BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Sejak awal kelahirannya, perbankan syari`ah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern: neorevivalis dan modernis.
Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslim untuk mendasari segenap aspek
kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia
sekitar tahun 1940-an. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank
di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo Mesir. Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana ini, bank syari`ah
tumbuh dengan sangat pesat yang beroperasi di seluruh dunia, baik di negara- negara yang berpenduduk muslim maupun di Eropa, Australia dan Amerika.
Satu hal yang juga patut dicatat adalah saat ini banyak nama besar dalam dunia keuangan internasional seperti Citibank, Jardine Flemming, ANZ,
Chase Chemical Bank , Goldman Sach, dan lain-lain telah membuka cabang
dan subsidiaries yang berdasarkan syari`ah. Dalam dunia pasar modal pun, Islamic fund kini ramai
diperdagangkan, suatu hal yang mendorong singa pasar modal dunia Dow Jones
untuk menerbitkan Islamic Dow Jones Index . Oleh karena itu tak heran
jika Scharf, mantan direktur utama bank syari`ah Denmark yang non muslim itu, menyatakan bahwa bank syari`ah adalah partner baru pembangunan.
Berkembangnya bank-bank syari`ah di negara-negara Islam berpengaruh sampai ke Indonesia. Aspek hukum yang mendasari
perkembangan bank syari`ah di Indonesia adalah UU No 7 Tahun 1992. Dalam UU tersebut prinsip syari`ah masih samar, yang dinyatakan sebagai
prinsip bagi hasil. Prinsip perbankan syari`ah secara tegas dinyatakan dalam UU No. 10 Tahun 1998, yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan UU No. 3 tahun 2004. Dalam Undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum
serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-
bank konvensional
untuk membuka
unit syari`ah
atau bahkan mengkonversikan diri secara total menjadi bank syari`ah.
Di sisi yang lain, banyak pihak yang sangat diuntungkan dengan kehadiran perbankan syari`ah di Indonesia terutama dunia usaha. Pada saat
produsen harus membayar input modal yang digunakan, terutama ketika tidak menggunakan modalnya sendiri. Produsen akan mencari pembiayaan dari
pihak lain, misalnya melalui perbankan syari`ah. Atas penggunaan modal dari pihak lain ini kemudian produsen harus memberikan kompensasi kepada
pemilik modal.
Dalam ekonomi konvensional, kompensasi ini terutama berwujud bunga, karenanya bunga dapat disebut sebagai price of capital. Dalam
ekonomi Islam, eksistensi bunga tidak bisa dipertahankan karena adanya larangan Allah Subhanahu Wa Ta`ala mengenai hal ini. Bunga adalah riba,
sedangkan riba adalah haram. Sebagai alternatif penggantinya ajaran Islam menawarkan konsep profit and loss sharing atau bagi rugi dan bagi untung
sering disebut bagi hasil saja yang dipandang lebih mencerminkan keadilan bagi para pelaku ekonomi.
Aktivitas bagi hasil yang dilakukan perbankan syari`ah ini memang potensial dalam menggerakkan dunia usaha yaitu untuk memajukan usaha
produktif. Sebagai sektor yang tergolong modern usaha produktif tidak bisa dilepaskan dari keberadaan perbankan, karena selama ini banyak yang
memperoleh kredit atau pinjaman dari sektor perbankan. Mekanisme pembiayaan melalui perbankan syari`ah yang berbasis bagi hasil akan lebih
fleksibel dalam menyikapi kondisi dunia usaha, yang adakalanya dihadapkan pada kondisi untung dan adakalanya dihadapkan pada kondisi rugi.
Sistem pembiayaan bagi hasil ini sangat berbeda dengan sistem pembiayaan perbankan konvensional berbasis bunga yang mengasumsikan
hasil usaha akan selalu bernilai positif, sehingga peminjam pelaku usaha harus selalu dapat membayar pokok pinjaman berikut bunganya. Kondisi ini
akan sangat membebani pelaku usaha, terutama jika ia mengalami kerugian, sementara penyedia modal akan berada pada pihak yang terus menerus
diuntungkan. Kondisi yang berat sebelah ini membuat dunia usaha semakin
terpuruk. Sehingga berdasarkan kenyataan empiris tersebut memang perlu adanya alternatif pembiayaan yang bisa memberikan iklim usaha yang
kondusif bagi berkembangnya dunia usaha dan menggerakkan kembali sektor ekonomi riil.
Berdasarkan pengamatan lebih mendalam, terdapat keunikan yang terjadi di dalam Statistik Perbankan Syari`ah yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia. Dari data tahun 2003 sampai tahun 2009 pembiayaan nominal bagi hasil bukanlah pembiayaan yang menempati posisi utama, pembiayaan
murabahah yang berprinsip jual beli dan sewalah yang mendominasi dari
seluruh pembiayaan yang ada Statistik Perbankan Syari`ah, 2009. Dengan kata lain permintaan akan pembiayaan bagi hasil masih cenderung berada di
bawah pembiayaan murabahah. Kegentingan pembiayaan kredit pada bank syari`ah di Turki yang
disinyalir oleh Starr dan Yilmaz 2005 juga mengalami hal yang sama seperti di Indonesia yaitu disebabkan adanya masalah pada sisi permintaan kredit.
Transaksi syari`ah lebih didominasi 90 oleh murabahah dari pada mudharabah
. Murabahah merupakan bentuk transaksi pembelian barang melalui bank, mirip dengan kredit konsumen pada perbankan konvensional.
