahkan menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Permasalahan ini seolah sudah menjadi benang kusut yang selalu dihadapi oleh otoritas pajak setiap tahunnya.


(51)

Reformasi administrasi perpajakan adalah penyempurnaan kinerja administrasi, baik secara individu, kelompok, maupun kelembagaan agar efisien dan ekonomis dan cepat (Nasucha : 2004). Hal – hal yang dibutuhkan agar reformasi administrasi perpajakan berhasil yaitu:

- Struktur pajak disederhanakan untuk kemudahan, kepatuhan, dan administrasi;

- Strategi reformasi yang cocok harus dikembangkan;

- Komitmen politik yang kuat terhadap peningkatan administrasi

perpajakan.

Elemen dasar reformasi administrasi perpajakan menurut Pallechio (19950 seperti yang dikutip oleh Nasucha memiliki syarat sebagai berikut:

- Komitmen politik yang berkelanjutan;

- Staf yang mampu berkosentrasi terhadap pekerjaan dalam jangka panjang; - Strategi yang tepat dan didefinisikan dengan baik karena tidak ada strategi

yang cocok untuk semua negara; - Pendidikan dan pelatihan pegawai;

- Tersedia dana dan sumber daya lain yang cukup.

Mengacu kepada prinsip – prinsip good governance reformasi administrasi perpajakan dengan mengedepankan tujuan penerimaan negara dan mendorong tingkat kepatuhan sukarela, mengarah ke hal – hal berikut :

1) Partisipasi masyarakat yang yang tertib sosial karena pajak pada hakekatnya dari masyarakat, oleh masyarakat dan untu masyarakat.


(52)

2) Landasan dan kepastian hukum pengenaan, pemungutan, dan penarikan pajak.

3) Transparansi baik dari administrasi perpajakan, masyarakat yang membayar pajak maupun pihak yang terkait dengan sistem perpajakan.

4) Responsiveness, yaitu peka dan fleksibel terhadap pertumbuhan sosial, politik, hukum, ekonomi dan kebutuhan publik.

5) Keadilan dalam sistem perpajakan.

6) Adanya visi strategi dari administrator pajak. 7) Prnsip efektivitas dan efisiensi.

8) Profesionalisme dalam proses perpajakan.

9) Akuntabilitas dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. 10) Supervisi sehat. (Nasucha: 2004)

Reformasi Perpajakan di Indonesia telah dilakukan pertama sekali pada tahun 1983 dimana saat itu terjadi reformasi atau perubahan sistem mendasar atas pengelolaan perpajakan Indonesia dari sistem Official Assessment ke sistem Self

Assessment . Langkah pemerintah untuk terus meningkatkan penerimaan dari

sektor pajak yaitu dengan melakukan reformasi perpajakan dari Official Assessment System menjadi Self Assessment System. Dalam official assessment

system tanggung jawab pemungutan terletak sepenuhnya pada penguasa

pemerintah, sedangkan dalam Self Assessment system Wajib Pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan besarnya pajak yang terhutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan.


(53)

c. Sistem Self Assessment

Sistem Self Assesment adalah metode yang diterapkan untuk memberi tanggung jawab penuh kepada Wajib Pajak yang mana untuk memenuhi kewajiban membayar pajak semua prosedur dan tahapannya dilakukan sendiri oleh pihak yang wajib membayar pajak tersebut. Dalam metode ini, pihak yang wajib membayar pajak diberikan wewenang untuk menghitung dan melaporkan seberapa besar beban pajak yang harus dibayar untuk setiap tahunnya, hal ini sudah ditentukan dalam Undang-Undang Perpajakan yang berlaku dan setiap Wajib Pajak harus mematuhi Undang - Undang tersebut.

Self Assesment System menurut B Ilyas dalam bukunya Perpajakan

Indonesia adalah pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar (2003:18). Sedangkan Self Assessment System menurut Siti Resmi dalam bukunya Perpajakan adalah system pemungutan pajak yang memberikan wewenang Wajib Pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak terhutang setiap tahunnya sesuai dengan undang-undang perpajakan yang berlaku (2003:27).

