Model Usaha Kecil Gula Tumbu Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Kudus Jawa Tengah

(1)

DI KABUPATEN KUDUS

JAWA TENGAH

A. SUTOWO LATIEF

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : MODEL USAHA KECIL GULA TUMBU BERWAWASAN LINGKUNGAN DI

KABUPATEN KUDUS JAWA TENGAH adalah hasil penelitian saya yang

dibimbing Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS, Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N, M.Eng dan Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc dan belum diajukan dalam bentuk apapun dalam perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2010

A. Sutowo Latief


(3)

A. SUTOWO LATIEF. The Environmental Friendly Management of Brown Sugarcane Small Business Model in Kudus Regency of Central Java. Supervised by RIZAL SYARIEF, BAMBANG PRAMUDYA N and MUHADIONO.

This research aims to build Model of Brown Sugarcane Small Business which is having vision of environment friendly in Kudus Regency of Central Java. This model consists of (1) sub model of sugarcane productivity, (2) sub model of quality improved, (3) sub model of financial analysis. Research method used combination of field experimental design, laboratory experimental design and survey with quesioner as interview guidence and also with direct observation at industrials location. The result of researh was sugarcane productivity with chemical fertilizer treatment: Po = 100%, P1 = 75%, P2 = 50%, and P3 = 25% from farmer’s habit, added liquid organic fertilizer. There are significant difference and the highest productity was P2 = 21.67 kg/m2 or 184 ton per hactare year. Cost of farming sugarcane save was Rp 697.500 per hectare year and farming benefit was Rp. 18.150.300 per hectare year. Improvement of brown sugarcane quality was done experimentally laboratory by sulphitasion method. Lime was added into cane juice up to pH 9 then add sulphite acid up to pH 7 and pH 8 in temperature 50ºC – 60ºC till boiled and filtering. Mature temperature were: 70ºC, 80ºC, 90ºC and 100ºC. The quality parameter or independent variable were: (1) water content, (2) sucrose content, (3) glucose content, (4) eficiency, (5) colour, (6) taste, (7) smell, and (8) hardness. The result of brown sugarcane fulfil first quality of SNI1-6237-2000, the best method mature cane juice in temperature 100°C, to pH 7. Labour total average 9 person per unit of Brown Sugarcane Small Business. The whole of household family of Brown Sugarcane Small Business in Kudus Regency are 1204 persons. Total Brown Sugarcane Small Business in Kudus Regency as much as 308 units. Added value magnitude were 29 %, worker share was 48 %, entrepreneur profit every day was Rp 235.707 or 14,5 %. Net profit every season mills during 5 months were Rp 30.641.910. The business activity of Brown Sugarcane Small Business proper carried out. Based on the value of NPV = Rp 57.451.031, IRR = 51 % wich as bigger than bank interrest , Net B/C = 2,17 > 1, and PBP =1,89 year, less than 5 years. Environment Friendly Management of Brown Sugarcane Small Business Model in Kudus Regency of Central Java is built based on financial that are alloyed of three sub model. The model is : TPDRB = Pp x Po x Lt x Ht + U x Hr x Bl {Bg x (1+Ph) x Hg – Ch}

-{(Bg x Hg ) – Ch}. The model was designed by software excel so can be simulated with any options and assumtions.

Key word: brown sugarcane, environment friendly, model , small bussines,


(4)

A. SUTOWO LATIEF. Usaha Kecil Gula Tumbu Berwawasan Lingkungan di Kabupeten Kudus Jawa Tengah. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, BAMBANG PRAMUDYA N dan MUHADIONO.

Usaha Kecil Gula Tumbu adalah kegiatan usaha mengolah tebu menjadi gula merah yang disebut gula tumbu. Hal ini dilakukan oleh sebagian masyarakat kabupaten Kudus Jawa Tengah secara tradisional, turun temurun. Penelitian ini mengangkat masalah UKGT agar dikenal masyarakat lebih luas dengan membangun model UKGT berwawasan lingkungan yang terdiri dari (1) sub model produktivitas tebu, (2) sub model peningkatan mutu gula tumbu, (3) sub model analisis finansial.

Metode penelitian yang digunakan adalah kombinasi, pertama rancangan percobaan lapang terhadap produktivitas tanaman tebu, yaitu Rancangan Acak Kelompok (RAK) 4 kali perlakuan pemupukan dan 3 kali ulangan, kedua percobaan laboratorium untuk meningkatkan mutu gula tumbu melalui metode sulfitasi agar memenuhi mutu I sesuai SNI 1-6237-200 yaitu Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALF), 2 faktor pH, 4 faktor suhu dan 3 kali pengulangan (2 x 4 x 3) dan, ketiga survei dengan kuisioner sebagai panduan wawancara terhadap pengusaha gula tumbu dan observasi langsung di lokasi kegiatan produksi.

Penggunaan pupuk kimia dalam jangka pendek dapat meningkatkan produktivitas tanaman, tetapi dalam jangka panjang justru merusak kesuburan tanah dan menurunkan produktivitas. Agar produktivitas stabil petani menggunakan pupuk kimia semakin meningkat dari tahun ke tahun, akibatnya selain tanah semakin rusak, biaya masukan untuk menanam tebu semakin mahal karena harga pupuk kimia juga semakin mahal. Oleh karena itu perlu penelitian perlakuan pemupukan dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia dan menambah pupuk organik cair Nd. Perlakuan pupuk kimia : Po = 100 %, P1 = 75 %, P2 = 50 %, dan P3 = 25 % dari kebiasaan petani, ditambah pupuk organik cair Nd dengan dosis 5 ml diencerkan dengan 1,5 l air bersih digunakan untuk tiap petak percobaan luas 25 meter persegi. Pemupukan dilakukan 2 kali dalam setahun, pemupukan kimia dan organik dilakukan selang 3 – 5 hari. Produktivitas tebu varitas R 579 sistem keprasan berdasar taraf signifikansi 5% menunjukkan perbedaan nyata. Sub model produktivitas tebu dirancang berdasar atas skenario, yaitu : (1) Po = 18,33 kg/m2 (156 ton/ha.tahun) keuntungan usahatani tebu = Rp.12.960.000/ha.tahun, (2) P2 = 21,67 kg/m2 (184 kg/ha.tahun) keuntungan usahatani tebu = Rp.18.150.300/ha.tahun, (3) P3 = 20,33 kg/m2 (173 ton/ha.tahun) keuntungan usahatani tebu Rp.16.901.850/ha.tahun. Gula tumbu merupakan salah satu produk pangan olahan, sehingga perlu diperhatikan agar gula tumbu bermutu, layak dikonsumsi dan aman bagi kesehatan. Untuk meningkatkan mutu gula tumbu dimulai dari proses penjernihan nira dengan metode sulfitasi. Larutan kapur tohor ditambahkan kedalam nira hingga mencapai pH 9 kemudian ditambah asam sulfit hingga menjadi pH 7 dan pH 8 pada suhu 50ºC – 60ºC, dididih kemudian disaring. Selanjutnya kedua macam nira dipanaskan dengan berbagai


(5)

percobaan laboratorium telah memenuhi mutu I sesuai SNI 1-6237-2000. Sub model peningkatan mutu gula tumbu yang dirancang dalam laboratorium menghasilkan suatu metode terbaik yaitu mengolah nira menjadi pH 7 dan mematangkan nira pada suhu konstan 100ºC. Peningkatan mutu gula tumbu akan berdampak terhadap harga gula tumbu. Berdasar atas asumsi (1) optimis, harga gula tumbu meningkat 10%, (2) moderat, meningkat 5%, dan (3) pesimis, meningkat 1%.

Setiap kegiatan usaha perlu di analisis, apakah usaha tersebut menguntungkan dan layak dilaksanakan jika investor ingin menanamkan modalnya. Berdasar atas struktur produksi UKGT besarnya nilai tambah = 29 %, saham pekerja = 48 %, keuntungan pengusaha tiap hari rerata = Rp. 235.707 atau tingkat keuntungan = 14,5 %. Penghasilan bersih setiap musim giling selama 5 bulan yaitu sebesar Rp 30.641.910. Kegiatan UKGT juga layak dilaksanakan, berdasar atas nilai NPV = 53.716.653 (positif), IRR = 55,7% lebih besar dari pada bunga bank; Net B/C = 2,1 > 1; dan PBP =1,96 tahun, kurang dari 5 tahun. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usaha IKGT menjadi tidak layak jika terjadi penurunan harga gula tumbu hingga 10 persen dan harga tebu tetap. Begitu pula tidak layak jika terjadi kenaikan harga tebu hingga 15% tanpa diikuti kenaikan harga gula tumbu.

Model UKGT dibangun berdasar atas perpaduan antara sub model produktivitas tebu, sub model peningkatan mutu dan sub model kelayakan finansial, dinyatakan sebagai berikut :

TPDRB = Pp x Po x Lt x Ht + U x Hr x Bl {Bg x (1+Ph) x Hg – Ch}

- {(Bg x Hg ) – Ch}.

Skenario perlakuan pemupukan dan asumsi peningkatan harga gula tumbu dapat dilakukan simulasi menggunakan software Microsoft Excel 2003, dengan memasukkan harga yang dikehendaki maka diketahui antara lain sebagai berikut: Tebu yang digiling seluruh UKGT rerata tiap tahun = 248.248 ton.

Luas lahan tebu untuk UKGT = 1591,33 hektar.

Keuntungan penghematan pupuk berdasar skenario P2 tiap hektar = Rp 697.500. Keuntungan penghematan pupuk dari seluruh UKGT = Rp 1.109.955.000. Peningkatan pendapatan berdasar skenario P2 tiap tahun = Rp 7.374.976.409. Peningkatan keuntungan tiap unit UKGT dari peningkatan harga GT berdasar atas asumsi optimis 10 % = Rp 21.192.269.

Peningkatan PDRB Kabupaten Kudus dari peningkatan harga GT berdasar asumsi 10% tiap tahun = Rp6.527.218.698.

Total peningkatan PDRB dari peningkatan produksi tebu dan peningkatan mutu/harga GT = Rp 13.902.195.107.

Peningkatan rerata per kapita tiap tahun anggota rumah tangga UKGT = Rp 11.546.674.

UKGT layak dilaksanakan dan memberikan keuntungan, menyerap banyak tenaga kerja, keberadaannya diterima oleh masyarakat setempat dan sudah berlangsung lama. Pengusaha gula tumbu merupakan sosok terpandang di masyarakat perdesaan karena memiliki pendapatan yang besar.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.


(7)

DI KABUPATEN KUDUS

JAWA TENGAH

A. SUTOWO LATIEF

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

Nama : A. Sutowo Latief NRP : P061060181

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N, M.Eng. Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,M.S.

Tanggal ujian : 07 Januari 2010 Tanggal Lulus : ...


(9)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karuniaNya, sehingga disertasi yang berjudul : MODEL USAHA KECIL GULA TUMBU BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN KUDUS JAWA TENGAH ini berhasil diselesaikan setelah melalui rangkaian kegiatan penelitian.

Karya tulis ini memuat 3 (tiga) bab utama sesuai dengan tujuan penelitian dan disusun dengan format jurnal ilmiah. Ketiga bab tersebut memiliki judul masing-masing, akan tetapi memiliki keterkaitan antar bab dan menjadi satu judul umum penelitian.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS, selaku ketua komisi pembimbing, bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N, M.Eng. dan bapak Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak membantu dan mengarahkan penyelesaian penulisan disertasi ini.