Sementara mudharabah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan sistem transaksi bagi untung dan bagi rugi profit and loss
sharing atau jika usaha untung atau rugi baik pihak pemodal bank maupun
pengusaha harus
bersama-sama menanggungnya
Antonio, 1999.
Mudharabah bagi hasil merupakan sistem andalan transaksi perbankan
syari`ah untuk menggantikan konsep riba atau tingkat suku bunga yang diterapkan oleh perbankan konvensional.
Konsep mudharabah dipergunakan baik untuk mengumpulkan modal dari masyarakat maupun untuk menyalurkan pembiayaan kredit
kepada nasabah. Dari sudut pengumpulan dana, mudharabah mendominasi penghimpunan dana perbankan syari`ah di Indonesia. Yakni pada tahun 2007,
deposito mudharabah telah mencapai 52,86 dari total pengumpulan dana perbankan syari`ah. Pada tahun 2008 dan 2009 mengalami kenaikan masing-
masing menjadi 54,66 dan 56,62 lihat tabel 1.1.
Tabel 1.1 Komposisi Dana Pihak Ketiga yang Dihimpun Perbankan Syari`ah
Dalam Milyar Rupiah
Jenis Data 2007
2008 2009
Nilai share
Nilai Share
Nilai share
Giro Wadiah 3.750
13,39 4.238
11,50 6.202
11,87 Tabungan Mudharabah
9.454 33,75
12.471 33,84
16.475 31,52
Deposito Mudharabah 14.807
52,86 20.143
54,66 29.595
56,62 Total
28.012 100
36.852 100
52.271 100
Sumber: Bank Indonesia, 2009
Sementara itu, untuk menyalurkan pembiayaan selama periode itu justru paling besar ditempati oleh transaksi murabahah yaitu sekitar 59,24
pada tahun 2007, 58,87 pada tahun 2008, dan 56,14 pada tahun 2009. Sebaliknya model penyaluran pembiayaan mudharabah relatif masih rendah,
seperti pada tahun 2007 hanya sebesar 19,96, pada tahun 2008 turun menjadi 19,40 dan naik menjadi 22,21 pada tahun 2009 lihat tabel 1.2
Tabel 1.2 Komposisi Pembiayaan yang Diberikan Dalam Milyar Rupiah
Jenis Pembiayaan 2007
2008 2009
Nilai share
Nilai Share
Nilai share
Musyarakah 4.406
15,77 6.205
16,25 6.597
14,07 Mudharabah
5.578 19,96
7.411 19,40
10.412 22,21
Piutang Murabahah 16.553
59,24 22.486
58,87 26.321
56,14 Piutang Istishna`
351 1,26
369 0,97
423 0,9
Lainnya 1.056
3,78 1.724
4,51 3.134
6,68 Total
27.944 100
38.195 100
46.886 100
Sumber: Bank Indonesia, 2009
Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa untuk penghimpunan dana, cara mudharabah sudah mampu menghimpun dana relatif besar,
sementara untuk pembiayaan mudharabah masih kalah jauh dari murabahah. Di kalangan praktisi perbankan syari`ah memang sering ada pendapat bahwa
banyak masyarakat menyimpan uang di perbankan syari`ah dengan sistem mudharabah
karena bagi hasilnya tinggi, sehingga masyarakat merasa “diuntungkan”. Sebaliknya dalam urusan pembiayaan masyarakat justru
menghindari mudharabah, karena bagi hasilnya tinggi di mana yang diuntungkan adalah pemilik modal bank.
Hal ini memang sungguh disayangkan karena, meskipun perbankan syari`ah memiliki karakteristik bagi hasil, berprinsip dengan sistem bagi hasil,
tetapi pada kenyataannya total pembiayaan dengan prinsip bagi hasil tidak pernah lebih dari setengah total pembiayaan dengan prinsip murabahah jual
beli. Hal tersebut merupakan sebuah fenomena yang menarik karena diharapkan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil lebih mendominasi.
Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil diharapkan lebih mengembangkan dunia usaha dan menggerakkan sektor riil di Indonesia karena menutup
kemungkinan disalurkannya dana pada kepentingan konsumtif dan hanya pada usaha produktif. Dalam pandangan Islam, uang dapat berkembang hanya
dengan suatu produktivitas yang nyata. Selain itu, apabila ditinjau dari konsep bagi hasil, maka harus ada
return yang dibagi, hal tersebut hanya bisa terjadi bila uang digunakan untuk
usaha produktif. Bila ditinjau dari prinsip ketaatan terhadap syari`ah, pembiayaan dengan prinsip jual beli dan sewa menimbulkan celah lebih besar
untuk melakukan penyimpangan terhadap prinsip syari`ah, ditambah lagi dengan risiko yang dihadapi akan lebih besar. Hal ini berbeda dengan prinsip
pembiayaan mudharabah yang berbagi rugi dan berbagi untung. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk
meneliti pembiayaan mudharabah dengan analisis tidak hanya terfokus pada sektor perbankan tetapi juga di luar sektor perbankan. Variabel sektor
perbankan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah tingkat bagi hasil dan Jakarta Islamic Index JII, sedangkan variabel di luar sektor
perbankan yang digunakan antara lain: tingkat inflasi, PDB dan kurs RupiahUS yang sebenarnya sangat mungkin berpengaruh terhadap
kelancaran penyaluran pembiayaan mudharabah. Oleh karena itu dengan berpijak dari masalah-masalah di atas
mendorong penulis untuk mengadakan penelitian mengenai permintaan pembiayaan mudharabah dengan mengambil judul:
“ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARI`AH DI
INDONESIA PERIODE 2003-2009.”
B. Perumusan Masalah