Pada sistem official-assessment besarnya pajak yang seharusnya terutang ditetapkan sepenuhnya oleh Fiskus (aparat pajak). Kriteria dari Official Assesment system adalah :

- Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus;


(54)

- Wajib Pajak bersifat pasif;

- Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus.

Sebaliknya Sistem Self Assessment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak (Wajib Pajak), dimana kriteria Sistem Self Assessment antara lain:

- Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada Wajib Pajak sendiri;

- Wajib Pajak Aktif mulai dari menghitung, memperhitungkan,

menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang; - Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

Sebaliknya

Perbedaannya kedua sistem ini terletak pada pemegang tanggung jawab (siapa) yang menetapkan besarnya pajak yang seharusnya terutang. Jika dalam sistem official-assessment penetapan besarnya jumlah pajak Wajib Pajak menjadi tanggung jawab Fiskus, sehingga segala resiko pajak yang akan timbul menjadi tanggung jawab Fiskus, misalnya terlambat membayar atau melapor dikarenakan keterlambatan Fiskus menetapkan besarnya jumlah pajak terutang Wajib Pajak yang harus dibayar. Keterlambatan ini bisa saja dikarenakan terbatasnya petugas pajak untuk menghitung jumlah pajak yang harus dibayar Wajib Pajak, yang nota bene tidak sedikit jumlahnya.

Pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem pemungutan pajaknya menjadi sistem Self Assessment dimana penetapan besarnya jumlah pajak yang


(55)

seharusnya terutang menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu sendiri, sehingga segala resiko pajak yang timbul menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu sendiri pula. Di sini terlihat adanya pergeseran tanggung jawab dari Fiskus kepada Wajib Pajak, yang tanpa disadari Wajib Pajak bahwa hal ini akan menjadi beban berat dalam melaksanakan kewajban perpajakannya. Fiskus dalam sistem Self

Assessment hanya bertugas mengawasi pelaksanaannya saja yaitu dengan

melakukan pemeriksaan atas kepatuhan Wajib Pajak terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. System Self Assessment yang kini dianut Indonesia memberikan kebebasan dan tanggung jawab yang besar kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Hal ini akan berhasil apabila memenuhi beberapa syarat yang diharapkan ada dalam diri Wajib Pajak yaitu:

- Kesadaran Wajib Pajak (tax consciousness) - Kejujuran Wajib Pajak

- Kemauan atau hasrat untuk membayar pajak (tax mindness)

- Kedisiplinan Wajib Pajak (tax discipline) dalam melaksanakan peraturan perpajakan.

Dalam system ini terdapat pemberian kepercayaan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk melakukan Self Assessment memberikan konsekuaensi yang berat bagi Wajib Pajak, artinya jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban-kewajiban Perpajakan yang dipikul kepadanya, sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat. Oleh karena itu sistem Self Assessment mewajibkan Wajib Pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar


(56)

Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik. Sistem ini juga dapat memberikan biaya tambahan (dalam arti luas) bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak akan mengorbankan lebih banyak waktu dan usaha serta biaya untuk membayar jasa konsultan pajak. Selain itu Self Assessment menunjukkan proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang dianggarkan akan menurun pula.

Di lain pihak system ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak terutang Wajib Pajak dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk memberitahukan (sekaligus memerintahkan pembayaran) jumlah tersebut kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan dengan hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas pemerintahan lainnya. Selain itu system Self

Assessment akan mendorong Wajib Pajak untuk memahami dengan baik atas

system perpajakan yang berlaku terhadapnya.