Terima kasih kepada Pimpinan IPB yaitu Rektor IPB bapak Prof. Dr. Herry Suhardiyanto, M.Sc., Direktur Pascasarjana bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S., Ketua Program Studi Ekonomi Pertanian (EPN) bapak Prof. Dr. Ir. Bonar Sinaga, M.A. dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. atas kesempatan yang diberikan untuk melanjutkan studi Program S3.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada mantan Direktur Politeknik Negeri Semarang, bapak Drs. Sugiharto, M.M. dan bapak Dr. Totok Prasetyo, B.Eng. M.T. Direktur Politeknik Negeri Semarang atas perhatiannya. Semua dosen dan rekan mahasiswa dalam perkuliahan, dan siapa saja yang telah memberikan kontribusi baik langsung maupun tak langsung demi selesainya penulisan ini, disampaikan ucapan terima kasih.

Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Program BPPS-Dikti yang telah memberikan dana pendidikan Program S3 selama 3 (tiga) tahun dan Program Hibah Doktor-Dikti yang memberikan bantuan mempercepat penyelesaian disertasi.

Ungkapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada istri (Dra. F. Sri Nugraheni Setiawati, M.Kes.) dan ketiga anak (R. Wiwiek Widawati, S.E. Akt., F. Sinta Pramodawardani, S.Kep dan Y. Krisna Syailendra) atas pengertian, kasih sayang dan dukungannya selama studi. Terima kasih juga kepada orang tua, mertua dan seluruh sanak saudara serta handai taulan atas segala doa yang dipanjatkan demi keberhasilan studi ini.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih ada kekurangan, meskipun demikian berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2010

A. Sutowo Latief


(10)

Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Maret 1951 di Juana-Pati, Jawa Tengah, anak pasangan bapak Wijardjo Sahid (almarhum) dan ibu Yasih. Berstatus keluarga dengan satu istri Dra. F. Sri Nugraheni Setiawati, M.Kes. dan tiga anak R. Wiwiek Widawati, S.E. Akt., F. Sinta Promodawardani, S.Kep., dan Y. Krisna Syailendra.

Pendidikan Sarjana Muda dan Sarjana berhasil diselesaikan penulis di jurusan Teknik Mesin Fakultas Keguruan Teknik IKIP Negeri Semarang (sekarang UNNES) pada tahun 1979. Tahun 1998 melanjutkan ke Program Pascasarjana Studi Pembangunan (S2) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga lulus tahun 2001. Pada tahun 2006 memperoleh kesempatan studi lanjut ke jenjang S3 dengan sponsor BPPS Dirjen Dikti Depdiknas di Program Studi Ekonomi Pertanian (EPN) IPB yang diikuti selama satu semester, kemudian pindah ke Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) IPB.

Penulis mulai bekerja sejak lulus Sarjana Muda tahun 1975 menjadi Guru Tetap STM Dr. Tjipto Bersubsidi Semarang. Setelah lulus Sarjana 1979 menjadi Kepala STM YPP Bersubsidi Semarang hingga tahun 1981. Kemudian mengikuti Traning Staf Edukasi Politeknik selama satu tahun di Politechnic Education Development Center (PEDC) di Bandung. Pada tahun 1982 menjadi Staf Pengajar di Politeknik UNDIP Semarang (sekarang Politeknik Negeri Semarang/POLINES) hingga saat ini.

Selama mengikuti Program S3 di IPB, penulis telah melakukan Pidato Ilmiah pada Dies Natalis ke-25 POLINES Tahun 2007. Dana penelitian diperoleh melalui program Penelitian Hibah Bersaing Dikti pada tahun anggaran 2007, dan Program Hibah Doktor Dikti pada tahun anggaran 2009. Dua buah artikel yang merupakan bagian dari penelitian ini akan diterbitkan : (1) Jurnal TEKNIS (Jurnal Teknologi, Sains dan Ekonomi Bisnis) ISSN 1907 – 4379 Volume 4 Nomor 3 Bulan Desember 2009 (in press), dan (2) Jurnal GEMA TEKNOLOGI (Media Informasi Sains dan Teknologi) ISSN 0852-0232 Volume 19 Nomor 6 Periode Oktober 2009 – April 2010 (in press).


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

I. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 2

Kerangka Pemikiran ... 15

Perumusan Masalah ... 16

Tujuan Penelitian ... 17

Manfaat penelitian ... 18

Novelty ... 18

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 19

2.1. Budidaya Tanaman Tebu ... 19

2.2. Iklim ... 22

2.3. Tanah/lahan dan Pengelolaannya ... 25

2.3.1. Kerusakan tanah ... 29

2.3.2. Erosi Tanah ... 31

2.3.3. Pengelolaan Sumberdaya Lahan ... 33

2.4. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati ... 38


(12)

2.4.3. Penambat N yang Hidup Bebas ... 40

2.4.4. Mikroba Pelarut Fosfat (P) ... 41

2.5. Proses Pemurnian Nira ... 43

2.6. Model dan Sistem ... 46

2.6.1. Model ... 46

2.6.2. Sistem ... 48

2.6.3. Verifikasi dan Validasi ... 51

III. METODE PENELITIAN ... 52

3.1. Lokasi Penelitian dan Jumlah Cuplikan (Sample) ... 52

3.2. Pengumpulan Data ... 55

3.2.1. Produktivitas tebu ... 55

3.2.2. Teknologi proses peningkatan mutu gula tumbu ... 56

3.2.3. Kelayakan finalsial UKGT ... 56

3.3. Metode Analisis Data ... 57

3.4. Tahapan Penelitian ... 58

3.5. Identifikasi Sistem ... 60

IV.PRODUKTIVITAS TEBU SISTEM KEPRASAN DENGAN VARIASI PEMUPUKAN ... 63

Abstract ... 63

4.1. Pendahuluan ... 63

4.2. Metode Penelitian ... 66


(13)

4.3. Hasil dan Pembahasan ... 70

4.3.1. Kriteria penilaian tanah ... 70

4.3.2. Produktivitas Tebu ... 74

4.3.3. Sub Model Produktivitas Tebu dan Analisis Usahatani Tebu ... 79

4.4. Simpulan dan Saran ... 83

4.4.1. Simpulan ... 83

4.4.2. Saran ... 84

V. PENINGKATAN MUTU GULA TUMBU MELALUI METODE SULFITASI DALAM LABORATORIUM ... 85

Abstract ... 85

5.1. Pendahuluan ... 85

5.2.Metode Penelitian ... 87

5.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 87

5.2.2. Bahan ... 87

5.2.3. Peralatan ... 87

5.2.4. Prosedur ... 88

5.2.5. Variabel/Peubah Proses ... 89

5.2.6. Rancangan Penelitian dan Teknik Analisis Data ... 89

5.3. Hasil dan Pembahasan ... 90

5.3.1. Mutu Gula Tumbu ... 90

5.3.2. Parameter Mutu Gula Tumbu ... 90

5.4. Simpulan dan Saran ... 105

5.4.1. Simpulan ... 105


(14)

Abstract ... 107

6.1. Pendahuluan ... 107

6.2. Metode Penelitian ... 110

6.2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 110

6.2.2. Pengumpulan Data ... 110

6.3. Hasil dan Pembahasan ... 111

6.3.1. Tenaga Kerja danMasa Kegiatan Produksi ... 111

6.3.2. Struktur Produksi ... 114

6.3.3. Analisis Finalsial ... 117

6.4. Simpulan dan Saran ... 127

6.4.1. Simpulan ... 127

6.4.2. Saran ... 128

VII. PEMBAHASAN UMUM ... 130

VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 146

9.1. Kesimpulan ... 146

9.2. Saran ... 150

DAFTAR PUSTAKA ... 153


(15)

halaman

3.1. Jumlah Pengusaha dan Jumlah Cuplikan Pengusaha IKGT ... 58

3.2. Analisis Kebutuhan ... 60

4.1. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah sebelum Pemupukan ... 71

4.2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah sesudah Pemupukan ... 72

4.3. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah menjelang Panen ... 73

4.4. Warna Daun Tebu Saat Pengambilan Sampel Tanah ... 74

4.5.Tingkat kenaikan/penurunan produktivitas tebu... 78

4.6. Sub Model Produktivitas Tebu Keprasan dengan Perlakuan Pemupukan ... 82

5.1. Tipe Mutu Gula Merah Tebu menurut SNI 1-6237-2000 ... 90

5.2. Parameter Mutu Rerata Gula Tumbu Hasil Eksperimen dalam Laboratorium ... 99

6.1. Masa Giling atau Aktif Kerja Responden ... 111

6.2. Tebu yang Digiling Rerata tiap Hari ... 112

6.3. Sumber Bahan Baku/Tebu ... 112

6.4. Bahan Bakar, Bahan Tambahan dan Bahan Penolong yang Digunakan tiap Hari ... 112

6.5. Produksi Gula Tumbu tiap Hari dan Rendemen ... 113

6.6. Struktur Produksi UKGT Rerata tiap Hari ... 116

6.7. Arus Kas Biaya dan Manfaat UKGT dalam Perhitungan NPV ... 119

6.8. Nilai NPV, Net B/C, IRR dan PBP untuk Diskon Faktor 15% Jangka Waktu 5 Tahun dan Umur Ekonomis 5 Tahun... 123


(16)

6.11. Analisis Sensitivitas terhadap Kenaikan Upah Pekerja ... 125

6.12. Analisis Sensitivitas terhadap Penurunan Harga GT ... 126

6.13. Analisis Sensitivitas terhadap Kenaikan Investasi ... 126


(17)

halaman 1.1. Gaftar (Bagan Alir) Teknologi Proses

Produksi Gula Tumbu ... 12 1.2. Kerangka Pemikiran ... 15 3.1. Lokasi Kabupaten Kudus di

Peta Jawa Tengah (warna merah) ... 54 3.2. Peta Kabupaten Kudus ... 54 3.3. Tahapan Penelitian ... 59 3.4. Diagram Lingkar sebab-akibat Model UKGT

Berwawasan Lingkungan ... 61 3.5. Diagram input- output Model UKGT

Berwawasan Lingkungan ... 62 4.1. Rerata Jumlah Batang, Panjang dan Diameter Tebu tiap

Meter Persegi Luas Lahan Perlakuan Po ... 75 4.2. Rerata Jumlah Batang, Panjang Batang dan Diameter

Tebu tiap Meter Persegi pada Perlakuan P1 ... 76 4.3. Rerata Jumlah Batang, Panjang Batang dan Diameter

Tebu tiap Meter Persegi pada Perlakuan P2 ... 76 4.4. Rerata Jumlah Batang, Panjang Batang dan Diameter

Tebu tiap Meter Persegi pada Perlakuan P3 ... 76 4.5. Hubungan antara Perlakuan Pemupukan dengan

Produktivitas Tebu ... 77 5.1. Interaksi antara suhu pemasakan dan pH nira

terhadap kadar air gula tumbu ... 91 5.2. Interaksi antara suhu pematangan dan pH nira

dengan kadar sukrosa gula tumbu ... 92 5.3. Interaksi antara suhu pematangan dan pH nira


(18)

