47
BAB IV GAMBARAN UMUM SEKOLAH
A. Sejarah Singkat SMA Kolese De Britto Yogyakarta
SMA Kolese De Britto atau yang lebih dikenal dengan nama De Britto atau “JB” kependekan dari Johanes De Britto merupakan sekolah
yang memiliki sejarah dan perkembangan yang cukup panjang. Diawali dengan dicabutnya peraturan yang melarang pihak swasta untuk mendirikan
sekolah oleh pemerintah pendudukan Jepang, para Bruder CCI bersama suster-suster Carolus Borromeus dan Fransiskanes berusaha mendirikan
sebuah sekolah menengah Katolik, setingkat SMP. Terdesak kebutuhan mendirikan sekolah menengah atas yang bersendikan asas-asas Katolik untuk
menampung lulusan SMP yang telah terlebih dahulu didirikan, maka atas persetujuan bersama Yayasan Kanisius di bawah pemimpin Romo
Djojoseputro dengan para Romo Jesuit dan para suster Carolus Borromeus didirikan sebuah sekolah menengah atas Kanisius. Sekolah menengah atas
tersebut akhirnya dibuka secara resmi pada tanggal 19 Agustus 1948 dengan jumlah murid angkatan pertama sebanyak 65 orang yang terdiri dari putra dan
putri. Tetapi, sekolah baru ini belum memiliki gedung sekolah sendiri sehingga untuk melaksanakan seluruh kegiatan akademik masih menumpang
di ruang atas SMP Bruderan Kidul Loji. Tidak lama setelah diresmikan, jabatan sementara pemimpin sekolah yang dipegang Romo B. Sumarno, S.J
diserahkan kepada Romo R. Van Thiel, S.J. Sekolah yang baru berlangsung
lima bulan ini akhirnya ditutup karena situasi sosial politik yang ada, clash kedua tentara Belanda tanggal 18 Desember 1948.
Setelah keadaan tenang, persiapan untuk mulai mengadakan kegiatan sekolah segera dilaksanakan. Bagian putri sudah dibuka kembali dan
memulai seluruh kegiatan akademik pada bulan Agustus 1949, sedangkan bagian putra baru dapat dibuka kembali dan melaksanakan seluruh rangkaian
kegiatan akademik pada bulan Oktober 1949. Hal ini mengingat banyak pemuda yang baru kembali dari medan perang, yang berjuang bagi ibu
pertiwi. Sekolah ini akhirnya dipisahkan menjadi dua bagian, sekolah putra dan sekolah putri. Sekolah putra menempati gedung di Jalan Bintaran Kulon
5 dan diasuh oleh para romo Jesuit, dan memakai nama Santo Johanes De Britto sebagai nama sekolah. Sekolah putri berada di bawah asuhan para
suster Carolus Borromeus, menempati gedung di Jalan Sumbing sekarang Jalan Sabirin. Sekolah putri memakai nama SMA Stella Duce yang berarti
Bintang Penuntun. Sampai saat itu SMA Johanes De Britto belum mempunyai lambang.
Oleh karena itu, pada tahun 1951 sekolah memulai mengadakan lomba mencipta desain lambang SMA Johanes De Britto dan yang berhasil menjadi
pemenang adalah R. Nawawi Hadikusumo yang pada saat itu masih menjadi siswa SMA Johanes De Britto yahun 1949-1951. Lambang itulah yang
digunakan sampai sekarang Pada tanggal 9 Juni 1953, oleh Pembesar Serikat Jesus di Roma nama
SMA Santo Johanes De Britto diubah menjadi SMA Kolese De Britto.
Sekolah ini terus mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu, meskipun sering terjadi pergantian pengurus dan staf pemimpin namun
bertambahnya jumlah murid yang berdampak bertambahnya jumlah ruang kelas, pembenahan dan perbaikan bagian administrasi sekolah, termasuk
rencana mendirikan gedung sekolah baru di lokasi lain merupakan suatu kemajuan yang dialami SMA Kolese De Britto. Banyak pilihan lokasi untuk
mendirikan gedung sekolah yang baru, tetapi akhirnya pilihan lokasi jatuh di daerah Demangan tepatnya di Jalan Laksda Adisucipto 161 Yogyakarta, yang
akhirnya menjadi alamat tetap sekolah ini. Peletakan batu pertama sebagai tanda awal pembangunan gedung sekolah yang baru dilakukan oleh Mgr. A.
Soegijapranata, S.J.yang pada waktu itu menjabat Vikaris Apostolik Semarang. Pada bulan Mei 1958, SMA Kolese De Britto dipindahkan ke
gedung sekolah yang baru. Selain kompleks gedung yang luas, sekolah yang baru ini juga dilengkapi lapangan olah raga, aula, ruang laboratorium, dan
lain-lain. Pada permulaan tahun ajaran baru, 1 Agustus 1960, Romo P.F.C.
Teeuwisse, S.J. yang masih WNA diganti oleh direktur baru, Romo Th. Koendjono, S.J karena pada saat itu pemerintah mengeluarkan peraturan yang
melarang orang berkewarganegaraan asing mengajar di sekolah dasar dan menengah. Dua tahun kemudian tepatnya 1 Agustus 1962, kepengurusan
SMA Stella Duce yang semula disatukan dengan SMA Kolese De Britto, resmi diserahkan kepada Yayasan Tarakanita. Sedangkan SMA Kolese De
Britto tetap diasuh oleh Yayasan De Britto yang secara ex officio diketuai oleh romo Jesuit sebagai rektor kolese.