Selama pelaksanaan sistem Self Assessment dimulai sejak pertama kali reformasi perpajakan dilakukan hingga saat ini (1983-2009), sudah empat kali Undang - Undang KUP diubah yaitu tahun 1994, 1997, 2000 dan terakhir 2007. Perubahan yang dilakukan secara komprehensif ini membawa dampak bagi pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak, terutama perubahan-perubahan yang berhubungan dengan kewajiban Wajib Pajak dalam menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya. Sering kali


(57)

mereka dihadapkan dengan keterbatasan informasi mengenai perubahan tersebut sehingga tidak sedikit yang akhirnya mendapat teguran dari Dirjen Pajak (Direktorat Jenderal Pajak) karena tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu.

Dikarenakan Indonesia menganut sistem Self Assessment , hal ini memaksa Wajib Pajak untuk selalu aktif mencari informasi-informasi perpajakan yang terbaru, terutama yang berkaitan dengan kegiatan usahanya. Namun, tindakan Wajib Pajak tersebut kurang effektif jika tidak dibarengi dengan kebijakan Direktorat Jenderal Pajak dalam mensosialisasikan setiap informasi yang dipublikasikan kepada masyarakat. Hal ini patut diperhatikan karena tidak semua Wajib Pajak mengerti peraturan perpajakan tanpa adanya penjelasan dari Direktorat Jenderal Pajak, sehingga dapat mencegah timbulnya kesalah-pahaman antara Wajib Pajak dengan Fiskus.

Di dalam melaksanakan sistem Self Assessment, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan seperti memberikan penyuluhan perpajakan (tax dissessmination), pelayanan perpajakan (tax service), dan pengawasan perpajakan (law enforcement ). Hal tersebut harus dapat dilaksanakan secara optimal agar tercipta kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan haknya di bidang perpajakan. Penyuluhan perpajakan perlu dilakukan untuk mmberikan penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan sistem Self Assessment ini, karena tidak satu pasal pun dalam undang-undang perpajakan yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem Self Assessment kecuali di dalam penjelasan atas undang-undang R.I No.6 Tahun


(58)

1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi, Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah:

a) Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian

kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

b) Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;

c) Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (Self

Assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi

perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.

Dari penjelasan tersebut diharapkan Wajib Pajak lebih memahami kewajiban perpajakannya,namun apakah sistem Self Assessment tersebut telah memenuhi kebutuhan Wajib Pajak dan Fiskus, dimana sistem tersebut harus dapat


(59)

mengefisiensikan administrasi pajak yaitu tidak menyulitkan pemerintah dalam memungut pajak dan memudahkan Wajib Pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya.

Menurut Fritz Neumark, kemudahan dalam melakukan administrasi tercermin jika memenuhi empat syarat sebagai berikut:

a) The requirement of clarity, yaitu dalam proses pemungutan pajak terdapat kejelasan, antara lain menyangkut kejelasan mengenai subjek, objek, tarif, kapan pajak harus dibayar, di mana harus dibayar, hak-hak Wajib Pajak, sanksi hukum bagi Wajib Pajak maupun bagi pejabat pajak (kursif-pen) dan sebagainya.

b) The requirement of continuity, yaitu menyangkut perlunya kesinambungan kebijaksanaan, karena peraturan perundang-undangan kemungkinan dapat berubah-ubah dan bervariasi, tapi tetap dalam kerangka kebijakan umum perpajakan.

c) The requirement of economy, yaitu menghendaki agar organisasi dan

administrasi pajak (fiskus) dilaksanakan seefisien mungkin, karena biaya dan tenaga yang dikorbankan untuk pemungutan pajak harus seimbang, dalam hal efisiensi itu bukan hanya dari segi fiskus, tapi juga dari segi Wajib Pajak.

d) The requirement of convinience, yaitu menghendaki supaya dalam

melaksanakan kewajiban perpajakan Wajib Pajak merasa senang, maksudnya tidak merasa tertekan, merasa diburu atas kewajiban membayar pajak. Misalnya, merasa senang karena dapat mencicil hutang


(60)

pajak atau merasa senang karena tidak dipersulit dalam memperoleh kembali kelebihan membayar pajak.