5.5. Hubungan antara suhu pematangan dan pH nira

dengan warna gula tumbu ... 95 5.6. Hubungan antara suhu pematangan dan pH nira

dengan rasa gula tumbu ... 96 5.7. Hubungan antara suhu pematangan dan pH nira

dengan aroma gula tumbu ... 97 5.8. Interaksi antara suhu pematangan dan pH nira

terhadap kekerasan gula tumbu ... 98 5.9. Interaksi pH dan Suhu Pemasakan 100°C

terhadap Mutu GT yang Dihasilkan ... 100 5.10. Sub Model Peningkatan Mutu Gula Tumbu

melalui Metode Sulfitasi dalam Laboratorium ... 101 7.1. Diagram Alir menuju Model UKGT Berwawasan

Lingkungan di Kabupaten Kudus Jawa Tengah ... 140


(19)

halaman

1. Hasil Analisis Tanah sebelum Pemupukan ... 161

2. Hasil Analisis Tanah sesudah Pemupukan ... 162

3. Hasil Analisis Tanah menjelang Panen ... 163

4. Analisis Sidik Ragam Produktivitas Tebu ... 164

5. Penentuan Kadar Air GT dan Analisis Varian ... 166

6. Penentuan Kadar Sukrosa GT dan Analisis Varian ... 168

7. Penentuan Kadar Gula Glukosa dan Analisis Varian ... 170

8. Hasil Uji Warna dan Analisis Varian ... 172

9. Hasil Uji Rasa dan Analisis Varian ... 174

10. Hasil Uji Aroma dan Analisis Varian ... 175

11. Hasil Uji Kekerasan dan Anaisis Varian ... 178

12. Hasil Uji Parameter Mutu Gula Tumbu Produksi UKGT ... 181

13. Struktur Produksi UKGT Rerata tiap Hari ... 182

14. Analisis NPV, IRR, Net B/C dan PBP ... 183

15. Analisis Sensitivitas terhadap Kenaikan Harga Tebu ... 185

16. Analisis Sensitivitas terhadap Kenaikan Harga Solar ... 192

17. Analisis Sensitivitas terhadap Kenaikan Upah Pekerja ... 200

18. Analisis Sensitivitas terhadap Penurunan Harga GT ... 208

19. Sensitifitas terhadap Kenaikan Investasi ... 216

20. Model UKGT Berwawasan Lingkungan (financial) ... 224


(20)

1.1. Latar Belakang

Paradigma baru pembangunan bukan hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi belaka, namun suatu pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), yaitu pembangunan yang dipadukan dengan lingkungan yang

didefinisikan sebagai suatu “pembangunan yang mengusahakan dipenuhinya

kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (WCED 1987). Selanjutnya pengertian pembangunan berwawasan lingkungan, yaitu lingkungan diperhatikan sejak mulai pembangunan itu direncanakan sampai pada waktu operasi pembangunan. Dengan pembangunan berwawasan lingkungan pembangunan dapat berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan mengandung arti, lingkungan dapat mendukung pembangunan dengan terus menerus karena tidak habisnya sumberdaya yang menjadi modal pembangunan (Soemarwoto, 2001). Pembangunan berwawasan lingkungan maknanya setara dengan pembangunan berkelanjutan, yaitu memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia secara optimal dengan menyelaraskan dan menyerasikan aktivitas manusia terhadap daya dukung lingkungan.

Usaha Kecil Gula Tumbu (UKGT) berwawasan lingkungan maknanya bahwa UKGT ini harus memperhatikan lingkungan agar tiada habisnya sumberdaya alam yang menghasilkan produk berupa tebu untuk diolah menjadi gula tumbu. Tebu dihasilkan dari lahan pertanian baik sawah maupun tegalan, oleh karena itu lahan tersebut tidak boleh rusak, menurun kualitasnya atau


(21)

mengalami degradasi yang berakibat merosotnya produksi tebu dari tahun ke tahun. Lahan harus diperhatikan agar kesuburannya tetap terjaga dan bahkan meningkat, sesuai dengan kaidah konservasi, agroekologi dan LEISA (Low External Input Sustainable Agricalture).

Agroindustri adalah suatu kegiatan usaha yang mengolah bahan baku yang berasal dari tanaman atau hewan. UKGT merupakan agroindustri mengolah tebu menjadi gula, hasilnya adalah gula merah (gula jawa yang berasal dari tebu), oleh masyarakat daerah kabupaten Kudus dan sekitarnya disebut gula tumbu.

Keberlanjutan UKGT ini tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan tebu setiap panen, sehingga sudah selayaknya memperhatikan kelestarian lingkungan tumbuhnya tebu, yaitu lahan pertanian. Penggunaan pupuk buatan dan pestisida harus diberikan dalam takaran dan waktu yang tepat sesuai kebutuhan, agar tidak mencemari lingkungan, kelestarian lahan dapat dipertahankan sehingga tetap produktif dan dapat digunakan secara berkelanjutan.

Harga pupuk anorganik (pupuk buatan atau pupuk pabrik) yang semakin meningkat akibat kebijakan subsidi pupuk dicabut oleh pemerintah, membuat para petani semakin tak berdaya dalam meningkatkan produksi tebunya. Jika hal ini dibiarkan petani akan mengalami kerugian atau penurunan pendapatan terus menerus. Petani bisa jadi enggan untuk menanam tebu dan akan beralih pada tanaman lain yang lebih menguntungkan, sehingga pada akhirnnya mengancam keberadaan atau keberlanjutan UKGT.

Diberlakukannya Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan revisi Undang-undang No 22 Tahun 1999, maka daerah diberi kewenangan yang lebih luas dalam membuat kebijakan pemanfaatan


(22)

sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya serta melestarikan lingkungan hidup. Sejalan dengan pembangunan ekonomi nasional bidang pertanian, tanaman tebu rakyat memiliki peranan penting dalam upaya mendukung program peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agroindustri.

Mengingat gula tumbu merupakan salah satu produk pangan maka harus diperhatikan jaminan keamanan pangan. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan mengacu PP no 102 tahun 2000 tentang Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan. Peningkatan mutu gula tumbu perlu dilakukan agar sesuai mutu I SNI 1-6237-2000.

Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan (The United Nation Conference on Environment and Development-UNCED) pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro dikenal dengan Agenda 21 merupakan tonggak sejarah. Perwakilan dari 179 negara, Indonesia termasuk didalamnya sepakat bahwa pembangunan ekonomi serta sosial harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, menekankan keterkaitan antara pembangunan dan lingkungan (Sutamihardja, 2005).

Sebagaimana yang tercantum dalam ketetapan MPR No. IV, tahun 1999 bahwa : Visi Pertanian Berkelanjutan, yaitu pendekatan dan teknologi pertanian yang layak ekonomi, dapat dipertanggungjawabkan secara ekologi, secara sosial dapat diterima dan berkeadilan, secara budaya sesuai dan berdasarkan pendekatan holistik. Misi Pertanian Berkelanjutan, yaitu : (1) peningkatan produksi, (2) peningkatan penghasilan dan kesejahteraan rakyat, (3) pengentasan kemiskinan, (4) peningkatan pemerataan dan keadilan sosial, (5) penciptaan lapangan kerja bagi petani di pedesaan, (6) penggunaan sumber daya alam setempat secara


(23)

efisien yang meliputi sumber daya hayati, sumber daya manusia, kearifan dan pengetahuan tradisional, (7) memberdayakan petani sebagai pengambil keputusan yang profesional di lahannya sendiri (8) peningkatan peran petani sebagai pengelola dan pelaksana utama pembangunan pertanian, (9) pemberdayaan kelompok tani dalam unit-unit usaha tani berskala kecil, menengah dan koperasi, dan (10) pelestarian kualitas lingkungan hidup lokal, nasional, global.

Pembangunan pertanian yang dilaksanakan selama ini, merupakan pertanian konvensional yang ditujukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi tidak menjamin keberlanjutan program pembangunan pertanian kerakyatan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Salim 1991). Pearce dan Turner (1990) mengidentifikasikan pembangunan berkelanjutan yaitu memaksimalkan manfaat bersih suatu pembangunan ekonomi dengan syarat dapat mempertahankan dan meningkatkan jasa, kualitas, dan kuantitas sumberdaya alam pertanian sepanjang waktu. Selanjutnya menurut FAO (1989), pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumberdaya alam dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilaksanakan sedemikian rupa, dan dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang. Pembangunan di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan harus mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman dan sumber genetik binatang, tidak merusak lingkungan, secara teknis tepat guna, secara ekonomi layak dan secara sosial dapat diterima.

Sistim pertanian konvensional disamping menghasilkan produksi panenan yang meningkat namun telah terbukti pula menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pertanian itu sendiri dan juga lingkungan lainnya.


(24)

Keberhasilan yang dicapai dalam sistim konvensional ini juga hanya bersifat sementara, karena lambat laun ternyata tidak dapat dipertahankan akibat rusaknya habitat pertanian itu sendiri. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk memperbaiki sistim konvensional ini dengan mengedepankan kaidah-kaidah ekosistem yang berkelanjutan (Aryantha 2002)

Pertanian berkelanjutan adalah suatu konsep pemikiran masa depan, yaitu pertanian yang berlanjut untuk saat ini, saat yang akan datang dan selamanya. Artinya pertanian tetap ada dan bermanfaat bagi semua dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya. Jadi dengan kata lain pertanian yang bisa dilaksanakan untuk saat ini, saat yang akan datang dan menjadi warisan yang berharga bagi anak cucu.

Istilah lain untuk pertanian berkelanjutan ialah: pertanian organik, pertanian alternative, pertanian regeneratif, pertanian alamiah, agro ekologis, dan lain-lain. Pilar terpenting dari pertanian berkelanjutan di Indonesia, adalah lingkungan alam, dan manusia yang berbudi pekerti luhur, memiliki etika dan moral yang tinggi, dan berjiwa Pancasila sebagai dasar filosofi negara Republik Indonesia. Pertanian berkelanjutan akan terwujud bila manusia bersungguh-sungguh memahami suatu pembaruan, cara pandang atau reformasi atas sumber daya alam. Pertanian berkelanjutan merupakan sebuah paradigma baru bagi pembangunan pertanian di Indonesia, yaitu suatu pilihan lain atau tandingan bagi pertanian konvensional.

Pertanian berkelanjutan dan berbagai istilah lainnya, umumnya mengandung suatu makna penolakan terhadap pertanian konvensional. Penolakan itu karena pertanian konvensional diartikan sebagai cara bertani yang


(25)

menghabiskan sumber daya, pertanian usaha, dan pertanian masukan (input) eksternal tinggi atau intensif. Sebagai gambaran sederhana, pertanian konvensional memakai masukan luar seperti pupuk buatan/pabrik, bibit pabrik, pestisida dan herbisida kimia pabrik, yang umumnya merusak kelestarian tanah dan alam. Sebaliknya, suatu pertanian berkelanjutan lebih mengandalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia seperti bibit lokal, sumber air, matahari, dan teknologi yang ramah lingkungan (environment friendly), dan juga sangat mengutamakan pemanfaatan pupuk kandang (kompos) dan pengendali hama alami atau pestisida dari bahan-bahan alami. Oleh karena itu, inti pemahaman pertanian berkelanjutan adalah sangat mengutamakan pemanfaatan sumber daya lokal beserta pengetahuan lokal.

