Adanya oknum petugas yang tidak disiplin

69 lahan baru di tempat lain yang kosong. Lokasi lahan kosong tersebut biasanya mereka peroleh dari peladang lain yang lokasinya berbatasan. Peladang di lokasi yang berbatasan dengan areal yang belum ada pemiliknya akan senang jika lahan tersebut dibuka orang. Selain akan mendapatkan teman, juga berarti akan berbagi risiko dalam menghadapi hama. Keadaan tersebut menyebabkan frekuensi jual beli dan pembukaan lahan baru relative tinggi. Hal ini terlihat dari pengakuan responden dalam cara mendapatkan lahan garapan seperti disajikan pada Gambar 18 31 41 21 7 10 20 30 40 50 Ganti rugi Warisn Membuka sendiri cara lain Gambar 18. Distribusi responden berdasarkan cara mendapatkan lahan garapan dalam kawasan Tahura WAR Gambar 18 memperlihatkan bahwa cara mendapatkan lahan garapan dengan ganti rugi pembelian dan membuka sendiri relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penggarap lahan yang baru masih terus berdatangan, karena di samping oleh peladang lama pembelian dan pembukaan lahan tersebut juga dilakukan oleh orang baru.

B. Adanya oknum petugas yang tidak disiplin

Oknum petugas yang tidak disiplin berperan cukup besar sebagai faktor penarik dari dalam yang menyebabkan terjadinya penggarapan dalam kawasan Tahura WAR. Dari hasil studi yang dilakukan oleh watala dalam studi karakteristik permasalahan tahura dengan metode Focus Group Discussion FGD didapat keterangan bahwa dengan memberikan sejumlah uang, 70 seseorang dapat memperoleh membuka lahan garapan di dalam Kawasan Tahura dengan aturan tidak tertulis yang biasanya mereka sepakati konsensus. Fenomena ini telah berlangsung lama dan tidak hanya terjadi di Tahura WAR, melainkan juga di wilayah-wilayah lain di Propinsi Lampung, bahkan di Indonesia. Ditinjau dari perspektif sosial-ekonomi, fenomena tersebut merupakan hal yang wajar. Petugas lapangan, umumnya bergaji relatif minim jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara yang harus mereka jaga adalah sumberdaya lahan berharga yang memiliki demand tinggi. Secara psikologis, kondisi tersebut telah menimbulkan dampak yang sangat nyata, Dengan adanya kesepakatan konsensus tersebut penggarap merasa aman menggarap lahan. Setidaknya mereka tidak akan ditangkap sebagai perambah karena jika akan ada penertiban mereka akan diberi tahu. Oleh karena itu, walaupun tidak mendapat ijin resmi mereka tetap berani menggarap lahan tersebut. Dari 118 orang penggarap lahan dalam kawasan Tahura WAR 83 orang 70,34 menyatakan tidak mendapat ijin. Akan tetapi mereka sadar, bahwa tindakan mereka secara hukum tidak sah dan sewaktu-waktu harus mau dikeluarkan dari kawasan Tahura WAR dan melepaskan hak garapannya. Oleh karena itu, mereka lebih suka menanam tanaman semusim daripada tanaman tahunan. Dengan menanam tanaman semusim mereka merasa lebih pasti dapat memanennya dan walaupun harus ditinggalkan kerugiannya tidak terlelu besar. Sementara dengan menanam tanaman tahunan, mereka tidak memiliki kepastian untuk dapat memanennya. C. Penegakan hukum yang kurang tegas dan tidak tuntas Kegiatan penggarapan lahan dalam kawasan Tahura WAR sudah berlangsung lama. Dari 118 responden, 35 menyatakan telah menggarap lahan dalam kawasan tersebut lebih dari 20 tahun, artinya sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai Tahura. Akan tetapi, sebelumnya tahun 1941 atau 65 tahun 71 yang lalu dari tahun 2006 kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Pengukuhan tersebut diperkuat dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan TGRK. Di dalam hutan lindung pun, penggarapan lahan merupakan hal yang tidak diperbolehkan. Akan tetapi ternyata dari penggarap lahan diperoleh informasi bahwa mereka setidaknya merasa telah mendapatkan berbagai ijin seperti disajikan pada Gambar 19. