10
2.2.2. Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang bersifat deskriptif, evaluatif dan prespektif. Dunn 2003 menyatakan bahwa
analisis kebijakan merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan
memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah
kebijakan.
Selanjutnya analisis kebijakan didefinisikan pula sebagai salah satu diantara sejumlah banyak faktor didalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan
policy system dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur yaitu : kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan
kebijakan. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Berikut
gabungan tiga unsur didalam sistem kebijakan Thomas R Dye dalam Dunn, 2003.
Pelaku
Lingkungan Kebijakan
Kebijakan Publik
Kebijakan publik public policies merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak
yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah yang diformulasikan didalam berbagai bidang termasuk lingkungan hidup.
Masalah kebijakan tergantung pula pada pola keterlibatan pelaku kebijakan policy stakeholders yang khusus, yaitu para individu atau kelompok
individu yang mempunyai andil didalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah.
11 Sedangkan lingkungan kebijakan policy environment yaitu konteks
khusus dimana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik.
Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan kebijakan adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti
yang sulit disimpulkan. Karena itu dalam pengambilan keputusan akan lebih mudah bila menggunakan model tertentu. Model kebijakan adalah sajian yang
disederhanakan mengenai aspek-aspek terpilih dari situasi problematik yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu model
deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model perspektif.
Penerapan setiap model kebijakan tidak dapat dilakukan pada semua perumusan kebijakan karena masing-masing model memiliki fokus pada aspek-
aspek yang berbeda. Menurut Forrester dalam Dunn 2003, persoalan kebijakan tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, persoalannya hanyalah
terletak pada pemilihan diantara berbagai alternatif. Menurut Dunn 2003 proses analisis kebijakan adalah serangkaian
aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan
kebijakan dan divisualisasikan sebagai rangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan,
adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Selanjutnya Dunn 2003 menjelaskan bahwa analisis kebijakan adalah
awal, bukan akhir, dari upaya untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan, berikut hasilnya. Itulah sebabnya analisis kebijakan didefinisikan sebagai
pengkomunikasian, atau penciptaan dan penilaian kritis, pengetahuan yang relevan dengan kebijakan, yang jelas, kualitas analisis kebijakan adalah penting
sekali untuk memperbaiki kebijakan dan hasilnya. Adapun menurut Ramdan dan Yusran 2001 ukuran efektifitas kebijakan
yang perlu diperhatikan adalah : a. Efisiensi, Kebijakan dalam pengelolaan Sumberdaya Alam SDA harus
mampu meningkatkan efisiensi penggunaan SDA secara optimal. Kebijakan
12 pengelolaan SDA yang tidak mencerminkan efisiensi dapat menimbulkan
degradasi lingkungan. b. Fair adil, bobot kebijakan harus ditempatkan secara adil, dimana
kepentingan publik tidak terabaikan. Sebagai contoh rusaknya hutan tropis Indonesia disebabkan oleh tidak tercerminnya rasa keadilan publik.
Masayarakat lokal selama 32 tahun rejim orde baru tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati langsung hutan yang ada di lingkungannya.
Kebijakan konsesi hutan yang tidak fair dalam prakteknya telah memperkaya sekelompok pengusaha pusat dan memiskinkan masyarakat lokal.
Ketidakadilan ini menyebabkan konflik sosial. c. Mengarah kepada insentif, perbaikan lingkungan adalah tanggung jawab
bersama karena SDA ini prinsipnya obligasi bersama yang harus dijaga. Namun untuk menciptakan attitude diperlukan insentif. Oleh karena itu
kebijakan dalam pengelolaan SDA harus mengarah kepada insentif untuk merangsang tindakan dalam perbaikan lingkungan.
d. Penegakan hukum enforcebility, kebijakan tidak akan efektif berjalan dalam kondisi disorder dan poor law enforcement. Penegakan hukum akan
memaksa setiap anggota masyarakat untuk mentaati kebijakan yang telah ditetapkan.
e. Diterima oleh publik public acceptable, kebijakan pengelolaan SDA selalu menyangkut kepentingan publik. Dengan demikian kebijakan yang baik harus
dapat diterima oleh publik. f. Moral, kebijakan yang baik tidak akan ada pengaruhnya dalam perbaikan
SDA dan lingkungan apabila tidak dilandasi oleh moral yang baik. Moral adalah aspek normatif yang sangat penting dalam menjamin aspek positif dari
suatu kebijakan. Moral menjadi spirit of soul dalam pengelolaan SDA. Kerusakan SDA di Indonesia yang meningkat selama ini dipengaruhi oleh
pelaksanaan kebijakan tanpa moral. Oleh karena itu terjadinya moral hazard menjadi titik awal kerusakan SDA dan lingkungan.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman dimana semua pihak merasa berhak dan berwenang untuk mengelola kawasan
tersebut, perlu adanya kebijakan yang dapat memberikan rasa adil fair kepada
13 semua pihak baik masyarakat lokal maupun pemerintah, dapat diterima oleh
publik, efisien, dan dengan pendekatan moral kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat menerima walaupun diterapkannya sanksi-sanksi sebagai
pendekatan penegakkan hukum di dalam menindak segala pelanggaran yang ada. Pendekatan yang mestinya diterapkan oleh pemerintah dalam merumuskan
suatu kebijakan pengelolaan kawasan tahura adalah dengan melakukan pendekatan kolaboratif terhadap semua aktor yang berperan pada kawasan
tersebut baik pemerintah, masyarakat, LSM, perguruan tinggi dan lain-lain. Sehingga dengan pendekatan kolaboratif tersebut diharapkan dapat memadukan
semua aspek yang ada baik aspek ekologi yang lestari, ekonomi yang meningkat, maupun sosial budaya masyarakat setempat yang baik dan dapat dipertahankan,
yang disebut dengan konsep ekososiosistem.
2.2.3. Pengelolaan Hutan