Sistem pertanian bisa disebut berkelanjutan jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

Mempertahankan fungsi ekologis, artinya tidak merusak ekologi pertanian itu sendiri.

Berlanjut secara ekonomis, artinya mampu memberikan nilai tambah yang layak bagi pelaksana pertanian itu dan tidak ada perihal yang diekploitasi.

Adil, berarti setiap pelaku pelaksana pertanian mendapatkan hak-haknya tanpa dibatasi dan dibelenggu dan tidak melanggar hak orang lain.

Manusiawi, artinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dimana harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi termasuk budaya yang telah ada.


(26)

Luwes, berarti mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini, dengan demikian pertanian berkelanjuatan tidak statis melainkan dinamis, bisa mengakomodir keinginan konsumen maupun produsen. Pertanian kerakyatan merupakan pertanian yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan petani yang merupakan kelompok terbesar rakyat Indonesia. Pertanian berasal dan berakar pada rakyat, untuk rakyat, sesuai dengan kondisi dan kemampuan rakyat, bertumpu pada kemampuan dan kemandirian rakyat dalam mengambil keputusan pengolahan sistem usaha tani secara optimal dan dinamis, sesuai daya dukung lingkungannya (Salim,1991).

Pendekatan pembangunan pertanian perlu diubah dari pembangunan pertanian berorientasi produksi menjadi pembangunan pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dampak negatif pertanian yang dilaksanakan selama ini antara lain: (1) petani selalu memerlukan saprodi (sarana produksi) yang semakin lama semakin meningkat sehingga semakin mahal, (2) menurunkan daya dukung lingkungan karena peningkatan erosi, pemiskinan unsur hara tanah, kerusakan struktur tanah, peningkatan residu kimia berbahaya, membunuh organisme penyubur tanah, timbulnya resistensi, (3) penggunaan saprodi semakin tidak efisien, untuk peningkatan satu unit produksi yang sama diperlukan lebih banyak saprodi dari pada sebelumnya, (4) ketergantungan petani pada bantuan permodalan pedagang, sehingga posisi tawar petani lemah, (5) pemiskinan keanekaragaman hayati lingkungan pertanian.

Para petani tebu juga cenderung memberikan pupuk buatan atau pupuk kimia semakin meningkat dari tahun ke tahun untuk luas lahan yang sama. Salah satu upaya yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini adalah memberikan


(27)

pupuk organik (organic fertilizer) secara terpadu dengan mengurangi penggunaan pupuk buatan (pupuk anorganik/pupuk kimia).

Pengurangan penggunaan pupuk anorganik dapat mengurangi biaya

(external input). Penggunaan pupuk hayati maupun pupuk organik dapat

memperbaiki lahan yang telah banyak kehilangan unsur hara, dengan demikian kesuburan lahan dapat dipulihkan dan diharapkan menjadi lebih produktif serta berkelanjutan.

Perpaduan potensi alam yang ada dapat mengurangi pemakaian pupuk kimia namun tetap dapat menghasilkan panenan yang tinggi tanpa merusak lingkungan (Aryantha 2002). Aplikasi pupuk hayati dan pupuk kimia terpadu mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P dengan mengurangi dosis pupuk kimia (Simanungkalit 2001). Hasanudin dan Bambang G.M (2004), menyatakan adanya mikroba pelarut fosfat dengan asam-asam organiknya yang mampu meningkatkan kelarutan P tak tersedia menjadi P tersedia dalam tanah, juga akan menyebabkan adanya serapan P oleh tanaman yang kemudian akan meningkatkan pula hasil pipilan jagung. Penerapan kombinasi pupuk hayati dengan bahan organik terhadap padi gogo memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah anakan, bioaktivitas tanah dan stabilitas agregat (Mezuan et al. 2002). Rahmawati (2005), menyimpulkan bahwa pemanfaatan pupuk hayati pada pertanian organik harus lebih dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan sistem pertanian organik yang lebih banyak memanfaatkan bahan organik dengan volume yang sangat besar.

UKGT di kabupaten Kudus pada tahun 2001 sebanyak 219 pengusaha menyerap tenaga kerja di bidang produksi sebanyak 2600 orang, rata-rata tiap unit


(28)

usaha melibatkan 12 orang pekerja (Latief 2001). UKGT ini telah dilakukan oleh masyarakat kabupaten Kudus secara tradisional, berlangsung terus menerus setiap musim panen tebu hingga sekarang.

Mutu gula tumbu yang dihasilkan sangat homogen, hampir semua responden menghasilkan gula tumbu mutu II, warnanya gelap coklat kehitam-hitaman, seharusnya bisa dicapai mutu I warnanya jernih coklat ke kuning-kuningan. Faktor-faktor penentu kualitas gula tebu, menurut para pengusaha gula tumbu, pada dasarnya semata-mata terletak pada kualitas bahan bakunya (tebu) itu sendiri. Namun berdasarkan pengamatan lapang, nira yang dimasak nampak sangat keruh, karena daun-daun kering tebu sebagian ikut tergiling bersama batang tebu, sedangkan batang tebu yang digiling tidak bersih, sehingga air niranya kotor. Air nira yang kotor/keruh ini tidak dibersihkan secara cermat, suspensi atau zat padat yang sangat halus yang terlarut di dalam air nira tidak diendapkan dan dipisahkan terlebih dahulu, hanya diberi kapur sekedarnya. Hal ini menandakan belum adanya sentuhan teknologi tepat guna agar dapat membersihkan atau menjernihkan nira, yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu gula tumbu. Dengan nira yang jernih, bila dimasak akan diperoleh gula tumbu yang berwarna coklat kekuning-kuningan, yakni gula tumbu kualitas I.

Proses pembuatan gula tumbu selama ini tak pernah mengalami perubahan kecuali alat penggiling tebu, yang dahulu digerakan oleh kerbau, namun sekarang telah menggunakan mesin penggiling yang digerakkan oleh motor Diesel. Sentuhan teknologi, misalnya teknologi tepat guna yang dapat meningkatkan kualitas gula tumbu, belum pernah diperkenalkan atau di uji coba baik dari kedinasan terkait setempat maupun dari Perguruan Tinggi (Latief 2001).


(29)

Kualitas gula tumbu perlu ditingkatkan, sehingga perlu adanya penelitian percobaan di laboratorium dengan sentuhan teknologi secara kimia, yaitu berdasarkan metode proses sulfitasi, agar dihasilkan gula tumbu kualitas I.

Sejarah mengenai kapan dimulainya kegiatan rakyat di daerah Kudus dalam memproduksi gula tumbu, barangkali hal ini berkaitan dengan adanya pabrik gula Rendeng di Kudus dan pabrik gula Trangkil di Pati yang berdekatan lokasinya. Sedangkan nenek moyang kita sejak dahulu kala telah memiliki ketrampilan dalam membuat gula kelapa, dengan adanya tebu maka mulailah mereka membuat gula dari nira tebu. Berdasarkan tinjauan sejarah yang dikemukakan oleh Mubyarto (1994), usaha gula di Indonesia dimulai pada abad ke-17 ketika VOC mengusahakan kira-kira seratus perkebunan gula di sekitar Batavia. Ketika VOC dibubarkan pada akhir abad ke-18, pemerintah Hindia Belanda melanjutkannya, bersamaan dengan hal-hal lain yang serupa, untuk meningkatkan penanaman tebu dan mengekspor gula dalam rangka Culturstelsel.

Gula tumbu didapat dari proses pengolahan air sari tebu yang disebut nira yaitu air yang keluar dari penggilingan batang tebu yang telah matang, kemudian nira ini disaring dan ditambahkan kapur secukupnya, dipanaskan hingga mendidih dan diaduk hingga terjadi pengkristalan. Selanjutnya dituang ke dalam wadah yang disebut tumbu, dibiarkan membeku, memadat dan mendingin.

Untuk menjadi matang, tebu membutuhkan waktu 12 bulan yaitu waktu untuk mencapai kadar sukrosa 10 %, dengan membiarkan tebu itu matang lebih lama lagi misalnya 16 bulan kadar sukrosa itu bisa meningkat sampai 14-16%. Setelah dipanen sekali tebu itu bisa dibiarkan tumbuh kembali untuk dipanen kedua atau bahkan ketiga kalinya dari rumpun tanaman yang sama, yang disebut


(30)

ratooning (Mubyarto,1994). Kenyataan dilapang ratooning dilakukan lebih dari 10 kali, hal ini berkaitan dengan penyediaan modal awal untuk penanaman bibit tebu. Umur panen tebu juga tergantung dari jenis tebu, yaitu : (1) varitas genjah masak optimal kurang dari 12 bulan, (2) varitas sedang masak optimal antara 12-14 bulan, dan (3) varitas dalam masak optimal lebih dari 12-14 bulan.

Penggilingan tebu dilakukan dengan pesawat penggiling yang digerakkan oleh mesin diesel. Bahan baku batang tebu digilas diantara roda - roda mesin penggiling yang berputar menghasilkan air tebu atau nira dan ampas. Nira ditampung dalam wadah atau bak penampung, dari sini nira secara periodik dipisahkan ke dalam bak yang dilengkapi saringan agar kotoran / serat-serat tebu tidak ikut terbawa. Posisi drum agak tinggi, ± 50 cm sehingga memudahkan nira mengalir melalui pipa plastik yang dipasang dibagian bawah drum, selanjutnya dialirkan ke tempat pemasakan nira yang berjarak 25 – 40 m. Bahan bakar untuk memanaskan / memasak nira adalah ampas tebu. Gambar 1.1 menunjukkan

bagan alir proses produksi gula tumbu yang selama ini dilakukan oleh UKGT.

Gula merah merupakan sub sistem dari sistem pergulaan nasional, yang digolongkan dalam dua kelompok besar yaitu, pertama gula pasir, dan kedua gula merah. Gula pasir diproduksi oleh pabrik gula (PG), sedangkan gula merah yang bahan bakunya tebu diproduksi oleh usaha kecil (diantaranya adalah usaha kecil gula tumbu/UKGT). Selain dari bahan baku tebu, dibuat juga dari bahan baku nira: kelapa, aren, dan siwalan, hasilnya masing-masing disebut gula kelapa, gula aren, dan gula siwalan (lontar), yang diproduksi atau dibuat oleh usaha rumah tangga (home industry). Penggunaan gula merah tidak dapat digantikan oleh gula pasir, karena memiliki aroma yang khas, hal ini tidak dimiliki oleh gula pasir.


(31)

(g u l a t u m b u)

Gambar 1.1. Gaftar (Bagan Alir) Proses Produksi Gula Tumbu

Bahan Bakar

Buih Pengotor Nira

Serat-serat Pengotor Ampas tebu

Nira Bersih Penggilingan Tebu

(bahan baku)

Penyaringan

Pemanasan awal 50 – 60 oC

Pemanasan lanjut 100 – 115 oC

Penuangan

Limbah

Kapur (bahan penolong)


(32)

Produksi gula merah di Indonesia tahun 1985 mencapai 295,3 ribu ton, konsumsi pada tahun itu mencapai 295,4 ribu ton. Tahun 1990 terjadi peningkatan produksi dan konsumsi, produksi gula merah naik hingga 364,9 ribu ton dan kebutuhan mencapai 385,6 ribu ton. Gula merah hingga sekarang ini masih dibutuhkan, konsumennya bukan hanya masyarakat umum maupun usaha kecil dan usaha rumah tangga yang membuat aneka makanan khas saja, melainkan juga usaha besar dan menengah utamanya pabrik kecap. Usaha - usaha yang menggunakan gula merah tahun 1985 adalah : (1) usaha kecap 63,6 %, (2) usaha makanan lain 6,7%, (3) restoran 16,8%, (4) farmasi 1,6%, dan (5) usaha yang lain 1,3%. Persentase masing-masing jenis gula merah di Indonesia dari seluruh total produksi adalah 54 % gula kelapa, 37 % gula tebu (gula tumbu), 7 % gula aren dan 2 % gula siwalan (Maryati, 1993).