Pelayanan di bidang perpajakan dilakukan untuk memberikan kenyamanan, keamanan dan kepastian bagi Wajib Pajak di dalam pemenuhan kewajiban dan haknya di bidang perpajakan. Sistem Self Assessment bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Namun system ini juga membuka adanya kemungkinan penyimpangan dari Wajib Pajak untuk tidak melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar. Direktorat Jendral pajak sebagai instansi yang diberi wewenang untuk menerapkan kebijakan dalam rangka mengawasi dan menjaga penerimaan pajak wajib untuk melakukan berbagai tindakan agar system Self Assessment berjalan dengan baik. Dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan system self assessment, Dirjen Pajak melakukan dua fungsi utama :

1) Fungsi pemeriksaaan (audit function) yang ditujukan untuk memantau dan mengawasi kepatuhan Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

2) Fungsi pemungutan atau penagihan (colection function) yang ditujukan unuk meneliti dan mencatat pembayaran pajak, meneliti bahwa semua pelaporan Wajib Pajak telah diikuti dengan pelunasan pajak yang terutang, baik sebagian maupun keseluruhan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.


(61)

Untuk meyakinkan sistem Self Assessment dilaksanakan dengan baik, perlu dilakukan pengawasan (Law enforcement ) dalam pelaksanaannya. Peran pengawasan ini dilakukan oleh Fiskus dalam bentuk pemeriksaan (tax audit) dengan maksud menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, kemudian penyidikan pajak (tax investigation) dan terakhir berupa penagihan pajak (tax collection). Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat yang diperlukan dalam melaksanakan manajemen perpajakan. Khususnya dalam Self Assessment system ada ketentuan bahwa pelaporan Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) harus dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalahan. Pembuktian tersebut dilakukan melalui serangkaian kegiatan penelitian dan pemeriksaan. Pada prinsipnya pemeriksaan merupakan kegiatan mengumpulkan bukti/bahan-bahan untuk dijadikan dasar menerbitkan Surat Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan dengan administrasi pajak. Kecuali pemeriksaan tersebut merupakan kegiatan rutin yang bukan insidental.

Penyidikan pajak dilakukan sebagai salah satu upaya Direktorat Jenderal Pajak untuk menindak Wajib Pajak yang telah melakukan tindakan pidana dalam bidang perpajakan. Menurut undang-undang perpajakan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan terjadinya tindakan pidana dalam perpajakan apabila Wajib Pajak melakukan hal-hal seperti alpa, sengaja, percobaan dan pengulangan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan penyidikan untuk mencari dan


(62)

mengumpilkan bukti serta memperjelas tindak pidana pajak yang telah dilakukan Wajib Pajak.

Penagihan pajak dilakukan apabila terdapat selisih perhitungan pajak terutang dalam SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dengan perhitungan menurut Fiskus sehingga timbul pajak terutang kurang bayar. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) untuk Wajib Pajak yang bersangkutan. Penagihan pajak juga dilakukan atas sanksi admnistrasi pajak berupa bunga dan denda yang timbul akibat kelalaian Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang belum dilunasi Wajib Pajak yang bersangkutan.

Dalam praktiknya, sistem Self Assessment ini masih terbentur dengan beberapa kendala, diantaranya sebagai berikut:

1) Kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri masih diragukan kebenarannya,oleh karena itu dapat menimbulkan terjadinya penyeludupan pajak karena yang mengetahui kebenaran SPT yang dilaporkan Wajib Pajak hanya ia sendiri.

2) Masih banyaknya Wajib Pajak yang kesulitan untuk

menghitung/memperhitungkan pajak yang terutang, karena di dalam undang-undang tidak dijelaskan secara terinci bagaimana menghitung pajak terutang untuk berbagai jenis usaha, sehingga banyak perusahaan yang akhirnya melakukan kesalahan dalam menghitung pajak terutangnya. Lain halnya ketika Wajib Pajak harus melakukan rekonsiliasi laporan


(63)

keuangan komersial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan menjadi laporan keuangan fiskal. Seperti yang dilakukan di Belanda, dimana laporan keuangan fiskal merupakan by product dari akuntansi komersial.

