44 Data pada Tabel 10 menunjukan bahwa kepadatan penduduk desa-desa di
sekitar Tahura WAR, baik kepadatan absolut maupun pertanian, relatif tinggi. Kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan tingginya kebutuhan akan lahan
untuk berbagai kepentingan; mata pencaharian dalam bidang pertanian memerlukan lahan; kaum buruh yang umumnya berdaya beli rendah tidak mampu
membeli lahan. Keadaan sosial ekonomi ini merupakan daya dorong yang kuat untuk mendapatkan lahan dan menimbulkan perambahan.
Sementara itu, berdasarkan mata pencaharian sebagian besar penduduk bermatapencaharian dalam bidang pertanian 50,93, buruh 36,29 dan
sisanya terdistribusi sebagfai pegawai negeri, buruh tambang, konstruksi, jasa dan dagang dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Distribusi penduduk tiga kecamatan di sekitar Tahura WAR berdasarkan mata pencahariannya
Jumlah yang bekerja dalam bidang Kecamatan
Pegawai Negeri
Perta- nian
Tam- bang
Kera- jinan
Kons- truksi
jasa Dagang Buruh Kedondong
154 6.935
83 93
409 274
785 1.729
Gedong tataan 372
1
7.008 83
97 407
185 822 1.965
Teluk Betung Barat
173 2.252 -
- -
75 258 4.817
Jumlah 699 16.195
166 190
816 534
1.865 8.511
Keterangan: 1 = Guru saja Sumber: Watala 2005
Perambahan di Tahura WAR sudah berlangsung lama, sejak masih berstatus hutan lindung. Menurut Dinas Kehutanan Propinsi Lampung 2005
bahwa di kawasan tahura Wan Abdul Rachman lebih dari separuhnya dipakai oleh lebih kurang 5000 KK untuk lahan usahatani. Sampai sekarang perambahan
dalam kawasan Tahura WAR masih belum dapat ditanggulangi secara tuntas, bahkan cenderung kembali meningkat.
4.4.2. Sistem budidaya yang dilakukan oleh masyarakat
Secara umum masyarakat membudidayakan tanaman keras maupun tanaman palawija dan sayuran di dalam kawasan tahura. Sistem tanam yang
mereka lakukan adalah sistem tanam campuran. Berbagai jenis tanaman pertanian ditanam bersama-sama dalam suatu areal garapan dengan jarak tanam bebas, tidak
45 membentuk rotasi ataupun pergiliran tanaman, seperti terlihat pada Gambar 10.
Cara pengolahan tanah pun pada umumnya tidak memperhatikan aspek pelestarian lahan, contohnya adalah masih banyaknya petani yang membuat arah
larikan tanaman tidak searah dengan garis kontur garis tinggi.
Gambar 10. Pengolahan tanah dan pola tanam yang tidak memperhatikan aspek pelestarian lahan.
Pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan ataupun di bawah pohon- pohon belum dipahami oleh para petani karena mereka menyukai menanam jenis
palawija dan sayuran yang justru membutuhkan sinar matahari banyak. Hal demikian sudah pasti memerlukan lahan terbuka atau tanpa naungan, sehingga
seperti yang dikemukakan di muka tadi bahwa akan ada kecenderungan selalu memanfaatkan lahan-lahan terbuka untuk menanam palawija, bukan untuk
menanam atau mengembangkan pohon-pohon multiguna. Di sinilah peran kegiatan pembinaan masyarakat dalam pembangunan hutan kemasyarakatan yang
perlu selalu ditekankan supaya memiliki motivasi untuk memperbaiki kondisi hutan. Oleh karena itu, kombinasi tanaman keras pohon dengan tanaman selain
pohon diarahkan melalui upaya membudidayakan tanaman yang bersifat toleran di bawah tegakan hutan, misalnya talas, laos, kunyit, kencur. Penanaman padi gogo,
jagung, kacang panjang, dan cabe sebenarnya tidak layak lagi dilakukan dalam kawasan hutan lindung yang dikelola sebagai areal hutan kemasyarakatan,
sehingga sistem budidaya ini harus diubah dengan memotivasi petani untuk
46 mengembangkan pohon-pohon MPTS multipurpose trees species supaya
nantinya para petani mampu membangun hutan secara baik. Tentu indikasinya adalah terjaganya areal garapan dengan penutupan vegetasi pohon secara
permanen. Cara-cara yang dilakukan untuk membudidayakan jenis tanaman memang
masih menggunakan cara-cara konvensional misalnya dalam pengolahan lahan, penyiangan, ataupun pendangiran.