Kebutuhan gula merah dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan, sedangkan produksinya selalu di bawah kebutuhan, oleh karena itu ada prospek untuk pengembangan usaha kecil gula tumbu (UKGT) di daerah lain. UKGT berpotensi dikembangkan di daerah lain, utamanya yang berdekatan dengan PG, sehingga petani tebu tidak selalu tergantung pada PG. Rendemen PG semakin lama semakin menurun hingga dibawah 7 persen, jika tidak dilakukan rehabilitasi permesinan yang sudah tua, sudah barang tentu hal ini semakin merugikan petani tebu.

Apabila petani mampu mengolah sendiri tebu hasil usaha taninya maka banyak menyerap tenaga kerja di perdesaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. UKGT merupakan alternatif bagi petani dalam memproses tebu menjadi gula tumbu. Keuntungan lain dari mengolah tebu


(33)

menjadi gula tumbu adalah: (1) lebih cepat memperoleh uang dari pada harus menunggu uang pembayaran dari PG yang birokratif, dan (2) ampas tebu

(bagasse) sepenuhnya menjadi milik pengusaha gula tumbu. Padahal ampas tebu

ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yang memiliki nilai jual.

UKGT ini perlu dikembangkan ke daerah-daerah lain sehingga kegiatan usaha kecil berbasis pertanian (agrousaha) yang berwawasan lingkungan menjadi bertambah banyak, semakin memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperkuat perekonomian rakyat, dan meningkatkan kapasitas produksi guna mencukupi kebutuhan, serta menciptakan lingkungan kondusif di perdesaan. Disamping itu akan menumbuhkan usaha kecil baru di perdesaan, misalnya usaha kecil pembuatan pupuk organik atau kompos dari ampas tebu. Hal ini sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional secara menyeluruh yang sifatnya: pro poor

(pengentasan kemiskinan), pro growth (peningkatan pertumbuhan) dan pro employee (penyediaan lapangan kerja) yang dikenal dengan istilah triple track strategy (strategi tiga jalur).

Kegiatan UKGT ini tidak bisa dilepaskan dari lingkungan perdesaan, karena selain keberadaanya di daerah perdesaan, juga membutuhkan bahan baku tebu, yang ditanam di lahan pertanian oleh para petani. Lokasi UKGT bukan berada di perkampungan tempat tinggal penduduk, melainkan berada dikebun tebu milik masing-masing pengusaha ditepi jalan yang bisa dilalui truk untuk mengangkut tebu, sehingga hal ini memudahkan kedatangan pasokan tebu yang dibeli dari luar lokasi atau luar daerah. Selain itu kebisingan mesin giling tebu dan


(34)

asap tungku pemasak nira tidak menggangu penduduk setempat. Begitu juga tidak ada lalu lalang truk bermuatan tebu masuk permukiman penduduk.

Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah dikemukakan, maka penelitian tentang UKGT perlu dilaksanakan, sehingga dapat diperoleh suatu model UKGT berwawasan lingkungan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam pengambilan kebijakan dalam pengembangan kegiatan UKGT di daerah lain.

1.2. Kerangka pemikiran

Kerangka Pemikiran Model Usaha Kecil Gula Tumbu (UKGT) Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Kudus, disajikan pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran EKONOMI/

TEKNOLOGI

SOSIAL BUDAYA USAHA KECIL GULA TUMBU (UKGT)

EKOLOGI

- Karakteristik pengusaha - Tenaga kerja

- Perijinan - Perbankan - Kemitraan - Potensi daerah

- Komoditas unggulan - Peningkatan pendapatan - Kualitas gula tumbu - Limbah

- Lahan (tanah) - Air

- Iklim

- Varietas tebu - Pupuk -

MODEL UKGT


(35)

Sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam menyelenggarakan otonomi, Pemerintah Daerah mempunyai hak dan kewajiban antara lain: (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya, (2) mengelola kekayaan daerah, (3) melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, (4) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, (5) mengembangkan sumberdaya produktif di daerah, dan (6) melestarikan lingkungan hidup. Kabupaten Kudus sebagai daerah otonomi juga dituntut untuk mengembangkan sumberdaya lokal, salah satunya adalah UKGT.

1.3. Perumusan Masalah

Sejalan dengan pembangunan ekonomi nasional di bidang pertanian, tanaman tebu rakyat memiliki peranan penting dalam upaya mendukung program peningkatan ketahanan pangan. Pengembangan agrousaha dan agrobisnis dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan memperkuat perekonomian rakyat, serta melestarikan lingkungan hidup.

Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran sebagaimana dikemukakan diatas, yaitu agar UKGT di kabupaten Kudus dapat menjadi acuan atau rujukan pengembangan didaerah lain, maka perlu penelitian terlebih dulu. Penelitian yang mendalam sangat penting untuk membangun model UKGT utamanya pada keberlanjutan produktivitas tebu dan pelestarian lahan, peningkatan kualitas gula tumbu, kelayakan finansial. Agar lahan tidak mengalami penurunan produktivitas, maka dilakukan rancangan percobaan di kebun tebu, yaitu memadukan penggunaan pupuk organik (organic fertilizer)


(36)

perlu ditingkatkan, sehingga perlu adanya penelitian dengan rancangan percobaan dalam laboratorium melalui sentuhan teknologi secara kimia, yaitu berdasarkan metode sulfitasi, agar dihasilkan gula tumbu yang kualitasnya meningkat, warnanya cerah coklat kekuning-kuningan. Analisis finalsial usaha tani dengan memadukan penggunaan pupuk organik dan pengurangan pupuk anorganik/kimia perlu dilakukan agar mengarah pada LEISA. Analisis kelayaan finalsial terhadap kegiatan produksi juga dilakukan, oleh karena itu penelitian ini sangat penting dilakukan.

Permasalahan tersebut perlu dirumuskan secara jelas, tegas dan sistematis sebagai berikut :

1) Bagaimana produktivitas tebu

2) Bagaimana teknologi proses peningkatan kualitas gula tumbu 3) Bagaimana kelayakan finansial UKGT

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, kerangka pemikiran dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan umum penelitian ini adalah membangun model UKGT berwawasan lingkungan agar dapat digunakan sebagai bahan acuan kebijakan bagi daerah lain yang hendak mengembangkan UKGT.

Tujuan khusus atau sub tujuan penelitian adalah sesuai dengan yang telah dirumuskan, agar jelas dan fokus, maka dikemukakan sebagai berikut :

1) Merancang sub model produktivitas tebu

2) Merancang sub model peningkatan kualitas gula tumbu 3) Menganalisis sub model kelayakan finansial UKGT


(37)

1.5. Manfaat Penelitian

Apabila penelitian ini telah selesai dilaksanakan dan diaplikasikan, maka diharapkan manfaatnya adalah sebagai berikut :

1) Meningkatkan pendapatan petani tebu dan memperbaiki kondisi lahan sehingga dapat ditanami secara berkelanjutan tanpa mengalami penurunan produktivitas.

2) Meningkatkan pendapatan pengusaha dan karyawan gula tumbu yang pada gilirannya meningkatkan PDRB per kapita kabupaten Kudus. 3) Memberi informasi bagi para peneliti yang ingin menindak lanjuti

hasil penelitian ini.

4) Memberi informasi bagi investor atau pengambil kebijakan yang hendak melakukan usaha dibidang gula tumbu

1.6 . Novelty

Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah menghasilkan model UKGT berwawasan lingkungan yang merupakan perpaduan antara rancangan percobaan lapang penggunaan pupuk organik, rancangan percobaan dalam laboratorium untuk peningkatan kualitas gula tumbu dengan metode sulfitasi, dan analisis finansial.


(38)

2.1. Budidaya Tanaman Tebu

Budidaya tanaman tebu membutuhkan iklim tropis, beriklim panas dan lembab dengan curah hujan paling sedikit 600 mm hingga paling tinggi 2000 mm per tahun. Kelembaban diatas 70% dan ketinggian 5-500 m dpl (diatas permukaan laut). Suhu udara berkisar antara 28-34 derajat C. Tanah yang cocok untuk tanaman tebu adalah tanah subur dan cukup air tetapi tidak tergenang, bersifat tidak terlalu masam dengan pH berkisar 6,4 – 7,9.

Menurut Hasanuddin, (Suara Pembaruan, 16 Mei 2005) sejarah asal muasal tebu di dunia berasal dari Merauke. Ini dapat dibuktikan dengan adanya ratusan jenis tebu di daerah itu. Sedangkan dari aspek kesesuaian lahan serta kebiasaan masyarakat Indonesia asli Kabupaten Merauke (Suku Marind), tebu merupakan tanaman yang sudah dikenal dan dikonsumsi secara turun temurun dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun acara-acara ritual adat. Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1928 mengembangkan jenis tebu asal Merauke itu di Pulau Jawa. Berdasarkan hasil pengujian Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI).

Media untuk menanam tebu adalah tanah, yang terbaik adalah tanah subur dan cukup air tetapi tidak tergenang. Jika ditanam di sawah dengan irigasi yang mudah di atur, tetapi jika ditanam di ladang/tanah kering tadah hujan penanaman harus dilakukan di musim hujan.

Terdapat dua cara mempersiapkan lahan tanaman tebu yaitu: (1) cara cemplongan (reynoso), tanah tidak seluruhnya diolah namun hanya digali lubang


(39)

tanamnya, dan (2) pembajakan untuk tanah sawah. Selanjutnya dibuat parit ukuran 50 x 50 cm keliling yang berjarak 1,3 m dari tepi lahan. Lubang tanam dibuat berupa parit dengan kedalaman 35 cm dengan jarak antar parit sejauh 1 m. Tanah galian ditumpuk di atas larikan diantara lubang tanam membentuk guludan. Setelah tanam, tanah guludan ini dipindahkan lagi ke tempat semula.

Bibit yang akan ditanam dapat berupa: (1) bibit pucuk, lebih murah karena tidak memerlukan pembibitan, diambil dari bagian pucuk tebu yang akan digiling berumur 12 bulan, daun kering yang membungkus batang tidak dibuang agar melindungi mata tebu, (2) bibit batang muda, dari tanaman berumur 5-7 bulan, tanaman dipotong, daun pembungkus batang tidak dibuang, (3) bibit rayungan, diambil dari tanaman tebu khusus untuk pembibitan berupa stek yang tumbuh tunasnya tetapi akar belum keluar, dan (4) bibit siwilan, diambil dari tunas-tunas baru dari tanaman yang pucuknya sudah mati, perawatannya sama dengan bibit rayungan

Awal tanam tebu pada bulan Juni-Agustus di tanah berpengairan, dan pada akhir musim hujan di tanah tegalan atau sawah tadah hujan. Terdapat dua cara bertanam tebu yaitu: (1) dalam aluran dan (2) pada lubang tanam. Pada cara pertama bibit diletakkan sepanjang aluran, ditutup tanah setebal 2-3 cm dan disiram. Cara kedua bibit diletakan melintang sepanjang selokan penanaman dengan jarak 30-40 cm. Bibit tebu diletakkan dengan cara direbahkan, jika tidak turun hujan tanah disiram sebelumnya agar bibit bisa melekat ke tanah.