3) Kendala juga tidak terjadi di pihak Wajib Pajak, di pihak fiskus juga terjadi masalah yaitu terbatasnya akses data Wajib Pajak yang dimiliki oleh pihak ketiga sehingga mempersulit Direktorat Jenderal Pajak untuk mendeteksi kebenaran isi SPT yang dilaporkan Wajib Pajak. Sehingga pengawasan tidak dapat dilakukan secara optimal.

Sejauh ini pelaksanaan sistem Self Assessment masih dipertahankan sesuai dengan yang tertera di dalam peraturan perundang-undangan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.28 tahun 2007. Perubahan undang-undang yang terakhir ini sudah lebih banyak menunjukkan perkembangannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Fasilitas pelayanan pun sudah ditingkatkan dengan adanya modernisasi di kantor-kantor pelayanan pajak sehingga lebih memudahkan akses Wajib Pajak untuk mencari informasi perpajakan terkini, dan Wajib Pajak yang memilki mobilitas tinggi.

Untuk menilai kinerja sistem pemungutan pajak ini, diperlukan beberapa alat ukur, menurut penelitian Gunawan Setiyaji dan Hidayat Amir, diantaranya :

1) Penerimaan pajak

2) Tax ratio (tax coverage ratio dan tax buoyancy ratio) 3) Jumlah pertambahan Wajib Pajak


(64)

d. Kewajiban Wajib Pajak

Selain mempunyai hak, Wajib Pajak juga harus menjalankan kewajibannya. Kewajiban-kewajiban sebagai Wajib Pajak berdasarkan undang-undang sebagai berikut:

1) Mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor pengukuhan pengusaha kena pajak.

2) Menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak terutang, termasuk kewajiban pemungut dan pemotong pajak.

3) SPT

Mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, jelas, lengkap, dan ditandatangani.

4) Pembukuan

- Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. - Menyimpan pembukuan selama 5 tahun.

5) Pembayaran utang

Menangung renteng pembayaran PPN maupun akibat adanya utang pajak. Artinya, kita ikut bertanggung jawab melunasi utang meskipun terutang atas nama perusahaan milik kita.

6) Dan lain-lain (Widodo, 2008)


(65)

3. Sosialisasi Perpajakan a. Pegertian sosialisasi

Kegiatan penyuluhan pajak memiliki andil besar dalam mensukseksan sosialisasi pajak keseluruhan Wajib Pajak. Hal ini tertuang dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP.114/PJ/2005 tentang Pembentukan Tim Sosialisasi Perpajakan. Berbagai media diharapkan mampu menggugah kesadaran Wajib Pajak dalam rangka meningkatkan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak dalam rangka pentingya pajak bagi pembiayaan negara dapat tersampaikan.

Sosialisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti yaitu proses belajar seseorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyrakat di lingkungannya. Arti berikutnya adalah upaya memasyarakatkan sesuatu sehingga menjadi dikenal, dipahami, dihayati oleh masyarakat atau pemasyarakatan.

Pengertian sosialisasi menurut Soerjono Soekanto adalah suatu proses yang menempatkan anggota masyarakat yang baru mempelajari norma – norma dan nilai – nilai masyarakat di tempat dia menjadi anggota, sedangkan pengertian sosialisasi menurut Robert M.Z Lawang adalah proses mempelajari norma, nilai, peran dan persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif dalam kehidupan sosial. Broom dan Seznic (1961) menyatakan bahwa sosialisasi adalah proses membangun atau menanamkan nilai – nilai kelompok pada diri seseorang.

Ritcher Jr, (1987) Sosialisasi adalah proses seseorang memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap agar dapat berfungsi sebagai orang dewasa


(66)

dan sekaligus sebagai pemeran aktif dalam suatu kedudukan atau peranan tertentu di masyarakat.