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari para penggarap lahan, pada tahun 1966 pemerintah mengeluarkan ijin tumpang sari, yaitu ijin untuk membuka dan menggarap lahan dengan sistem tumpang sari. Yang dimaksud dengan tumpang sari adalah menanam tanaman sampingan palawija di sela-sela tanaman pokok pohon. Salah satu klausul dalam aturan tersebut menyatakan bahwa, apabila tumpangsari berjalan baik maka akan dikeluarkan ijin yang bersifat tetap. Akan tetapi Pemerintah tidak konsisten, ijin tersebut tidak ada kelanjutannya dan dicabut. Diduga pencabutan ijin tersebut tidak disertai dengan tindakan di lapangan sehingga penggarap tersebut tetap menggarap lahan. Karena tidak ada tindakan hukum, maka penggarap merasa bahwa tindakan mereka tidak dilarang sehingga terus mereka lakukan. Selanjutnya mereka mengajak keluarga atau teman dari kampung asalnya untuk juga membuka dan menggarap lahan. 19 16 27 3 3 3 3 3 10 5 10 15 20 25 30 Surat Izin No. 92.19 Surat Izin 1966 SK menteri Sertifikat Retribusi Izin tebangtebas Izin tokoh masyarakat izin buka lahan izin dephut lisan Gambar 19. Distribusi Responden yang mendapat ijin menggarap lahan dalam kawasan Tahura WAR berdasarkan ijin yang diperoleh 72 Salah satu cara yang dilakukan Pemerintah dalam upaya penanggulangan masalah perambahan Kawasan Hutan di Propinsi Lampung adalah transmigrasi lokal translok. Selama program tersebut dilaksanakan, telah puluhan ribu kepala keluarga KK yang bermukim di kawasan hutan ditranslokkan, termasuk dari Tahura WAR saat itu masih berstatus hutan lindung. Tetapi cara penanganan ini juga ternyata tidak tuntas karena masih adanya penggarap yang bermukim dalam kawasan hutan, termasuk di Tahura WAR. Pelaksanaan sistem transmigrasi lokal telah menimbulkan ekses yang menyebabkan sistem tersebut tidak menyelesaikan masalah. Ijin jenis lain yang berkaitan dengan penggarapan lahan di dalam Kawasan Tahura WAR adalah ijin tentang Hutan Kemasyarakatan HKm, yaitu SK Menteri Kehutanan Nomor . 677 Tahun 1998. Momentum keluarnya ijin tersebut, yaitu saat awal bergulirnya Era Reformasi, menimbulkan dampak yang luas terhadap kerusakan Tahura WAR. Sebelum teknis pelaksanaan SK 677 tersebut di lapangan adadibuat, di masyarakat telah tersebar berita bahwa penggarapan lahan di Kawasan Hutan Gunung Betung diperbolehkan. Sehingga masyarakat dengan cepat memanfaatkan kesempatan tersebut. Bentuk lain yang oleh masyarakat dianggap sebagai ijin adalah pernyataan pejabataparat atau tokoh masyarakat yang dikemukakan dalam pertemuan dengan masyarakat. Bagi masyarakat, pernyataan yang menyiratkan dibolehkannya menggarap lahan kawasan Tahura, meskipun baru wacana, sudah cukup dijadikan dasar untuk menggarap kawasan. Mesayarakat melakukan hal tersebut karena umumnya mereka takut kehabisan lahan yang dapat digarap. Salah satu bentuk ketidak konsistenan dalam pengelolaan Tahura WAR adalah dikeluarkannya Peraturan Daerah Propinsi Lampung Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Retribusi Izin Pemungutan terhadap Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu di Kawasan Hutan. Menurut Peraturan Daerah tersebut, subjek retribusi adalah kelompok tani masyarakat setempat yang tergabung dalam koperasi dan lembaga lainnya yang memperoleh izin pemanfaatan kawasan hutan. Dalam penjelasan Peraturan Daerah tersebut, yang dimaksud dengan kelompok tani masyarakat setempat adalah masyarakat di sekitar atau di dalam kawasan hutan yang selama ini memanfaatkan kawasan hutan sebagai sumber penghidupannya. 73 Sedangkan koperasi adalah koperasi yang dibentuk oleh kelompok masyarakat tersebut dan bergerak dibidang pengusahaan hutan yang dibentuk oleh kelompok masyarakat tersebut. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat yang ingin mendapatkan ijin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu HHBK harus membentuk kelompok dan tergabung dalam koperasi. Artinya, penggarap perorangan yang tidak tergabung dalam kelompok dan koperasi tidak akan mendapat ijin. Akan tetapi, fakta di lapangan, seluruh penggarap di kawasan Tahura WAR diminta membayar retribusi. Oleh karena itu, di kalangan masyarakat perambah, retribusi ini justru dianggap bentuk legitimasi sebagai ijin kegiatan penggarapan lahan mereka. Berkaitan dengan retribusi HHBK tersebut, pemegang ijin dilarang untuk: 1 Menebang pohon-pohon vegetasi hutan yang berada di dalam maupun di