Aspek pemeliharaan tanaman yang dilakukan petani saat ini perlu mendapat perhatian, mengingat cara-cara pemeliharaan tanaman secara benar
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokasi belum dilakukan oleh para petani. Suatu contoh adalah cara penyiangan dan pendangiran tanaman dilakukan secara
menyeluruh atau secara total pada areal tanaman dengan sabit dan cangkul. Diketahui bahwa 100 petani melakukan pembabatan bersih terhadap tumbuhan
bawah tumbuhan pengganggu di areal garapannya. Mestinya penyiangan harus terbatas pada tempat-tempat sekitar tanaman saja, karena di areal-areal yang
miring seperti di kawasan hutan lindung register 19 sangat peka terhadap proses erosi tanah, sehingga penutupan tumbuhan bawah sesungguhnya sangat
diperlukan juga untuk mencegah terjadinya erosi, tanah longsor, dan menjaga kesuburan tanah. Demikian pula cara-cara pendangiran tanaman sebaiknya
dilakukan pada tempat-tempat tertentu di sekitar tanaman saja. Kebiasaan pendangiran dan penyiangan memang dilakukan oleh petani di areal garapannya,
akan tetapi cara ini mesti diarahkan menuju cara-cara pertanian konservasi, supaya tidak mengganggu kelestarian lahan. Petani yang sudah terbiasa
mendangir tanamannya lebih kurang 45,1 . Sedangkan pemupukan tanaman dan pemberantasan hama penyakit tidak begitu diperhatikan oleh para petani. Hal
ini disebabkan oleh faktor harga pupuk dan harga pestisida yang mahal, sehingga para petani tidak melakukan pemeliharaan ini atau disebabkan faktor rendahnya
pengetahuan tentang aspek pemupukan dan pemberantasan hama penyakit. Dengan demikian alternatif cara penyelesaiannya adalah dengan melakukan
tindakan pemeliharaan secara murah menggunakan pupuk kandang atau pupuk hijau, dan melakukan pencegahan terhadap kemungkinan adanya serangan hama
penyakit tanaman dengan perbaikan sanitasi lingkungan tempat tumbuh.
47
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pengelolaan Tahura WAR
Pengelolaan Tahura WAR yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Lampung berdasarkan pada perundang-undangan atau peraturan pemerintah yang
berlaku baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Adapun dasar hukum Pengelolaan Tahura WAR adalah :
1. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 3. Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
4. PP No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata
Alam. 5. PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa
6. PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis Tumbuhan dan satwa liar 7. PP. No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi
sebagai Daerah Otonomi 8. PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. 9. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 408 Tahun 1993 tentang
Persetujuan dan Penetapan Perubahan Fungsi dan Penunjukkan menjadi Hutan Lindung Reg. 19 Gunung Betung Taman Hutan Raya Wan Abdul
Rachman. 10. Perda Propinsi Lampung No. 7 tahun 2000 tentang Retribusi terhadap
pemungutan hasil hutan non kayu di kawasan hutan 11. Perda Propinsi lampung no 6 tahun 2002 tentang Retribusi Pemakaian
Kekayaan Daerah. 12. Keputusan Gubernur Lampung No 3 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas UPTD pada Dinas Propinsi.