P

Peemmeelliihhaarraaaann ttaannaammaann ddiillaakkuukkaann ddeennggaann ppeennjjaarraannggaann ddaann ppeennyyuullaammaann

s

seebbaaggaaii bbeerriikkuutt :: (1) sulaman pertama untuk bibit rayungan bermata satu dilakukan 5-7 hari setelah tanam, kedua dilakukan 3-4 minggu setelah


(40)

penyulaman pertama, (2) sulaman bibit rayungan bermata dua dilakukan tiga minggu setelah tanam, (3) sulaman untuk tanaman yang berasal dari bibit pucuk, pertama dilakukan pada minggu ke 3, kedua dilakukan bersamaan dengan pemupukan yaitu 1,5 bulan setelah tanam, (4) penyulaman ekstra dilakukan jika perlu, yaitu beberapa hari sebelum pembumbunan, (5) penyulaman bongkaran, dilakukan jika ada bencana alam atau serangan penyakit yang menyebabkan 50% tanaman mati.

Penyiangan gulma dilakukan bersamaan dengan saat pembubunan tanah dan dilakukan beberapa kali tergantung dari pertumbuhan gulma. Pembubunan dilakukan dengan keharusan menyiram tanah terlebih dulu sampai jenuh agar struktur tanah tidak rusak. Tebal bumbunan tidak boleh lebih dari 5-8 cm secara merata. Ruas bibit harus tertimbun tanah agar tidak cepat mengering. Hal ini dilakukan selama tiga kali, yaitu : (1) pada waktu umur 3-4 minggu, (2) umur 2 bulan, dan (3) umur 3 bulan.

Daun-daun kering harus dilepaskan atau dilakukan perempalan sehingga ruas-ruas tebu bersih dari daun tebu kering dan menghindari kebakaran. Bersamaan dengan pelepasan daun kering, anakan tebu yang tidak tumbuh baik dibuang. Perempalan pertama dilakukan pada saat 4 bulan setelah tanam dan yang kedua ketika tebu berumur 6-7 bulan.

Pemupukan dilakukan dua kali yaitu: (1) saat tanam atau sampai 7 hari setelah tanam dengan dosis (120 kg urea, 160 kg TSP dan 300 kg KCl/ha), dan (2) setelah 30 hari pemupukan pertama dengan 200 kg urea per ha. Pupuk diletakkan di lubang pupuk (dibuat dengan tugal) sejauh 7-10 cm dari bibit dan ditimbun tanah. Setelah pemupukan semua petak segera disiram supaya pupuk tidak keluar


(41)

dari daerah perakaran tebu. Pemupukan dan penyiraman harus selesai dalam satu hari. Agar rendemen tebu tinggi, digunakan zat pengatur tumbuh seperti Cytozyme (1 l/ha) yang diberikan dua kali pada 45 dan 75 hari setelah tanam (hst).

Pengairan dan penyiraman dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:

(1) air dari bendungan dialirkan melalui saluran penanaman, (2) penyiraman lubang tanam ketika tebu masih muda, ketika tanaman berumur 3 bulan, dilakukan pengairan lagi melalui saluran-saluran kebun. (3) air siraman diambil dari saluran pengairan dan disiramkan ke tanaman, (4) membendung got-got sehingga air mengalir ke lubang tanam. Pengairan dilakukan tiga kali yaitu pada saat: (1) waktu tanam, (2) tanaman berada pada fase pertumbuhan vegetatif, dan (3) pematangan.

2.2. Iklim

Iklim merupakan komponen utama yang mempengaruhi keberhasilan usaha tani. Nenek moyang kita telah berhasil melakukan pendekatan tersebut, terbukti dengan adanya sistem pranata mangsa, yaitu ilmu pengetahuan Jawa kuno mengenai sistem pengaturan bercocok tanam dan beternak yang dikaitkan dengan gejala alam pada suatu musim dan cuaca pada masa tertentu. Sistem tersebut hingga sekarang masih banyak dimanfaatkan oleh penduduk, utamanya yang tinggal di daerah perdesaan (Kartasapoetra 2004).

Iklim adalah rata-rata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang cukup lama, minimal 30 tahun yang sifatnya tetap, sedangkan cuaca adalah keadaan atau kelakuan atmosfir pada waktu tertentu yang sifatnya berubah-ubah dari waktu ke


(42)

waktu. Iklim merupakan kebiasaan alam yang digerakkan oleh gabungan beberapa unsur, antara lain yaitu : (1) suhu, (2) kelembaban, (3) awan, (4) presipitasi/hujan, (5) angin. Unsur-unsur tersebut berbeda dari suatu tempat dengan tempat lainnya. Hal ini disebabkan adanya faktor iklim, yaitu : (1) ketinggian suatu tempat, (2) garis lintang, (3) arus laut, dan (4) permukaan tanah (Kartasapoetra 2004).

Suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan thermometer. Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu di permukaan bumi antara lain : (1) jumlah radiasi yang diterima tiap tahun, tiap hari, tiap musim, (2) keadaan daratan atau lautan, (3) ketinggian tempat, makin tinggi suatu tempat suhu makin rendah, (4) angin yang membawa panas/dingin dari sumbernya, (5) penutup tanah dengan vegetasi, (6) tipe tanah, tanah warna gelap indeks suhunya lebih tinggi, (7) sudut datang sinar matahari, sinar tegak lurus membuat lebih panas dari pada yang datangnya miring.

Kelembaban adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara, dikenal beberapa istilah, seperti : (1) kelembaban mutlak adalah massa uap air yang berada dalam satu satuan udara (gram/m3), (2) kelembaban spesifik, merupakan

perbandingan massa uap air di udara dengan satuan massa udara (gram/kg), dan (3) kelembaban relatif, merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan jumlah maksimum uap air yang dikandung udara pada suhu tertentu (%).

Keadaaan kelembaban diatas permukaan bumi berbeda-beda, yang tertinggi di daerah katulistiwa dan yang terendah pada daerah lintang 40o.

Besarnya kelembaban suatu daerah merupakan faktor yang menstimulasi curah hujan. Kelembaban memiliki hubungan yang erat dengan perkembangan jamur


(43)

penyakit tumbuhan yang menyerang jika kelembaban relatif (relative humidity/RH) 85% berlangsung terus selama tiga hari.

Awan merupakan kumpulan titik-titik air yang berjumlah banyak dan terletak pada titik kondensasi serta melayang-layang di udara. Menurut Kartasapoetra (2004) jenis awan dibedakan yaitu: (1) awan tinggi, yaitu awan yang terdapat pada ketinggian 7 km dari permukaan laut, (2) awan pertengahan, pada ketinggian 2 km hingga kurang dari 7 km, awan rendah, berada pada ketinggian kurang dari 2 km diatas permukaan laut, dan (4) awan yang berkembang vertikal, pada ketinggian 1- 20 km dari permukaan laut. Setap jenis awan mempunyai kelembaban dan suhu masing-masing.

Hujan adalah salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan yang terdapat di atmosfir. Bentuk presipitasi lainnya adalah salju dan es. Agar terjadi hujan diperlukan titik-titik kondensasi, amoniak, debu dan asam belerang. Titik-titik kondensasi ini mempunyai sifat dapat mengambil uap air dari udara.

Berdasarkan terjadinya proses presipitasi, hujan dibagi menjadi : (1) hujan konveksi, yaitu proses hujan yang berdasarkan atas pengembangan udara yang dipanaskan, awan naik dan temperaturnya turun hingga terjadi kondensasi, maka timbulah hujan, (2) hujan orografis, yaitu proses hujan karena udara terpaksa naik akibat penghalang, misalnya gunung, (3) hujan frontal, banyak terjadi pada daerah lintang pertengahan di mana suhu massa udara tidak sama, akibatnya jika massa udara yang panas naik sampai ke massa udara yang dingin akan terjadi kondensasi dan timbulah hujan. Dalam mempercepat hujan, manusia memberi zat yang higroskopis sebagai inti kondensasi, misalnya perak iodida, kristal es , es kring atau CO2 padat yang ditaburkan ke udara dengan menggunakan pesawat terbang.


(44)

Angin merupakan gerakan atau perpindahan massa udara dari satu tempat ke tempat lain secara horisontal. Sifat massa udara ditentukan oleh : (1) daerah atau tempat asal udara, jika berasal dari daerah yang banyak mengandung air, massa udara bersifat lembab dan sebaliknya, (2) jalan yang dilalui, jika melalui daerah yang basah akan bersifat semakin lembab karena menyerap air, (3) umur massa udara, yaitu waktu yang diperlukan mulai terbentuknya sampai menjadi bentuk lain. Semakin lama umur massa udara maka semakin banyak perubahan yang dialami. Angin bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah, yang datang dari barat disebut angin barat, angin laut, angin darat. Selain itu ada angin gunung dan angin lembah.

Iklim berpengaruh terhadap pembentukan tanah, karena hujan dan panas (suhu) menentukan laju proses pelapukan bahan induk atau proses bio-kimia dan fisik. Tumbuhan juga dipengaruhi oleh iklim, ada tumbuhan yang dapat tumbuh dengan baik dan yang sama sekali tidak dapat tumbuh karena perbedaan iklim. Pengaruh iklim di Indonesia sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, namun menyebabkan berkurangnya unsur hara dan zat makanan yang tersedia dalam tanah akibat proses pengangkutan (penghanyutan). Selain itu iklim dapat mempercepat dan memperbanyak keberadaan berbagai hama dan penyakit tanaman, bakteri dan jamur (fungi) yang tak terhitung jumlahnya yang dapat mendorong kerusakan tanaman.

2.3. Tanah/lahan dan Pengelolaannya

Tanah (soil) adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen padat, cair, dan gas atau bagian dari permukaan bumi yang dapat


(45)

ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan dan mempunyai sifat dan perilaku dinamis sebagai hasil kerja faktor-faktor iklim dan jasad hidup (microorganism) terhadap bahan induk yang dipengaruhi oleh keadaan topografi dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaannya. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang atau tempat ( Arsyad 2006; dan Sitorus 2008), merupakan modal utama bagi petani untuk memproduksi pangan. Rao (2007) menyatakan tanah merupakan penutup terluar bumi yang terdiri atas lapisan bahan organik dan anorganik, merupakan medium alami tempat tanaman hidup berkembang biak dan mati. Tanah menyediakan dukungan fisik yang diperlukan untuk berpegang bagi sistem perakaran dan juga berfungsi sebagai reservoar air, udara dan nutrisi yang penting bagi pertumbuhan tanaman.

Produktivitas lahan adalah kemampuan suatu lahan untuk menghasilkan suatu jenis tanaman dibawah suatu sistem pengelolaan tertentu yang bergantung pada kesuburan tanah. Kesuburan tanah adalah kemampuan tanah untuk menyediakan unsur-unsur hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang untuk pertumbuhan suatu tanaman, jika faktor-faktor lain seperti cahaya, air, suhu, dan keadaan fisik tanah tersebut memungkinkan.