luar areal yang diberikan izinnya kepada kelompok yang bersangkutan; 2 Memanen atau memungut hasil hutan bukan kayu di luar areal yang diizinkan; 3 Membuka areal yang bervegetasi semak belukar untuk dijadikan areal budidaya pada kawasan hutan lindung, Taman Nasional dan Taman Hutan Raya; 4 Memperluas tanaman budidaya, khususnya tanaman kopi di dalam kawasan hutan lindung dan Taman Nasional serta Taman Hutan Raya; 5 Mengalihkan izin kepada pihak lain; 6 Mengagunkan izin dan areal kepada pihak lain; 7 Mendirikan bangunan. Apabila dikaji secara mendalam, larangan-larangan tersebut tidak memungkinkan bagi pemegang ijin untuk membuat tanaman baru atau memperluas tanaman yang telah ada di Tahura WAR. Akan tetapi, larangan tersebut oleh penggarap dapat diartikan lain, misalnya pernyataan pada ayat 4 dapat diartikan selain tanaman kopi diperbolehkan. Masalah penggarapan lahan dalam kawasan hutan, khususnya Tahura WAR, sesungguhnya adalah masalah ketersediaan lapangan kerja sumber pendapatan di luar kawasan hutan. Oleh karena itu, sesungguhnya bukan merupakan lingkup tugas dinas kehutanan. Penyediaan lapangan kerja dan 74 peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan tugas Pemerintah Daerah melalui instansi terkait, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Sosial, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Badan Penanaman Modal dan lain-lain. Sebagaimana terungkap dari hasil wawancara, sebagian besar para penggarap dalam kawasan hutan menyatakan alasan menggarap lahan dalam kawasan hutan karena di luar kawasan hutan tidak memiliki lahan atau lahan yang ada tidak mencukupi. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap lahan pertanian sangat tinggi. Bagi mereka, seolah-olah sumber pendapatan atau matapencaharian hanyalah lahan pertanian. Ketergantungan yang tinggi terhadap lahan pertanian tersebut disebabkan oleh kurangnya kesempatan kerja di sektor lain, sementara pengetahuan dan keterampilan mereka untuk menciptakan lapangan kerja produktif masih rendah. Mereka beranggapan dan merasakan bahwa pertanian, tidak memerlukan keterampilan dan biaya yang tinggi. Hanya dengan bermodal kemauan, tenaga, dan keberanian meraka dapat membuka lahan dan bercocok tanam dalam kawasan Tahura WAR. Hal ini didukung oleh ketersediaan lahan yang gratis dan cukup subur. Kesuburan lahan tersebut terjadi sebagai hasil akumulasi unsur hara di pemukaan tanah yang berlangsung melalui siklus unsur hara bertahun tahun. Sebenarnya, penggarap lahan tersebut ingin beralih ke bidang pekerjaan lain. Akan tetapi, untuk beralih ke bidang pekerjaan lain memerlukan dana, baik untuk proses pencarian maupun untuk biaya cadangan selama menunggu memperoleh sumber pendapatan baru. Bagi mereka dana tersebut tidak tersedia karena pendapatan yang diperoleh dari kegiatan perladangan selama ini hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Selain itu, mereka masih dihadapkan pada resiko tidak memperoleh pekerjaan atau sumber pendapatan baru. Oleh karena itu, para peladang tersebut terjebak di lahan perladangannya. Setelah masuk mereka sulit untuk keluar. Karena mereka tidak dilengkapi keterampilan dan modal, maka cara bertani yang mereka terapkan tidak didasarkan pada pertanian berkelanjutan. Input pertanian teknologi, bibit, dan hara yang rendah menghasilkan produksi yang juga rendah dan cenderung menurun. Dalam tahun pertama, ketika unsur hara di permukaan tanah masih banyak, produksi masih tinggi. Dalam tahun tahun 75 berikutnya, ketersediaan unsur hara semakin menurun karena terambil tanaman sementara input baru tidak ada. Kehilangan unsur hara dipercepat oleh proses erosi karena teknik pertanian yang diterapkan tidak memperhatikan azas-azas konservasi. Satu-satunya cara yang dapat mereka lakukan untuk mendapatkan hasil pertanian yang lebih banyak adalah ekstensifikasi dengan membuka areal hutan baru. Akibatnya areal perladangan semakin luas dan penutupan hutan semakin berkurang sehingga fungsi hidroorologis kawasan tersebut menurun, bahkan rusak.

1.3. Strategi Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman