f. TSS Total Suspended Solid
Hasil analisis kualitas air untuk parameter TSS di Kecamatan Keling pada lokasi sumber air Clering CLR dan Ujung Watu UJW masing-masing
menunjukkan kategori S2 dan S3 yaitu 75,6 ppm dan 122 ppm, sehingga memiliki faktor pembatas tidak serius maupun faktor pembatas cukup serius. Sebaran TSS
sumber air di Kecamatan Keling dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai padatan total tersuspensi TSS yang mencapai lebih tinggi menyebabkan
kecerahan air menjadi sangat rendah. Kondisi air keruh menyebabkan penetrasi cahaya juga rendah, yang berakibat secara langsung pada pertumbuhan fitoplankton
yang juga rendah. TSS mengalami peningkatan secara gradual atau bertahap. Peningkatan TSS juga seiring dengan hari pemeliharaan organisme di tambak.
Menurut NTAC 1968 dalam Kahar et al. 1991, agar kehidupan ikan tidak terganggu, nilai padatan tersuspensi TSS tidak boleh lebih dari 400 ppm. Sedangkan
menurut Taslihan dan Utaminingsih 1995, bahwa TSS perairan dan untuk budidaya ikan di tambak adalah berkisar 78 ppm masih cukup baik. Untuk perairan yang layak
kandungan TSS adalah tidak lebih dari 29,35 ppm BBAP, 1995. Untuk megatasi TTS yang tinggi antara lain dengan pembuatan petak-petak
tandon untuk penampungan air untuk mengendapkan partikel lumpur. Alternatif lain yang dapat juga dilakukan adalah penanaman rumput laut atau jenis kekerangan.
Gambar 14. Peta sebaran TSS di sumber air di wilayah pesisir Kec. Keling
g. BO Bahan Organik
Dari hasil analisis kualitas air untuk parameter BO di Kecamatan Keling pada lokasi sumber air Clering CLR dan Ujung Watu UJW masing-masing
menunjukkan kategori N1 dan S3, yaitu 238,18 ppm dan 143,62 ppm, sehingga memiliki faktor pembatas serius maupun faktor pembatas yang cukup serius. Sebaran
kandungan BO sumber air di Kecamatan Keling dapat dilihat pada Gambar 15. Bahan organik yang terkandung dalam perairan biasanya berasal dari sisa-sisa
organisme mati dan merupakan limbah yang terakumulasi. Sedangkan bahan organik yang berada dalam media tambak berasal dari proses produksi dari sistem budidaya
ikan atau hewan akuatik lainnya. Bahan organik ini bercampur dengan tanah melalui perkolasi Boyd, 1990 dan pencampuran saat pengolahan tanah.
Gambar 15. Peta sebaran kandungan BO di sumber air di Kec. Keling
Menurut Suastika Jaya dan Adiwijaya 1995, dampak negatif dari tingginya bahan organik di dasar perairan antara lain disebabkan meningkatnya konsumsi
oksigen dasar, tingginya kadar amonia dan bakteri di dasar perairan atau tambak. Kondisi ini potensial sebagai pengganggu kenyamanan hidup organisme di tambak.
Kandunagn bahan organik juga lebih ditentukan oleh tektur tanah. Pengaruh bahan organik secara langsung pada organisme yang dipelihara adalah berupa gangguan
pada sistem pernafasan. Kandungan bahan organik dalam jumlah yang cukup tinggi,
dapat menyebabkan blooming fitoplankton. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen yang mengakibatkan penurunan kualitas air.
Sedangkan BO perairan tambak optimal untuk budidaya ikan kerapu di tambak adalah kurang dari 40 ppm. Sedangkan kemampuan toleran adalah berkisar 50-60
ppm Supratno dan Kasnadi, 2003. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi atau meminimalisir
kandungan BO dalam air adalah dengan penggantian air secara rutin terutama bagian dasar, juga dilakukan penggunaan aerasi atau kincir. Sebagai antisipasi awal dapat
dilakukan pengangkatan dan penjemuran yang lebih lama pada waktu persiapan tambak, sehingga terjadi proses oksidasi yang lebih sempurna.
h. Kecerahan