Sebagai alternatif areal pertanaman, dalam berbagai tinjauan aspek lahan rawa sudah banyak diteliti dan dikembangkan, namun aspek keteknikannya hanya
sedikit sekali tersentuh. Tajak sebagai alat tradisional yang digunakan pada proses penyiapan lahan belum banyak diteliti. Alat ini dapat dikembangkan
menjadi alat yang lebih ergonomis, modern dan mampu bekerja di lahan rawa, sebagai mana berkembangnya berbagai alat mekanis dengan teknologi canggih
serta sesuai dengan antropometri pengguna, namun dikembangkan dari alat tradisional dan sederhana yang berkembang dimasyarakat.
Pengembangan lahan rawa secara umum harus memenuhi tiga syarat yaitu, secara teknis bisa dilaksanakan dan diterima masyarakat, secara ekonomi layak
dan menguntungkan, serta tidak merusak lingkungan. Kedepan kebijakan pemanfaaatan lahan rawa sebagai alternatif lahan pertanian memerlukan banyak
usaha dan dukungan, antara lain dari penelitian. Termasuk didalamnya adalah pengembangan tajak sebagai alat penyiapan lahan yang tepat di lahan rawa.
1.2 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis tingkat beban kerja subjek pada pengolahan tanah secara manual menggunakan alat tradisional tajak di lahan rawa lebak Kabupaten Banjar
Kalimantan Selatan 2. Menganalisis kesesuaian dimensi tajak terhadap penggunanya melalui analisis
gerak motion analysis dan pendekatan antropometri 3. Menguji efektifitas penggunaan tajak di lahan rawa lebak dengan paremeter
gulma yang terangkat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan Rawa
Rawa adalah wilayah sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau lebak yang masuk ke pedalaman atau sejauh dirasakan pengaruh gerakan pasang,
sehingga rawa dapat dikatakan sebagai lahan yang mendapat pengaruh pasang surut air laut atau sungai sekitarnya. Pada saat musim hujan lahan tergenang
sampai satu meter, tetapi pada musim kemarau menjadi kering bahkan sebagian muka air tanah turun mencapai jeluk depth 50 cm dari permukaan tanah
Noor 2004. Rawa mempunyai beberapa istilah padanan, antara lain disebut swamp,
marsh , atau bog. Secara khusus, tanah rawa disebut dengan flooded soils,
waterlogged atau submerged soils Moorhan dan Breemen 1976; Ponnamperuma
1977 dalam Noor 2004. Hasil pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang
Surut di Cisarua, Bogor tahun 1992 disepakati istilah rawa pasang surut mempunyai dua pengertian, yaitu rawa pasang surut tidal swamp dan rawa lebak
swampy atau nontidal swamps. Rawa pasang surut diartikan sebagai daerah rawa yang mendapat pengaruh langsung atau tidak langsung oleh ayunan pasang
surutnya air laut atau sungai sekitarnya, sedangkan rawa lebak diartikan sebagai daerah rawa yang mengalami genangan selama lebih dari tiga bulan dengan tinggi
genangan terendah antara 25-50 cm Noor 2004.
2.2 Tipologi Lahan Rawa
Berdasarkan macam dan tingkat kendala dalam pengembangan dan pengelolaan, khususnya untuk pertanian, lahan rawa dibagi menjadi lima tipologi
yaitu 1 lahan potensial, 2 lahan sulfat masam, 3 lahan gambut, 4 lahan salin atau pantai, dan 5 lahan lebak. Berdasarkan tinggi rendahnya luapan, lahan
pasang surut dibagi menjadi empat tipe luapan, yaitu tipe A, B, C, dan D. Sedangkan lahan lebak berdasarkan tinggi dan lamanya genangan dibagi menjadi
tiga tipe genangan, yaitu lebak dangkal, tengahan dan dalam. Selanjutnya, berdasarkan jenis tanahnya, kawasan rawa ditempati tiga kelompk tanah utama,
yaitu 1 tanah gambut peat soil, 2 tanah marin sulfat masam acid sulphate soils
, dan 3 tanah aluvial non sulfat masam, termasuk tanah salin Subagyo, 2006. Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai DAS
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai Subagyo 2006
2.3 Kendala Pengembangan Lahan Rawa