Semenjak awal perkembangannya SMA Kolese De Britto sebagai suatu kolese, lembaga pendidikan yang dikelola Jesuit senantiasa mengalami
keterbatasan tenaga Jesuit. Salah satu jasa Romo Schoonhoff, S. J. Sebagai rektor kolese sejak tahun 1956 adalah kegigihannya mempertahankan SMA
Kolese De Britto ketika hendak di tutup sebagai Kolese dan kemudian akan diserahkan kepada awam. Alasan penyerahan kepada awam adalah karena
pada waktu itu tidak tersedia cukup tenaga Jesuit untuk diserahi tugas di SMA. Salah satu argumen yang diajukan oleh Romo Schoonhoff, S. J.
kepada Peter Jendral pimpinan Jesuit tertinggi di Roma adalah bahwa dari SMA kolese De Britto ini setiap tahunnya melahirkan alumnus yang
mendaftar ke seminari. Di samping itu, ada banyak fakta yang tidak boleh di abaikan, yaitu bahwa SMA ini telah benyak melahirkan imam baik Jesuit
maupun Projo atau tarekat lain. Selain Romo G. Schoonhoff, S. J. Bapak L. Subiyat juga merupakan tokoh yang sangat berjasa dalam memperjuangkan
kelangsungan SMA Kolese De Britto sebagai sebuah Kolese. Ketika Romo Th. Koendjono, S. J. menjadi direktur kepala sekolah
1962-1964 diangkatlah kedisiplinan menjadi tuntutan kerja dan sikap hidup sehari-hari, tidak hanya untuk siswa, tetapi juga semua pihak yang terlibat
dalam pendidikan di kolese tersebut. Kerja sama dengan awam sedikit demi sedikit dikembangkan. Kerja sama itu tidak hanya dalam arti berhubungan
baik supaya awam mau bekerja lebih tekun, tetapi semakin menempatkan
awam sebagai partner yang setara dalam pengelolaan sekolah. Sayangnya Romo Th. Koendjono, S. J. tidak bertugas cukup lama karena mendapat tugas
baru dari Pemimpin Serikat Jesus. Yang akhirnya Romo Th. Koendjono, S. J. digantikan oleh seorang awam yaitu Bapak C. Kasiyo Dibyoputranto pada
tahun 1964. Serikat Jesus mulai menyadari akan pentingnya kerjasama yang sederajat dengan awam. Sejak itu hingga sekarang, jabatan direktur kepala
sekolah selalu dipegang oleh awam. Meskipun demikian ciri sebuah Kolese dimana ada Jesuit didalamnya tetap dipertahankan dalam jabatan rektor yang
sekaligus menjadi ketua yayasan dan jabatan Sub Pamong. Pada tahun 1973 ketika jabatan rektor dipegang oleh Romo J. Oei Tik
Djoen, S.J., di SMA Kolese De Britto dicanangkan pendidikan bebas. Konsep pendidikan bebas ini merupakan jawaban terhadap keadaan masyarakat yang
kurang bisa menerima pendapat yang berbeda dari pendapat umum, khususnya tahun 1960-1970. Masyarakat lebih mementingkan penampilan
luar daripada motivasi dari dalam. Keberhasilan pendidikan bebas tidak lepas dari peran empat serangkai, yaitu Romo Oeik Tik Djoen, S.J., Romo
G.Koelman, S.J., Bapak C.Kasiyo Dibyoputranto, dan Bapak L. Subiyat. Empat serangkai itu pada tahun 1971 diperkuat oleh Bapak Chr. Kristanto
yang diangkat menjadi wakil kepala sekolah dan bapak G. Sukadi yang banyak berperan dalam kegiatan siswa.
Sampai sekarang SMA Kolese De Britto masih tetap diminati banyak lulusan SMP dari berbagai kota di seluruh Indonesia. Pada tahun 2002 Tim
Master Plan SMA Kolese De Britto yang dipimpin oleh Bapak G. Sukadi
menyusun rencana induk pengembangan SMA Kolese De Britto tahun 2003- 2013 yang menjadi pedoman pengembangan di bidang kurikulum, pembinaan
dan pendampingan siswa, sumber daya manusia, administrasi, sarana dan prasarana, serta keuangan. Tahun 2004-2005 SMA Kolese de Britto mulai
menerapkan kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK dan setahun kemudian berubah menjadi Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan KTSP. Mulai tahun itu SMA Kolese De Britto menambah satu kelas X dari enam kelas menjadi tujuh kelas dan pada tahun
2005-2006 dibuka kembali jurusan bahasa setelah sepuluh tahun tidak membuka jurusan bahasa, melengkapi dua jurusan yang sudah ada, yaitu
IPA dan IPS. SMA Kolese De Britto tetap hanya menerima siswa putra, meskipun demikian jumlah peminat setiap tahunnya tetap melimpah.
B. Pendidikan Bebas Di SMA Kolese De Britto Sebagai Sikap Dasar