Menurut samudera (2004:6) bahwa dalam melakukan sosialisasi perlu adanya strategi dan metode yang tepat yang dapat diaplikasikan dengan baik, yaitu : publikasi, kegiatan, pemberitaan, keterlibatan komunitas, pencantuman identitas, dan pendekatan pribadi.

Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan beberapa pengertian pokok sosialiasi sebagai berikut:

1) Sosialisasi adalah proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia.

2) Dalam sosialisasi terjadi saling mempengaruh antara individu beserta segala potensi kemanusiaan masyarakat beserta kebudayaannya.

3) Melalui proses sosialisasi individu menyerap pengetahuan, kepercayaan nilai – nilai norma, sikap dan keterampilan – keterampilan dari budaya masyarakatnya.

4) Hasil sosialisasi adalah berkembangnya kepribadian seseorang menjadi suatu pribadi yang unik, sedangkan kebudayaan masyarakat juga terpelihara dan berkembang melalui proses sosialisasi.

b. Dimensi Sosialisasi Perpajakan

Dampak dari adanya beberapa perubahan dalam undang - undang perpajakan mengharuskan Direktorat Jendral Pajak untuk melakukan sosialisasi perpajakan dan juga turut membantu masyarakat dalam memahami peraturan pajak terbaru. Dengan kegiatan sosialisasi perpajakan diharapkan dapat


(1)

DOKUMENTASI DENGAN INFORMAN

Ket: Bersama salah satu Informan di KPP Pratama Medan Kota

Ket: Memperoleh data sekunder dan wawancara bersama Informan di KPP Pratama Medan Kota


(2)

DOKUMENTASI DENGAN INFORMAN

Ket: Interview salah satu wajib pajak, sebagai informan di KPP Pratama Medan Kota

Ket: Interview salah satu wajib pajak, sebagai informan di KPP Pratama Medan Kota


(3)

DOKUMENTASI LOKASI PENELITIAN

Ket: Tempat Pelayanan Terpadu KPP Pratama Medan Kota


(4)

DOKUMENTASI KEGIATAN SOSIALISASI PERPAJAKAN

Ket: Aksi turun ke jalan membagikan flyer berisikan himbauan dan informasi penyampaian mengenai Surat Pemberitahuan Tahunan pada 2013

Ket: Dipasang spanduk berisi himbauan penyampaian SPT Tahunan pada angkutan umum (becak motor)


(5)

DOKUMENTASI KEGIATAN SOSIALISASI PERPAJAKAN

Ket: Pojok Pajak pada acara DIES NATALIS IMPROSAJA KE-XVII di FISIP USU tahun 2013

Ket:Tax Goes To Campus, bekerja sama dengan Ikatan Mahasiswa Program Studi Administrasi Perpajakan FISIP USU


(6)

DOKUMENTASI KEGIATAN SOSIALISASI PERPAJAKAN


Dokumen yang terkait

Praktik Kerja Lapangan Mandiri Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur

0 42 64

Analisis Data Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan Dalam Melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Polonia

3 68 66

Pelaksanaan Penyuluhan Dalam Upaya Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Untuk Memenuhi Kewajiban Perpajakan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Petisah

2 44 65

Mekanisme Perekaman Data Informasi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Binjai

0 65 63

Pelaksanaan Pengawasan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat

0 43 43

Analisis Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Atas Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Secara E-Filing Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota.

3 123 80

Pelaksanaan Pemeriksaan Surat Pemberitahuan (Spt) Tahunan Pada Seksi Pph Badan Di Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota

1 45 64

Pelaksanaan Penyuluhan Dalam Upaya Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Untuk Memenuhi Kewajiban Perpajakan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Petisah

1 37 33

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Dampak Pelaksanaan Sosialisasi Perpajakan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Pada Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota)

0 1 71

Dampak Pelaksanaan Sosialisasi Perpajakan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Pada Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota)

0 0 14