Faktor yang mempengaruhi pembentukan tanah, yaitu : (1) iklim, utamanya temperatur dan curah hujan, (2) organisme hidup, utamanya vegetasi, (3) sifat bahan induk, seperti: tekstur, struktur, komposisi kimia dan mineral, (4) topografi daerah, dan (5) waktu, dimana bahan induk diubah dalam proses


(46)

pembentukan tanah. Hubungan antara tanah dan faktor-faktor pembentuknya menurut Arsyad (2004) dan Sitorus (2008) dapat dinyatakan sebagai berikut :

T = f ( i, o, b, r, w )

Dimana T adalah tanah, i adalah iklim, o yaitu organisme atau jasad hidup b adalah bahan induk, r yaitu relief atau topografi dan w adalah waktu.

Diantara kelima faktor pembentuk tanah diatas, iklim merupakan faktor yang paling penting. Iklim menentukan terhadap kecepatan proses pelapukan atau hancuran yang terjadi pada bahan induk, hasilnya mempengaruhi pembentukan tanah dan profil tanah.

Mikroorganisme tanah memegang peranan kunci baik dalam evolusi kondisi tanah pertanian yang berguna maupun dalam merangsang pertumbuhan tanaman, meskipun kemajuan dalam hal pupuk kimia buatan sangat pesat (Rao 2007). Mikroorganisme sangat membantu dalam pemisahan profil tanah. Proses pelapukan, mineralisasi dan pencampuran bahan organik merupakan salah satu peranan penting mikroorganisme tanah. Jenis dan jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam tanah ikut menentukan terhadap macam tanah yang akan dibentuk. Sifat bahan induk jelas berpengaruh terhadap ciri tanah yang terbentuk. Misal, tekstur tanah berpasir sangat ditentukan oleh bahan induknya, demikian juga adanya batu kapur di daerah beriklim basah akan memperlambat pembentukan kemasaman.

Topografi dapat mempercepat atau memperlambat pengaruh gaya-gaya iklim. Di daerah dataran rendah kecepatan hilangnya air yang berlebihan jauh lebih kecil dari pada daerah perbukitan. Sedangkan topografi perbukitan dapat


(47)

menimbulkan erosi terhadap lapisan tanah, jika cukup intensif akan menyebabkan solum tanah menjadi dangkal.

Lamanya suatu bahan induk mengalami pelapukan memegang peranan penting dalam pembentukan tanah. Tanah yang terdapat pada bahan aluvial biasanya belum mempunyai waktu yang cukup lama untuk perkembangan profilnya dibandingkan dengan tanah yang terbentuk di dataran tinggi (upland) di sekitarnya. Jika bahan induk dataran pantai terangkat (uplifted) secara geologi akhir-akhir ini, maka tanah yang terbentuk hanya mempunyai waktu yang relatif singkat untuk pelapukan atau perkembangannya.

Interaksi berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan tanah jelas terjadi, justru jarang terjadi hanya satu faktor yang bekerja untuk suatu jenis tanah. Dibawah pengaruh hutan dengan iklim dingin dan basah ditaksir pembentukan tanah muda sekitar 200 tahun. Sedangkan di daerah tropis, yang curah hujannya besar, suhunya tinggi dan vegetasinya lebat, pembentukan tanah hanya membutuhkan waktu sekitar 50 tahun.

Tanah dapat dipelajari secara garis besar dari dua pendekatan, yaitu : (1) edafologi, mempelajari tanah sebagai tempat tumbuh dan penyedia berbagai unsur hara bagi tumbuhan yang ada hubungannya dengan pertumbuhan dan produktivitas, kesesuaian penggunaan tanah, memelihara kelestarian fungsi tanah dan memperbaiki tanah yang rusak, (2) pedologi, menelaah proses dan reaksi bio-fisika-kimia yang berperan, jenis tanah dan penyebarannya. Dari sini tumbuh spesiali dasar dalam fisika tanah, biologi tanah, kimia tanah, mineralogi tanah dan genesis tanah.


(48)

Secara umum terdapat dua golongan tanah, yaitu : (1) tanah mineral adalah semua tanah yang sampai kedalaman 30 cm atau lebih mengandung kurang dari 30% bahan organik jika bahan mineralnya bertekstur halus atau mengandung kurang dari 20% bahan organik jika bagian mineralnya bertekstur kasar, dan (2) tanah organik adalah tanah yang sampai kedalaman 30 cm atau lebih mengandung lebih dari 30% bahan organik jika bahan mineralnya bertekstur halus dan mengandung lebih dari 20% bahan organik apabila bahan mineralnya bertekstur kasar (pasir berlempung/loamy sand atau lebih kasar).

Di Indonesia lebih banyak tanah mineral (± 164 juta ha) dari pada tanah organik (± 27 juta ha), seluruh luas daratan ± 191 juta ha. Tanah mineral pada dasarnya terdiri dari empat penyusun utama, yaitu : bahan mineral, bahan organik, air, dan udara akan menentukan sifat-sifat fisik tanah Komposisi volume dari tiap bagian penyusun utama tersebut berbeda-beda dari tanah yang satu ke tanah yang lain.

Menurut Arsyad (2004) dan Sitorus (2008), di dunia ini dikenal 12 (dua belas) jenis tanah, yaitu : histosol, entisol, vertisol, inceptisol, aridisol, mollisol, spodosol, alfisol, ultisol, oxisol, andisol dan gellisol.

2.3.1. Kerusakan tanah

Tanah dinyatakan rusak jika lapisan tanah atas (top soil) banyak terkikis atau dihanyutkan oleh arus air hujan, sehingga lapisan tersebut menjadi tipis atau bahkan hilang. Tanah atas umumnya hanya memiliki ketebalan sekitar 15 – 35 sentimeter. Apabila lapisan tanah atas yang telah menipis itu dibiarkan begitu saja dalam penggunaannya, lapisan ini akan hilang dan yang tampak adalah adalah lapisan tanah dibawahnya (sub soil) yang tidak subur, masih mentah, dimana


(49)

mikro flora dan mikro faunanya sudah hilang, maka perlu dilakukan perbaikan agar dapat menjadi tanah yang produktif, dan hal ini memakan waktu yang cukup lama, antara 2 – 5 tahun (Kartasapoetra 2004).

Tanah sebagai sumberdaya alam untuk pertanian mempunyai dua fungsi utama, yaitu : (1) sebagai matrik tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan, dan (2) sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan. Kedua fungsi tanah tersebut dapat menurun atau hilang, yang disebut kerusakan tanah atau degradasi tanah. Hilangnya fungsi pertama tidak mudah diperbaiki/diperbaharui karena memerlukan waktu lama, puluhan bahkan ratusan tahun untuk pembentukan tanah, tetapi hilangnya fungsi kedua dapat segera diperbaiki dengan pemupukan terus menerus ( Arsyad 2006; dan Sitorus 2008).

Tanah dan air merupakan sumberdaya alam utama mudah mengalami kerusakan atau degradasi karena : (1) kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, (2) terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, (3) penjenuhan tanah oleh air (waterlogging), dan (4) erosi.

Kerusakan tanah selain secara alami juga disebabkan oleh faktor manusia, misalnya perladangan berpindah, dan pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya atau daya dukungnya, pemakaian bahan kimia dalam pertanian dan buangan limbah industri yang terakumulasi dapat menjadi racun bagi tanaman. Kerusakan tanah oleh salah satu atau lebih penyebab diatas, menyebabkan merosotnya kesuburan tanah sehingga tanah tidak lagi mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang untuk mendukung


(50)

pertumbuhan tanaman yang normal, maka berakibat menurunnya pertumbuhan tanaman atau berkurangnya produktivitas lahan.

Perombakan bahan organik dan pelapukan mineral serta pencucian yang berlangsung cepat di bawah iklim tropika panas dan basah, menyebabkan kehilangan unsur hara. Unsur hara juga terangkut melalui panen tanpa adanya usaha untuk mengembalikan, sehingga menyebabkan rusaknya struktur tanah.

Pembakaran tumbuhan yang menutupi tanah akan mempercepat proses pencucian dan pemiskinan, apalagi jika pembakaran dilakukan setiap tahun. Pemberian pupuk buatan/pabrik atau pupuk organik (kompos), pergiliran tanaman dengan tanaman leguminosa dan tidak melakukan pembakaran vegetasi atau sisa-sisa tanaman, merupakan sebagian cara untuk mencegah kerusakan tanah dan memulihkan kesuburan tanah.

2.3.2. Erosi Tanah

Menurut (Arsyad 2006 dan Sitorus 2008), erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan di tempat lain. Pengangkutan atau pemindahan tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu air dan angin.

Di daerah beriklim basah seperti Indonesia, erosi oleh air yang lebih penting, sedangkan erosi oleh angin hampir tak berarti. Oleh sebab itu maka pembahasan erosi selanjutnya akan berpusat pada masalah erosi oleh air beberapa macam erosi yang dikenal dalam kamus konservasi tanah dan air, yaitu: (1) erosi geologi, terjadi sejak permukaan bumi terbentuk yang menyebabkan terkikisnya


(51)

batuan sehingga terjadi bentuk morfologi permukaan bumi seperti yang terdapat sekarang ini, (2) erosi normal, disebut juga erosi alami merupakan proses pengangkutan tanah atau bagian tanah yang terjadi dibawah keadaan alami, biasanya terjadi dengan laju yang lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal, (3) erosi dipercepat, adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu kesimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah.

Menurut bentuknya dikenal lima jenis erosi yaitu : (1) erosi permukaan, atau erosi lembar, (2) erosi alur, (3) erosi parit, (4) erosi tebing sungai, dan (5) longsor.

Erosi memenyebabkan hilangnya lapisan bagian atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Tanah yang terangkut tersebut akan akan diendapkan di tempat lain, di dalam sungai, waduk danau, saluran irigasi, di atas tanah pertanian dan sebagainya. Dengan demikian kerusakan yang ditimbulkan oleh peristiwa erosi terjadi di dua tempat yaitu : (1) di tempat terjadinya erosi dan (2) di tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan.

Kerusakan yang dialami ditempat erosi terjadi berupa kemunduran sifat-sifat kimia dan fisik tanah seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik serta memburuknya sifat fisik yang tercermin antara lain dari menurunya kapasitas kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah dan berkurangnya kemantapan struktur tanah, yang pada akhirnya menyebabkan memburuknya pertumbuhan tanaman dan


(52)

menurunnya produktivitas. Hal ini disebabkan oleh lapisan bagian atas tanah setebal 15 – 30 sentimeter mempunyai sifat-sifat kimia dan fisik lebih baik dibanding dengan lapisan tanah dibawahnya.

2.3.3. Pengelolaan Sumberdaya Lahan

Pengelolaan sumberdaya lahan memiliki dua tujuan, yaitu : (1) tujuan fisik adalah tujuan yang dapat diukur dalam satuan fisik, misal produksi tiap ha, dan (2) tujuan ekonomis, diukur dalam penerimaan pendapatan bersih. Pada umumnya kedua tujuan diatas dapat sejalan, akan tetapi ada kalanya kedua tujuan tersebut tak sejalan, misal produksi tebu tinggi tetapi harganya murah, sehingga tujuan fisik tercapai namun tujuan ekonomis tidak tercapai.

Menurut Sitorus (2008), sistem pengelolaan lahan mencakup lima unsur, yaitu : (1) perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, (2) tindakan khusus konservasi tanah dan air, (3) menyiapkan tanah dalam keadaan olah yang baik, (4) menggunakan sistem pergiliran tanaman yang tersusun baik, dan (5) menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi pertumbuhan tanaman.

Perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya,

disesuaikan atau tergantung dari kemampuan sumberdaya lahan itu sendiri untuk dapat diusahakan bagi suatu penggunaan tertentu. Dengan demikian terlebih dulu harus diketahui potensi dari sumberdaya lahan itu sendiri untuk dapat mendukung suatu kegiatan usahatani tertentu serta tindakan yang diperlukan agar lahan tersebut dapat memberikan hasil yang baik secara berkelanjutan.

Sifat lahan meliputi : (1) keadaan lereng atau topografi daerah, (2) kedalaman efektif tanah, (3) tekstur tanah, (4) tingkat kesuburan tanah, (5)


(53)

permeabilitas tanah, dan (6) keadaan drainase. Hal ini merupakan faktor yang penting dari sumberdaya lahan agar dapat diusahakan

Tindakan khusus konservasi tanah dan air, prinsipnya sama dengan konservasi tanah karena antara tanah dan air terdapat hubungan yang erat sekali, setiap tindakan atau perlakuan yang diberikan terhadap sebidang tanah akan mempengaruhi keadaan tata air di lahan tersebut maupun di daerah hilirnya.

Tindakan konservasi tanah adalah usaha untuk memperlakukan lahan pada penggunaan yang sesuai dengan kemampuannya, mengikuti syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi tanah ditujukan untuk : (1) mencegah kerusakan tanah, dan (2) memperbaiki tanah yang rusak agar tercapai produksi yang setinggi-tingginya dalam waktu yang tak terbatas.

Metode konservasi tanah menurut Sitorus (2008), dapat digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu : (1) metode vegetatif, (2) metode mekanik dan (3) metode kimia.

Metode vegetatif fungsinya yaitu : melindungi tanah terhadap daya perusak terhadap butir-butir air hujan yang jatuh, melindungi tanah terhadap daya perusak aliran permukaan, dan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan kemampuan mengabsorbsi air. Metode vegetatif, antara lain : penghutanan atau penghijauan, penanaman dengan rumput makanan ternak, pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau.

Metode mekanik dalam konservasi tanah mempunyai dua fungsi, yaitu memperlambat aliran permukaan dan menampung/menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Metode mekanik antara lain adalah pengolahan tanah (tillage), pembuatan galengan dan saluran menurut kontur,


(54)

pembuatan teras, perbaikan drainase dan pembuatan irigasi, pembuatan waduk, dam, dan tanggul.

Metode kimia digunakan untuk pembentukan struktur tanah yang stabil. Kemantapan struktur tanah merupakan salah satu sifat tanah yang menentukan kepekaan tanah terhadap erosi. Beberapa jenis senyawa kimia yang umum disebut

soil conditioner yang digunakan antara lain adalah : krilium, yaitu garam natrium dari poly acrylonitrile, polymer tak terionisasi : polyvinyl alkohol (PVA), polyanion : polyvinil acetate (PVAC), polycation : dimethyl amino ethyl meta crylate (DAEMA), dipole polymer (PAM), dan emulsi bitumen.

Menyiapkan tanah dalam keadaan olah yang baik, dikenal tiga fungsi pengolahan tanah, yaitu : (1) untuk menggemburkan tanah, (2) memberantas tanaman pengganggu, dan (3) memasukkan sisa-sisa tanaman kedalam tanah.

Pengolahan tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan air tanah pada saat mengolah. Bila tanah diolah pada keadaan basah, maka akan mudah terjadi pemadatan, dan struktur tanah akan rusak. Sebaliknya bila tanah diolah dalam keadaan kering akan terjadi penghancuran agregat-agregat tanah. Keadaan olah yang baik adalah suatu keadaan, dimana terbentuk struktur remah. Dalam keadaan seperti ini akan terjadi perbaikan-perbaikan dalam hal peredaran atau sirkulasi udara dalam tanah. Keadaan olah yang baik dapat dicapai jika tanah diolah dalam keadaan lembab.

Menggunakan sistem pergiliran tanaman (crop rotation) yang

tersusun baik, adalah sistem penanaman berbagai tanaman secara bergilir dalam urutan waktu tertentu pada sebidang lahan. Pergiliran tanaman mempunyai empat keuntungan yaitu : (1) mencegah erosi, (2) pemberantasan hama dan penyakit,


(55)

menekan populasi hama dan penyakit, (3) pemberantasan tanaman pengganggu, (4) memperbaiki atau memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah jika tanaman pergiliran (utamanya legum) dibenanamkan kedalam tanah.

Tanaman yang sesuai untuk digunakan dalam sistem pergiliran tanaman dalam konservasi tanah sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut : (1) mudah diperbanyak, sebaiknya biji, (2) memiliki sistem perakaran yang tidak memberikan kompetisi berat terhadap tanaman pokok, tetapi mempunyai sifat pengikat tanah yang baik dan tak memerlukan tingkat kesuburan tanah yang tinggi untuk pertumbuhannya, (3) tumbuh cepat dan banyak menghasilkan daun, (4) toleran terhadap pemangkasan, (5) tahan terhadap hama, penyakit dan kekeringan, (6) mampu menekan pertumbuhan penggunggu, (7) mudah dimusnahkan jikan tanah akan digunakan untuk penanaman tanaman pokok, dan (8) tidak memiliki duri dan sulur-sulur yang membelit.

Menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi

pertumbuhan tanaman, agar dapat mencapai produksi tanaman yang optimum

dan memperbaiki sifat fisik tanah. Penggunaan pupuk sebagai faktor masukan (input) sangat menentukan pertumbuhan tanaman terutama pada lahan miskin ketersediaan unsur hara. Namun pemupukan tidak akan berhasil dan menguntungkan sebelum usaha-usaha pencegahan erosi, perbaikan keadaan udara dan air, pemeliharaan bahan organik tanah, perbaikan tanah yang rusak, dan perbaikan drainase dilakukan terlebih dulu.

Ada tiga hal yang perlu diketahui sebelum melakukan suatu usaha pemupukan yaitu : (1) jenis pupuk yang akan diberikan, (2) besar dan jumlahnya, (3) saat pemberian. Untuk dapat mengetahui ketiga hal tersebut perlu dilakukan


(56)

serangkaian kegiatan yang tahapannya adalah adalah sebagai berikut : (1) mengadakan evaluasi tingkat kesuburan tanah, (2) mengadakan percobaan yang terarah agar dapat menjawab jumlah yang diperlukan dan saat pemberiannya.

Penilaian tingkat kesuburan tanah dapat dilakukan melalui berbagai cara sebagai berikut : (1) pengamatan gejala kekurangan unsur hara pada tanaman yang tumbuh diatas tanah, (2) analisis jaringan tanaman, (3) uji biologi, dilakukan dengan menggunakan tanaman tertentu yang ditanam pada contoh tanah di rumah kaca atau di lapang, dan (4) uji kimia tanah, adalah menganalisis kimia sampel tanah merupakan cara yang paling mudah dan cepat.

Pupuk adalah semua bahan yang mengandung unsur-unsur yang berfungsi sebagai hara tanaman dan tidak mengandung unsur-unsur racun yang dapat memperburuk keadaan tanah. Beberapa cara penempatan pupuk adalah : (1) sebar rata (broadcast), pupuk diberikan dengan cara disebar merata di permukaan tanah sebelum tanam, (2) barisan (side band), pupuk diberikan dalam barisan / larikan di salah satu atau kedua sisi biji atau tanaman, (3) in the row, pupuk diberikan bersam-sama dengan biji dalam satu larikan atau parit, (4) top dressed dan side dressed, pupuk diberikan setelah tanaman tumbuh; top dressed biasanya untuk tanaman rumput atau serlia kecil, sedangkan side dressed ditempatkan di sisi barisan tanaman seperti jagung, (5) pop-up sama dengan ini the row, hanya disini dalam lubang atau tugalan, (6) pemupukan daun (foliar application), pupuk dilarutkan atau diencerkan terlebih dulu dan diberikan lewat daun, (7) suntikan (injection), digunakan khusus untuk pupuk dalam bentuk gasseperti NH3 dan SO2

dan diberikan dengan cara disuntikkan ke tanah dengan bantuan aplicator khusus, (8) pemupukan lewat air irigasi (fertigation).


(1)

226

Lanjutan

Foto 4. Mengamati perubahan warna daun tebu pada waktu pengambilan sampel tanah (kedua)

Foto 5 . Pengambilan sampel tanah menjelang panen (ketiga)


(2)

227

Lanjutan

Foto 7. Penimbangan hasil panen

Foto 8. Pengukuran diameter batang tebu


(3)

228

Lanjutan

Foto 10. Lokasi kegiatan produksi gula tumbu di tengah sawah

Foto 11. Mesin Penggiling tebu (istirahat)


(4)

229

Lanjutan

Foto 13. Pembuangan buih/kotoran

Foto 14. Tungku pemasak dengan bahan bakar ampas tebu


(5)

230

Lanjutan

Foto 16. Pembuatan asam sulfit skala laboratorium

Foto 17. Penambahan kapur tohor dalam nira tebu hingga pH 9


(6)

231

Lanjutan

Foto 19. Pemasakan nira pada suhu konstan dalam penangas air

Foto 20. Gula merah hasil percobaan dalam laboratorium


Dokumen yang terkait

Perananan Koperasi Serba Usaha (KSU) Mangarahon Kecamatan Sigumpar Kabupaten Toba Samosir dalam Pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM)

7 78 78

Strategi Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang, Jawa Barat

0 4 6

Analisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik Gula Industri Gula Nusantara, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah

7 49 100

Efisiensi Produksi Usaha Pengolahan Gula Kelapa Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah

5 32 96

ANALISIS KOMPARATIF USAHATANI TEBU UNTUK PEMBUATAN GULA PASIR DAN GULA TUMBU DI KECAMATAN DAWE KABUPATEN KUDUS.

0 0 14

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI GULA TUMBU (KASUS KECAMATAN DAWE KABUPATEN KUDUS) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 8 59

MEWUJUDKAN PERKOPIAN NASIONAL DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KOPI BUBUK SKALA KECIL UNTUK MENINGKATKAN NILAI TAMBAH USAHA TANI KOPI RAKYAT DI ACEH TENGAH

0 0 5

PENGARUH SKALA USAHA, PENDIDIKAN PEMILIK, PENGALAMAN MEMIMPIN, JENIS USAHA, PERSEPSI PEMILIK USAHA TERHADAP PENGGUNAAN INFORMASI AKUNTANSI PADA USAHA KECIL DAN MENENGAH (Studi Kasus di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah)

0 1 14

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Komparatif Usahatani Tebu Untuk Pembuatan Gula Pasir Dan Gula Tumbu Di Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus

0 0 7

PENGARUH LOKASI, HARGA, DAN PELAYANAN TERHADAP KESUKSESAN USAHA MIKRO, KECIL DI LINGKUNGAN KAMPUS STAIN KUDUS (STUDI KASUS PADA USAHA FOTOCOPY DI LINGKUNGAN STAIN KUDUS) - STAIN Kudus Repository

0 0 25